• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rancang Bangun Model Kebijakan Pengembangan Kota Baru Yang Berkelanjutan (Studi Kasus Kota Tangerang Selatan, Banten)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Rancang Bangun Model Kebijakan Pengembangan Kota Baru Yang Berkelanjutan (Studi Kasus Kota Tangerang Selatan, Banten)"

Copied!
220
0
0

Teks penuh

(1)

RANCANG BANGUN MODEL KEBIJAKAN

PENGEMBANGAN KOTA BARU YANG BERKELANJUTAN

(STUDI KASUS: KOTA TANGERANG SELATAN, BANTEN)

HERI APRIYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Rancang Bangun Model Kebijakan Pengembangan Kota Baru yang Berkelanjutan (Studi Kasus: Kota Tangerang Selatan, Banten) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Heri Apriyanto

(4)
(5)

RINGKASAN

HERI APRIYANTO. Rancang Bangun Model Kebijakan Pengembangan Kota Baru yang Berkelanjutan (Studi Kasus: Kota Tangerang Selatan, Banten) Dibimbing oleh ERIYATNO, ERNAN RUSTIADI dan IKHWANUDDIN MAWARDI.

Metropolitan Jakarta merupakan salah satu wilayah yang perkembangannya pesat. Selama tiga dekade terakhir telah terjadi perkembangan yang cepat yang didukung oleh peran sektor swasta yang mampu mengkonversi ratusan ribu hektar lahan-lahan di pinggiran Kota Jakarta menjadi kota-kota baru. Fenomena ini didorong kondisi Jakarta yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang luar biasa dan jumlah penduduknya yang padat. Hal ini berdampak pada meningkatnya permintaan lahan untuk pembangunan permukiman dan kegiatan lain. Padahal ketersediaan ruang di dalam kota adalah tetap dan terbatas. Akibatnya terjadi suburbanisasi di daerah pinggiran. Suburbanisasi ini mengakibatkan terjadinya urban sprawl, dimana kawasan perkotaan secara fisik meluas secara acak dan semakin tidak terkendali.

Permasalahan-permasalahan yang timbul dari fenomena suburbanisasi dan proses urban sprawl antara lain terjadinya tekanan terhadap daya dukung lahan, kemacetan, banjir, polusi, krisis infrastruktur, RTH minim, kesenjangan sosial, dan sebagainya. Permasalahan ini disebabkan oleh kelemahan dari penerapan produk perencanaan atau juga karena proses perencanaan perkotaan yang ada tidak dapat mengantisipasi sprawl tersebut secara efektif. Padahal konsepsi pembangunan kota baru ini untuk menciptakan alternatif pusat-pusat pertumbuhan baru bagi wilayah sekitarnya,sekaligus mengurangi beban kota besar.

Permasalahan-permasalahan yang terjadi pada kota baru harus segera ditangani karena dapat menjadikan pengembangan kota menjadi tidak berkelanjutan. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan baru, pendekatan yang menggunakan prinsip pembangunan berkelanjutan dan kesisteman (kota sebagai sebuah sistem). Penelitian ini bertujuan menyusun model konseptual kebijakan pengembangan kota baru yang berkelanjutan. Model yang mengharmonisasikan tatanan ekonomi, ekologis, dan sosial untuk mewujudkan kota baru yang berkelanjutan. Keberhasilan suatu kota tidak hanya tergantung pada pemerintah kota saja, namun juga oleh peran serta masyarakat, swasta, dan akademisi/pakar.

Tahapan-tahapan penyusunan model konseptual kebijakan pengembangan kota baru yang berkelanjutan ini dilakukan melalui analisis situasional, evaluasi dan penilaian status pengembangan kota baru berkelanjutan, dan melakukan pemodelan skenario kebijakan pengembangan kota baru yang berkelanjutan. Model kebijakan ini bersifat generik yang dapat dipergunakan untuk kota-kota baru yang terbentuk dari dampak perkembangan kota metropolitan di Indonesia.

(6)

Guna mengetahui kondisi dan memprediksi kecenderungan perkembangan kota baru ke depan diperlukan suatu model skenario kebijakan pengembangan kota baru. Model skenario ini dibangun dengan pendekatan sistem (dinamis). Model ini mempertimbangkan keseimbangan antar aspek pembangunan berkelanjutan. Lima skenario kebijakan yang disimulaasikan, yaitu skenario Business as usual (BAU), kapital dan sosial, lingkungan, moderat, dan optimis. Masing-masing skenario dilakukan intervensi/dicobakan terhadap 7 variabel, yaitu laju pertumbuhan investasi, laju pertumbuhan ekonomi, laju pertambahan jalan, laju migrasi masuk, luasan RTH, dan tutupan lahan vegetasi, serta anggaran untuk lingkungan hidup dari PAD.

Implementasi model kebijakan ini terhadap pengembangan Kota Tangerang Selatan. Kota ini terbentuk dari aglomerasi kota-kota baru (BSD, Bintaro Jaya, dan Alam Sutera) dan pusat-pusat pertumbuhan baru (Ciputat-Pamulang-Pondok Aren). Kota-kota baru dan pusat-pusat pertumbuhan baru ini merupakan dampak dari perkembangan Metropolitan Jakarta. Perkembangan aspek ekonomi Kota Tangerang Selatan sangat pesat, namun kurang diimbangi oleh pengembangan aspek lingkungan dan sosial budaya. Fenomena urban sprawl terus terjadi sehingga menambah beban permasalahan bagi Kota Tangerang Selatan.

Hasil evaluasi dan penilaian status pengembangan kota dengan menggunakan instrumen KPI menunjukkan bahwa Kota Tangerang Selatan termasuk dalam tahap awal pembangunan berkelanjutan. Secara umum perkembangan ekonomi dan sosial relatif cukup baik, namun tidak demikian dengan kondisi lingkungannya. Sebagai contoh peningkatan pembangunan permukiman dan kawasan komersial semakin mengurangi kawasan resapan air, meningkatkan polusi, meningkatkan kemacetan, dan sebagainya.

Hasil simulasi model skenario menunjukkan perbedaan signifikan pada kecenderungan pengembangan ekonomi, kependudukan, dan isu-isu lingkungan yang tergambarkan dalam besaran PAD, PDRB/kapita, kemacetan dan banjir, serta indeks komposit lingkungan hidup. Hasil simulasi menunjukkan Kota Tangerang Selatan merupakan kota yang belum berkelanjutan. Skenario optimis merupakan prioritas terbaik karena menunjukkan perkembangan ekonomi tetap meningkat, pendapatan masyarakat meningkat, dan indeks lingkungan hidup membaik. Intervensi skenario ini mempertimbangkan keseimbangan aspek pembangunan berkelanjutan dan kondisi lapangan.

Model konseptual kebijakan pengembangan kota baru yang berkelanjutan terdiri dari model manajemen dan model kelembagaan. Model manajemen menitikberatkan pada proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan serta rekomendasi program-program prioritas. Model kelembagaan menitikberatkan pada aktor-aktor dan fungsinya di dalam sistem pengembangan kota. Dalam model kelembagaan direkomendasikan pembentukan suatu tim adhoc. Tim ini disebut dengan Tim Percepatan Pembangunan Kota Baru yang Berkelanjutan (TPPKB) yang bertujuan mendorong dan membantu pemerintah kota dalam mewujudkan pengembangan kota yang berkelanjutan. TPPKB ini beranggotakan dari unsur-unsur pemerintah kota, swasta, masyarakat, dan akademisi/pakar. Implementasi kebijakan adalah dengan rekomendasi program-program prioritas untuk mewujudkan kota baru yang berkelanjutan.

(7)

SUMMARY

HERI APRIYANTO. Designing of Policy Model for Sustainable New City Development (A Case Study for South Tangerang City, Banten). Under supervision of ERIYATNO, ERNAN RUSTIADI dan IKHWANUDDIN MAWARDI.

Jakarta Metropolitan Area (JMA) is one of the cities in Indonesia that experience rapid development. For the last three decades, extensive development supported by private sectors has occurred and made hundred thousands of hectare areas converted into new-towns in peri urban Jakarta. This phenomenon was caused by Jakarta’s remarkable economic growth and high population density. This condition affects an increase in demand of areas for development of settlement and other activities. However, due to the limited availability of land and space in the city, suburbanization occurs. This suburbanization causes urban sprawl, in which urban areas to be widespread and dispersed randomly as well getting out of control.

Suburbanization and urban sprawl generates problems such as pressure on the land carrying capacity, flood, pollution, traffic jams, social inequality, infrastructure crisis, green open space is very less, etc. These problems are caused by weak implementation of planning product or existing planning processes do not appear to manage sprawl effectively. Whereas new town development concept is to create of new growth centers alternatives for surrounding area and to reduce large city’s burden.

Any problems occurring in a new city should be handled immediately since they can eventually leading to the unsustainable development of the city. Therefore, a new approach that applies sustainable development principle and systemic (city as a system) is required. This study purposed to develop a conceptual model of sustainable new city development policy that harmonize economic, ecological, and social order to achieve sustainable city development. The success of a new city development depends not only on the city government, but also on the participation of all communities, private companies, and academics/experts.

The procedures for developing conceptual model of sustainable new city development policy include situational analysis, assessment and evaluation of the new city development status, and scenario modeling of sustainable new city development policy. This policy model is generic so that it can be used for new cities developed by metropolitan expansion in Indonesia.

Evaluation and assessmenat of the implementation of sustainable city development is needed to determine whether the development of a city is sustainable or not. Assessment of sustainable status of a new city requires a measuring instrument, i.e. Key Performance Indicators (KPI) for sustainable new city development. The formulation of KPI is done with Analytic Hierarchy Process (AHP). KPI generated consists of 21 indicators and 9 elements of the 3 pillars of sustainable development (economic, social, and environmental).

