PEMBATALAN ATAS MEREK TERDAFTAR
C. Pembatalan Atas Merek Terdaftar
Tindakan pembatalan merek yang terdaftar hanya dapat dilakukan di dalam sengketa merek yang berhubungan dengan kepemilikan hak atas merek bukan terhadap sengketa merek mengenai penggunaan hak atas merek.
Pengaturan mengenai pembatalan merek terdaftar terdapat di dalam Pasal 76, UU No. 20 Tahun 2016 yaitu :
1) Gugatan pembatalan merek terdaftar dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan/atau Pasal 21.
2) Pemilik merek yang tidak terdaftar dapat mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah mengajukan permohonan kepada Menteri.
3) Gugatan pembatalan diajukan kepada Pengadilan Niaga terhadap pemilik merek terdaftar.
Mengenai batas tenggang waktu gugatan pembatalan merek terdaftar, disebutkan dalam Pasal 77 UU No. 20 Tahun 2016, yaitu ;
1) Gugatan pembatalan pendaftaran merek hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pendaftaran merek.
2) Gugatan pembatalan dapat diajukan tanpa batas waktu jika terdapat unsur iktikad tidak baik dan,' atau merek yang bersangkutan bertentangan
dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Terhadap putusan Pengadilan Niaga yang dimaksud hanyalah dapat diajukan pada tingkat kasasi. Panitera pengadilan yang bersangkutan segera menyampaikan isi putusan Pengadilan tersebut kepada Direktorat Jendral HKI yang dimana hanya akan melaksanakan penghapusan merek yang bersangkutan dari Daftar Umum Merek apabila putusan badan peradilannya telah diterima dan berkekuatan hukum tetap sebagaimana disebutkan dalam Pasal 78 UU No. 20 Tahun 2016, yaitu;
1) Terhadap putusan Pengadilan Niaga atas gugatan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3) dapat diajukan kasasi.
2) Panitera pengadilan segera menyampaikan putusan kepada para pihak yang bersengketa, dan
Pasal 79
Ketentuan mengenai alasan gugatan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 UU No. 20 Tahun 2016 berlaku secara mutatis mutandis terhadap merek kolektif terdaftar.
Perlindungan hukum bagi pemegang merek dagang melalui Pengadilan Niaga Pasal 83 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2016, gugatan pelanggaran merek terdaftar diajukan kepada Pengadilan Niaga. Hal ini berarti kewenangan mengadili sengketa atau perkara gugatan pelanggaran merek berada di tangan Pengadilan Niaga sebagai badan peradilan yang khusus. Pemberdayaan
Pengadilan Niaga dimaksud agar sengketa merek dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat.
Mengingat merek merupakan bagian dari kegiatan perekonomian atau dunia usaha, sehingga penyelesaian sengketa merek memerlukan badan peradilan khusus, yaitu Pengadilan Niaga Pasal 83 UU No. 20 Tahun 2016 yang menyebutkan :
1) Pemilik Merek terdaftar dan/atau penerima Lisensi Merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa yang sejenis berupa:
a) gugatan ganti rugi; dan/atau
b) penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan Merek tersebut.
2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula diajukan oleh pemilik Merek terkenal berdasarkan putusan pengadilan.
3) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pengadilan Niaga.
Pasal tersebut juga memberikan hak kepada hakim untuk melakukan tindakan tertentu selama pemeriksaan masih berlangsung, yaitu bahwa selama masih dalam pemeriksaan dan untuk mencegah kerugian yang lebih besar, hakim atas permohonan pemilik merek selaku penggugat dapat memerintahkan tergugat untuk menghentikan produksi, peredaran dan/atau perdagangan barang atau jasa yang menggunakan merek tersebut secara tanpa hak. Pasal 87 UU No. 20 Tahun
2016 menegaskan bahwa terhadap putusan Pengadilan Niaga hanya dapat diajukan kasasi.
Pasal 88 UU No. 20 Tahun 2016 menegaskan:
1) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 diajukan paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan atau diberitahukan kepada para pihak dengan mendaftarkan kepada panitera pada Pengadilan Niaga yang telah memutus gugatan.
2) Panitera mendaftar permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon kasasi diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran.
3) Panitera wajib memberitahukan permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada pihak termohon kasasi paling lama 7 (tujuh) hari setelah permohonan kasasi didaftarkan.
4) Pemohon kasasi sudah harus menyampaikan memori kasasi kepada panitera dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal permohonan kasasi didaftarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
5) Panitera wajib menyampaikan memori kasasi kepada termohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah memori kasasi diterima oleh panitera.
6) Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada panitera paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal termohon kasasi menerima memori kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan
panitera wajib menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lama 7 (tujuh) hari setelah kontra memori kasasi diterima oleh panitera.
7) Panitera wajib menyampaikan berkas perkara kasasi yang bersangkutan kepada Mahkamah Agung paling lama 7 (tujuh) hari setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
8) Sidang pemeriksaan dan putusan Permohonan kasasi harus diselesaikan paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah tanggal Permohonan kasasi diterima oleh Majelis Kasasi.
9) Putusan atas permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan isi putusan kasasi kepada panitera paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal putusan atas Permohonan kasasi diucapkan. Berdasarkan uraian diatas, maka jelaslah bahwa tindakan pembatalan pendaftaran merek, dilakukan karena:
1. Iktikad Baik
Pengertian iktikad baik di dalam hukum secara subjektif adalah kejujuran seseorang dalam melakukan sesuatu perbuatan hukum, sedangkan dalam pengertian objektif iktikad baik adalah pelaksanaan suatu perjanjian harus
didasarkan pada norma kepatuhan atau apa yang dirasakan sesuai dengan yang patut dalam masyarakat.118
Pengertian iktikad baik dalam subjektif terdapat dalam Pasal 530 KUHPerdata yang mengatur mengenai kedudukan berkuasa (bezit) yang mengandung makna sikap atau perilaku yang jujur dalam melaksanakan setiap tindakan dan perbuatan di dalam masyarakat. Iktikad baik dalam arti objektif disebut juga dengan kepatutan hal ini dirumuskan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyebutkan bahwa, “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata tersebut di atas dapat dikatakan kejujuran (iktikad baik) dalam arti objektif tidak terletak pada keadaan jiwa manusia, akan tetapi terletak pada tindakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak dalam melaksanakan janji yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut.119
Pengertian iktikad baik secara objektif bersifat dinamis sesuai dengan pelaksanaan perjanjian secara nyata yang terjadi di lapangan. Setiap terjadi perubahan kondisi dalam pelaksanaan perjanjian yang terjadi di lapangan maka para pihak harus bersikap jujur dan terbuka satu sama lain dan melaksanakan perubahan kondisi lapangan yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian tersebut meskipun perubahan kondisi tersebut tidak termuat di dalam klausul perjanjian.120 Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa pengertian iktikad baik secara objektif adalah praktek pelaksanaan suatu perjanjian yang telah tertulis baik di
118 Syamsudin Qirom Meliala, Pengertian Asas Itikad Baik di Dalam Hukum Indonesia, Mitra Ilmu, Surabaya, 2007, hlm. 38
119 Ismijati Jenie, Itikad Baik Sebagai Asas Hukum, Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2009, hlm. 23
120 Ibid
dalam akta autentik maupun akta di bawah tangan termasuk apabila ternyata di dalam pelaksanaannya terjadi perubahan-perubahan yang tidak termuat di dalam akta perjanjian tersebut maka para pihak harus punya niat baik dan jujur dalam menyikapi perubahan-perubahan praktek pelaksanaan perjanjian yang terjadi di lapangan tersebut.
