• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan penduduk perkotaan semakin pesat seiring dengan perkembangan perekonomian, pemukiman, pendidikan, dan budaya. Daya tarik kota yang sangat besar bagi penduduk desa mendorong angka laju urbanisasi semakin cepat. Peningkatan jumlah penduduk daerah perkotaan menimbulkan tekanan cukup besar terhadap sumberdaya dan lingkungan perkotaan (Setyowati 2008). Permasalahan yang sering dijumpai di kawasan perkotaan antara lain adanya kawasan kumuh, pencemaran, kurangnya sanitasi, konflik masyarakat, kemacetan, dan sebagainya. Salah satu upaya untuk mengatasi ataupun mencegah timbulnya permasalahan secara lebih meluas adalah dengan pembangunan kota baru yang lebih terencana. Konsepsi pembangunan kota baru ini telah diterapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai salah satu alternatif dalam mengatasi permasalahan perkotaan, khususnya di kota besar dan metropolitan. Pembangunan kota baru ini merupakan salah satu implementasi dari kebijakan pemerintah melalui Instruksi Presiden No. 13 Tahun 1976 tentang Pengembangan Wilayah Jabotabek.

Pembangunan Kota Bumi Serpong Damai/BSD (di Kecamatan Serpong), Bintaro Jaya (di Kecamatan Pondok Aren), dan Alam Sutera (di Kecamatan Serpong Utara) yang direncanakan dengan baik oleh pengembang (developer) merupakan kota baru-kota baru yang tumbuh di bagian sebelah barat Jakarta. Perkembangan dan pembangunan Kota Jakarta yang pesat, mendorong terjadinya pergeseran karakteristik kekotaan di daerah peri urbarnya, termasuk Kabupaten Tangerang (sebelum sebagian dimekarkan menjadi Kota Tangerang Selatan). Dengan adanya fenomena suburbanisasi dan proses urban sprawl, maka tumbuh pusat-pusat pertumbuhan baru seperti Ciputat dan Pamulang. Kota-kota baru dan pusat-pusat pertumbuhan tersebut beraglomerasi menjadi pilar utama terbentuknya Kota Baru Tangerang Selatan sebagai Daerah Otonom Baru (1998).

Kota Tangerang Selatan yang terbentuk sebagai dampak dari proses suburbanisasi dan urban sprawl metropolitan Jakarta ini kemudian bergerak cepat menggerakkan roda perekonomiannya. Berdasarkan data PDRB tahun 2012-2013, kondisi perekonomian kota ini relatif tinggi, dimana sektor tersier lebih dominan, yaitu pengangkutan dan komunikasi, perdagangan, hotel dan restoran, jasa-jasa dan bank, serta persewaan dan jasa perusahaan, telah memberikan kontribusinya lebih dari 70% dari struktur ekonomi yang ada. Sektor sekunder (industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, dan konstruksi) memberikan kontribusi sekitar 27%, dan sektor primer (pertanian; pertambangan dan penggalian) hanya memberikan kontribusi kurang dari 1% (BPS 2013). Sektor perekonomian di kota ini cukup pesat, namun tidak diimbangi dengan perkembangan aspek lainnya (sosial dan lingkungan).

Penelitian ini bertujuan untuk merancang bangun model kebijakan pengembangan kota baru yang berkelanjutan. Suatu kebijakan yang mengharmonisasikan tatanan ekonomi, tatanan ekologis/lingkungan, dan tatanan sosial. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjamin adanya keberlanjutan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia, tanpa mengurangi peluang generasi yang akan datang untuk menikmati kondisi yang lebih baik. Terwujudnya kota yang layak huni, dengan peningkatan aspek ekonomi yang tinggi dengan dampak

lingkungan yang rendah, dan kesejahteraan masyarakat kotanya meningkat. Selain itu model ini dapat digunakan sebagai pendekatan baru bagi pengembangan kota- kota baru untuk dapat berkelanjutan. Hal ini karena hingga sampai saat ini belum terdapat pendekatan yang benar-benar dapat mengantisipasi dampak proses-proses pembentukan kota baru (suburbanisasi dan urban sprawl) dan perkembangan kota baru.