(8)

considers a balance among sustainable development aspects. Five policy scenarios that have been simulated include business as usual (BAU), capital and social, environment, moderate, and optimistic. At each scenario, intervention to seven variables, i.e. investment rate, economic growth rate, road capacity growth rate, migration rate, green open space areas, and vegetation coverage, and environment budget allocated from own-source revenue (PAD), is carried out.

Implementation of this policy model on South Tangerang City is an agglomeration of new cities (BSD, Bintaro Jaya, and Alam Sutera) and new developing areas (Ciputat-Pamulang-Pondok Aren). These new cities and developing areas receive impacts of JMA development. Economic growth of South Tangerang City is rapid, but is not followed by similar development of environmental and socio-cultural sectors. Urban sprawl phenomena always occur and generate further problems for South Tangerang City.

The results of evaluation and assessment of city development status using KPI instrument show that South Tangerang City is included in the preliminary sustainable development. In general, economic and social development is relatively good, but not so good with the environmental conditions. For example, the development of settlement and commercial areas reduce water infiltration areas and increase pollution and congestion, etc.

The simulation results show the significant difference in economic, social/population, and environmental development tendencies as indicated in the figures of own-source revenue, gross regional domestic product per capita, traffic jams, flood, and environmental composite index. The simulation results show that South Tangerang City has not been a sustainable city yet. Optimistic scenario is a good scenario as it indicates continuous economic development, improved public income, and better environmental index. The intervention scenario considers a balance between sustainable development and factual condition.

The conceptual model of sustainable new city development policy consists of management model and institutional model. Management model emphasizes on the process of planning, implementation, and control of development and recommendation of prioritized program. Meanwhile, institutional model focuses more on actors and their function in the city development system. In the institutional model, the establishment of ad hoc team is recommended. This team is called the Team for Acceleration of Sustainable New City Development (TPPKB), which is meant to support and help a city government to materialize sustainable new city development. The team members consist of city government officials, private companies, community leaders, and academics/experts. The policy implementation is conducted through prioritized program recommendation to achieve sustainable new city.

(9)

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

RANCANG BANGUN MODEL KEBIJAKAN

PENGEMBANGAN KOTA BARU YANG BERKELANJUTAN

(STUDI KASUS: KOTA TANGERANG SELATAN, BANTEN)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(12)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Agus Prabowo, M.Eng. 2. Dr. Ir. Widiatmaka, DEA.

(13)
(14)
(15)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayahNya, penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Eriyatno, MSAE selaku ketua komisi pembimbing yang selalu memberikan arahan dan inspirasi yang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan tetapi juga tentang motivasi kehidupan, Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr., dan Prof (R). Dr. Ir. M. Ikhwanuddin Mawardi, M.Sc., DAA., selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing penulis melaksanakan penelitian dan penulisan disertasi. Terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. selaku ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL).

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Dr. Ir. Agus Prabowo, M.Eng. (Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah-LKPP) dan Dr. Ir. Widiatmaka, DEA. (Sekretaris Program Doktor PS. PSL) selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan masukan pada saat ujian tertutup dan sidang promosi sehingga disertasi ini semakin komprehensif. Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo, MS., dan Dr.Ir. Alinda F, Msi, selaku penguji luar komisi pada Ujian Kualifikasi Doktor yang memberikan masukan dan arahan pada penelitian ini.

Terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh dosen pengajar di lingkungan Program Studi PSL IPB. Tak lupa terima kasih juga penulis ucapkan kepada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi atas beasiswa yang diberikan, dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program S3 Sekolah Pascasarjana IPB ini. Juga kepada teman-teman Angkatan 2010 PSL-IPB atas segala kerjasamanya dan teman-teman eks PKTPW-BPPT (Hermawan MT, Dr. Yudi W, Andi Tabrani PhD, Dr. Socia, Sri Handoyo, MT, Suripto, MT, Nunu N, MT, Darmawan, MRUP, Alkadri, MSi, dan Warseno, SH) atas diskusinya selama ini. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini namun tidak dapat disebutkan satu persatu, saya mengucapkan terima kasih.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada Ayahanda Saleh (Alm), Ibunda, istri (drg Esti Tri Mardiana) dan anak-anak kami atas segala cinta, kasih sayang, pengertian dan pengorbanan yang tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini. Juga kepada kakak-kakakku dan keponakan-keponakan serta Keluarga Besar drg. Ahmad Hasan dan Bpk. Andi Mappamiring. Disertasi ini saya dedikasikan kepada Muli Aprilani (Almh) yang telah memberikan inspirasi kehidupan tentang doa, semangat, kerja keras, dan tiada kata menyerah. Akhir kata penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kata sempurna, namun berharap apa yang telah dikerjakan ini semoga dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan pengembangan kota yang berkelanjutan. Amin.

(16)
(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xix

DAFTAR GAMBAR xxi

DAFTAR LAMPIRAN xxiii

1  PENDAHULUAN 1 

Latar Belakang Penelitian 1 

Perumusan Masalah Penelitian 6 

Tujuan Penelitian 7 

Manfaat Penelitian 7 

Kerangka Pemikiran Penelitian 8 

Kebaruan (Novelty) Penelitian 10 

2  TINJAUAN PUSTAKA 11 

Kota, Kota Baru, dan Pusat Pertumbuhan 11 

Urbanisasi, Suburbanisasi, Urban Sprawl dan Conurbation 16  Pembangunan Berkelanjutan dan Kota Berkelanjutan 20 

Indikator dan Indeks Berkelanjutan 24 

Model Kebijakan 28 

Berpikir Sistem (System Thinking) 30 

Hasil-hasil Penelitian Sebelumnya 35 

3  METODOLOGI 38 

Ruang Lingkup Penelitian 38 

Rancangan Penelitian 38 

Jenis dan Sumber Data yang Dibutuhan 38 

Metode Pengumpulan Data 39 

Pendekatan Penelitian yang digunakan 39 

KEY PERFORMANCE INDICATORS (KPI) PENGEMBANGAN KOTA

BARU YANG BERKELANJUTAN 42 

Pendahuluan 42 

Metode Penyusunan KPI 44 

Hasil dan Pembahasan 45 

Pemilihan indikator 47 

Penentuan kriteria indikator terpilih 47 

Modifikasi Indeks 50 

(18)

5  ANALISIS KOMPONEN PEMBENTUK SISTEM KOTA TANGERANG

SELATAN, BANTEN 61 

Pendahuluan 61 

Metode Analisis Situasional 62 

Hasil dan Pembahasan 63 

Kondisi Wilayah Eksisting 63 

Pola Perilaku Komponen Pembentuk Sistem Perkotaan 85  Status Berkelanjutan Pengembangan Kota Tangerang Selatan

berdasarkan KPI dan IKKB 101 

Simpulan 105 

6  MODEL SKENARIO KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOTA BARU

TANGERANG SELATAN YANG BERKELANJUTAN 107 

Pendahuluan 107 

Metode Penyusunan Model Skenario Kebijakan 108 

Hasil dan Pembahasan 110 

Perumusan masalah untuk model 110 

Pengeksplorasian pola perilaku sistem kota 110  Pembatasan model dan penentuan variabel model 112 

Penyusunan struktur model 113 

Validasi Model 114 

Penyusunan Model Skenario Kebijakan Pengembangan Kota Baru yang

Berkelanjutan dan Simulasi 121 

Penentuan Prioritas Model Skenario Kebijakan 127 

Simpulan 128 

7  MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOTA BARU

YANG BERKELANJUTAN 130 

Pendahuluan 130 

Metode Penyusunan Model Konseptual Kebijakan 130 

Model Umum 131 

Model manajemen 133 

Model kelembagaan 135 

Implikasi Kebijakan 140 

8  PEMBAHASAN UMUM 143 

9  SIMPULAN DAN SARAN 148 

Simpulan 148 

Saran 149 

DAFTAR PUSTAKA 151 

LAMPIRAN 159 

(19)

DAFTAR TABEL

No Hal

1 Pengertian dan kategori kota baru penunjang 15  2 Prinsip dasar kota yang berkelanjutan (dikembangkan dari Research

Triangle Institute 1996) 22 

3 Skala perbandingan Saaty 45 

4 Deskripsi Key Performance Indicators (KPI) pengembangan kota baru

yang berkelanjutan 51 

5 Klasifikasi Key Performance Indicators (KPI) pengembangan kota baru

yang berkelanjutan 56 

6 Indeks Komposit Kota Baru yang Berkelanjutan (IKKB) 60  7 Luas wilayah Kota Tangerang Selatan berdasarkan kecamatan 63  8 Penggunaan lahan di Kota Tangerang Selatan tahun 2010 67  9 Status dan kondisi jalan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2011 69  10 Perkembangan jumlah penduduk Kota Tangerang Selatan tahun

2008-2012 71 

11 Perkembangan tingkat kepadatan penduduk Kota Tangerang Selatan

tahun 2008-2012 72 

12 Indikator ketenagakerjaan di Kota Tangerang Selatan tahun 2010-2012 73  13 Persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja menurut

lapangan pekerjaan utama di Kota Tangerang Selatan tahun 2010-2012 74  14 Indikator kemiskinan di Kota Tangerang Selatan tahun 2012 75  15 IPM Kota Tangerang Selatan tahun 2011-2012 75  16 Perkembangan PDRB, PDRB/kapita dan Laju Pertumbuhan Ekonomi

Kota Tangerang Selatan tahun 2008-2012 76 

17 Perkembangan PDRB ADH berlaku menurut lapangan usaha di Kota

Tangerang Selatan tahun 2008-2012 77 

18 Perkembangan PDRB ADH konstan (2000) menurut lapangan usaha di

Kota Tangerang Selatan tahun 2008-2012 78 

19 APBD Perubahan Tahun 2010-2012 Kota Tangerang Selatan 79  20 Investasi per sektor usaha di Kota Tangerang Selatan tahun 2011-2012 80  21 Peningkatan jumlah investasi di Kota Tangerang Selatan tahun

2009-2012 81 

22 Perkembangan ICOR dan perkiraan nilai investasi (PMTB) Kota

Tangerang Selatan tahun 2007-2012 82 

(20)

24 Kualitas air situ-situ di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013 92  25 Hasil Perhitungan LQ Kota Tangerang Selatan dan Provinsi Banten

Tahun 2011-2012 95 

26 Hasil analisis Shift Share Kota Tangerang Selatan 97  27 Hasil penilaian pengembangan Kota Tangerang Selatan 103  28 Skenario-skenario model kebijakan kota baru yang berkelanjutan 122  29 Hasil simulasi indeks komposit lingkungan hidup 127  30 Penentuan prioritas skenario model kebijakan pengembangan kota baru

yang berkelanjutan 128 

31 Fungsi dari aktor terkait percepatan pembangunan kota berkelanjutan 138 

32 Tugas Kelompok Kerja (POKJA) TPPKB 139 

(21)

DAFTAR GAMBAR

No Hal

1 Kerangka pemikiran penelitian 9 

2 Perembetan konsentris 19 

3 Perembetan memanjang 19 

4 Perembetan meloncat 20 

5 Model Global Lingkungan Perkotaan (NUES 2005 dalam KLH 2007) 35  6 Metodologi rancang bangun model kebijakan pengembangan kota baru

yang berkelanjutan 41 

7 Tahapan dalam penyusunan KPI 46 

8 Hasil pembobotan masing-masing indikator dan elemen dalam KPI pengembangan kota baru yang berkelanjutan 59 

9 Wilayah Kota Tangerang Selatan 64 

10 Curah hujan di Kota Tangerang Selatan tahun 1998-2012 65  11 Curah hujan rata-rata bulanan di Kota Tangerang Selatan Tahun

1998-2012 . 65 

12 Temperatur rata-rata di Kota Tangerang Selatan Tahun 1998-2012 66  13 Perkembangan jumlah penduduk Kota Tangerang Selatan tahun

2008-2012 72 

14 Persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan di Kota Tangerang Selatan tahun 2010-2012) 74  15 Perkembangan PDRB ADH konstan dan PDRB ADH konstan/kapita

Kota Tangerang Selatan tahun 2008-2013 77 

16 Perbandingan PDRB ADH konstan (2000) menurut lapangan usaha di

Kota Tangerang Selatan tahun 2008-2012 78 

17 Tipologi sektor-sektor di Kota Tangerang Selatan tahun 2012 98 

18 Tingkat keterkaitan antar sektor berdasarkan Indeks Derajat Kepekaan dan Indeks Daya Penyebaran di Kota Tangerang Selatan Tahun 2009 101 

19 Tahapan penyusunan model kebijakan 109 

20 Causal loop diagram model kebijakan pengembangan kota baru yang

berkelanjutan 113 

21 Diagram sistem sub model ekonomi kota 115 

(22)

25 Diagram sistem model kebijakan pengembangan kota baru yang

berkelanjutan 119 

26 Hasil validasi model secara uji statistik 120  27 Hasil simulasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari skenario-skenario

yang berbeda 124 

28 Hasil simulasi PDRB/kapita dari skenario-skenario yang berbeda 124  29 Hasil Simulasi derajat kejenuhan jalan (DS) dari skenario-skenario yang

berbeda 126 

30 Hasil simulasi limpasan air pemukaan dari skenario-skenario yang

berbeda 126 

31 Metodologi penyusunan model konseptual kebijakan pengembangan

kota baru yang berkelanjutan 131 

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

No Hal

1. Referensi untuk Acuan Penentuan Indikator 161 2. Pakar/Responden untuk Analytic Hierarchy Process (AHP) 180 3. Hasil Pairwise Comparisons para Pakar (AHP) 181 4. Peta Penggunaan Lahan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2012 185 5. Peta Tingkat Kepadatan Penduduk Kota Tangerang Selatan Tahun 2012 186 6. Peta Rencana Struktur Ruang Kota Tangerang Selatan Tahun 2011-2031 187 7. Peta Rencana Pola Ruang Kota Tangerang Selatan Tahun 2011-2031 188

8. Persamaan Model Dinamis 189

9. Validasi Model 192

(24)
(25)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian

Selama 20 (dua puluh) tahun terakhir banyak daerah perkotaan mengalami pertumbuhan yang dramatis sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk yang cepat dan karena perekonomian dunia telah mengalami perubahan akibat adanya kombinasi perubahan teknologi dan politik yang cepat (Cohen 2006). Peningkatan pertumbuhan penduduk kawasan perkotaan khususnya di negara-negara berkembang senantiasa diiringi dengan peningkatan kegiatannya. Sebagai dampaknya, kota-kota tersebut akan menjadi magnet bagi penduduk untuk berdatangan mencari pekerjaan dan bertempat tinggal. Fenomena ini sering disebut dengan urbanisasi. Namun fenomena ini telah menimbulkan berbagai macam permasalahan karena tidak ada pengendalian di dalamnya (Harahap 2013) dimana pada titik tertentu akhirnya akan menimbulkan berbagai masalah perkotaan, seperti ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan ruang/lahan, pencemaran, banjir/genangan, sanitasi, kemacetan, kawasan kumuh, konflik masyarakat, dan sebagainya.

Perkembangan dan keberlangsungan sebuah kota selalu dikaitkan dengan besarnya konsumsi terhadap material dan sumber daya alam yang ada. Limbah yang dihasilkan dalam proses ini menyebabkan dampak buruk terhadap lingkungan alam dimana pada akhirnya akan mengarah ke pembangunan yang tidak berkelanjutan dari sebuah kota (Dou et al. 2013). Beberapa tahun terakhir ini, isu lingkungan yang terkait dengan perkembangan ekonomi yang pesat semakin menjadi perhatian utama pemerintah pusat maupun daerah (Guan et al. 2011). Hal ini terkait dengan adanya umpan balik dimana degradasi lingkungan akan mempengaruhi pengembangan ekonomi dan sosial dengan adanya batas nyata untuk pertumbuhan dan memburuknya kualitas hidup/quality of life (Diaz 2011). Dengan demikian kota harus dianggap sebagai suatu sistem, dimana komponen-komponennya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi.

Adanya permasalahan di kota-kota besar tersebut mendorong pemerintah negara-negara di dunia, terutama negara berkembang berupaya menyusun kebijakan baru untuk mengatasi ataupun mencegah timbulnya permasalahan secara lebih meluas. Salah satu konsep yang dapat diterapkan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan pembangunan kota baru (new town). Firman (1989) menyatakan bahwa tujuan pengembangan kota-kota baru ini adalah untuk membantu mengurangi penumpukan kegiatan sosial ekonomi dan kepadatan penduduk yang tinggi di kota-kota besar. Tujuan lainnya adalah memperluas peranan kota-kota kecil tertentu dalam kegiatan industri, perdagangan, pelayanan dan agroindustri agar dapat menyerap tenaga kerja semaksimal mungkin serta menjamin bahwa terdapat tingkat yang layak dalam penyediaan prasarana fisik untuk menampung pertumbuhan penduduk di dalam kota-kota tersebut.

(26)

wilayah sekitarnya. Pembangunan kota-kota baru telah meningkat sejak akhir 1980-an, dimana kota-kota baru dikembangkan di dalam kota-kota besar yang ada (new-town-in-town), dan di pinggiran/daerah sekitarnya dari kota metropolitan seperti kota-kota satelit untuk menampung sebagian besar pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan.

Area Metropolitan Jakarta merupakan wilayah dengan konsentrasi jumlah penduduk dan aktivitas ekonomi yang terbesar di Indonesia. Dalam konteks metropolitan maka Jakarta adalah daerah inti, sementara Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) adalah pinggiran kota yang mendukung pengembangan Jakarta sebagai kota inti. Selama tiga dekade terakhir ini sektor swasta telah mampu mengkonversi lebih dari 300 000 hektar lahan pedesaan di pinggiran Kota Jakarta menjadi kota-kota baru (new-towns) (Winarso et al. 2015). Jabodetabek memiliki wilayah yang terus meluas ke daerah pinggirannya. Pertumbuhan penduduk Jakarta dalam kurun waktu 1980-1990 relatif tinggi yaitu 2.42% dan di wilayah Botabek pertumbuhan penduduknya sebesar 6.16%. Selanjutnya pada kurun waktu tahun 1990-2000 laju pertumbuhan penduduk di Jakarta mengalami penurunan menjadi 0.6% per tahun. Sebaliknya, pertumbuhan penduduk wilayah Botabek tetap tinggi (Hidajat 2014).

Zulkaidi et al. (2007) mengemukakan bahwa para pengembang swasta, khususnya para pengembang besar, yang merespon gejala urbanisasi yang terjadi di wilayah kota, melakukan intervensi pengembangan lahan berskala besar. Mereka tidak hanya menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru, namun juga meningkatkan urban sprawl, terutama untuk daerah peri-urban Jakarta. Terdapat kecenderungan pergeseran fungsi-fungsi kekotaan ke daerah pinggiran kota (urban fringe). Rustiadi dan Panuju (1999) mengemukakan bahwa suburbanisasi diartikan sebagai proses terbentuknya pemukiman-pemukiman baru dan juga kawasan-kawasan industri di pinggiran wilayah perkotaan terutama sebagai akibat perpindahan penduduk kota yang membutuhkan tempat bermukim dan untuk kegiatan industri. Siahaan (2012) menyatakan bahwa suburbanisasi merupakan kondisi yang menggambarkan pertumbuhan daerah pinggiran kota besar yang dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya peningkatan urban sprawl. Suburbanisasi yang terjadi cenderung menjadikan kawasan perkotaan secara fisik meluas secara liar/terpencar (urban sprawl) dan conurbation yang semakin tidak terkendali, mengkonversi lahan-lahan pertanian subur dengan berbagai dampaknya terhadap lingkungan. Wunas (2011) menyatakan bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya urban sprawl adalah kelemahan dari penerapan produk perencanaan. Selain itu, faktor penyebab lainnya adalah kemampuan pengembang dalam menguasai dan membebaskan luas lahan, nilai lahan, dan memperoleh izin untuk membangun perumahan, dan adanya suply demand perumahan.