Pelaksanaan pendaftaran merek harus dilandasi dengan niat yang baik dan kejujuran dari pendaftar merek untuk melakukan pendaftaran mereknya tanpa ada maksud terselubung untuk mendompleng atau menjatuhkan merek orang lain untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya secara ekonomi. Pendaftaran suatu merek yang terdaftar berarti telah dapat di terapkan salah satu strategi pemasaran yaitu strategi pengembangan produk kepada masyarakat pemakai atau kepada masyarakat konsumen.121 Iktikad baik dalam pendaftaran merek meliputi pengertian di dalam arti subjektif dimana pendaftar merek harus memiliki niat di dalam hati yang baik dan jujur untuk melakukan pendaftaran mereknya semata-mata untuk melindungi merek tersebut dari tindakan curang yang dilakukan oleh pihak lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam hal pendaftaran merek oleh pendaftar merek maka iktikad baik secara subjektif maupun objektif harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang merek, tanpa memiliki maksud dan tujuan terselubung untuk melakukan pemalsuan terhadap merek pihak lain atau memanfaatkan merek orang lain yang sama pada pokoknya atau sama secara keseluruhannya untuk meraih keuntungan
121 Nindya Sari Usman, “Analisis Putusan Mahkamah Agung Atas Pembuktian Itikad Baik Dalam Pendaftaran Merek”, USU Jurnal Law, Vol. 6, 2015, hal. 2
yang sebesar-besarnya dari segi ekonomi dan merugikan merek terkenal yang telah terdaftar sebelumnya.
Iktikad tidak baik adalah suatu sikap batin yang dengan sengaja melakukan peniruan terhadap merek pihak lain dengan cara melanggar ketentuan dalam Undang-Undang merek yang seharusnya menjunjung tinggi prinsip iktikad baik dalam Pasal 21 Ayat (3) UU No. 20 Tahun 2016, yang menyebutkan bahwa:
“Merek tidak dapat didaftarkan atas dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beriktikad tidak baik”.
Iktikad tidak baik dalam suatu pendaftaran merek harus ditolak karena merupakan suatu tindakan curang dari orang, beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum yang merugikan pemilik merek yang telah terdaftar sebelumnya.122 Tindakan curang yang dilakukan oleh pendaftar merek dengan iktikad tidak baik tersebut tidak dibenarkan dalam prinsip dasar pendaftaran merek di Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan iktikad tidak baik dalam suatu pendaftaran merek dapat diklasifikasikan sebagai :123
a. Tindakan/perbuatan meniru merek yang telah terdaftar sebelumnya, dan pada umumnya adalah merek yang sudah terkenal dan memiliki nilai jual dipasaran;
b. Merupakan suatu perbuatan yang dengan sengaja dilakukan untuk menyaingi merek yang sudah terdaftar dan memiliki nilai jual di pasaran tersebut dengan tujuan agar pendaftar merek dengan iktikad tidak baik tersebut memperoleh keuntungan pribadi dengan tidak memperdulikan kerugian yang diderita oleh pemilik merek yang telah terdaftar sebelumnya tersebut yang ditirunya.
c. Tindakan pendaftaran merek dengan iktikad tidak baik tersebut dengan sengaja telah melakukan perbuatan melawan hukum khususnya prinsip dasar pendaftaran merek dalam hal iktikad baik dalam melakukan pendaftaran merek, sehingga konsekuensinya adalah merugikan merek
122 Ibid
123 Insan Budi Maulana, Perlindungan Merek Terkenal Di Indonesia dari Masa ke Masa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 72
yang telah terdaftar sebelumnya dan telah memiliki ketenaran serta nilai jual yang baik di pasaran.
Pendaftaran merek dengan iktikad tidak baik dalam pendaftaran merek bertentangan dengan syarat-syarat yang ditetapkan Pasal 21 Ayat (3) UU No. 20 Tahun 2016 yaitu:124
1. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;
2. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau sejenisnya; dan
3. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi geografis yang sudah dikenal.
Perbuatan pendaftaran merek dengan iktikad tidak baik merupakan pelanggaran Pasal 21 Ayat (3) UU No. 20 Tahun 2016, sebenarnya merupakan tindakan curang untuk membonceng merek yang sudah terkenal atau sesuatu yang sudah banyak dikenal masyarakat luas, sehingga dengan menggunakan merek yang demikian, suatu produk ikut menjadi dikenal di masyarakat. Perbuatan tersebut tidak sesuai dengan etika intelektual yang telah diatur dengan Undang-Undang. Suatu hasil karya orang lain tidak dapat ditiru begitu saja, tetapi terlebih dahulu harus dengan izin pemiliknya.
