• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Kota-kota baru di Indonesia terus mengalami pertumbuhan dan perkembangan karena adanya peningkatan jumlah penduduk dan kegiatan perekonomian serta dukungan posisi yang strategis. Terbentuknya kota baru dengan segala fasilitas dan infrastruktur yang relatif lebih baik dibandingkan daerah lain, mau tidak mau akan menarik minat penduduk untuk tinggal di kota baru tersebut. Hal tersebut pada akhirnya menimbulkan berbagai masalah akibat peningkatan jumlah penduduk dan kegiatan perekonomian di satu sisi, keterbatasan lahan dan sumber daya alam di sisi lainnya. Berbagai kebutuhan sarana dan prasarana untuk menunjang berbagai kegiatan perekonomian dan permukiman akan semakin meningkat, yang biasanya sering diiringi oleh munculnya efek-efek negatif seperti polusi, kemacetan, kemiskinan, kriminalitas, dan sebagainya. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan.

Sejauh ini belum ada suatu instrumen (indikator kinerja) yang komprehensif untuk menilai apakah perkembangan suatu kota baru tersebut sudah berkelanjutan atau belum. Rustiadi et al. (2011) mengemukakan bahwa secara umum indikator kinerja memiliki fungsi untuk (1) memperjelas tentang apa, berapa dan kapan suatu kegiatan pembangunan dilaksanakan, (2) menciptakan konsensus yang dibangun oleh berbagai pihak terkait untuk menghindari kesalahan interpretasi selama pelaksanaan pembangunan/ program/kegiatan dan menilai kinerjanya, dan (3) membangun dasar bagi pengukuran, analisis, dan evaluasi kinerja organisasi/unit kerja.

Indikator keberlanjutan mencerminkan kecenderungan perkembangan aspek lingkungan, sistem sosial, ekonomi, kesejahteraan manusia, dan kualitas hidup. Indikator digunakan untuk pengukuran yang bagi mereka anggap penting bagi orang-orang. Terdapat konsensus di antara akademisi, peneliti dan perencana kota bahwa indikator keberlanjutan tersebut digunakan sebagai alat untuk memantau, perbaikan dan untuk mengukur kemajuan dalam mencapai tujuan dan kebijakan pemerintah yang telah ditetapkan (Josza dan Brown 2005). Indikator harus disesuaikan dengan ruang lingkup dan skala, seperti skala global, nasional dan lokal. Karakteristik kota sangat bervariasi baik lingkungan fisik, tingkat sosial ekonomi dan fungsi utama, sehingga sistem indikator yang dikembangkan harus mencerminkan perbedaan-perbedaan tersebut (Weng dan Yang 2009)

Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah penyusunan suatu instrumen yang bersifat komprehensif untuk menilai dan mengevaluasi berkelanjutan pengembangan suatu kota baru. Instrumen ini terdiri dari beberapa indikator dari aspek-aspek yang terkandung dalam prinsip pembangunan berkelanjutan. Indikator-indikator ini nantinya digunakan untuk menganalisis dan mengevaluasi sejauh mana pembangunan atau pencapaian perkembangan suatu kota baru tersebut terkait dengan prinsip keberkelanjutan. Kinerja kota baru yang ada akan menggambarkan sampai sejauh mana tahapan berkelanjutan suatu kota baru ini.

Gambaran tentang trend (kecenderungan) yang berlangsung dan perspektif masa depan suatu kota baru dapat digunakan sebagai salah satu parameter dalam menskenariokan pengembangan kota baru yang berkelanjutan. Selain itu instrumen ini dapat juga dipergunakan untuk mengetahui standar-standar nilai yang harus dicapai oleh suatu kota baru untuk dapat mencapai tahapan pengembangan kota baru yang berkelanjutan.

