• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sapi Aceh memiliki karakterisasi fenotipik (ukuran-ukuran tubuh, bobot badan dan warna tubuh) beragam. Rataan ukuran-ukuran tubuh dan bobot badan sapi Aceh menunjukkan koefisien keragaman yang bervariasi pada semua kelompok umur dan jenis kelamin berbeda. Karakter bobot badan, lebar dada, lebar pinggul dan lingkar paha sapi Aceh jantan pada kelompok umur satu, dua dan tiga tahun menunjukkan nilai koefisien keragaman yang cukup tinggi (11,80- 23,51%), sehingga seleksi dapat dilakukan pada sifat-sifat tersebut. Jika dilakukan seleksi pada kelompok umur muda satu tahun, maka dapat diikutkan karakter dalam dada yang juga menunjukkan keragaman tinggi (17,46%). Sapi Aceh betina juga ditemukan keragaman yang cukup tinggi pada karakter bobot badan, lebar dada, dalam dada, lebar pinggul dan lingkar paha pada semua kelompok umur, sehingga dapat dilakukan seleksi pada sifat-sifat tersebut. Seleksi juga dapat dilakukan pada warna dan pola warna tubuh sapi Aceh yang beragam, apabila diinginkan untuk meningkatkan frekuensi warna tertentu. Menurut Astuti (2004), seleksi sapi lokal dengan memanfaatkan keragaman karakteristik sifat produksi dan reproduksi akan meningkatkan produktivitas, disamping itu memiliki dampak penting yaitu pelestarian terhadap sumber daya genetik sapi.

Adanya perbedaan susunan dan komposisi basa-basa nukleotida antara sapi-sapi lokal Indonesia (Aceh, Bali, Madura, PO dan Pesisir) berdasarkan analisis daerah D-loop parsial (479 bp) DNA mitokondria, menunjukkan ada perbedaan materi genetik antara sapi-sapi tersebut. Demikian juga apabila dibandingkan sapi lokal Indonesia dengan sapiBos indicus dan Bos taurus dari

data GenBank, maka jelas terdapat perbedaan genetik antara sapi Aceh, Bali,

Madura, PO dan Pesisir dengan kedua spesies domestikasi tersebut. Namun, sapi Aceh, Pesisir, dan PO mempunyai hubungan kekerabatan dengan sapi-sapi

Bos indicus. Hal ini karena nenek moyang (ancestor) ketiga sapi lokal Indonesia

tersebut berasal dari hibridisasi zebu sehingga mempunyai kekerabatan dengan sapi-sapi Bos indicus sesuai dengan tingkat perbedaan susunan dan komposisi basa-basa nukleotida (materi genetik) yang dimiliki masing-masing sapi. Proses kehidupan sapi Aceh, Pesisir dan PO dengan berbagai pengaruh mutasi dan lingkungannya, mengalami perbedaan masing-masing. Apabila dibandingkan sapi lokal Indonesia dengan sapi Bos taurus dari GenBank,maka terlihat jelas

perbedaan susunan basa-basa nukleotida Bos taurus mulai situs ke-160 sampai 473 dari sekuens acuanBos indicus(Lampiran 8).

Indonesia memiliki sapi turunan Ongole yang asal mulanya diimpor sapi- sapi Ongole dari India pada masa lalu. Sapi Ongole telah disilangkan dengan sapi-sapi Jawa sehingga ada laporan yang menyatakan bahwa sekarang sapi Jawa telah punah dan terciptalah sapi Peranakan Ongole (PO) (Hardjosubroto 2004). Sapi PO merupakan bukti keberhasilan pemuliaan sapi potong di Indonesia pada masa lalu. Bangsa sapi ini baru terbentuk sekitar tahun 1930 melalui sistem persilangan dengangrading upantara sapi Jawa dan sapi Sumba Ongole (SO) (Astuti 2004). Sapi Jawa diduga merupakan kombinasi antara sapi- sapi zebu, Holland, Australia, Madura dan Bali (Merkens 1926). Berdasarkan analisis daerah D-loop DNA mitokondria yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa sapi PO terbukti lebih dekat dengan Bos indicus (sapi Ongole) dibandingkan dengan sapi-sapiBos taurusdan sapi Bali.

Pengelompokan sapi Aceh dengan sapi Pesisir dan PO dalam klaster sapi

Bos indicusmenunjukkan bahwa sapi Aceh, Pesisir dan PO adalah dari maternal

zebu, sedangkan pengelompokan sapi Madura dalam klaster sapi Bali (Bos

javanicus) menunjukkan bahwa sapi Madura bukan dari maternal zebu tetapi dari

maternal Banteng. Basa-basa nukleotida daerahD-loop DNA mitokondria yang umum dijumpai pada sapi Aceh adalah basa-basa nukleotida dari sapi Bos

indicus (Lampiran 8), namun pada bagian akhir sekuens mulai situs ke-354

sampai dengan 483 ditemukan sisipan-sisipan basa nukleotida dari sapi Bali (Lampiran 8). Berdasarkan DNA mirosatelit juga menunjukkan keadaan yang serupa. Sapi PO telah diketahui merupakan turunan dari Bos indicus. Ada alel- alel mikrosatelit yang dimiliki sapi PO juga dimiliki sapi Aceh dengan frekuensi yang umumnya tinggi, namun tidak dimiliki oleh sapi Bali. Ada alel-alel yang dimiliki sapi Bali juga dimiliki sapi Aceh dengan frekuensi yang umumnya rendah, tetapi tidak dimiliki oleh sapi PO. Hal ini menunjukkan bahwaancestor sapi Aceh adalah dominan dariBos indicusdan telah terjadi introgresi alel-alel dari sapi Bali ke dalam materi genetik sapi Aceh. Lokus-lokus yang menunjukkan adanya alel- alel yang dimiliki sapi PO juga ditemukan pada sapi Aceh yaitu BM1818 (alel B 274 bp); INRA005 (alel C 157 bp, G 163 bp); BM2113 (alel H 156 bp); HEL9 (alel E 171 bp, K 183 bp); HEL13 (alel C 199 bp); INRA35 (alel B 119 bp); ETH10 (alel C 228 bp); CSSM66 (alel D 197 bp, K 213 bp); BM1824 (alel E 202 bp, J 212 bp); ILSTS006 (alel E 305 bp); ILSTS005 (alel H 204 bp). Lokus-lokus yang

menunjukkan ada alel-alel yang dimiliki sapi Bali juga ditemukan pada sapi Aceh yaitu BM1818 (alel H 286 bp, J 290 bp); INRA005 (alel A 153 bp); CSRM60 (alel D 110 bp, G 116 bp); BM2113 (alel B 142 bp); HEL5 (alel F 180 bp, G 182 bp); HEL13 (alel D 201 bp, F 205 bp, G 207 bp); INRA63 (alel D 198 bp); dan INRA35 (alel C 121 bp).

Apabila dibandingkan dendogram filogeni daerah D-loop mtDNA parsial (479 bp) hasil penelitian ini dengan dendogram filogeni gencytochrome-bmtDNA parsial (420 bp) yang diambil dari data GenBank, maka dapat diketahui bahwa posisi sapi Bali sangat dekat dan berada satu klaster dengan Banteng (Bos

javanicus) (Gambar 37). Sapi Bali memiliki persamaan susunan basa nukleotida

sebesar 99,76% dengan Banteng, namun sapi asli Indonesia yang tidak jelas disebutkan bangsa dan sumber pengambilan sampelnya masuk ke dalam klaster

Bos indicus, berbeda dengan pengelompokan sapi Aceh, PO dan Pesisir dari

analisisD-loopdalam penelitian ini. Sekuens parsial (420 bp) gencytochrome-b

dari GenBank untuk membentuk dendogram filogeni tersebut diambil dari

Kikkawa et al. (2003) yang telah melakukan sekuensing parsial pada gen

cytochrome-bsapi Bali (kode akses AB077314), sapi asli Indonesia (AB077313)

dan Banteng (AB077315). Membentuk pohon filogeni dari gen cytochrome-b, juga telah diambil sekuensBos indicus(Nellore, kode akses AY126697; Mirettiet al. 2002) dan Bos taurus (Simmental, kode akses AY521055) dari GenBank

(Lampiran 15).

Bos indicus

Indonesia Native

Simmental

Bali

Banteng

100 97 0.01

Gambar 37 Dendogram Neighbor-Joining berdasarkan metode 2 parameter Kimura dari nukleotida gencytochrome-b parsial (berukuran 420 nt) sapi dariGenBankdengan pengolahan bootstrap 1000 ulangan Perbedaan posisi sapi Madura dari hasil analisis menggunakan penanda daerah D-loop mtDNA dan DNA mikrosatelit, karena perbedaan sumber DNA yang dianalisis. Perunutan hubungan kekerabatan dengan DNA mitokondria didasarkan pada pola pewarisan maternal yang haploid dan hipervariabilitas

daerah D-loop, sedangkan DNA mikrosatelit merupakan pewarisan yang menggabungkan informasi genetik dari pihak induk dan bapaknya (diploid di DNA inti), sehingga merupakan pewarisan kombinasi dari kedua tetuanya.

Disamping itu, berdasarkan matriks jarak genetik Nei dari frekuensi- frekuensi alel pada 16 lokus mikrosatelit sapi Aceh, Bali, Madura, PO dan Pesisir (Tabel 18), maka ada kemungkinan bahwa posisi sapi Madura akan masuk ke dalam klaster sapi Bali (Gambar 38). Hal ini apabila dilihat dari posisi sapi Aceh dibandingkan terhadap sapi lokal lain, maka menunjukkan bahwa jarak genetik sapi Madura dekat dengan sapi Bali. Namun, apabila sapi Bali dijadikan standar, maka sapi Madura mempunyai jarak genetik yang cukup jauh terhadap sapi Bali. Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan dendogram pengklasteran sapi lokal Indonesia dengan menggunakan analisis daerah D-loop DNA mitokondria. Pengelompokan sapi Aceh, PO dan Pesisir yang terpisah jauh terhadap sapi Bali karena sapi-sapi tersebut lebih besar mengandung materi genetik sapi zebu dibandingkan terhadap sapi Madura (lebih rendah mengandung materi genetik sapi zebu). Situasi ini mungkin ada kaitan dengan jumlah sampel sapi pembanding yang sedikit.

Bali

Dokumen terkait