• Tidak ada hasil yang ditemukan

Simpulan

Perkembangan metropolitan dan megacities akan terus berlangsung, sehingga dampak-dampak dari perkembangan ini seperti fenomena suburbanisasi

dan urban sprawl selalu mengiringi. Dampak dari fenomena ini tidak selamanya

positif bagi semua aspek perkotaan, tetapi juga negatif bahkan dapat mengancam pembangunan perkotaan menjadi tidak berkelanjutan. Untuk itu diperlukan suatu model kebijakan dengan pendekatan baru (pembangunan berkelanjutan dan kesisteman) untuk dapat mengantisipasi hal-hal tersebut. Hal ini dikarenakan bahwa proses perencanaan perkotaan yang selama ini ada tidak/belum dapat mengantisipasi sprawl tersebut secara efektif. Pengintegrasian pertimbangan lingkungan dan sosial ke dalam penyusunan kebijakan dan perencanaan yang setara dengan pertimbangan ekonomi menjadikan penyusunan rencana program dan rencana aksi akan lebih sesuai dengan perspektif pembangunan berkelanjutan.

Kota Tangerang Selatan merupakan salah satu kota yang terbentuk dari dampak perkembangan metropolitan Jakarta. Terbentuknya kota ini dari dampak suburbanisasi dan urban sprawl dari Kota Jakarta. Kota-kota baru (new towns) BSD, Bintaro Jaya, dan Alam Sutera merupakan kawasan yang direncanakan untuk mengurangi ledakan penduduk Jakarta sebelum tahun 1980-an. Sedangkan Ciputat, Pamulang, dan Pondok Aren yang berada di pinggiran Jakarta merupakan pusat-pusat pertumbuhan baru yang terbentuk akibat urban sprawl (mikro). Selanjutnya kota-kota baru dan pusat-pusat pertumbuhan baru ini menjadi pilar terbentuknya Kota Baru Tangerang Selatan (tahun 2008).

Pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang Selatan ini cukup pesat dengan laju investasi setiap tahunnya selalu meningkat. Peran swasta berkontribusi besar terhadap peningkatan PDRB (sektor tersier lebih dominan). Pertumbuhan ekonomi yang diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk, namun belum/tidak diimbangi dengan antisipasi terhadap dampak negatif bagi lingkungan dan sosial. Pada akhirnya banyak permasalahan perkotaan yang muncul, seperti persampahan, limbah, kemacetan, kemiskinan, kurangnya RTH, dan sebagainya. Kota merupakan suatu sistem, sehingga umpan balik akan selalu ada. Dengan demikian jika salah satu aspek tidak diperhatikan atau ditinggalkan, maka pembangunan yang berkelanjutan akan sulit dicapai.

Key Performance Indicators atau KPI pengembangan kota baru yang

berkelanjutan merupakan suatu instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi dan menilai status pengembangan suatu kota baru (tahapan berkelanjutan). Agregat dari indikator-indikator dalam KPI disebut dengan Indeks Komposit Pengembangan Kota Baru Berkelanjutan (IKKB). Hasil pengukuran status Kota Tangerang Selatan menunjukkan bahwa kota ini termasuk tahap awal pembangunan berkelanjutan. Kontribusi masing-masing pilar pembangunan berkelanjutan mulai menunjukkan adanya keseimbangan. Namun diketahui bahwa pilar lingkungan sangat rentan mengalami degradasi. Faktor penyebabnya diantaranya adalah lahan terbangun semakin meluas dan pengelolaan persampahan belum optimal.

Pemodelan kebijakan pengembangan kota baru yang berkelanjutan dibangun dengan pendekatan sistem dinamis dengan mempertimbangkan aspek- aspek pembangunan berkelanjutan. Simulasi model ini menggunakan lima skenario yaitu skenario Business as usual atau BAU, kapital dan sosial, lingkungan, moderat, dan optimis. Hasil simulasi menunjukkan Kota Tangerang Selatan merupakan kota yang belum berkelanjutan (Skenario BAU). Hasil analisis menunjukkan skenario optimis merupakan prioritas skenario yang terbaik untuk menjadi model kebijakan pengembangan Kota Tangerang Selatan yang berkelanjutan. Intervensi skenario optimis ini mempertimbangkan keseimbangan aspek pembangunan berkelanjutan dan kondisi lapangan. Pada skenario ini diperlukan pencapaian besaran-besaran variabel seperti laju investasi (10%), laju pertumbuhan ekonomi (10%), lahan bervegetasi (30%) dan penganggaran pengelolaan lingkungan hidup dari pendapatan daerah (50%).