Instrumen yang disusun berdasarkan indikator-indikator yang terkait dengan aspek-aspek pembangunan yang berkelanjutan ini diwujudkan sebagai Key

Performance Indicators (KPI) atau indikator kinerja utama (IKU) untuk

pengembangan kota baru berkelanjutan. KPI dapat diartikan sebagai ukuran yang akan memberikan informasi sejauh mana tingkat suatu keberhasilan dalam mewujudkan sasaran strategis yang telah ditetapkan yang dalam hal ini adalah kebijakan pembangunan yang berkelanjutan. KPI ini haruslah sesuai dengan tingkat permasalahan yang dihadapi dan kondisi lokal yang ada. Indikator- indikator tersebut minimal berhubungan dengan aspek-aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Aspek-aspek tersebut harus dibahas secara bersama-sama (kolektifitas) dan konektivitas, tidak boleh ada salah satu aspek yang ditinggalkan.

KPI ini disusun untuk menjadi suatu instrumen yang dapat digunakan secara luas dan bersifat komprehensif dalam berbagai level. KPI ini harus sesuai dengan kondisi wilayah yang ada, dapat dipahami oleh para pemangku kepentingan, dan pada akhirnya dapat digunakan untuk menentukan kebijakan yang harus dilakukan. Dengan demikian indikator yang terpilih nantinya merupakan sebagai input ke dalam proses penyusunan suatu kebijakan. Indikator tersebut dapat berupa gambaran kondisi yang ada, yang dapat berupa suatu kinerja dari indikator terkait. Hal yang terpenting adalah pengintegrasian di antara indikator-indikator yang sebelumnya berada di masing-masing kebijakan sektor-sektor, untuk dapat dianalisis secara komprehensif terkait dalam penyusunan kebijakan pembangunan berkelanjutan.

Pendekatan yang digunakan dalam menyusun indikator dan hubungannya dengan penilaian yang komprehensif ini adalah dengan menggunakan pendapat para pendapat ahli dan atau berkonsultasi dengan para pemangku kepentingan. Diharapkan dengan pendekatan yang digunakan ini dapat dihasilkan indikator- indikator dan penilaiannya yang terintegrasi yang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, yakni terwujudnya kemakmuran ekonomi, kesejahteraan sosial, dan perlindungan lingkungan.

Bab ini membahas tentang penyusunan instrumen yang terdiri dari indikator-indikator kunci ekonomi, sosial budaya dan lingkungan untuk menggambarkan kinerja suatu daerah yang ada. Tentunya indikator-indikator tersebut dilengkapi dengan standar atau kriteria terkait dengan prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Untuk menganalisis lebih lanjut, maka indikator-indikator tersebut dianalisis secara terintegrasi. Penilaian terintegrasi diperlukan tidak hanya untuk menilai kinerja yang ada saja, tetapi juga untuk memperkirakan tren masing-masing aspek (ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan), serta untuk menunjukkan perilaku sistem yang terintegrasi secara keseluruhan dan implikasinya untuk masa depan.

KPI dianggap kredibel dan relevan jika sesuai dengan kondisi lokal yang ada dan tingkat permasalahan yang dihadapi, serta mampu menggambarkan kinerja yang ada secara komprehensif. Penilaian dengan menggunakan indikator-

indikator yang ada secara komprehensif dan terintegrasi (indeks komposit), maka dapat menggambarkan status kota baru terkait dengan tingkat pengembangan berkelanjutannya. Indeks komposit kota baru berkelanjutan (IKKB) merupakan pengintegrasian indikator-indikator yang terpilih dalam KPI. Diharapkan instrumen ini dapat digunakan untuk menilai dan membandingkan kinerja keberlanjutan kota dan untuk memberikan arahan atau masukan bagi stakeholder

supaya terciptanya pengembangan kota baru berkelanjutan.

Metode Penyusunan KPI

Metodologi yang digunakan dalam menyusun instrumen melalui review

berbagai referensi terkait dengan indikator-indikator perkotaan (kota baru), pembangunan, lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan. Guna mempertajam penyusunan KPI ini maka dilakukan observasi lapangan, konsultasi dengan para pakar di bidangnya, dan para praktisi baik dari pemerintah daerah maupun swasta. Tingkat kontribusi masing-masing pilar (ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan) terhadap terciptanya pembangunan kota baru yang berkelanjutnya pada dasarnya harus seimbang. Namun untuk tingkat kontribusi setiap elemen atau indikator di dalam pilar masing-masing dimungkinkan dapat berbeda-beda. Dengan demikian salah satu tahapan penting sebelum sebuah indikator ini dapat digunakan dalam mengukur kinerja pembangunan kota baru yang berkelanjutan adalah menentukan bobot masing-masing elemen atau indikator tersebut. Hal ini dilakukan sebelum pengintegrasian masing-masing indikator ke dalam suatu instrumen, dalam hal ini adalah KPI. Pembobotan elemen-elemen dengan menggunakan pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP).

AHP merupakan upaya penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, tetapi strategik, dan dinamis menjadi bagian-bagian serta menatanya dalam suatu hierarki. Dalam penelitian metode AHP digunakan sebagai pendekatan untuk menyusun KPI pengembangan kota baru yang berkelanjutan. Acuan penyusunan KPI ini berasal dari berbagai indikator maupun indeks yang sudah ada. Fokus utama dalam tahapan ini adalah menyusun indikator dan composite indikator. Dalam metode ini, composite alternatif- alternatif inilah yang nantinya disusun.

Prinsip kerja Proses Hierarki Analitik adalah sebagai berikut: 1. Penyusunan Hierarki

Permasalahan yang akan diselesaikan, diuraikan menjadi unsur-unsurnya, yaitu kriteria dan alternatif, yang kemudian disusun menjadi struktur hierarki. 2. Penilaian Kriteria dan Alternatif melalui perbandingan berpasangan (pairwise

comparisons) dengan skala 1 sampai 9. Menurut Saaty (1991) untuk berbagai

persoalan skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat (lihat Tabel 3).

3. Penentuan Prioritas

Perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) dilakukan terhadap setiap kriteria dan alternatif. Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif.

4. Konsistensi Logis (Marimin 2008)

Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis.

Tabel 3 Skala perbandingan Saaty

Nilai Keterangan 1 Kriteria/Alternatif A sama penting dengan kriteria/alternatif B 3 A sedikit lebih penting dari B

5 A jelas lebih penting dari B 7 A sangat jelas lebih penting dari B 9 Mutlak lebih penting dari B

2,4,6,8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan Sumber: Saaty (1991)

Fokus AHP dalam penelitian ini adalah pencapaian tujuan yang akan menghasilkan keputusan yang rasional. Keputusan yang rasional didefinisikan sebagai keputusan terbaik dari berbagai tujuan yang ingin dicapai oleh pembuat keputusan. Kunci utama keputusan yang rasional tersebut adalah tujuan, bukan alternatif maupun kriteria. Tahapan Teknik AHP secara umum disajikan pada Gambar 7. Perhitungan matriks yang rumit dengan banyaknya indikator, maka diperlukan suatu perangkat lunak program komputer khusus mengenai AHP. Dalam penelitian ini digunakan Expert Choice (EC) 2000, dimana EC ini merupakan perangkat lunak sistem pendukung keputusan yang didasarkan atas metodologi pengambilan keputusan yakni AHP.

Untuk kriteria pada masing-masing elemen atau komponen ditentukan berdasarkan analisis terhadap berbagai indikator yang sudah ada dan analisis secara statistik. Untuk berbagai indikator maupun indeks yang terkait dengan pembangunan perkotaan, lingkungan, infrastruktur, ekonomi, dan pembangunan berkelanjutan direview dan dianalisis, untuk mencari elemen atau komponen yang tepat dan utama di dalam masing-masing indikator (ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan). Penilaian status pengembangan kota baru yang berkelanjutan nanti diukur dengan menggunakan indeks komposit kota baru yang berkelanjutan (IKKB) yang merupakan hasil pengintegrasian skor dan bobot dari masing- masing indikator dan pilar pembangunan berkelanjutan.