(27)

Pembangunan Kota Bumi Serpong Damai/BSD, Bintaro Jaya, dan Alam Sutera (saat itu bagian dari Kabupaten Tangerang) merupakan kota-kota baru sebagai alternatif pusat-pusat pertumbuhan baru untuk bagian sebelah barat Jakarta. Perkembangan Kota Jakarta yang pesat juga berimbas pada daerah-daerah pinggiran kota. Adanya ekspansi pemanfaatan lahan ke luar batas kota dapat menciptakan aktivitas baru di luar area kota. Akibatnya terbentuk fenomena suburbanisasi di daerah pinggiran kota (urban fringe) Jakarta, seperti kawasan Ciputat, Pamulang, dan Pondok Aren. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kawasan ini merupakan akibat dari proses urban sprawl dari luberan Kota Jakarta. Sedangkan kota-kota baru (new town) BSD, Bintaro Jaya, dan Alam Sutera merupakan hasil dari proses urban sprawl dalam konteks pengembangan Area Metropolitan Jakarta.

Pusat-pusat pertumbuhan baru yang mengalami fenomena urban sprawl terutama yang bersifat mikro ini mengalami proses transformasi spasial berupa proses pemadatan (densification) permukiman dan transformasi sosial ekonomi sebagai dampak lebih lanjut dari proses transformasi spasial. Namun ternyata fenomena ini telah menimbulkan permasalahan perkotaan, seperti ketidakefisienan ruang, kemacetan, bangunan tidak teratur, luasan ruang terbuka hijau minim, kawasan kumuh, krisis infrastruktur dasar, dan sebagainya. Keberadaan kota-kota baru ternyata tidak hanya berdampak positif saja, tetapi juga negatif seperti adanya kesenjangan sosial, konflik kepentingan, kemacetan, infrastruktur dasar yang tidak terintegrasi, ruang terbuka hijau yang minim, dan berkurangnya kawasan resapan air. Permasalahan-permasalahan yang mengancam pembangunan perkotaan berkelanjutan ini muncul ketika pertumbuhan kota yang cepat ternyata kebutuhan infrastruktur yang diperlukan tidak berkembang atau ketika kebijakan tidak dilaksanakan untuk memastikan manfaat dari kehidupan kota yang adil bersama (UNDESA 2014).

Pusat-pusat pertumbuhan (dan kota-kota baru) di Kota Tangerang Selatan tersebut saat ini secara fisik saling terhubung, tidak lagi merupakan spot-spot dikarenakan banyaknya permukiman-permukiman kecil yang berkembang diantara pusat-pusat pertumbuhan tersebut. Dengan terbentuknya Kota Tangerang Selatan sebagai Daerah Otonom Baru (DOB) sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Tangerang pada tahun 2008, maka pusat-pusat pertumbuhan tersebut menjadi pilar utama untuk pengembangan kota, yang pada akhirnya berintegrasi menjadi Kota Baru Tangerang Selatan. Kota tersebut secara umum terbentuk dari dampak suatu perkembangan Megacities Jakarta. Megacities ini akan selalu berkembang terus dan bersifat dinamis, untuk itu perlu upaya antisipasi untuk menghadapi berbagai tantangan ke depan dan dampak yang akan muncul.

(28)

Secara umum kondisi perekonomian Kota Tangerang Selatan relatif baik, dimana sektor tersier lebih dominan, yaitu pengangkutan dan komunikasi, perdagangan, hotel dan restoran, jasa-jasa dan bank, serta persewaan dan jasa perusahaan, telah memberikan kontribusinya lebih dari 70% dari struktur ekonomi yang ada. Sedangkan sektor sekunder (industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, dan konstruksi) memberikan kontribusi sekitar 27%, dan sektor primer (pertanian; pertambangan dan penggalian) hanya memberikan kontribusi kurang dari 1%. Jika dilihat dari kecenderungannya sejak tahun 2008 hingga tahun 2012, terlihat bahwa sektor primer dan sekunder semakin mengecil kontribusinya sedangkan sektor tersier meningkat kontribusinya.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan akan ruang dan lahan untuk mendukung aktivitas ekonomi dan penduduk akan semakin meningkat. Kota Baru Tangerang Selatan tentunya akan tetap berupaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD)-nya. Pembangunan puluhan industri dan ratusan tempat usaha semakin meningkat, yang tentunya selalu diikuti oleh kebutuhan lahan,baik untuk keperluan tersebut maupun untuk permukiman. Daya dukung lahan dan luas wilayah kota ini terbatas, dengan demikian akan mengakibatkan terjadinya tekanan terhadap lingkungan/lahan. Kota Tangerang Selatan sebagai kota baru telah menanggung beban yang berat, dimana peningkatan pertumbuhan ekonomi terjadi cukup signifikan, namun di sisi lain daya dukung lingkungan/lahan memulai terganggu. Hal ini dikarenakan belum adanya suatu perencanaan yang komprehensif dalam pembentukan Tangerang Selatan sebagai kota baru. Masing-masing pusat pertumbuhan berkembang sesuai dengan keinginan sendiri-sendiri (berdasarkan aspek pasar dan bisnis). Sering kali terjadi tumpang tindih kewenangan dan konflik kepentingan antara peran pemerintah kota dengan pengembang. Santosa (2012) memberikan contoh terkait masalah konflik kepentingan, yaitu standar lingkungan yang ditetapkan untuk kelompok sasaran tertentu (pengembang), penanganan oleh pemerintah kota dianggap masih belum memadai dengan keterbatasan yang ada. Pada akhirnya pengembang cenderung untuk mengelola sendiri dengan memperoleh pendapatan dari Iuran Pengelolaan Kawasan Lingkungan (IPKL). Permasalahan yang lain adalah kurang terintegrasinya jalan lingkungan yang dibangun oleh pengembang dan jalan kota yang dibangun oleh pemerintah.

Dampak tekanan penduduk terhadap lingkungan, antara lain akan meningkatkan tekanan terhadap sumber daya alam, timbulnya pencemaran lingkungan (baik air, udara, maupun tanah), menurunnya tingkat kesehatan, timbulnya konflik sosial, dan sebagainya. Daya dukung lingkungan yang dimiliki kota ini akan dapat terlampaui. Pada saat ini gejala-gejala gangguan lingkungan di Kota Baru Tangerang Selatan mulai nampak, antara lain masalah persampahan yang tidak kunjung selesai, banjir/genangan air, air bersih, kemacetan, perambahan kawasan lindung (daerah resapan air, Ruang Terbuka Hijau dan lahan situ berkurang), penurunan kualitas berbagai infrastruktur, dan sebagainya.

(29)

Agar pengembangan kota ini dapat berkelanjutan diperlukan suatu kebijakan yang mengharmonisasikan tatanan ekonomi, tatanan ekologis, dan tatanan sosial. Sistim ekonomi hanyalah merupakan salah satu aspek dari totalitas tatanan ekologis dan sosial, yang selanjutnya kepentingan ekonomi tidak lagi mendominasi, tetapi justru tergantung secara ekologis dan sosial. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjamin adanya keberlanjutan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia, tanpa mengurangi peluang generasi yang akan datang untuk menikmati kondisi yang lebih baik.

Perancangan model skenario kebijakan pembangunan berkelanjutan Kota Tangerang Selatan ini menggunakan pendekatan Sistem Dinamis. Pendekatan ini diperlukan karena pemahaman terhadap perkembangan kota merupakan kajian yang bersifat sistemik. Proses perencanaan kebijakan pembangunan kota berkelanjutan harus dapat merangkul keragaman sosial yang menjadi ciri khas penduduk di kota-kota pada saat ini, dan dimasukkannya aspek ekologi dan partisipasi publik sebagai faktor yang penting (Amando et al. 2010). Sistem Dinamis merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk penilaian berkelanjutan, dapat dimanfaatkan untuk lebih memahami pembangunan berkelanjutan dalam periode perencanaan dan memprediksi kecenderungan masa depan (Xu 2011). Sistem Dinamis memiliki karakteristik yang menyatakan hubungan yang membentuk sistem, dengan bantuan angka berbasis, grafik dan metode matematika. Oleh karena itu manajer, pejabat, ekonom, ahli kependudukan, dan sebagainya dapat memecahkan masalah yang mereka hadapi dengan pendekatan ini (Soyler et al. 2008). Model kebijakan ini disusun dengan tujuan mengoptimalkan potensi ekonomi Kota Tangerang Selatan guna meningkatkan kesejahteraan penduduknya dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan serta menjadikan kota ini layak huni.

Penyusunan model kebijakan pengembangan kota baru berkelanjutan ini memerlukan input dan batasan. Salah satu input dan batasan yang diperlukan dalam model ini adalah input indikator-indikator dalam konsep pengembangan kota baru berkelanjutan. Mori dan Christodoulou (2012) mengungkapkan bahwa berdasarkan review yang dilakukan oleh mereka terhadap beberapa indeks/indikator berkelanjutan yang diterapkan untuk menilai keberlanjutan kota, disimpulkan bahwa perlu disusun City Sustainability Index (CSI) baru. CSI yang baru ini diharapkan mampu digunakan untuk penilaian dan perbandingan kinerja keberlanjutan kota dan pemahaman dampak global kota (kontribusi ekonomi) terhadap lingkungan dan kehidupan manusia. Indikator-indikator yang selanjutnya diwujudkan sebagai Key Performance Indicators (KPI) atau indikator kinerja utama (IKU) untuk pengembangan kota baru berkelanjutan belum banyak dikembangkan dan yang ada sebagian besar merupakan saduran dari luar negeri tanpa adanya modifikasi dengan memperhatikan kondisi yang sesuai di Indonesia. Salah satunya adalah City Development Index (CDI). KPI dapat diartikan sebagai ukuran yang akan memberikan informasi sejauh mana tingkat keberhasilan dalam mewujudkan sasaran strategis yang telah ditetapkan. KPI ini haruslah sesuai dengan tingkat permasalahan yang dihadapi dan kondisi lokal yang ada. Penelitian ini menyusun KPI untuk pengembangan kota baru yang berkelanjutan yang sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia.

(30)

karena perkembangan ekonomi, jumlah penduduk, dan teknologi yang juga semakin meningkat. Adanya gejala “lapar tanah” di perkotaan dimana sebagian kecil masyarakat yang memiliki modal yang berlebih untuk melakukan investasi yang mengakibatkan harga tanah semakin tidak terjangkau bagi sebagian besar masyarakat yang kemudian menjadi tersingkir. Dengan berkembangnya metropolitan maupun megacities, maka proses-proses suburbanisasi dengan fenomena urban sprawl yang selalu mengikut juga akan mengiringi proses tersebut. Proses dan fenomena ini selain berdampak relatif baik di bidang peningkatan perekonomian, namun di sisi lain terdapat ancaman terhadap pembangunan kota yang berkelanjutan (tekanan terhadap daya dukung lingkungan dan sosial). Untuk itu diperlukan suatu kebijakan pengembangan kota baru yang berkelanjutan yang tepat. Sering kali proses perencanaan perkotaan yang ada tidak dapat mengantisipasi sprawl tersebut secara efektif (Fitriani dan Harris 2011).

Proses urbanisasi dan turunannya tersebut secara integral terhubung dengan ketiga pilar pembangunan berkelanjutan: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan. Hasil dari Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan Rio, salah satunya adalah adanya kebutuhan yang mendesak untuk mencapai kota berkelanjutan sebagai agenda pembangunan PBB. Untuk itu dalam rangka Konferensi PBB tentang Pemukiman Manusia ketiga (Habitat III) yang direncanakan dilaksanakan tahun 2016 akan meninjau agenda perkotaan global dan merumuskan model baru pembangunan perkotaan yang mengintegrasikan semua aspek pembangunan berkelanjutan (UNDESA 2014).

Perumusan Masalah Penelitian

Kota-kota metropolitan/besar merupakan kota yang mengalami perkembangan berbagai aspek dengan pesat. Hal ini mendorong terjadinya suburbanisasi di wilayah sekitarnya karena ruang dan lahan yang dimilikinya terbatas. Kota Jakarta merupakan salah satu kota metropolitan yang mendorong terjadinya proses suburbanisasi terhadap area peri-urban kota tersebut. Proses suburbanisasi dicerminkan dengan peningkatan permukiman, konversi lahan pertanian dan juga kondisi sosial budaya masyarakat yang lebih modern. Selain manfaat positif yang diterima oleh kota yang terkena proses suburbanisasi, juga terdapat dampak negatif baik aspek sosial maupun lingkungan.

(31)

di aspek lingkungan dan sumberdaya alam, serta sosial budaya. Hal ini tentunya bertentangan dengan prinsip kota baru yang berkelanjutan, yakni untuk meningkatkan perekonomian kota, kesejahteraan masyarakat, dan menjadikan kota layak huni serta mempertahankan kelestarian lingkungan kota.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan untuk penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimanakah KPI yang sesuai sebagai instrumen untuk menilai dan mengevaluasi status berkelanjutan pengembangan kota baru?

2. Bagaimana kondisi biogeofisik, ekonomi, sosial dan budaya di Kota Tangerang Selatan, serta pola perilaku dari komponen-komponen yang ada pada sistem pengembangan kota?

3. Bagaimanakah model skenario kebijakan pengembangan Kota Tangerang Selatan yang berkelanjutan yang mampu mengharmonisasikan potensi ekonomi kota dengan aspek sosial budaya dan lingkungannya?

4. Bagaimanakan model konseptual kebijakan pengembangan kota baru yang berkelanjutan yang dapat dipergunakan oleh para pemangku kepentingan untuk terciptanya peningkatan ekonomi kota dengan dampak lingkungan rendah, kesejahteraan penduduknya, dan terciptanya kota yang layak huni?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian permasalahan di atas dan pertanyaan penelitian yang diajukan, maka penelitian ini secara umum bertujuan untuk merancang model konseptual kebijakan pengembangan kota baru yang berkelanjutan guna dijadikan sebagai bahan rekomendasi bagi pemangku kepentingan.

Tujuan umum tersebut dijabarkan menjadi 3 (tiga) tujuan khusus, yaitu: 1. Merumuskan KPI yang tepat sebagai instrumen untuk menilai dan

mengevaluasi pengembangan suatu kota baru yang berkelanjutan.

2. Melakukan analisis komponen-komponen biogeofisik, ekonomi, sosial dan budaya sebagai pembentuk sistem perkotaan di wilayah penelitian ini,

3. Membangun model skenario kebijakan pengembangan Kota Tangerang Selatan yang berkelanjutan melalui sintesa aspek ekonomi, sosial – budaya, dan lingkungan.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. KPI untuk pengembangan kota baru yang berkelanjutan ini digunakan untuk menilai dan mengevaluasi pengembangan kota baru, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu referensi bagi para pemangku kepentingan untuk menyusun kebijakan pengembangan kota,

2. Memberikan rekomendasi model kebijakan pengembangan kota baru yang berkelanjutan untuk para pemangku kepentingan pengembangan kotanya. 3. Hasil penelitian ini sebagai masukan untuk kajian penelitian lebih lanjut bagi

(32)

Kerangka Pemikiran Penelitian

Peningkatan pertumbuhan penduduk dan ekonomi di kota-kota besar dan metropolitan selalu diiringi dengan peningkatan kegiatannya. Jika tidak dikelola dengan baik maka pada titik tertentu akan menimbulkan berbagai masalah perkotaan, baik lingkungan, sosial maupun ekonomi. Upaya mencegah dan mengatasi permasalahan, salah satunya dengan pembangunan kota baru.

Pengembangan kota baru yang tidak terkendali akan mengakibatkan tekanan terhadap lingkungan dan beban masyarakat meningkat, sebaliknya degradasi lingkungan akan mengakibatkan pembatasan pengembangan ekonomi dan penurunan kualitas hidup. Beban kota baru, terutama kota yang berada di kawasan metropolitan akan bertambah seiring adanya suburbanisasi dan urban sprawl akibat dampak perkembangan metropolitan. Guna mencegah terjadinya dampak negatif, maka diperlukan prinsip-prinsip pembangunan kota yang berkelanjutan.

Pengembangan kota baru yang berkelanjutan pada dasarnya adalah mengharmonisasikan tatanan ekonomi, tatanan ekologis, dan tatanan sosial secara seimbang dan proposional. Hal lain adalah perlunya diperhatikan keterlibatan dan partisipasi para aktor yang terkait secara langsung maupun tidak langsung terhadap pengembangan perkotaan. Aktor-aktor tersebut selain pemerintah kota/BUMD adalah: masyarakat; dunia usaha seperti pengembang maupun pelaku jasa/pedagang karena merupakan salah satu faktor penggerak ekonomi; komunitas; LSM; dan akademisi/pakar. Strategi pengembangan kota baru yang berkelanjutan adalah meningkatkan ekonomi dengan dampak lingkungan yang rendah, mewujudkan kota yang layak huni dan meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Strategi tersebut untuk mewujudkan kota baru yang berkelanjutan.

Guna mengakomodasi hal-hal tersebut maka diperlukan sesuatu pendekatan sistem untuk membangun model konseptual kebijakan pengembangan kota baru yang berkelanjutan. Kota adalah suatu sistem dan selalu mengalami perubahan (dinamis). Pendekatan sistem merupakan cara pandang yang bersifat holistik yang memfokuskan pada integrasi, keterkaitan antar komponen dan tujuan penelitian. Pendekatan ini dapat mengubah cara pandang dalam menangani permasalahan dengan menggunakan model yang merupakan penyederhanaan dari sebuah sistem. Pendekatan sistem Soft Systems Methodology (SSM) dan Hard System Metholodogy (HSM) saling melengkapi. Pendekatan SSM untuk menyusun KPI pengembangan kota baru yang berkelanjutan dengan menggunakan AHP. Sedangkan pendekatan HSM untuk menentukan kondisi pada saat ini dan merumuskan skenario-skenario pengembangan kota baru yang berkelanjutan dengan menggunakan sistem dinamik. Penelitian ini dilengkapi dengan pendekatan statistika, khususnya untuk analisis situasional dan validasi model.

(33)
(34)

Kebaruan (Novelty) Penelitian

Penelitian ini menyajikan novelty sebagai berikut: 1. Segi hasil (output)

a) Penelitian ini menghasilkan suatu model kebijakan pengembangan kota baru yang berkelanjutan. Model kebijakan ini bersifat sistemik dan dinamik, dengan mempertimbangkan aspek pembangunan berkelanjutan (ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan), dan peran serta aktor-aktor yang terkait dengan pengembangan kota. Kota merupakan suatu sistem dan mempunyai perubahan yang dinamis. Banyak faktor atau variabel yang membentuk dan berpengaruh terhadap keberadaan dan perkembangan kota baru. Fenomena perkembangan kota pada era globalisasi ini semakin kompleks sehingga diperlukan pendekatan sistem, karena pendekatan ini bersifat holistik, sibernetik, dan efektif. Dengan demikian model kebijakan ini memberikan pemikiran baru terhadap kebijakan pengembangan kota baru pada saat pendekatan-pendekatan yang lain belum efektif dalam mengantisipasi dampak negatif dalam pengembangan kota baru.

b) Penelitian ini menghasilkan suatu instrumen yang dipergunakan untuk menilai dan mengevaluasi status berkelanjutan pengembangan suatu kota baru. Instrumen ini disebut dengan KPI pengembangan kota baru yang berkelanjutan dan Indeks Komposit Kota Baru yang Berkelanjutan (IKKB). Instrumen ini disusun dengan mempertimbangkan kondisi kota-kota baru di Indonesia.

2. Segi metodologi atau pendekatan

(35)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Kota, Kota Baru, dan Pusat Pertumbuhan

Pengertian kota diantara beberapa ahli dapat berbeda-beda dan belum terdapat suatu pengertian yang dapat diterima oleh semua pihak. Richardson (1977) mengatakan bahwa kota merupakan wilayah administratif yang ditetapkan oleh pemerintah dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi dan sebagian besar wilayahnya merupakan daerah terbangun yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lalulintas dan transportasi, dan kegiatan perekonomian utamanya adalah kegiatan perekonomian non pertanian. Rapoport (1969) dalam Zahnd (1999) memberikan pengertian bahwa suatu kota adalah suatu permukiman yang relatif besar, padat, dan permanen, terdiri dari kelompok individu-individu yang heterogen dari segi sosial. Kota digambarkan sebagai objek yang mempunyai elemen-elemen (aspek sosial) yang mempengaruhi kegiatan yang ada dan mungkin ada pada pembangunan selanjutnya. Dapat diartikan bahwa sesungguhnya kota adalah suatu lokasi dengan konsentrasi penduduk/permukiman, kegiatan sosial ekonomi yang heterogen dan intensif (bukan pertanian), pemusatan, koleksi, dan distribusi bagi pelayanan jasa pemerintah sosial dan ekonomi yang ditetapkan secara administrasi.

Daljoeni (1987) menyederhanakan pengertian kota menjadi suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya materialistis. Strata ekonomi penduduk kota dicerminkan dengan adanya penduduk berpenghasilan tinggi, sedang, dan rendah. Variasi dari segi pendapatan membuat kehidupan kota semakin kompleks. Hal ini berlainan dengan kehidupan masyarakat di perdesaan yang secara umum lebih homogen dalam pendapatan.

Kota menurut Sadyohutomo (2009) itu mengandung arti 2 (dua) hal yang berbeda, yaitu pertama, kota dalam pengertian umum adalah suatu daerah terbangun yang didominasi jenis penggunaan tanah non pertanian dengan jumlah penduduk dan intensitas penggunaan ruang yang cukup tinggi. Jika dibandingkan dengan perdesaan, penggunaan tanah perkotaan mempunyai intensitas yang lebih tinggi; dan kedua, kota dalam pengertian administrasi pemerintahan diartikan secara khusus, yaitu suatu bentuk pemerintah daerah yang mayoritas wilayahnya merupakan daerah perkotaan. Wilayah kota secara administratif tidak selalu semuanya berupa daerah terbangun perkotaan (urban), tetapi umumnya juga mempunyai bagian wilayah yang berciri perdesaan (rural).

Pertumbuhan penduduk dan perkembangan aktivitas kota terus meningkat, yang hampir selalu diringi dengan kebutuhan akan ruang dan lahan. Disisi lain lahan di kota tersebut terbatas dan tidak dapat berkembang. Jika kebutuhan lahan melebihi ketersediaan lahan yang ada, maka akan terjadi tekanan penduduk terhadap lahan. Masyarakat tidak hanya membutuhkan lahan untuk bertempat tinggal, tetapi juga membutuhkan sarana dan fasilitas lainnya yang tentunya juga harus diikuti dengan penyediaan lahannya. Ketidakseimbangan ini tersebut akan memicu timbulnya rangkaian permasalahan perkotaan (fenomena”lapar tanah”).

(36)

pengembangan kota untuk mengatasi permasalahan tersebut, yang meliputi 3 aspek utama, yaitu:

1. Intensifikasi kota, yaitu usaha intensifikasi perkotaan dalam hal ini meliputi usaha-usaha untuk meningkatkan kapasitas dan intensitas pelayanan kota; 2. Ekstensifikasi kota, yaitu usaha dengan cara memperluas ruang serta

membuka wilayah baru pada wilayah kantong (enclave) atau pinggiran kota yang belum berkembang dan masih kosong.

3. Pengembangan kota baru (new town), yaitu sebuah usaha yang dilakukan dengan cara membangun kota-kota baru baik di dalam wilayah kota itu sendiri sebagai kota baru atau di luar wilayah kota itu yang tidak terlalu jauh sebagai fungsi kota satelit.

Pengagas utama ide kota baru adalah Ebenezer Howard (1850-1928) pada Pasca Revolusi Industri melalui konsep Garden City (kota taman). Gagasan ini muncul dari reaksi Howard atas keadaan Kota London yang padat dan menurun kualitas lingkungannya sebagai akibat dari tingginya arus urbanisasi penduduk pedesaan untuk mencari pekerjaan di kota metropolitan London (Osborn 1946 dalam Sujarto 1993). Howard memikirkan mengenai kota industri (London) yang penuh dengan polusi sehingga merasa perlu untuk memindahkan komunitas kota ke daerah pedesaan yang masih alami. Untuk mempermudah konsep Garden City ini, Howard memberikan gambaran tentang tarikan 3 buah magnet yaitu: kota dengan segala daya tariknya, desa dengan segala potensi, dan magnet desa-kota. Magnet desa-kota digambarkan sebagai suatu Garden City atau kota baru, sebagai upaya untuk mengatasi limpahan dan kesesakan serta masalah-masalah sosial di perkotaan. Pemikiran ini kemudian diimplementasikan dengan mengembangkan suatu kota baru yang disebut dengan Garden City. Kota baru pertama yang sukses dibangun dan berkembang di negara ini adalah Letchworth Garden City pada tahun 1903, setelah itu pada tahun 1919 dikembangkan Welwyn Garden City. Keduanya merupakan kota baru di sekitar London. Letchworth Garden City diwujudkan di atas area seluas 1250 acre untuk 30 000 penduduk (24 jiwa/acre) dengan 2500 acre disediakan untuk sabuk pertanian. Garden City kedua, Welwyn, dimulai setelah Perang Dunia I. Dalam rencana tersebut pada lahan seluas 1375 acre maksimal akan dihuni 40 000 orang ditambah 3500 orang yang tersebar di sekitar tanah pertanian. Hanya 1/6 lahan yang akan tertutup bangunan (Sujarto 1993; Savitri 2007)

Konsep awal kota baru saat ini telah banyak berubah dan berkembang sesuai dengan latar belakang dan disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan kondisi ekonomi, sosial, budaya dan ekonomi masyarakat perkotaan serta politik negara. Saat ini pengembangan pembangunan kota baru saat ini bukan hanya sebagai salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan di kota-kota besar saja, namun juga untuk menunjang pertumbuhan ekonomi dan pembangunan wilayah pinggiran. Advisory Commission on Intergovernmental Relations (Sujarto 1993) memberikan pengertian tentang kota baru sebagai permukiman yang mandiri dan berencana dengan skala yang cukup besar sehingga:

(37)

2. Dikelilingi oleh jalur hijau yang menghubungkan secara langsung dari wilayah pertanian di sekitarnya juga sebagai pembatas perkembangan kota dari segi jumlah penduduk dan luas wilayahnya.

3. Dengan mempertimbangkan kendala dan limitasi yang ada dapat menentukan suatu proporsi yang peruntukan lahan yang sesuai untuk kegiatan industri, perdagangan, perumahan, fasilitas, dan utilitas umum, serta ruang terbuka, pada proses perencanaannya.

4. Dengan mempertimbangkan fungsi kota serta lahan yang tersedia dapat ditentukan pola kepadatan penduduk yang serasi.

Campbell (1976) menyatakan bahwa ide utama dalam konsep kota baru adalah untuk membentuk suatu rencana pembangunan dalam jangka waktu tertentu, untuk mencapai keseimbangan, kebutuhan fasilitas penduduk, menentukan batas pertumbuhannya di samping menghubungkan fungsi guna tanah yang berbeda dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Wong dan Yeh (1985) mendefinisikan kota baru sebagai permukiman yang besar dengan perencanaan yang komprehensif, adanya dukungan fasilitas yang memadai sehingga meningkatkan eksistensi kota, cukup mandiri tanpa terlalu tergantung pada kota dan pusat-pusat utama lainnya. Sedangkan Kafkoula (2009) menyebutkan bahwa sebuah kota baru adalah sebuah permukiman dengan perencanaan yang ditetapkan oleh pemerintah pada saat yang tepat. Selanjutnya berdasarkan kebijakan yang disepakati, maka otoritas menetapkan tujuan, peran, lokasi, dan karakteristik fisik permukiman baru dari permukiman baru tersebut, langkah-langkah pelaksanaan dan pendanaan, dan sarana untuk menarik penduduk, tenaga kerja, dan berbagai kegiatan lainnya.

Fungsi kota baru menurut Osborn dan Whittick (1968) dalam Sujarto (1993) adalah sebagai alternatif upaya untuk memecahkan dan mengatasi masalah pertumbuhan permukiman tersebar yang tidak terkendali, kemacetan kota besar, serta perpindahan penduduk ke kota besar secara besar-besaran. Pembangunan kota baru pada hakikatnya merupakan upaya pengembangan suatu bagian wilayah baru menjadi sebuah permukiman yang mempunyai kelengkapan perkotaan.

Pendapat-pendapat di atas memiliki persamaan tentang konsep sebuah kota baru, yaitu penciptaan suatu wilayah (lingkungan) kehidupan masyarakat yang baik secara fisik maupun non fisik dapat menunjang perikehidupan masyarakat kota secara mandiri, seimbang, serta harmonis. Secara umum pengertian kota baru adalah:

‐ Kota yang direncanakan dan dibangun pada lokasi yang belum ada konsentrasi penduduknya,

‐ Distribusi kepadatan kota dan permukiman berskala besar,

‐ Kota mandiri: memenuhi kebutuhan barang dan jasa dari penduduk sendiri Berdasarkan hal-hal tersebut maka terdapat beberapa hal yang menjadi pertimbangan pembangunan kota baru di suatu wilayah, yaitu:

1. Kawasan untuk mendukung/menampung perkembangan kota besar/metropolitan, baik kegiatan ekonomi maupun kepadatan penduduk,

2. Sebagai salah satu alat instrumen pengembangan wilayah desa-kota, 3. Sebagai pusat pertumbuhan baru untuk wilayah hinterland,

(38)

Pembangunan kota baru di Indonesia, seperti halnya negara jajahan, telah diperkenalkan dengan munculnya kota-kota kolonial Belanda modern di Indonesia. Pengembangan lebih lanjut dari kota-kota baru dilakukan pada periode awal kemerdekaan, diantaranya melalui pembangunan kota baru Kebayoran Baru (Jakarta, 1949), Plan Cipaganti (1953-1955) dan Cijagra (1968) - keduanya berada di Bandung, Kota Baru Palangkaraya (Kalimantan Tengah, 1953) serta beberapa kota baru lainnya. Meskipun bidang perekonomian Indonesia sempat mengalami krisis antara tahun 1997-1998, yang berimbas pada berbagai sektor pembangunan termasuk kemunduran kemajuan pembangunan kota baru dan permukiman berskala besar, namun hingga saat ini kota-kota baru masih terus berkembang. Hal ini dapat dilihat misalnya dari adanya Bumi Serpong Damai, Kota Baru Parahyangan, Batam Center, dan sebagainya (Agustina 2007). Pada awalnya inisiatif pembangunan kota baru didominasi oleh pemerintah, yakni adanya pembangunan kota baru yang bertujuan untuk pembangunan ibukota baru provinsi dan kabupaten pada tahun 1950-an. Baru pada awal tahun 1980-an, banyak pengembang swasta mengambil peran dan inisiatif untuk melakukan pembangunan kota di sekitar kota-kota metropolitan di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya.

Kota baru dapat dibedakan berdasarkan fungsinya, yaitu kota baru yang dibangun untuk pusat pemerintahan baru (contoh: pembangunan kota baru Palangkaraya sebagai ibukota provinsi baru Kalimantan Tengah pada 1950-an, Pekanbaru sebagai ibukota Provinsi Riau); kota baru yang dibangun dalam rangka pemindahan pusat kekuasaan atau pusat pemerintahan kerajaan, negara, provinsi atau kabupaten (contoh: pemindahan ibukota Kabupaten Tangerang dari Kota Tangerang ke Tigaraksa); kota baru sebagai penunjang kegiatan pemanfaatan sumber daya alam (contoh: Kota Soroako sebagai kota penambangan nikel); kota baru sebagai penunjang kegiatan pendidikan (contoh: Jatinangor dibangun di sebelah timur Kota Bandung); dan kota baru sebagai solusi permasalahan kota besar dan metropolitan (contoh: Bumi Serpong Damai). Namun ada juga kota baru yang hanya mempunyai satu fungsi utama, seperti kota untuk tempat tinggal, industri dan pendidikan. Fungsi lainnya hanya merupakan penunjang agar fungsi utama berjalan baik. Ada pula kota baru yang mempunyai beberapa fungsi yang sulit dibedakan mana yang utama dan mana penunjang. Kota baru penunjang dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu kota baru satelit dan kota metropolitan. Karakteristik keduanya disajikan pada Tabel 1(Sujarto 1993).

Penentuan suatu wilayah dapat disebut sebagai kota didasarkan pada besaran jumlah penduduk ideal (density) adalah hal tidak semua negara melakukan. Indonesia merupakan salah satu negara yang belum melakukan hal ini. Menurut Sujarto (1993) besaran atau ukuran kota sangat ditentukan oleh ukuran penduduknya. Penentuan besaran penduduk ini dilandaskan pada ukuran optimum kota.

(39)

Jakarta dengan membangun perumahan di luar Jakarta, mengurangi daya tarik bagi pendatang baru dengan mengeluarkan kegiatan industri dan kegiatan-kegiatan yang tidak langsung menunjang kegiatan-kegiatan ekonomi di wilayah DKI Jakarta keluar Jakarta, serta mengalihkan tujuan urbanisasi ke wilayah Botabek (Bogor, Tangerang, Bekasi) dengan mengembangkan kota-kota satelit baru sebagai tempat tinggal dan tempat kerja dengan fasilitas yang memadai.

Tabel 1 Pengertian dan kategori kota baru penunjang

Jenis Kota Baru Fungsi Kota Dasar

Pengembangan Kota Letak Geografi

Kota baru lahan kosong dan luas (minimum 1000 ha) di pinggiran luas kota kecil yang sudah ada di sekitar kota

Guna mengantisipasi perkembangan Kota Jakarta dan sekitarnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui Instruksi Presiden No. 13 tahun 1976 tentang tentang Pengembangan Wilayah Jabotabek. Salah satu ketetapan dalam konsep pengembangan wilayah Jabodetabek tersebut adalah pengembangan kota baru-kota baru atau lebih umum lagi disebut permukiman skala besar. Tujuan pembangunan kota baru-kota baru tersebut adalah untuk mendekonsentrasikan tekanan-tekanan pertumbuhan dari Kota Jakarta ke sub-sub pusat tingkat kedua, yaitu kota baru-kota baru tersebut. Sub-sub pusat ini berlaku sebagai counter magnet dari kota induk mereka. Kota baru-kota baru di Kota Tangerang Selatan yang merupakan implementasi dari Inpres tersebut, yaitu:

1. Bumi Serpong Damai dibangun mulai tahun 1989 dengan luas lahan 6000 ha 2. Bintaro Jaya dibangun mulai tahun 1992 dengan luas lahan 1700 ha

3. Alam Sutera dibangun mulai tahun 1993 dengan luas lahan 700 ha. (Pusat Data Properti Indonesia 1999 dalam Malik 2005)

(40)

Dari perkembangan aktivitas daerah pinggiran tersebut kemudian dapat membentuk pusat pertumbuhan baru yang dalam perkembangan selanjutnya memungkinkan terbentuknya jaringan hubungan atau pelayanan antar pusat kegiatan dengan kawasan sekitarnya yang secara keseluruhannya dapat mempengaruhi perkembangan kota.

Pusat pertumbuhan dapat diartikan melalui dua cara, yakni pendekatan fungsional dan geografis. Secara fungsional, pusat pertumbuhan merupakan sekelompok usaha atau kegiatan ekonomi lainnya yang terkonsentrasi pada suatu daerah dan memiliki hubungan yang dinamis, dan saling mendorong sehingga dapat mempengaruhi perekonomian daerah itu maupun daerah belakangnya. Secara geografis, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas sehingga menjadi pusat daya tarik bagi berbagai macam dunia usaha. Menurutnya, pusat pertumbuhan harus memiliki empat ciri yaitu adanya hubungan intern antara berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi, adanya multiplier effect (unsur pengganda), adanya konsentrasi geografis, dan bersifat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya (Tarigan 2010).

Urbanisasi, Suburbanisasi, Urban Sprawl dan Conurbation

Secara global, populasi dunia yang tinggal di daerah perkotaan pada tahun 2014 lebih banyak daripada yang tinggal di daerah pedesaan, yaitu sekitar 54%. Sebelumnya pada tahun 1950, sekitar 30% dari populasi dunia tinggal di perkotaan, dan pada tahun 2050 diproyeksikan sekitar 66 persen dari populasi dunia akan tinggal di kota. Khusus negara Indonesia persentase penduduk perkotaannya pada tahun 1990 hanya sekitar 31%, tetapi tahun 2014 meningkat tajam menjadi sekitar 53% dan diperkirakan akan terus meningkat mencapai 71% persen pada tahun 2050. Pertumbuhan penduduk yang tinggal di daerah perkotaan dari tahun 2010-2015 di Indonesia rata-rata pertahunnya 1.5% (UNDESA 2014). Tentunya pertumbuhan penduduk perkotaan ini akan memicu peningkatan kebutuhan ruang dan segala infrastruktur perkotaannya. Penetrasi pembangunan yang cepat di kota-kota di Indonesia memberikan dampak luas terhadap kota itu sendiri maupun wilayah pinggirannya. Konsekuensi paling logis adalah terjadinya peningkatan fenomena urbanisasi yang disertai dengan peningkatan laju pertumbuhan penduduk perkotaan, baik secara alamiah maupun migrasi penduduk desa ke kota. Dampak lainnya adalah alih guna lahan perdesaan menjadi perkotaan karena adanya peningkatan kebutuhan ruang untuk aktivitas kota (Hermawan 2010).

(41)

permukiman yang bukan kota. Pengkotaan berarti meningkatnya bagian penduduknya yang bertempat di kota, kemudian kota-kota itu sendiri yang tumbuh dan meluas atau mekar istilahnya. Pinggiran-pinggiran yang semula pedesaan berubah menjadi kota. UNDESA (2014) menyatakan bahwa proses perkembangan urbanisasi telah dikaitkan dengan transformasi ekonomi dan sosial, dimana telah membawa mobilitas geografis yang lebih besar, kesuburan lahan yang rendah, angka harapan hidup lebih lama dan penuaan populasi. Kota adalah sebagai faktor pendorong pembangunan yang penting sekaligus harapannya untuk pengurangan kemiskinan di daerah perkotaan dan pedesaan, karena di dalam kota terkonsentrasi banyak kegiatan ekonomi nasional, pemerintah, perdagangan dan transportasi, dan menyediakan jaringan penting dengan daerah pedesaan, antara kota-kota, dan melintasi perbatasan internasional.

Dari waktu ke waktu, sejalan dengan selalu meningkatnya jumlah penduduk perkotaan serta meningkatnya tuntutan kebutuhan kehidupan dalam berbagai aspek politik, ekonomi, sosial, budaya dan teknologi telah mengakibatkan meningkatnya kegiatan penduduk perkotaan. Baik meningkatnya jumlah penduduk perkotaan maupun kegiatan penduduk perkotaan telah mengakibatkan meningkatnya kebutuhan ruang kekotaan yang besar (Yunus 1999). Para pakar perkotaan mengemukakan bahwa pembangunan perkotaan di banyak negara Asia ditandai dengan pertumbuhan luas lahan terbangun terpancar dari pusat kota ke segala arah, dan melampaui batas kota dan metropolitan. Proses ini disebut sebagai fenomena Extended Metropolitan Region (EMR) (Firman 2012). Pertumbuhan perkotaan di Indonesia ditandai pula oleh pertumbuhan pesat wilayah pinggiran kota serta wilayah koridor yang menghubungkan kota-kota besar (Dharmapatni 1993). Hal ini dapat disebut dengan istilah conurbation. Kafkoula (2009) menyebutkan bahwa conurbation adalah penyatuan (coalition) dua atau lebih entitas perkotaan, yaitu cities atau towns, karena adanya gabungan antara peningkatan jumlah penduduk dan ekspansi fisik untuk membentuk satu kawasan pengembangan secara terus menerus. Perkembangan kawasan kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan lainnya yang dipengaruhi oleh urbanisasi skala mega memberikan dampak positif dan negatif terhadap perkotaan disekitarnya (Meiriya 2010).

Jakarta adalah salah satu metropolitan paling cepat berkembang di dunia. Selama tiga dekade terakhir (1980-2010) kota ini memiliki pertumbuhan ekonomi yang kuat sehingga terjadi migrasi besar-besaran dari kota-kota lain yang lebih kecil di negeri ini. Pertumbuhan populasi dan ekonomi yang luar biasa telah meningkatkan permintaan untuk lahan, sebagian besar untuk pembangunan perumahan dan kawasan industri. Akibatnya, kota metropolitan telah tumbuh secara spasial (Douglass 2005). Ketersediaan ruang di dalam kota adalah tetap dan terbatas, maka meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan mengambil ruang di daerah pinggiran kota (Yunus 1999). Kota-kota metropolitan tersebut terus tumbuh, sementara itu proses suburbanisasi terus berlangsung dengan pola distribusi yang semakin menyebar secara spasial (Henderson 1997 dalam Rustiadi dan Panuju 1999).

(42)

dan pertumbuhan ekonomi kota serta peningkatan penyediaan fasilitas transportasi (Miesckowski dan Mills 1993). Kopecky dan Suen (2004) mengemukakan bahwa suburbanisasi tersebut mengacu pada penyebaran penduduk perkotaan dan pekerjaan dari kota pusat/inti untuk masyarakat kota satelit yang disebut suburban. Menurut Van den Berg (1996) dalam Artawan (1998), suburbanisasi merupakan tingkatan dimana struktur suatu kota menjadi meluas dan mempengaruhi daerah sekitarnya serta menjanjikan kesejahteraan, sehingga penduduk daerah pinggiran bergerak menuju ke pusat kegiatan di pinggiran kota. Ouředníček et al. (2008) dalam Burian dan Voženílek (2012) menyebutkan terdapat dua pola suburbanisasi, yaitu dari sudut permukiman, dimana pembangunan permukiman-permukiman (kota-kota satelit) di daerah pinggiran kota; sedangkan dari sudut komersial mencakup pertumbuhan pusat perdagangan, manufaktur, gudang dan kegiatan logistik.

Kota Jakarta sebagai inti dari Jabodetabek telah mengalami perkembangan populasi yang rendah secara keseluruhan, sementara populasi Jabodetabek berkembang pesat. Hal ini menyebabkan konversi lahan dari lahan pertanian menjadi guna lahan non-pertanian di kawasan pinggiran, sedangkan di pusat kota banyak kawasan perumahan yang berubah menjadi kondominium, perkantoran, dan kawasan bisnis. Perkembangan Jabodetabek diindikasikan dengan berkembangnya kota-kota baru di kawasan pinggiran. Karakteristik dari sebagian besar pembangunan kota baru di kawasan pinggiran adalah kepadatan yang rendah, rumah tunggal, dan kawasan perumahan yang eksklusif untuk kalangan menengah ke atas (Firman 2014). Gejala pengambil alihan lahan non urban di daerah pinggiran kota disebut sebagai invasi. Proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar disebut urban sprawl (Northam 1975 dalam Yunus 1999). Proses merembetnya kenampakan kekotaan (kenampakan morfologis dan kepadatan penduduk) daerah di luar wilayah kota yang terjadi secara tidak terkontrol (Kitchin dan Thrift 2009). Akibat selanjutnya, daerah pinggiran kota akan mengalami proses transformasi spasial (lingkungan/SDA) dan transformasi sosial ekonomi. Proses perluasan permukiman yang terjadi di daerah pinggiran kota merupakan realisasi dari meningkatnya kebutuhan akan ruang di daerah perkotaan (Hermawan 2010). Suburbanisasi merupakan kondisi yang menggambarkan pertumbuhan daerah pinggiran kota besar. Suburbanisasi adalah salah satu penyebab terjadinya peningkatan urban sprawl (Siahaan 2012). Kota Metropolitan Jakarta telah mengalami urban sprawl (Fitriani dan Harris 2011).

(43)

Proses-proses (tipe) urban sprawl (Northam 1975 dalam Yunus (1999) adalah sebagai berikut:

Tipe 1 : Perembetan Konsentris (Concentric Development/Low Density Continous Development

Tipe pertama ini disebut sebagai low density, continous development dan concentric development. Jadi ini merupakan jenis perembetan areal kekotaan yang paling lambat. Perembetan berjalan perlahan-lahan terbatas pada semua bagian-bagian luar kenampakan fisik kota. Karena sifat perambatannya yang merata disemua bagian luar kenampakan kota yang sudah ada, maka tahap berikutnya akan membentuk suatu kenampakan morfologi kota yang relatif kompak.

Gambar 2 Perembetan konsentris

Tipe 2 : Perembetan Memanjang (Ribbon development/linear development/ axial development).

Tipe ini menunjukkan ketidakmerataan perembetan areal kekotaan di semua bagian sisi-sisi luar dari pada daerah kota utama. Perembetan paling cepat terlihat di sepanjang jalur transportasi yang ada, khususnya yang bersifat menjari (radial) dari pusat kota. Daerah ini sepanjang rute transportasi utama mengalami tekanan paling berat dari perkembangan. Membumbungnya harga lahan pada kawasan ini telah memojokkan pemilik lahan pertanian pada posisi yang sangat sulit.

Gambar 3 Perembetan memanjang

(44)

Tipe 3 : Perembetan yang meloncat (leap frog development/checkerboard development)

Tipe perkembangan ini oleh kebanyakan pakar lingkungan dianggap paling merugikan, tidak efisien dalam arti ekonomi, tidak mempunyai nilai estetika dan tidak menarik. Perkembangan lahan kekotaannya terjadi berpencaran secara sporadis dan tumbuh di tengah-tengah lahan pertanian. Keadaan ini sangat menyulitkan pemerintah kota untuk membangun prasarana-prasarana fasilitas kebutuhan hidup sehari-hari.

Gambar 4 Perembetan meloncat

Proses-proses urbanisasi tidak selamanya berdampak positif bagi daerah yang mengalami hal tersebut. Di beberapa kota, ekspansi perkotaan yang tidak direncanakan atau tidak memadai menyebabkan perembetan yang cepat, polusi, degradasi lingkungan, meningkatkan lalu lintas, melemahkan sumber daya lokal, dan menghancurkan ruang terbuka berbarengan dengan pola produksi dan konsumsi yang tidak berkelanjutan. Urban sprawl bertanggung jawab untuk perubahan dalam lingkungan fisik, dan dalam struktur bentuk dan tata ruang kota (UNDESA 2014; Bhata 2010).

Pembangunan Berkelanjutan dan Kota Berkelanjutan

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
Tabel 1 Pengertian dan kategori kota baru penunjang
Gambar 2 Perembetan konsentris
Tabel 2 Prinsip dasar kota yang berkelanjutan (dikembangkan dari Research
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara masih sulit untuk dilaksanakan karena selama ini pemerintah belum menyiapkan kebijakan dan strategi

Program pembangunan kawasan transmigrasi merupakan salah satu program pengembangan dan pembangunan wilayah yang dilaksanakan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya

Skenario yang terbaik untuk kebijakan pengembangan pariwisata pesisir di kawasan barat Serang, Banten adalah berdasar pada aspek ekologi, sosial dan

Pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara masih sulit untuk dilaksanakan karena selama ini pemerintah belum menyiapkan kebijakan dan strategi

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganalisis aspek administrasi dan dominasi politik dalam formulasi kebijakan Rencana Pembangunan Jangka

Sehingga untuk itu perlu disusun suatu kebijakan dan strategi baru yang cakupannya dapat meliputi bidang perumahan dan permukiman sebagai satu kesatuan yang tidak

BAB 4 PEMBAHASAN Bab ini berisikan gambaran umum bank sampah di wilayah penelitian, analisis dan pembahasan tentang peran bank sampah sebagai konsep pengelolaan sampah berkelanjutan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi wisata budaya, motivasi pengunjung serta hubungannya dengan minat dan umur wisatawan untuk kegiatan wisata budaya di Kota