• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanaman Pala

Pala (Myristica fragrans Houtt) tergolong ke dalam famili Myristicaceae yang menurut taksonomi tumbuhan terletak antara Annonaceae dan Lauraceae (Joseph 1980). Famili Myristicaceae memiliki 18 genus dan sekitar 300 spesies. Myristica adalah genus terbesar dengan 72 spesies yang diketahui banyak tersebar mulai dari India dan Sri Lanka sampai ke timur mulai dari Malaysia hingga ke Australia bagian timur laut, Taiwan dan Pasifik termasuk Kepulauan Solomon, Fi-ji dan Samoa (Purseglove et al. 1981). Sebagian besar spesies genus Myristica, yaitu sekitar 34 spesies, endemik ditemukan di Papua sehingga oleh beberapa pe-neliti Papua dipandang sebagai pusat asal dan penyebaran tanaman pala.

Spesies utama pala yang telah dibudidayakan adalah M. fragrans Houtt, M. succedanea Warb, dan M. argentea Reinw. Dua spesies pertama banyak dijumpai di Maluku dan Maluku Utara, sedangkan yang terakhir banyak terdapat di Papua. 1. Myristica fragrans Houtt

Tanaman pala Banda sejak tahun 1834 telah menyebar luas ke berbagai tempat seperti misalnya ke Grenada, Pinang Malaysia, Sri Lanka, dan Kerala In-dia (GCNA 2001). Di Indonesia, jenis tersebut sudah dikembangkan secara ko-mersial di beberapa daerah, seperti di Manado, Aceh, Makassar, Papua, dan Bo-gor.

Spesies M. fragrans Houttmemiliki 44 kromosom somatik (2n) yang bersi-fat holokinetik, yaitu mempunyai berkas gelendong yang menyelimuti seluruh kromosom (Purseglove et al. 1981). Dalam taksonomi, spesies tersebut sinonim dengan M. officinalis L.f., M. moschata Thumb, dan M. aromatica Lamk (De Guzman dan Siemonsma 1999). Di Indonesia jenis tersebut lebih dikenal seba-gai pala Banda dan diketahui merupakan pala yang bernilai ekonomi paling tinggi.

Pala Banda berbentuk pohon yang tidak meranggas (evergreen) dengan tinggi 4 hingga 10 m, kadang mencapai 20 m (Gambar 2a). Umumnya tanaman bersifat diosius (dioecious) atau berumah dua namun kadang ditemukan yang mo-nosius (monoecious) atau berumah satu (Purseglove et al. 1981). Seluruh bagian tanaman bersifat fragran atau beraroma khas pala. Tanaman memasuki fase

gene-ratif setelah berumur 5 hingga 7 tahun yang ditandai dengan terbentuknya bunga. Tanaman yang berbunga jantan akan berkembang menjadi pohon jantan yang ti-dak menghasilkan buah, sementara yang berbunga betina akan menghasilkan ta-naman betina yang menghasilkan buah. Hingga kini jenis kelamin pala belum bisa diketahui sampai bunga terbentuk meskipun telah dilakukan penelitian hingga ke tingkat molekuler.

(a) (b) (c)

Gambar 2 Pohon pala M. fragrans Houtt (a), M. argentea Warb (b) dan

M. succedanea Reinw (C). (Inzet: buah).

Buah pala menghasilkan dua produk berbeda yaitu biji pala dan fuli. Biji pala adalah bagian utama buah yang menghasilkan bahan rempah. Biji mencapai umur matang setelah enam hingga sembilan bulan. Fuli pala merupakan arilus biji yang berubah warna menjadi merah darah pada saat biji atau buah berumur tujuh sampai sembilan bulan.

Beberapa sifat buah M. fragrans Houtt, yaitu untuk setiap 100 g mengan-dung 10 g air, 7 g protein, 33 g mentega pala, 5 g minyak atsiri, 30 g karbohidrat, 11 g serat, 2 g abu (De Guzman dan Siemonsma 1999). Dalam minyak pala terdapat senyawa aromatik miristisin yang bersifat halusinogenik dan toksik. 2. Myristica argentea Warb

Spesies tersebut di Indonesia lebih dikenal sebagai pala Papua atau pala Irian. Jumlah kromosom somatik atau genom diploidnya adalah 44 (De Guzman dan Siemonsma 1999). Pohonnya lebih besar dari pala Banda dan dapat mencapai

tinggi 15 sampai 20 m dengan daun yang tebal dan lebar (Gambar 2b). Batang berwarna gelap atau sawo kehitaman.