Guna mencapai tujuan tersebut tentunya perlu dilakukan berbagai tahapan penelitian. Secara ringkas tahapan-tahapan yang telah dilakukan adalah menganalisis pola perilaku semua pembentuk sistem perkotaan, seperti komponen biogeofisik, sosial budaya, ekonomi, dan infrastruktur; menyusun KPI yang sesuai dengan kriteria-kriteria yang sudah ditentukan; dan menyusun model skenario kebijakan pengembangan Kota Tangerang Selatan yang berkelanjutan serta menyusun model konseptual kebijakan pengembangan kota baru yang berkelanjutan. Setiap tahapan yang dilakukan selalu tidak terlepas dari kajian referensi (studi pustaka) dan analisis dengan menggunakan SSM dan HSM.

Tahapan-tahapan tersebut saling terkait, terintegrasi, dan saling diperlukan. Tahapan pertama adalah melakukan analisis situasional sistem kota. Tahapan pertama ini diperlukan untuk dasar penyusunan KPI dan pemodelan kebijakan. Gambaran situasional menghasilkan fenomena-fenomena yang ada di kota ini. Potensi, peluang, permasalahan dan kendala pengembangan kota dibahas dalam tahapan ini. Hasil analisis pada tahapan ini sudah disampaikan di atas, antara lain potensi dan peluang pengembangan aspek ekonomi kota ini cukup tinggi dengan sektor andalannya adalah sektor tersier. Sektor ini peran swasta cukup tinggi karena telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan PDRB kota ini. Peran lain dari swasta adalah sebagian besar lahan yang ada (sekitar 80% dari luas wilayah) adalah milik pengembang. Hal ini memungkinkan terjadinya pembangunan ribuan ruko (rumah toko), rukan (rumah kantor) serta kawasan permukiman di kota ini. Alih fungsi lahan terjadi secara masif, dari lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun. Sektor primer tidak berkembang bahkan semakin melambat, karena semakin berkurangnya lahan dan sumber daya alam.

Perkembangan ekonomi yang cukup pesat ternyata diiringi dengan laju pertumbuhan penduduk yang semakin pesat pula. Laju pertumbuhan penduduknya sekitar 7,6% jauh diatas rata-rata nasional. Jumlah penduduknya saat ini sudah termasuk dalam kategori jumlah penduduk kota metropolitan. Namun perkembangan ekonomi tersebut tidak selalu diiringi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya masyarakat miskin di kota ini.

Dampak pengembangan kota yang intensif ini ternyata belum didukung dengan pengelolaan lingkungan hidup dan infrastruktur yang optimal dan memadai. Permasalahan kota mulai timbul seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Permasalahan-permasalahan fisik yang dihadapi oleh pemerintah maupun masyarakat Kota Tangerang Selatan adalah kemacetan, persampahan, banjir/genangan, pencemaran air, kurangnya RTH, infrastruktur yang tidak terintegrasi, dan sebagainya.

Tahapan selanjutnya adalah menilai dan mengevaluasi kinerja pengembangan Kota Tangerang Selatan hingga saat ini berdasarkan hasil analisis situasional yang sudah dilakukan. Untuk itu diperlukan suatu instrumen untuk mengukur status keberlanjutan pengembangan kota ini. Pelaksanaan evaluasi

memerlukan suatu instrumen untuk penilaian status berkelanjutan. Instrumen ini terdiri dari berbagai indikator (ekonomi, sosial, dan lingkungan) sebagai tolok ukur untuk penilaiannya. Indikator-indikator tersebut selanjutnya diwujudkan sebagai Key Performance Indicators (KPI) untuk pengembangan kota baru berkelanjutan. KPI ini dapat diartikan sebagai ukuran yang akan memberikan informasi sejauh mana tingkat suatu keberhasilan dalam mewujudkan pengembangan kota yang berkelanjutan.

Berdasarkan review terhadap beberapa indeks/indikator berkelanjutan yang diterapkan untuk menilai keberlanjutan kota, disimpulkan bahwa perlu untuk menyusun City Sustainability Index (CSI) baru. CSI yang baru ini diharapkan mampu digunakan untuk penilaian dan perbandingan kinerja keberlanjutan kota dan pemahaman dampak global kota (kontribusi ekonomi) terhadap lingkungan dan kehidupan manusia (Mori dan Christodoulou 2012). Saat ini belum terdapat indeks atau indikator yang komprehensif dan terintegrasi untuk penilaian status kota berkelanjutan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka penelitian ini telah menyusun KPI yang diharapkan sesuai dengan kriteria-kriteria yang sudah ditentukan, dan yang penting juga adalah sesuai dengan kondisi kota (lokal).