Iktikad tidak baik lawan dari iktikad baik dimana iktikad tidak baik pada intinya adalah “pemilik merek memiliki merek yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau pada keseluruhannya dengan merek orang lain”.125 Ketentuan Pasal 21 Ayat (3) UU No. 20 Tahun 2016 tersebut dapat dinyatakan bahwa dalam Undang-Undang Merek, meskipun menganut sistem konstitutif, tetapi tetap
124 Suyud Margono dan Lingginus Hadi, Pembaharuan Perlindungan Hukum Merek, Novirindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2002, hlm. 14
125OK. Saidin, Op. Cit., hlm. 357.
azasnya melindungi pemilik merek yang beriktikad baik. Hanya permintaan yang diajukan oleh pemilik merek yang beriktikad baik saja yang dapat diterima untuk didaftarkan.126 Dengan demikian aspek perlindungan hukum tetap diberikan kepada mereka yang beriktikad baik dan terhadap pihak lain yang beriktikad tidak baik yang sengaja meniru atau tidak jujur mendaftarkan mereknya, dapat dibatalkan oleh Direktorat Merek HKI Prinsip penerimaan pendaftaran merek adalah first to file system artinya siapapun yang mendaftar terlebih dahulu akan diterima pendaftarannya dengan tidak mempersoalkan apakah si pemohon hak merek ini benar-benar menggunakan merek tersebut untuk kepentingan usahanya.127
Beberapa kemungkinan dapat terjadi setelah masuknya pendaftar pertama, misalnya muncul pendaftar lain yang sebetulnya berkepentingan langsung dengan merek tersebut karena pendaftar inilah yang secara riil menggunakan merek tersebut. Dalam hal ini, pendaftar kemudian harus melakukan penyesuaian khusus dengan pendaftar pertama agar pendaftar pertama mau menyerahkan merek tersebut kepada pendaftar kemudian. Dengan kata lain, pendaftar pertama pada hakekatnya adalah spekulan merek. Dengan direvisinya Undang-Undang Merek, diharapkan agar tindakan pelanggaran merek dapat berkurang.128
2. Legalitas Hukum
126 Ibid
127 Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, PT. Alumni, Bandung, 2005, hlm. 150.
128 OK. Saidin, Op. Cit., hlm. 357.
Agar suatu merek mendapat perlindungan hukum maka merek tersebut harus didaftarkan di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Dirjen HKI).
Karena disebutkan dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 20 Tahun 2016, bahwa:
“Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pernilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau mernberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.”
Merek terdaftar memiliki hak eksklusif untuk melarang pihak ketiga yang tanpa izin dan sepengetahuan pemilik merek tersebut untuk memakai merek yang sama untuk barang dan/atau jasa yang telah didaftarkan terlebih dahulu.129 Adapun yang dimaksud dengan hak khusus yang diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar meliputi:130
1. Menciptakan hak tunggal (sole or single right)
Hukum atau Undang-Undang memberi hak tersendiri kepada pemilik merek. Hak itu terpisah dan berdiri sendiri secara utuh tanpa campur tangan pihak lain;
2. Mewujudkan hak monopoli (monopoly right)
Siapapun dilarang meniru, memakai, dan mempergunakan dalam perdagangan barang dan jasa tanpa izin pemilik merek;
3. Memberi hak paling unggul (superior right)
129 Sudargo Gautama, Hak Merek Dagang Menurut Perjanjian TRIPs-GATT dan Undang-Undang Merek RI, Bandung: Citra Aditya Bakti: 1994, hlm. 19.
130 Irwansyah Ockap Halomoan, Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Merek Dagang Terkenal Asing Dari Pelanggaran Merek di Indonesia, Skripsi, Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, hlm, 29
Hak superior merupakan hak yang diberikan doktrin hak paling unggul bagi pendaftar pertama. Oleh karena itu, pemegang hak khusus atas suatu merek menjadi unggul dari merek orang lain untuk dilindungi.
Pasal 21 Ayat (3) UU No. 20 Tahun 2016 menganut sistem pendaftaran konstitutif sehingga menimbulkan hak apabila sudah didaftarkan oleh si pemilik.