Bunga jantan berbentuk infloresens yang terdiri atas 3 sampai 5 bunga. Bunga betina ukurannya lebih kecil bunga jantan dan biasanya tunggal. Spesies tersebut memiliki ciri khas dari buahnya yang besar dan lonjong. Begitu pula dengan biji yang dihasilkan yang dapat mencapai ukuran panjang 4 cm. Buah terbelah saat mencapai umur masak. Buah tanaman tersebut memiliki kandungan komponen atsiri safrol yang tinggi (De Guzman dan Siemonsma 1999). Daging buah yang tebal menjadikan pala Papua sesuai untuk industri manisan atau asinan pala.

3. Myristica succedanea Reinw

Pala M. succedanea Reinw terdapat banyak di Maluku Utara, yaitu di Ter-nate, Tidore, Bacan, dan Halmahera. Di Maluku Utara spesies tersebut dikenal sebagai pala Patani. Tinggi pohon mencapai 10 sampai 20 m (Gambar 2c). Kanopi pohon M. succedanea Reinw berbentuk piramida hingga lonjong dengan perca-bangan yang agak teratur (Hadad 1992). Bunga jantan dalam beberapa buah atau infloresensia dan beraroma. Sementara bunga betina lebih pendek dari bunga jan-tan dan biasanya tunggal.

Buahnya agak lonjong dengan biji yang bulat sampai lonjong. Pala jenis tersebut meskipun menghasilkan fuli yang tebal, kualitasnya lebih rendah diban-dingkan dengan pala Banda. Sebagian besar spesies genus Myristica berbentuk pohon tropik yang bersifat tak meranggas, tumbuh di daerah hutan hujan tropis di dataran rendah hingga ketinggian 400 m dpl namun beberapa spesies ditemukan tumbuh di pegunungan dengan elevasi hingga 700 m dpl (Purseglove et al. 1981).

Dalam penamaan spesies pala seringkali dijumpai beberapa kesamaan na-ma atau sinonim. Tabel berikut memuat nana-ma-nana-ma spesies utana-ma pala dan sino-nimnya. Nama M. fragrans Houtt misalnya, mempunyai empat sinomin, yaitu M. argentea Warb satu sinonim, dan M. Succedane Reinw tiga sinonim. Kejelasan nama spesies pala sangat penting untuk menghindari penamaan ganda bagi spesies yang secara botani adalah sama. Tabel 1 berikut memuat beberapa nama sino-mim spesies pala.

Tabel 1 Spesies utama genus Myristica dan sinonimnya

Spesies Sinonim Nama umum Sumber

M. fragrans Houtt M. officinalis L

M. moschata Thunb

M. aromatica Lamk Pala Banda

(1)

M. ambeinensis Gandoger (2)

M. argentea Warb M. finschii Warb Pala Papua/pala Makassar

(1)

M. succedanea Reinw M. radja Miquel

M. schefferi Warb M. speciosa Warb

Pala Halmahera (1)

M. fatua Houtt - Pala jantan (1)

Ket.: (1) Purseglove et al., 1981; (2) Groome, 1970.

Selain empat spesies di atas, dikenal pula spesies Myristica ekotipe Malabar yang disebut Myristica malabarica L, dan Virola surinamensis Rol. (Groome 1970). Spesies V. surinamensis Lamk adalah jenis pala liar yang berkembang di ekotipe Suriname dan tidak dibudidayakan karena tidak memiliki nilai ekonomi yang berarti.

Studi genetik pada tanaman pala sangat sedikit dilakukan. Di Indonesia, hampir tidak ada laporan yang memadai mengenai aspek genetik maupun pemu-liaan pala. Studi sitologi yang dilaporkan oleh Purseglove et al. (1981) menyata-kan bahwa M. fragrans Houtt memiliki kromosom somatik 2n sebanyak 42, de-ngan kromoson dasar diduga sebanyak 7 buah. Penelitian lainnya melaporkan bahwa pala memiliki kromosom 2n = 44 (Peter 2001).

Morfologi Tanaman

Tanaman pala berbentuk pohon berukuran sedang, tajuk umumnya konikal atau semi piramida, daun agak kaku dan tak-meranggas. Tinggi rata-rata antara 4 sampai 10 m namun kadang mencapai 20 m atau lebih. Tanaman dikembangkan terutama dari biji. Di Indonesia, hampir seluruh pertanaman berasal dari biji, tetapi di Grenada sebagian besar perkebunan pala awalnya menggunakan bibit vegetatif. Pohon pala yang berumur lebih dari 30 tahun dapat mencapai lingkar batang 150 hingga 180 cm. Pohon pala di perkebunan Plaisance estate, Grenada ada yang mencapai umur hingga lebih 80 tahun dengan lingkar batang 200 sampai 250 cm (GCNA 2001).

Pala umumnya bersifat diosius (bunga jantan dan betina terdapat pada tana-man yang berbeda) tetapi kadang dijumpai monosius yaitu bunga jantan dan be-tina terletak pada pohon yang sama. Pengamatan di hutan pala Maluku dan Malu-ku Utara menunjukkan bahwa berdasarkan letak bunga, terdapat tiga tipe tanaman pala yaitu tanaman jantan, tanaman betina, dan tanaman hermaprodit. Tanaman jantan didominasi oleh Myristica fatua Houtt, betina oleh M. fragrans Houtt, dan hermaprodit di antara keduanya. Pada pala tidak dikenal bunga hermaprodit.

Tanaman pala jantan dicirikan oleh habitus yang lebih kecil dari tanaman betina, memiliki cabang yang lebih tegak, daun lebih kecil dan menghasilkan ba-nyak bunga jantan dalam bentuk rangkaian yang membawa 3 sampai 15 bunga per rangkaian. Jumlah bunga betina antara 1 sampai 3 per rangkaian. Bunga betina dan jantan keduanya berbentuk oval berwarna kuning gading dengan ukuran pan-jang sekitar 4 sampai 8 mm. Dalam perkebunan pala, umumnya rasio pohon jan-tan terhadap betina dipertahankan 1:10 (Hadad 1990).

Struktur dan sifat tanaman pala yang menyerupai pohon menjadikan tana-man tersebut sebagai tanatana-man hutan yang berfungsi menghijaukan kawasan lereng pegunungan yang penting dalam mencegah erosi. Pala memiliki sistem perakaran yang dangkal namun ekstensif, satu akar tunggang dan beberapa cabang akar se-kunder yang menyebar hanya beberapa cm di bawah permukaan tanah. Kedala-man akar tanaKedala-man sekitar 3,5 sampai 5 m. Pala memiliki sistem perakaran yang dangkal sehingga mudah tumbang oleh terpaan angin kencang. Pada tahun 1955 tercatat 80% populasi tanaman di perkebunan pala di Grenada rusak oleh badai angin 'Janet' (Muller et al. 1980).

Pembungaan pala terjadi pada waktu yang sama antara pohon monosius dan diosius. Umumnya bunga muncul pertama kali ketika tanaman mencapai umur 5 sampai 7 tahun. Tanaman pala berbunga lebat dua kali setahun, yaitu April sam-pai Mei dan November samsam-pai Desember. Di beberapa daerah di Maluku terjadi sedikit variasi dalam musim berbunga (maju atau mundur) dari dua periode yang disebut di atas. Bunga pala berkembang menjadi buah dan siap dipanen setelah 7 sampai 9 bulan. Setelah mencapai umur lebih dari 7 bulan, buah terbelah dua dan melepaskan biji sebagai pertanda kematangan. Masa berbunga dan berbuah

tana-man pala akan terus berlangsung silih berganti tanpa ada batas yang jelas antara musim pertama dan berikutnya.

Penyerbukan bunga pada tanaman pala tidak sepenuhnya dipahami. Bebera-pa laporan menyebutkan penyerbukan Bebera-pala dibantu oleh sejenis ngengat yang dis-ebut 'mibone'. Pengamatan di Maluku dan Maluku Utara menunjukkan bahwa ngengat dan semut hitam kemungkinan berperan dalam penyerbukan sebab kedu-anya seringkali hadir pada waktu tanaman pala dalam fase pembungaan. Semut sangat tertarik oleh nektar yang dihasilkan bunga jantan maupun betina. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Cruickshank (1973). Flach (1966) berpendapat bahwa pala tergolong ke dalam tanaman yang menyerbuk silang obligat.

Kondisi Umum Ekotipe Maluku dan Maluku Utara

Maluku Tengah yang mencakup Pulau Ambon, Kepulauan Banda, dan Pulau Seram terletak pada 2,50 - 7,50 Lintang Selatan dan 126,50 - 132,50 Bujur Timur. Kawasan tersebut dibatasi oleh Laut Seram di Utara, Laut Banda di Selatan, Pulau Buru di Barat, dan perairan Papua di Timur.

Luas wilayah Maluku Tengah sekitar 257.890 km2 dengan luas daratan 19.594 km2. Luas Pulau Ambon, Kepulauan Banda, dan Pulau Seram dan pulau-pulau sekitarnya masing-masing 761 km2, 172 km2, dan 18.679 km2. Maluku tengah juga merupakan daerah bergunung. Gunung Salahutu merupakan gunung tertinggi (1.038 m dpl) yang terletak di Pulau Ambon, gunung Api di Kepulauan Banda (667 m dpl), dan gunung Binaya di Pulau Seram (3.027 m dpl).

Iklim Maluku Tengah dipengaruhi oleh iklim laut dan angin munson, dan oleh karenanya disebut beriklim tropik monsoon (BPS Maluku 2003). Suhu udara di Pulau Ambon berkisar 23,6 dan 30,1 0C; kelembaban relatif 84%, dan tingkat penyinaran sekitar 59%. Hujan banyak turun pada bulan Juni sampai Agustus dengan rata-rata 218 mm/bulan. Di Kepulauan Banda, suhu berkisar 22,6 dan 30,7 0C. Hujan banyak terjadi pada bulan April hingga Mei dengan curah hujan rata-rata 250 mm/bulan dengan pola yang tidak jelas. Penyinaran matahari sekitar 65,2% dan kelembaban relatif 80,5%. Di Pulau Seram, suhu udara berkisar 22,1 dan 31 0C, tingkat penyinaran matahari 59%, dan kelembahan udara 85,4%. Seperti di Pulau Ambon, frekuensi hujan tertinggi di Pulau Seram terjadi pada bulan Juni sampai Agustus dengan rata-rata 185 mm/bulan.

Wilayah Maluku memiliki areal sekitar 472.142 ha yang potensial untuk pengembangan komoditas unggulan tanaman industri seperti cengkeh dan pala. Untuk komoditas perkebunan seperti kelapa, kakao, dan kopi robusta tersedia lahan seluas 443.438 ha, dan kopi arabika serta kayu manis dengan luas 29.864 ha. Tanaman perkebunan lainnya yang dapat dikembangkan adalah jambu mete, sukun, kemiri, kapuk randu, atau kayu-kayuan dengan luas tersedia 120.442 ha. Tanaman hortikultura buah-buahan tahunan yang diunggulkan adalah manggis, salak, durian, lengkeng dengan luas tersedia 617.401 ha. Pengembangan lahan basah atau sawah diarahkan pada areal dengan luas 265.386 ha, sedangkan untuk lahan kering, komoditas yang diunggulkan adalah padi gogo, jagung, dan kacang tanah dengan luas 114.948 ha. Untuk pengembangan perikanan air payau (tambak) tersedia areal 26.466 ha. Komoditas pala di Maluku Tengah dikembang-kan di atas areal lebih dari 5,2 ribu ha. Menurut data tahun 2003, luas areal pala di Pulau Ambon, Banda, dan Seram Barat masing-masing 449, 18, dan 128 ha dengan produksi berturut-turut 41, 244 dan 10 ton.

Sementara itu, komoditas unggulan yang direkomendasikan untuk Maluku Utara adalah cengkeh dan pala dengan luas sekitar 498.125 ha. Maluku Utara memiliki areal pala sekitar 9.833 ha dengan produksi 5,9 ton. Pada areal yang sama juga dapat dikembangkan tanaman hortikultura buah seperti manggis, salak, durian, dan lengkeng (BPS Maluku Utara 2003).

Komoditas tanaman tahunan yang diunggulkan adalah kelapa dan kakao yang dikembangkan pada daerah-daerah dataran rendah dengan luas tersedia sekitar 62.285 ha. Untuk pertanian dataran tinggi, pengembangannya diarahkan pada produksi kopi arabika atau kayu manis dengan luas sekitar 62.285 ha. Tanaman pangan lahan basah yang dapat dikembangkan di daerah Maluku Utara adalah padi sawah dengan luas 290.266 ha, dan pada lahan tersebut dapat diusahakan tanaman palawija dan atau hortikultura sayuran/buah. Untuk tanaman pangan lahan kering yang diunggulkan adalah padi gogo, jagung, dan gembili dengan luas tersedia 140.532 ha. Wilayah Maluku Utara juga direkomendasikan bagi penanaman tanaman hortikultura buah-buahan unggulan seperti jeruk dan mangga dengan luas 665.723 ha. Tanaman pangan secara terbatas juga direkomendasikan. Untuk tanaman pangan lahan basah tersedia lahan seluas

290.266 ha. Tanaman pangan lahan kering mencakup lahan untuk pengembangan tanaman gembili dengan luas 140.532 ha. Pengembangan untuk perikanan tambak tersedia areal seluas 26.466 ha. Untuk hutan produksi, lahan tersebut diarahkan peruntukannya untuk kawasan hutan dengan luas tersedia 1.888.464 ha, dan untuk kawasan konservasi seluas 805.541 ha.

Minyak Pala dan Komponen Atsiri

Minyak pala terutama dihasilkan melalui proses distilasi biji pala dan fuli. Distilasi uap (steam distillation) dan distilasi air (hydrodistillation) merupakan dua metode ekstraksi minyak yang bekerja berdasarkan suhu dan tekanan uap. Metode distilasi dapat menghasilkan minyak 5 sampai 15% bobot pala. Pala menghasilkan minyak yang tidak berwarna, kuning pucat atau hijau muda, peka cahaya dan suhu, dan beraroma khas pala (Peter 2001). Minyak pala larut dalam alkohol tetapi tidak larut dalam air.

Dikenal dua tipe minyak pala, East Indian dan West Indian. Minyak pala East Indian dan West Indian berbeda dalam aroma dan mutu. Minyak pala East Indian, yang sebagian besar berasal dari Indonesia, lebih unggul daripada minyak pala West Indian karena memiliki aroma yang lebih disukai dan mengandung komponen eter fenil propanoid (Masada 1976) dan terpen (Lewis 1984) yang tinggi. Selain itu, minyak pala East Indian dilaporkan kaya senyawa aromatik mi-ristisin (hingga 14%) jika dibandingkan dengan minyak pala West Indian yang kandungannya kurang dari 1%.

Tabel 2 Karakteristik minyak pala East dan West Indian menurut British Standards Institution for nutmeg oil

Karakteristik (pada 20 oC ) East Indian West Indian

Warna : Tak berwarna-kuning Tak berwarna-kuning pucat Bobot jenis (g/ml) : 0,885 - 0,915 0,860 - 0,880

Putaran optik : 8,00 - 25,00 25,00 - 450

Indeks bias : 1,4750 - 1,4880 1,4720 - 1,4760

Kelarutan dlm etanol 90% : 3,0 volume 4,0 volume Minyak fuli diperoleh melalui distilasi uap arilus kering dan menghasilkan 4 sampai 17% minyak. Minyak fuli berwarna bening, merah cerah, atau merah bata

dengan bau dan citarasa khas pala. Selain biji dan fuli, dari daun juga dapat dipe-roleh minyak namun konsentrasinya lebih rendah (kurang dari 1%). Secara kimia, minyak pala sama dengan yang dari biji dan fuli, tetapi bau dan citarasanya ber-beda. Ekstraksi minyak atsiri dapat dilakukan dengan beberapa metode. Ekstraksi minyak atsiri dari bahan fuli lebih baik menggunakan metode karbon dioksida cair dan pekat karena menghasilkan minyak dengan mutu dan citarasa yang lebih baik dibandingkan dengan cara distilasi uap (Naik et al. 1988).