Model konseptual kebijakan pengembangan kota baru yang berkelanjutan merupakan suatu model umum yang bersifat generik. Model konseptual kebijakan ini terdiri dari 2 (dua) model yang saling terkait, yaitu Model Manajemen dan Model Kelembagaan. Model umum ini dibangun berdasarkan arahan dari visi misi, analisis situasional, analisis KPI, dan simulasi model skenario. Model manajemen menitikberatkan pada bagian-bagian kebijakan, sedangkan model kelembagaan lebih menitikberatkan pada aktor-aktor dan fungsinya di dalam sistem pengembangan kota berkelanjutan. Model manajemen merekomendasikan arahan kebijakan perencanaan, pelaksanaan pembangunan dan pengendalian pengembangan kota baru yang berkelanjutan. Model kelembagaan merekomendasikan pembentukan suatu tim adhoc untuk membantu percepatan tercapainya pembangunan kota baru yang berkelanjutan, yaitu Tim Percepatan Pembangunan Kota Baru yang Berkelanjutan (TPPKB). Tim ini terdiri dari aktor- aktor pelaku pembangunan kota, yaitu pemerintah kota, swasta/dunia usaha, lingkungan, dan para pakar/akademisi. Para aktor sesuai dengan kewenangannya dapat menginisiasi program. Model ini bersifat generik dan dapat digunakan untuk pengembangan kota-kota baru yang memiliki karakteristik yang sama/hampir sama dengan Kota Tangerang Selatan, terutama kota-kota baru yang terbentuk dari dampak perkembangan kota metropolitan/megacities.

Saran

1. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

‐ Penelitian ini memberikan peluang bagi pengembangan model yang lebih lengkap dan komprehensif. Model konseptual ini bersifat generik, sehingga jika akan digunakan untuk kota baru lainnya yang tidak sama karakteristiknya dengan Kota Tangerang Selatan maka diperlukan beberapa modifikasi sesuai dengan kondisi daerahnya. Dengan demikian perlu dikembangkan model pengembangan kota baru yang berkelanjutan sesuai dengan tipologi kotanya, misalnya berdasarkan topografi (daerah pesisir- pegunungan), jumlah kepadatan penduduknya (padat-jarang), dan sebagainya. Variabel-variabel masih dapat diperluas, misalnya pelayanan kesehatan, wisata, kemacetan, pengaruh politik dan kelembagaan, dan sebagainya. Model akan dapat lebih komprehensif dan lebih mendekati

sistem perkotaan yang nyata jika semua indikator yang terdapat pada KPI dipergunakan. Batas model perlu diperluas dan dikembangkan lagi sehingga model lebih bersifat holistik.

‐ Instrumen KPI dan IKKB perlu diujicobakan ke kota-kota baru, yang berdekatan dengan Metropolitan Bandung, Surabaya, Medan dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar instrumen ini lebih teruji dan tervalidasi sehingga dapat dipergunakan oleh instansi yang terkait untuk pengukuran dan evaluasi kota-kota baru lainnya dengan lebih tepat.

2. Pengembangan Kota Tangerang Selatan

‐ Pemerintah Kota Tangerang Selatan perlu menerapkan model kebijakan pengembangan kota yang berkelanjutan ini. TPPKB perlu dibentuk untuk mempercepat terwujudnya kota ini yang berkelanjutan. Hal ini didasari oleh perkembangan metropolitan dan megacities akan terus berlangsung, sedangkan kondisi Kota Tangerang Selatan pada saat ini baru tahap awal pengembangan kota yang berkelanjutan. Aspek lingkungan sangat rentan menjadi faktor ketidakberkelanjutan pengembangan kota ini. Perencanaan pembangunan perkotaan seperti RPJMD dan RTRW kota ini perlu dikaji kembali dengan memasukkan muatan pembangunan berkelanjutan. Keseimbangan ekonomi, sosial dan lingkungan merupakan faktor-faktor penting dalam pengembangan kota, selain peran serta para pelaku pembangunan. Keberadaan pusat penelitian ilmu pengetahuan dan teknologi di kota ini perlu dilibatkan lebih lanjut dalam pengembangan perkotaan.

‐ Program prioritas untuk pengembangan Kota Tangerang Selatan berdasarkan model kebijakan yang dibangun, antara lain peningkatan dari kondisi pada saat ini yang ada: untuk laju investasi sebesar 4% lagi; laju pertumbuhan ekonomi 1.8%; lahan bervegetasi diperluas lagi sekitar 12%; dan peningkatan anggaran pengelolaan lingkungan hidup dari pendapatan daerah sebesar 20% dari yang sudah dialokasikan selama ini. Guna mencapai peningkatan pengembangan kota, maka program-program prioritasnya, antara lain pelayanan perijinan yang dipermudah, penyiapan lahan dan peningkatan infrastruktur (kapasitas dan integrasi), menjadikan kota hijau, meningkatkan RTH, peningkatan TPA dan kesadaran serta partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan.