• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi morfo-ekotipe pala menggambarkan karakteristik ekologi seperti kondisi tanah, fisiografi lahan, tanah, iklim, dan karakteristik tanaman pala itu sendiri khususnya morfologi, produksi dan buah.

Pertanaman pala di Maluku dan Maluku Utara terletak pada lanskap perbu-kitan hingga pegunungan dengan kemiringan lereng 10 sampai 45% dan dari ke-tinggian hingga 400 m dpl. Pertanaman pala di Banda, Ambon, dan Luhu terletak mulai dari kaki gunung yang berjarak beberapa meter di atas permukaan laut (dpl) hingga sekitar 500 m dpl. Sementara itu, areal pala di Ternate, Tidore, dan Bacan terletak di lanskap pegunungan yang jaraknya sekitar beberapa kilometer dari tepi pantai. Sebagian besar wilayah Maluku bertipe iklim IIIC kecuali kepulauan Banda yang bertipe IIB. Dalam setahun wilayah Maluku menerima rata-rata cu-rah hujan 2.029 hingga 2.951 mm dengan suhu 22,1 sampai 31,0 oC; kelembaban 82,1 sampai 85,5%; dan penyinaran 57 hingga 59%; serta memiliki dua pola hu-jan: fluaktutif (multiple wave) dan ganda (double wave).

Pertanaman pala di Maluku Utara terdapat pada ketinggian dari 20 m hingga 500 m dpl. Intensitas penyinaran matahari yang sedang (50-60%) dan ketersediaan air hujan yang cukup sepanjang tahun adalah kondisi ekotipe yang sangat baik ba-gi perkembangan pala Banda. Selain itu, tanah vulkanik subur yang mendominasi lahan pala di Maluku (Gunung Salahutu, Gunung Binaya, Gunung Api Banda) dan Maluku Utara (Gunung Gamalama) menjadikan kondisi yang baik bagi pro-duktivitas tanaman. Di luar habitat aslinya, pala Banda juga berkembang pada daerah-daerah vulkanik. Vernon et al. dalam Purseglove et al. (1981) dalam sur-vei tanah yang dilakukan di Grenada menunjukkan bahwa pulau-pulau tempat pa-la berkembang tanahnya hampir seluruhnya berkarakteristik vulkanik, tersusun dari batuan piroklastik dan lava masif. Kondisi ekologi yang demikian memben-tuk, hingga tingkat tertentu, karakteristik khas pala Banda seperti sifat morfologi dan agronomi.

Data ekologi, morfologi, dan agronomi penting dalam penyusunan suatu desktipror pala. Deskriptor merupakan pedoman deskripsi karakteristik tanaman atau varietas yang berguna untuk identifikasi spesies atau varietas (IPGRI 1980).

Berdasarkan uji Bartlett, karakteristik morfologi pala Banda memper-lihatkan stabilitas yang tinggi (90%) di dua ekotipe, Maluku dan Maluku Utara. Sifat stabilitas karakter menguntungkan tanaman baik dari segi agronomi maupun ekologi. Secara agronomi, karakteristik morfologi yang stabil dapat digunakan se-bagai identitas dalam identifikasi varietas (Guiard 1995). Pemanfaatkan karakter morfologi sebagai deskriptor tanaman/varietas dapat diterima apabila sifat-sifat tersebut memiliki nilai heritabilitas yang tinggi dan stabil (Cross 1990).

Berdasarkan analisis DNA pala ekotipe Maluku Utara memperlihatkan ja-rak genetik 0,22 dari pala yang terdapat di luar ekotipe Banda. Tampaknya bahwa semakin jauh jarak geografis dari Banda, DNA cenderung bervariasi dengan iden-titas genetik (0,7626 unit) dan jarak genetik (0,2710 unit) yang tidak banyak beru-bah. Di luar ekotipe aslinya, pala Banda tidak cukup banyak mengalami variasi dalam level molekuler isozim maupun DNA.

Karakteristik pala Banda penting lainnya adalah produksi buah dan minyak atsiri. Buah dengan edible portion tinggi seperti yang ditunjukkan oleh pala ekotipe Bacan (EP = 84.23%) menguntungkan bagi pengembangan industri manisan pala. Proporsi daging buah yang tinggi pala ekotipe Bacan memiliki nilai ekonomi yang baik. Produktivitas per tahun pala Banda berkisar 1.700 sampai 2.600 buah/pohon. Tingkat produksi tersebut setengah dari potensi produksi yang dapat dicapai. Pe-mupukan tanaman dapat menghasilkan pala 5.000 buah/pohon/tahun. Produksi tersebut setara dengan 26 kg biji kering. Produktivitas pala Banda juga dapat di-perbaiki dengan pengaturan jarak tanam dan pemangkasan pohon pelindung seca-ra teseca-ratur. Pohon pelindung bagi pala adalah hal yang pokok dan diperlukan se-lama siklus pertumbuhan tanaman.

Minyak atsiri adalah komponen produksi penting lainnya dari pala Banda. Penelitian menunjukkan bahwa biji dan fuli menghasilkan kadar minyak pala yang berbeda. Fuli, yang merupakan arilus biji, mengandung minyak atsiri lebih tinggi daripada biji. Kandungan minyak atsiri pala (biji tua) ekotipe Maluku seki-tar 8,2 - 8,9% dan Maluku Useki-tara 8,54 - 9,7%. Kadar minyak tersebut lebih tinggi pada biji yang lebih muda (panen biji umur 3-5 bulan) dan fuli. Pala biji muda ekotipe Maluku mengandung minyak 11,3-13,1% dan Maluku Utara 11,0-13,3%. Kandungan minyak dalam fuli lebih tinggi lagi, yaitu 18,7 - 21,0% untuk Maluku,

dan 19,5 - 21,98% untuk Maluku Utara. Fuli merupakan arilus yang mempunyai banyak sel-sel yang berperan meyimpan minyak atsiri dalam konsentrasi tinggi.

Kandungan minyak atsiri pala bergantung pada spesies tanaman, organ yang diekstrak, umur panen, dan cara ekstraksi. Spesies M. fragrans Houtt hingga saat ini adalah jenis pala yang memiliki produktivitas dan kualitas yang lebih tinggi dari spesies lainnya, misalkan M. argentea Warb dan M. malabarica L. Spesies

M. argentea Warb yang merupakan pala Papua memiliki kandungan minyak atsiri yang rendah dan beraroma tidak sedap (Purseglove et al. 1981). Demikian juga halnya dengan M. malabarica L yang bahkan minyak atsiri yang dihasilkan tidak memiliki aroma (Guenther 1952).

Kadar minyak juga bergantung pada organ tanaman pala. Biji dan fuli ada-lah dua organ utama penghasil minyak atsiri dalam konsentrasi yang tinggi jika dibandingkan dengan organ lainnya. Sutedja (1980) dalam penelitiannya menun-jukkan bahwa daun pala yang diekstrak dengan cara distilasi hanya meng-hasilkan 1,7% minyak atsiri. Pada penelitian yang sama, biji dan fuli masing-masing menghasilkan minyak atsiri 17,1% dan 21,8%. Biji pala muda mengandung mi-nyak atsiri yang lebih tinggi dibandingkan organ pala lainnya. Biji pala muda pa-la ekotipe Ternate mengandung minyak atsiri yang lebih tinggi, yaitu 13,32%. Kandungan minyak atsiri yang tinggi pada biji pala muda disebabkan oleh kon-sentrasi minyak yang terakumulasi dan belum mengalami degrarasi untuk peng-gunaan proses metabolisme dan translokasi.

Minyak atsiri atau minyak pala diperoleh melalui beberapa metode ektraksi dan distilasi (Daferera et al. 2002; Guo dan Yu 1985). Metode distilasi minyak pala dilakukan dengan menggunakan air (hydro distillation) atau uap panas (steam distillation). Minyak pala mudah menguap (sehingga disebut volatile oil), ber-warna bening hingga kuning pucat dan memiliki bau dan rasa khas pala. Di udara terbuka, minyak pala mengalamai oksidasi dan resinifikasi sehingga menghasilkan minyak yang lebih kental (David et al. 2001).

Sifat minyak pala tampaknya bergantung pada karakteristik lokasi geografi atau ekologi. Penelitian menunjukkan pala ekotipe Tidore menghasilkan minyak pala berwarna kuning pucat, sedangkan ekotipe lainnya bening (Gambar 9). Ka-rakteristik minyak pala lainnya adalah sifat fisiko-kimia. Sifat fisiko-kimia

mi-nyak pala yang utama adalah bobot jenis, indeks bias, putaran optik, dan kelarutan dalam alkohol. Sifat-sifat tersebut menentukan mutu minyak pala. Menurut Tjip-tadi dan Yasnita (1986) lama waktu distilasi mempengaruhi bobot jenis, indeks bias, putaran optik, dan sisi penguapan. Sifat fisiko-kimia minyak pala ekotipe Maluku umumnya stabil daripada Maluku Utara. Bobot jenis pala ekotipe Malu-ku adalah 0,897 - 0,909 ml/g, sedangkan MaluMalu-ku Utara 0,884 - 0,910 mm/g. Ki-saran bobot jenis yang diperoleh sesuai dengan SNI pala nasional. Bobot jenis minyak pala yang memenuhi standar menurut SNI adalah 1,488 - 1,495 (kiteria lengkap terdapat pada Tabel 29). Stabilitas dalam bobot jenis pala Banda penting karena menentukan kualitas komersialnya. Sifat fisiko-kimia lainnya adalah in-deks bias. Penelitian menunjukkan kedua ekotipe memiliki pala dengan inin-deks bi-as yang stabil, yaitu 1,489 - 1,491 untuk ekotipe Maluku, dan 1,486 - 1,149 untuk Maluku Utara. Kriteria indeks bias yang ditetapkan oleh British Standard Institu-tions for Nutmeg Oil bagi minyak pala East Indian adalah 1,4750 - 1,488, dan ba-gi West Indian adalah 1,4720 - 1,4760 (Peter 2001).

Penelitian selanjutnya menunjukkan pala Maluku dan Maluku Utara me-ngandung 28 sampai 31 komponen atsiri. Sebagian besar komponen penyusun minyak atsiri pala Banda adalah senyawa terpenoid (hidrokarbon monoterpen dan monoterpen teroksigenasi). Kandungan senyawa terpenoid yang tinggi adalah hal umum yang dilaporkan oleh beberapa peneliti minyak atsiri (Buckmire 1992). Penelitian menunjukkan bahwa pinen adalah komponen atsiri yang dominan ter-dapat dalam minyak atsiri pala Banda. Komponen atsiri utama lainnya adalah se-nyawa aromatik. Analisis GC-MS mendeteksi adanya empat sese-nyawa aromatik utama minyak atsiri pala Banda, yaitu miristisin, elemisin, safrol, dan eugenol. Pala ekotipe Banda mengandung miristisin tertinggi 13,76%; sementara ekotipe Ternate mengandung safrol cukup tinggi, yaitu 3,37%; dan pala ekotipe Tidore kaya komponen euogenol (9,82%). Miristisin, elemisin, dan safrol adalah senya-wa atsiri yang bersifat halusinogenik dan toksik. Oleh karena itu, pala dengan ka-dar senyawa aromatik tinggi secara ekonomi menguntungkan untuk dikembang-kan terutama untuk industri farmasi. Kandungan dan komposisi komponen atsiri minyak pala cukup bervariasi antar ekotipe. Kan et al. ( 2006) dalam penelitian-nya menyimpulkan bahwa komposisi kimia mipenelitian-nyak atsiri bergantung pada kondisi

iklim, musim, faktor geografis dan tanah, waktu panen, dan teknik distilasi yang digunakan. Minyak atsiri umumnya terdiri atas berbagai campuran se-nyawa ki-mia yang terbentuk dari unsur karbon, hidrogen, oksigen, dan unsur lainnya seper-ti nitrogen dan belerang (Copalakrishnan 1992).

Secara ekologi karakteristik pala Banda baik dalam aspek morfologi, agro-nomi, dan DNA memperlihatkan variasi yang kecil. Pada level morfologi, pala Banda di enam ekotipe menunjukkan variasi sekitar 10%. Pada level DNA, pala Banda tidak cukup banyak berubah sebagaimana ditunjukkan oleh identitas gene-tik yang hanya turun hingga sekitar 76,3%. Perubahan tersebut terjadi pada pala Banda ekotipe Ternate. Homogenitas populasi pala Banda pada agroekosistem di Maluku dan Maluku Utara sangat mendukung stabilitas karakter genetik. Penyer-bukan silang yang merupakan tipe utama perkembangbiakan seksual pala Banda tidak cukup tekanannya untuk mengubah performa genetik sebab ekotipe tersusun oleh populasi pala Banda yang sangat homogen. Terhadap karakteristik isozim, pala Banda memperlihatkan performa yang lebih homogen/stabil.

Terhadap karakteristik agronomi, seperti produksi dan sifat-sifat buah peru-bahannya cukup beragam. Variasi karakter agronomi yang terjadi antar ekotipe lebih banyak ditentukan oleh pengaruh faktor-faktor lingkungan tanaman. Pro-duksi sebagai karakter kuantitatif biasanya sangat bergantung pada kondisi ling-kungan. Faktor lingkungan seperti tingkat kesuburan tanah, penyinaran matahari, suhu udara dan ketersediaan lengas tanah adalah faktor dominan yang secara lang-sung berhubungan dengan produktivitas tanaman. Flamini et al. (2002) dalam penelitiannya pada Rosmarinus officinalis L menyatakan bahwa karakteristik agronomi dan produksi dicirikan oleh kondisi ekotipe tanaman. Lebih jauh Copalakrishnan (1992) memperlihatkan bahwa komposisi minyak atsiri pala ber-variasi menurut asal geografisnya. Tidak ada penelitian yang mendalam menge-nai hubungan variasi produksi minyak atsiri dengan karakteristik ekologis begitu juga dengan faktor genetik tanaman. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor lingkungan ekologis bersama-sama dengan faktor genetik tanaman membentuk fenotipe dengan karakteristik tertentu tanaman.

Dalam sistem budidaya, pengelolaan tanaman pala di Maluku dan Maluku sepenuhnya tidak memasukkan input teknologi produksi, seperti misalnya

pembe-rian pupuk kimia dan pengendalian hama/penyakit dengan pestisida. Pengelolaan tanpa input teknologi pertanian telah lama dipraktekkan oleh petani pala di Malu-ku dan dilaMalu-kukan secara turun-ternurun. Oleh karena itu, sistem budidaya pala di Maluku dan Maluku Utara dapat dikategorikan sebagai sistem pertanian organik penuh (fully organic farming system). Dari sisi produktivitas, sistem tanpa input tidak dapat menghasilkan produksi maksimal, tetapi dari sisi ekologis sangat menguntungkan. Pertanaman pala dengan sistem pertanian organik bebas dari ba-han kirnia (pupuk, pestisida atau zat pengatur tumbuh) yang berpotensi meng-ganggu ekosistem dan lingkungan.

Dalam penelitian diketahui dari informasi petani bahwa pemberian input teknologi, misalnya pupuk kimia dapat dilakukan, tetapi urnumnya tidak dikehen-daki oleh petani. Petani pala, khususnya di Maluku menghendikehen-daki tingkat produk-tivitas seperti saat ini. Menurut pengalaman petani, produkproduk-tivitas pala yang mele-bihi tingkat saat ini dapat mempersingkat umur biologis tanaman. Meski belum ada penelitian yang membuktikan pernyataan petani tersebut, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa umumnya pohon-pohon pala dengan pengelolaan sangat minimal masih memperlihatkan produktivitas yang relatif tinggi dan stabil bahkan hingga berumur di atas 50 tahun.

Kandungan dan komposisi minyak atsiri pala berhubungan dengan ristik ekotipe sebagaimana dilaporkan oleh Kan et al. ( 2006). Perubahan karakte-ristik ekotipe, seperti perubahan tingkat kesuburan tanah akibat pemupukan ke-mungkinan berpotensi mengubah karakteristik tanaman, termasuk kadar dan kom-ponen dari minyak atsiri. Untuk pengembangan dan pelestarian plasmanutfah, pa-la Banda perlu diarahkan pada program yang disebut perlindungan indikasi geo-grafis. Program perlindungan indikasi geografis penting untuk menjaga ciri khas dan karakteristik Banda. Selain itu, juga diperlukan upaya yang menga-rah pada pelepasan pala Banda sebagai varietas.

Dokumen terkait