Minyak atsiri mengandung beberapa komponen atau senyawa, sebagian be-sar penting bagi industri. Karena aromanya yang khas, minyak atsiri pala banyak dimanfaatkan sebagai bahan dalam industri kosmetik. Selain itu, minyak atsiri juga banyak digunakan dalam industri farmasi. Sifat-sifat farmakologi pala ditentukan oleh senyawa yang terdapat di dalam komponen atsiri. Laporan mengenai komponen atsiri pala pertama kali disampaikan oleh Power dan Salway (1907, 1908). CH3 CH3 H3C α-pinen CH3 H3C H3C α-felandren H2C H3C CH3 Sabinen CH3 H3C H3C Terpinen CH3 CH3 O H3C Kamfor H3C H3C HO Linalol CH3 CH3 CH2 Kamfen CH2 CH2 CH3 Mirsen

Gambar 3 Beberapa komponen atsiri pala Banda.

Sejumlah komponen atsiri yang berhasil diisolasi dari minyak pala dan fuli tergolong hidrokarbon monoterpen, monoterpen teroksigenasi, dan eter aromatik (Purseglove et al. 1981). Senyawa utama dari kelompok hidrokarbon monoterpen adalah pinen dan sabinen, dan dari kelompok eter aromatik adalah miristisin. Eter

aromatik, seperti miristisin, safrol, dan elemisin merupakan komponen atsiri yang menentukan citarasa dan karakteristik farmakologis minyak pala.

Analisis GC memperlihatkan terdapat 33 senyawa atsiri dalam minyak pala dan 51 dalam minyak fuli. Kedua minyak komposisinya secara kualitatif sama, perbedaannya hanya pada kuantitas. Minyak pala mengandung sekitar 76,8% monoterpen; 12,1% monoterpen teroksigenasi; dan 9,8% eter fenil propanoid, sedangkan minyak fuli mengandung 51,2% monoterpen; 30,3% monoterpen teroksigenasi; dan 18,8% eter fenil propanoid (Mallavarupu dan Ramesh 1998). Komposisi minyak atsiri bervariasi menurut lokasi geografis pala (Baldry et al.

1976; Masada 1976; Lawrence 1981; Kumar et al. 1985; Copalakrishnan 1992). Pala M. fragrans Houtt dari Indonesia dilaporkan mengandung 2% miristisin dibandingkan dengan 0,13% pada M. argentea Warb. Miristisin tidak ditemukan dalam M. muelleri L. Kadar safrol, yang diduga bersifat karsinogenik, kadarnya adalah 0,13; 0,15; dan 0,24% masing-masing dalam M. fragrans Houtt, M. argentea Warb, dan M. muelleri L. (Archer 1988). Fraksi miristisin bersama dengan elemisin menentukan sifat halusinogenik pala. Komposisi atsiri dalam minyak pala berubah pada penyimpanan jangka panjang. Selama penyimpanan dan transportasi, minyak pala harus terhindar dari cahaya langsung dan disimpan dalam wadah yang tertutup rapat pada suhu tidak lebih dari 25 oC. Penyimpanan yang lama merusak komposisi minyak.

Minyak pala mengandung mentega pala. Dalam mentega pala terdapat sekitar 25 sampai 40% minyak lemak. Minyak lemak pala diperoleh dengan mengepres biji pala atau dengan mengekstrak menggunakan pelarut. Minyak lemak berbentuk setengah-padat, atau lemak berwarna coklat kemerahan dengan bau dan citarasa khas pala. Minyak lemak larut sempurna dalam alkohol panas tetapi larut sebagian dalam alkohol dingin. Minyak lemak juga larut bebas dalam kloroform atau larutan yang mengandung trimiristin (84%), asam oleat (3,5%), bahan resin (2,3%), asam linoleat (0,6%), asam format dan serotat dalam volume rendah. Trimirisitisin adalah trigliserida asam miristat yang berbentuk padat berwarna abu-abu kekuningan. Beberapa laporan menyebutkan bahwa mentega pala terbaik berasal dari pala East Indian. Minyak lemak digunakan dalam

industri parfum dan farmasi. Dalam farmasi, jenis minyak tersebut dimanfaatkan sebagai bahan obat balsem dan rematik.