Hasil dan Pembahasan

KPI ini digunakan sebagai instrumen para stakeholder untuk mengkaji dan menilai kinerja berkelanjutan pengembangan kota baru. KPI ini terdiri dari beberapa indikator-indikator dari aspek-aspek pembangunan berkelanjutan (ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan) yang tidak hanya dibahas per masing- masing indikator, namun juga secara terintegrasi. Pemilihan indikator yang tepat bukan merupakan hal yang mudah. Indikator kunci harus terkait dengan tujuan/target/sasaran kebijakan pada saat sekarang dan masa mendatang. terkait dengan pembangunan yang berkelanjutan. Indikator kinerja yang ada pada saat pengukuran ini akan digunakan sebagai masukan dalam merancang kebijakan berbasis pembangunan kota yang berkelanjutan. KPI ini juga dapat berfungsi sebagai tolok ukur untuk memantau tingkat berkelanjutan kota baru secara teratur. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam proses penyusunan KPI ini dijelaskan pada bahasan berikut.

Pemilihan indikator

Penyusunan indikator dilakukan dengan cara melakukan review terhadap berbagai indikator atau indeks yang selama ini digunakan. Saat ini cukup banyak indikator pembangunan berkelanjutan yang disusun berdasarkan sudut kepentingan masing-masing terutama indikator yang terkait dengan kualitas lingkungan hidup dan pengembangan perkotaan. Beberapa indikator atau indeks yang ada antara lain:

1. City Development Index (CDI) disusun oleh United Nation-Habitat (UN-

Habitat 2001)

2. Indicators of Sustainable Development disusun oleh United Nation-

Commision Sustainable Development (CSD) (UN-CSD 2007),

3. Indikator Pembangunan Berkelanjutan Kota Semarang (Semarang’s

Sustainable Development Indicators –SSDIs) disusun oleh Setiadi et al. 2008,

4. Indicators of Urban Sustainable Development (Studi kasus Kota Jining,

China), disusun oleh Li et al. 2009,

5. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) disusun oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup [KNLH 2011]

6. Indicator for Sustainable Development of Small City disusun oleh Visvaldisa

et al. 2013,

7. Indikator Pembangunan Berkelanjutan Indonesia 2013 disusun oleh Badan Pusat Statistik [BPS 2013]

8. Indicators for System Sustainable Assessment in Yangzhou Ecocity

Development disusun oleh The China Sustainable Development Database

[CSD 2012].

Penjelasan dari masing-masing referensi ini disajikan dalam Lampiran 1.

Penentuan kriteria indikator terpilih

Indikator dapat dimanfaatkan untuk memprediksi pada fokus-fokus yang menjadi perhatian. Indikator juga dapat digunakan untuk membantu penilaian dan penetapan tujuan maupun sebagai tolok ukur tentang perkembangan pembangunan perkotaan baik kebijakan maupun pembangunan fisik. Melihat begitu pentingnya suatu indikator, maka pemilihan dan penentuan suatu indikator untuk tujuan tertentu harus benar-benar tepat. Untuk itu diperlukan beberapa kriteria untuk penentuan suatu indikator yang akan digunakan.

Berdasarkan beberapa referensi indikator yang ada, maka berbagai indikator telah banyak digunakan dalam penilaian pengembangan perkotaan dan kualitas lingkungan. Namun secara spesifik indikator untuk penilaian pengembangan kota baru belum ada. Sesuai dengan salah satu tujuan penelitian ini, maka perlu dilakukan penentuan indikator-indikator untuk menilai sejauh mana pengembangan kota baru yang berkelanjutan. Tentunya tidak semua indikator yang terdapat pada referensi dapat dijadikan sebagai indikator kunci. Untuk itu diperlukan suatu kriteria untuk menentukan mana saja indikator yang dapat dijadikan sebagai indikator pengembangan kota baru yang berkelanjutan.