KPI yang berhasil disusun ini terdiri dari 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan (ekonomi, sosial, dan lingkungan), 9 (sembilan) elemen (pendapatan masyarakat dan daerah, iklim usaha, infrastruktur, penduduk dan kemiskinan, ketenagakerjaaan, taraf hidup, penggunaan lahan, sumber daya air, dan kualitas lingkungan), dan 21 (dua puluh satu) indikator (PDRB/kapita, PAD, laju investasi, pelayanan perijinan, kualitas jalan, aksesibilitas jalan, akses sarana dasar, laju pertumbuhan penduduk, jumlah kemiskinan, tingkat kesejangan pendapatan, tingkat kesempatan kerja, tingkat pengangguran terbuka, IPM, tingkat kriminalitas, tutupan lahan, RTH, kawasan lindung, keseimbangan air, kualitas air, persampahan, kualitas udara). KPI ini dilengkapi dengan Indeks Komposit Pengembangan Kota Baru Berkelanjutan (IKKB) yang merupakan hasil agregatisasi dari indikator-indikator yang ada di dalam KPI. Hasil evaluasi dengan menggunakan KPI ini yang telah disusun ini, maka status keberlanjutan Kota Tangerang Selatan dapat ditentukan dengan menggunakan data tahun 2012. Berdasarkan IIKB maka Kota Tangerang Selatan termasuk dalam tahapan kota awal berkelanjutan.

Hasil dari tahap pertama dan kedua sebagai masukan untuk penyusunan model kebijakan pengembangan Kota Tangerang Selatan yang berkelanjutan (tahapan ketiga). Model sistem dinamis disusun ini dengan memperhatikan pola perilaku komponen (variabel) sistem perkotaan. Skenario-skenario pengembangan kota yang berkelanjutan disusun dengan mempertimbangkan variabel-variabel yang ada di KPI. Intervensi terhadap parameter (variabel) selain mempertimbangkan kebijakan pemerintah kota, kecenderungan yang ada, dan isu- isu kota, juga mempertimbangkan indikator-indikator yang ada di KPI.

Ada 5 (lima) skenario untuk pengembangan model pengembangan Kota Tangerang Selatan yang terintegrasi dan komprehensif ini. Penyebutan skenario disesuaikan dengan intervensi yang dilakukan pada parameter-parameter tertentu. Kelima skenario tersebut adalah skenario BAU, kapital dan sosial, lingkungan, moderat, dan optimis. Pada masing-masing skenario dilakukan intervensi terhadap parameter-parameter model dan dianalisis secara dinamis. Intervensi dilakukan terhadap 7 (tujuh) parameter dari aspek pembangunan berkelanjutan, yaitu laju

pertumbuhan investasi, laju pertumbuhan ekonomi, laju pertambahan jalan, laju migrasi masuk, luasan RTH per kawasan permukiman dan komersial, dan tutupan lahan vegetasi, serta anggaran untuk LH dari pendapatan daerah.

Hasil simulasi dari masing-masing skenario menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam kecenderungan pengembangan ekonomi, sosial/kependudukan, dan isu-isu lingkungan yang tergambarkan dalam besaran PAD, PDRB/kapita, kemacetan (derajat kejenuhan jalan), dan banjir (total limpasan air permukaan), serta indeks komposit lingkungan hidup. Dengan menggunakan pendekatan MPE maka dapat ditentukan prioritas skenario terbaik diantara skenario-skenario yang ada. Skenario kebijakan tersebut adalah skenario optimis, walau dalam skenario ini angka-angka intervensi terhadap parameter-parameter yang ada relatif tidak terlalu besar dibandingkan dengan intervensi terhadap skenario yang lain. Hasil simulasi dari skenario optimis ini menunjukkan hasil-hasil yang baik dari masing- masing keluaran, terintegrasi, dan mengimbangkan antar parameter serta angka intervensi telah mempertimbangkan kondisi nyata di lapangan dan rencana kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah kota.