Pemanfaatan Pala

Pala dan fuli keduanya dimanfaatkan dalam industri farmasi. Pala dalam bentuk bubuk jarang digunakan secara tersendiri namun dicampur dengan bebe-rapa bahan obat. Penggunaan minyak atsiri dalam aromaterapi kian meningkat. Komponen utama pala dan fuli, yaitu miristisin, elemisin dan isoelemisin jika dis-ajikan dalam bentuk aroma akan berkhasiat sebagai penghilang stres. Di Jepang, banyak perusahaan menggunakan pengharum udara yang beraroma pala untuk memperbaiki lingkungan udara tempat bekerja.

Pala sebagai obat lebih banyak digunakan di Timur daripada di Barat. Segai obat, pala memiliki sifat stimulatif dan karminatif. Biji pala mengandung ba-han obat yang bersifat karminatif, deodoran, astringen, narkotik, aprodisiak dan baik untuk mencegah pilek, dan mual/muntah. Sifat antioksidan pala telah dila-porkan oleh beberapa peneliti (Madsen dan Bertelsen 1995; Lagouri dan Boskou 1995).

Minyak pala berguna dalam pengobatan penyumbatan kandung kemih, hali-tosis, dispepsia, flatulens, impotensi, insomnia, dan penyakit kulit. Minyak pala juga secara eksternal berguna sebagai bahan stimulan dan penawar iritasi. Seba-gian besar sifat farmakologis pala ditentukan oleh senyawa-senyawa yang terkan-dung di dalam minyak atsiri. Minyak atsiri fuli memiliki banyak sifat fisiologis dan organoleptik yang sama dengan minyak atsiri biji pala. Mentega pala meru-pakan stimulan eksternal yang bersifat sedang dan dimanfaatkan dalam bentuk lo-tion, minyak rambut, plaster yang dipakai mengobati rematik, kelumpuhan, dan nyeri (Mallavarapu dan Ramesh 1998).

Pala dan fuli keduanya mengandung bahan aktif miristisin yang bersifat nar-kotik. Mentega pala mengandung elemisin dan miristisin yang juga memiliki pengaruh narkotik dan psikotropik (Masada 1976). Penggunaan mentega pala yang berlebihan menyebabkan narkosis, delirium, gejala epilepsi dan bahkan kematian. Selain itu, menimbulkan konstipasi sementara dan kesulitan buang air kecil serta meningkatkan timbunan lemak pada organ hati. Pala bubuk kadang-kadang digunakan sebagai obat halusinogenik, tetapi pengunaan tersebut

berba-haya karena jika berlebihan dapat menimbulkan efek narkotik, gejala delirium, dan kejang-kejang epilepsi yang tampak 1 sampai 6 jam sesudah pema-kaian (Shulgin 1963).

Minyak pala digunakan dalam kosmetik, yaitu untuk parfum dan pengharum ruangan karena sifat aromatiknya. Minyak fuli memiliki sifat fisiko-kimia dan organoleptik yang hampir sama dengan minyak pala. Minyak fuli dalam jumlah terbatas dimanfaatkan dalam industri parfum dan sabun .

Komponen mirisitisin yang berkhasiat halusinogenik dilaporkan dapat digu-nakan sebagai bahan insektisida yang efektif (Ejechi et al. 1998). Kamfen yang terdapat dalam minyak atsiri pala digunakan dalam pembuatan kamfer dan se-nyawa lainnya yang bersifat antibakteri, anticendawan, dan antiserangga (Huang

et al. 1997). Pinen, komponen atsiri lainnya, digunakan dalam pembuatan kam-fer, pelarut, bahan pembantu pembentukan plastik, parfum dan minyak pinus

Dokumen terkait