Penentuan indikator-indikator kunci memerlukan kriteria-kriteria tertentu baik yang bersifat umum atau khusus yang terkait dengan tujuan penelitian.

Andersen (1991) di dalam disertasi Jurleit (2013) menyebutkan terdapat 7 (tujuh) kriteria untuk menyeleksi indikator yang tepat. Kriteria-kriteria tersebut adalah: 1. mudah tersedia (ease of availability)

Indikator itu sendiri, atau informasi dari yang dihitung, harus sudah tersedia, atau dapat dibuat tersedia dengan mudah dan murah

2. mudah dipahami (ease of understanding) Indikator harus relatif mudah untuk dipahami 3. terukur (measurability)

‐ Untuk menjadi relevan, indikator harus terkait dengan entitas yang terukur daripada hanya konsep

‐ Tersedia atau disediakan dengan biaya yang wajar / biaya manfaat

‐ Terdokumentasikan dan kualitas diketahui

‐ Diperbarui secara berkala sesuai dengan prosedur yang dapat diandalkan 4. penting dan berarti (significance)

Indikator yang akan diukur harus diyakini penting, atau harus mencerminkan atau mewakili sesuatu yang signifikan

5. cepat tersedia saat diperlukan (speed of availability)

Penundaan antara elemen yang akan diukur dan ketersediaan datanya harus sedikit

6. menunjukkan pola luasnya pengaruh (pattern of incidence)

Indikator harus dapat memanfaatkan informasi spasial dan sosial sehingga gambaran kejadian akan lebih baik dibandingkan dengan hanya berupa agregat

7. dapat diperbandingkan (comparability)

Secara ideal, perbandingan level internasional dapat dilakukan dengan penggunaan indikator yang tepat. Namun indikator yang terpilih tidak boleh untuk menyederhanakan perbandingan internasional yang dengan mengorbankan tujuan lainnya.

Jurleit (2013) juga menambahkan 2 (dua) kriteria lagi yang bersumber dari OECD (1993), yaitu:

1. Keterkaitan antara kebijakan dan utilitas untuk pengguna

‐ Indikator harus dapat memberikan gambaran yang mewakili kondisi lingkungan, tekanan pada lingkungan atau tanggapan masyarakat

‐ Sederhana, mudah untuk diinterpretasikan dan dapat menunjukkan tren dari waktu ke waktu

‐ Responsif terhadap perubahan lingkungan dan kaitannya dengan aktivitas manusia.

2. Analisis kekuatan

‐ Indikator secara teoritis harus ditemukan dalam istilah-istilah teknis dan ilmiah

‐ Didasarkan pada standar internasional dan konsensus

‐ Dapat dipergunakan dengan baik dalam model ekonomi, peramalan dan sistem informasi.

Dinyatakan bahwa kriteria-kriteria tersebut menjelaskan penetapan indikator yang ideal, namun begitu tidak semua dari kriteria tersebut dapat dijumpai dalam praktek.

Warren (1997) mengemukakan bahwa dalam penentuan indikator pembangunan yang tepat adalah harus memperhatikan 10 (sepuluh) kriteria yaitu: indikator harus mencerminkan kelestarian lingkungan, sosial, dan ekonomi secara mendasar dan jangka panjang dari masyarakat selama beberapa generasi; sederhana; terukur; sensitif terhadap perubahan antar ruang atau dalam kelompok- kelompok dan waktu; prediksi dan relatif mudah dalam pengumpulan dan penggunaannya; mempunyai nilai ambang batas; dapat mengungkapkan apakah perubahannya dapat dipulihkan (reversible) dan dapat dikontrol. Metodologi yang digunakan untuk pengembangan suatu indikator harus dapat didefinisikan secara jelas, dijabarkan secara akurat, dan diterima secara sosial maupun secara ilmiah, serta mudah diproduksi ulang (Weng dan Yang 2009).