Pengembangan Kota Tangerang Selatan berdasarkan skenario BAU menunjukkan pengembangan kotanya akan tidak berkelanjutan, dimana peningkatan ekonomi dan pendapatan masyarakatnya melambat, sedangkan kualitas lingkungan tetap buruk. Untuk itu perlu dilakukan review terhadap kebijakan pengembangan kotanya, melalui berbagai intervensi terhadap beberapa aspek/indikator agar pengembangan Kota Tangerang Selatan ini dapat berkelanjutan.

Hal terpenting dalam penelitian ini menegaskan kembali bahwa dalam kebijakan pengembangan kota baru yang berkelanjutan harus melibatkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan secara terintegrasi. Pengembangan kota harus selalu mengharmonisasikan tatanan ekonomi, tatanan ekologis/lingkungan, dan tatanan sosial. Sistim ekonomi hanyalah merupakan salah satu dari totalitas tatanan yang ada, dengan demikian kepentingan ekonomi tidak lagi mendominasi, tetapi justru tergantung secara ekologis dan sosial. Adanya umpan balik di mana degradasi lingkungan akan mempengaruhi pengembangan ekonomi dan sosial dengan adanya batas nyata untuk pertumbuhan dan memburuknya taraf hidup. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan yang mengarahkan keseimbangan aspek- aspek pembangunan berkelanjutan dalam suatu pembangunan kota

Model konseptual kebijakan pengembangan kota baru yang berkelanjutan ini menitikberatkan pada keseimbangan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan dan peran serta yang seimbang antar aktor pembangunan kota. Model konseptual ini digunakan sebagai bahan masukan untuk pemerintah kota guna merancang kembali berbagai rencana kebijakan pengembangan kota dengan tujuan menjadi kota yang berkelanjutan. Model kebijakan terdiri dari 2 model, yaitu Model Manajemen dan Model Kelembagaan. Model dibangun berdasarkan arahan dari visi misi, analisis situasional, analisis KPI, dan simulasi model. Model manajemen menitikberatkan pada bagian-bagian kebijakan, sedangkan model kelembagaan lebih menitikberatkan pada aktor-aktor dan fungsinya di dalam sistem pengembangan kota berkelanjutan. Model manajemen merekomendasikan arahan kebijakan pengembangan kota baru yang berkelanjutan. Arah kebijakan merupakan salah satu implikasi kebijakan dengan menggunakan tolok ukur KPI. Model kelembagaan merekomendasikan adanya tim guna meningkatkan

efektivitas model manajemen. Model kelembagaan yang diusulkan adalah pembentukan suatu tim adhoc untuk membantu percepatan tercapainya pembangunan kota baru yang berkelanjutan. Tim ini disebut dengan Tim Percepatan Pembangunan Kota yang Berkelanjutan (TPPKB). Tim terdiri dari aktor-aktor pelaku pembangunan kota, yaitu : pemerintah kota itu sendiri, swasta/dunia usaha, lingkungan, dan para pakar/akademisi.

Program-program indikatif pembangunan kota berkelanjutan sebagai tindak lanjut kebijakan dan strategi pengembangan kota berkelanjutan, antara lain

penyiapan lahan dan infrastruktur, pelayanan perijinan yang dipermudah, peningkatan UMKM, peningkatan ketrampilan tenaga kerja, penambahan kapasitas jalan, pengintegrasian jalan lingkungan (kawasan permukiman) dengan jalan kota, peningkatan pengelolaan sampah, peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk menjaga lingkungan, peningkatan jumlah kawasan retensi air dan pengetatan ijin pemanfaatan air tanah, peningkatan luas RTH, kota hijau, dan peningkatan program padat karya serta pendampingan bagi masyarakat yang miskin. Tolok ukur pencapaian masing-masing progam menggunakan besaran indikator-indikator yang terdapat dalam KPI.

Model konseptual ini bersifat generik dan dapat dipergunakan untuk kota- kota baru yang mempunyai kemiripan dengan karakteristik Kota Tangerang Selatan. Terutama pada kota-kota baru yang terbentuk dari proses-proses suburbanisasi dan urban sprawl dari metropolitan atau megacities. Model konseptual ini membuka peluang untuk dikembangkan dan dimodifikasi untuk- untuk kota-kota baru yang mempunyai karakteristik berbeda dengan Kota Tangerang Selatan, misalnya kota-kota di kawasan pesisir atau pegunungan. Juga dapat dikembangkan berdasarkan kepadatan penduduknya.