Sebuah sistem indikator pembangunan perkotaan yang berkelanjutan harus meliputi kondisi, proses, dan kekuatan kemajuan kota dan harus mampu menggambarkan status terkini dari ekonomi dan lingkungan perkotaan dan pembangunan ekologi dan sosial. Desain indikator tersebut harus sesuai dengan prinsip-prinsip utama seperti berikut ini:

1. Menunjukkan fakta: Sistem indikator harus meliputi aspek-aspek sosial, ekonomi, ekologi, lingkungan, dan kelembagaan dari suatu kota, dengan sesuai fokus yang menjadi perhatian.

2. Objektif: Sistem indikator harus obyektif dalam mencerminkan konsensus ilmiah tentang pembangunan berkelanjutan, dan khususnya mengenai pemerataan sosial dan kebutuhan anak-anak.

3. Independen: Makna indikator harus independen guna menghindari tumpang tindih dan autokorelasi.

4. Terukur: Indikator harus dapat diukur, dapat dikuantitatifkan dan bahkan menguantitatifkan indikator kualitatif dengan menggunakan teknik kuantifikasi yang tepat.

5. Aksesibilitas: Tingkat kesulitan dalam pengumpulan dan pengukuran data dan indikator harus rendah untuk memungkinkan penggunaan indikator. 6. Dinamik: Indikator harus sensitif terhadap perubahan waktu, spasial, atau

struktural dalam sistem guna mencerminkan perubahan dari pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan.

7. Keseimbangan relatif: Indikator harus lebih berorientasi proses jangka panjang daripada jangka pendek. Namun demikian tidak terdapat indikator yang menunjukkan ketetapan mutlak, karena secara keseluruhan sistem indikator harus mampu merespon perubahan dari waktu ke waktu

(Button 2002; Wang dan Xu 2005; Repetti dan Desthieux 2006) dalam Li et al. 2009.

Rustiadi et al. (2011) mengemukakan bahwa terdapat beberapa pertimbangan dalam penentuan indikator pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan. Pertimbangan-pertimbangan tersebut adalah:

1. Kesederhanaan : indikator akhir harus sederhana

2. Skop : indikator harus meliputi seluruh aktivitas manusia yang terkait dengan ekonomi dan lingkungan, dan overlap antar masing-masing indikator harus seminimal mungkin

3. Kuantifikasi : elemennya harus dapat diukur

4. Pengukuran : elemen harus dapat dipantau untuk menunjukkan kecenderungan

5. Sensitivitas : indikator yang terpilih cukup sensirif terhadap perubahan penting dalam karakateristik lingkungan

6. Batas waktu : frekuensi dan lingkup elemen harus dapat menunjukkan identifikasi waktu dari kecenderungan yang ada.

Berdasarkan referensi maka dapat diidentifikasi beberapa prinsip-prinsip penting dalam penentuan indikator yang relevan dengan penelitian ini, yaitu: 1. spesifik sehingga dapat secara jelas untuk mengidentifikasi hasil;

2. terukur sehingga sifatnya menjadi kuantitatif; 3. praktis sehingga dapat mudah digunakan;

4. dinamis sehingga mampu menggambarkan perubahan dari waktu ke waktu; 5. tersedia sehingga pengumpulan data yang diperlukan dapat dilakukan;

6. transparan dalam metodologi dan seleksi dengan didasarkan pada standar ilmiah;

7. indikator harus mencakup aspek-aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan suatu kota yang sesuai dengan aspek pembangunan kota baru yang berkelanjutan. Indikator tersebut harus dapat menunjukkan fakta, berorientasi jangka panjang, dan independen.

Modifikasi Indeks

Sesuai dengan salah satu tujuan penelitian, yaitu perumusan KPI yang sesuai sebagai tolok ukur untuk menilai suatu pengembangan kota baru yang berkelanjutan, maka indikator yang disusun harus terkait dengan tujuan tersebut. Aspek-aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan harus berkait dengan aspek-aspek pengembangan perkotaan, khususnya kota baru. Beberapa referensi sudah menunjukkan banyak indikator yang terkait dengan pembangunan berkelanjutan. Namun tentunya tidak semua indikator terkait dengan tujuan. Untuk itu indikator yang akan dipergunakan harus dibatasi dan difokuskan pada indikator-indikator dengan tujuan yang jelas, relevan, terukur, dan dapat diimplementasikan dalam mengidentifikasi fakta, kebijakan, dan prioritas serta kecenderungan atau trend pembangunan kota baru yang berkelanjutan.

Pemilihan dan penentuan indikator kinerja pembangunan utama, selain mendasarkan pada kriteria-kriteria yang sudah dibahas sebelumnya, juga mempertimbangkan beberapa hal seperti berikut ini:

1. Indikator yang terpilih dapat menggambarkan yang menjadi tujuan dari perumusan KPI ini,

2. Indikator yang terpilih dapat menggambarkan kinerja dan dinamika pembangunan kota baru,

3. Indikator yang terpilih dapat diukur dan tersedia dengan data yang bersifat

time series (untuk dapat menggambarkan perubahan dari waktu ke waktu)

dan dapat diperbarui,

4. Indikator yang terpilih mudah dipahami oleh para stakeholder.

5. Penyusunan indikator-indikator yang akan dipergunakan untuk perumusan KPI didasarkan pada kriteria-kriteria yang sudah ada, kondisi lapangan yang ada, dan masukan dari para pakar. Indikator-indikator diambil dan diolah dari referensi-referensi indikator yang sudah ada.

Berdasarkan hasil penelaahan menggunakan kriteria-kriteria yang sudah ditentukan, fakta-fakta di lapangan, dan masukan dari pakar, maka dapat ditentukan indikator-indikator yang terkait dengan tujuan perumusan KPI ini. Seperti diketahui bahwa jumlah indikator-indikator harus dibatasi, dimana yang terpilih adalah indikator-indikator yang benar-benar terkait dengan penilaian kinerja pengembangan kota yang berkelanjutan yang terdiri dari aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Tabel 4 menunjukkan deskripsi dari masing-masing indikator yang terpilih sebagai KPI pengembangan kota baru yang berkelanjutan. Klasifikasi masing-masing indikator dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 4 Deskripsi Key Performance Indicators (KPI) pengembangan kota baru yang berkelanjutan

Pilar Indikator Deskripsi

A. Ekonomi

Elemen A.1. Pendapatan

masyarakat dan daerah

1. PDRB/Kapita Indikator ini adalah gambaran rata-rata pendapatan yang dihasilkan oleh setiap penduduk selama satu tahun di suatu wilayah. Indikator ini dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat secara makro.

Sumber data : BPS Kota, Bappeda

2. Kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam total pendapatan daerah

Indikator ini dinyatakan dengan Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF). Indikator ini merupakan tolok ukur kemandirian keuangan daerah dalam pembiayaan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah serta seberapa besar ketergantungan daerah terhadap pusat. DDF ini membandingkan antara PAD dan Total Pendapatan Daerah, dimana semakin besar DDF, semakin mandiri daerah tsb.

Sumber data : Bappeda, Sekda (dokumen APBD)

A.2. Iklim Usaha

3. Laju Nilai

investasi Indikator ini dinyatakan dengan Laju Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB). Indikator ini menjelaskan besarnya investasi fisik yang sudah direalisasikan pada suatu waktu tertentu. Dalam beberapa hal peningkatan