Pendaftaran atas merek merupakan suatu keharusan. Berikut ini adalah prosedur pendaftaran merek yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016.
Permohonan pendaftaran merek diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 10 Pasal 21 Ayat (3) UU No. 20 Tahun 2016.
Syarat dan tata cara permohonan pendaftaran merek kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual adalah diajukan secara tertulis. Menurut Pasal 4 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2016, bahwa permohonan pendaftaran Merek diajukan oleh pemohon atau kuasanya kepada Menteri secara elektronik atau non-elektronik
dalam bahasa Indonesia. Dalam Ayat (2) permohonan harus mencantumkan:
a. Tanggal, bulan, dan tahun permohonan;
b. Nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat pemohon;
c. Nama lengkap dan alamat kuasa jika permohonan diajukan melalui kuasa;
d. Warna jika merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan unsur warna;
e. Nama negara dan tanggal permintaan merek yang pertama kali dalam hal permohonan diajukan dengan hak prioritas; dan
f. Kelas barang dan/atau kelas jasa serta uraian jenis barang dan/atau jenis jasa.
Permohonan ditandatangani pemohon atau kuasanya dan permohonan dilampiri dengan label merek dan bukti pembayaran biaya. Biaya permohonan pendaftaran merek ditentukan per kelas barang dan/atau jasa. Dalam hal merek sebagaimana berupa bentuk 3 (tiga) dimensi, label merek yang dilampirkan dalam bentuk karakteristik dari merek tersebut dan dalam hal merek berupa suara, label merek yang dilampirkan berupa notasi dan rekaman suara. Permohonan wajib dilampiri dengan surat pernyataan kepemilikan merek yang dimohonkan pendaftarannya. Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2016, bahwa permohonan diajukan oleh lebih dan satu pemohon yang secara bersama-sama berhak atas merek tersebut, semua nama pemohon dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat pemohon.
Permohonan ditandatangani oleh salah satu dari pemohon yang berhak atas merek tersebut dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para pemohon yang mewakilkan. permohonan yang salah seorang pemohonnya atau lebih warga negara asing dan badan hukum asing yang berdomisili di luar negeri wajib diajukan melalui kuasa. Permohonan yang diajukan melalui kuasanya, surat kuasa untuk itu ditandatangani oleh semua pihak yang berhak atas merek tersebut. Pasal 6 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2016, bahwa permohonan untuk lebih dari 1 (satu) kelas barang dan/atau jasa dapat diajukan dalam satu permohonan. Permohonan harus menyebutkan jenis barang dan/atau jasa yang termasuk dalam kelas yang dimohonkan pendaftarannya. Permohonan untuk dua kelas barang atau lebih
dan/atau jasa dapat diajukan dalam satu permohonan, tetapi harus menyebutkan jenis barang dan/atau jasa yang termasuk dalam kelas yang dimohonkan pendaftarannya.131
Selain itu pemeriksaan substantif harus pula ditempuh dengan mekanisme pengumuman dalam waktu 3 (tiga) bulan dengan menempatkan pada papan pengumuman yang khusus dan dapat dengan mudah dilihat oleh masyarakat dalam Berita Resmi Merek yang diterbitkan secara berkala oleh Direktorat Merek.
Hal ini dilakukan untuk memungkinkan pihak-pihak yang dirugikan mengajukan bantahan terhadap pendaftaran merek dan dapat mencegah pendaftaran merek yang dilakukan oleh orang yang tidak beriktikad baik. Apabila masa pengumuman berakhir dan tidak ada sanggahan atau keberatan dari pihak lain, Direktorat Merek mendaftarkan merek tersebut dalam Daftar Umum Merek serta dilanjutkan dengan pemberian sertifikat merek. Sertifikat merek merupakan alat bukti bahwa merek telah terdaftar dan juga sebagai bukti kepemilikan.132
3. Daya Pembeda
Menurut UU Nomor 20 tahun 2016 dalam Pasal 1 angka 1 yang berbunyi :
“Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa”
Dari pasal tersebut, merek pada hakikatnya adalah suatu tanda. Akan tetapi agar tanda tersebut dapat diterima sebagai merek, harus memiliki daya pembeda.
131 Ibid
132 Ibid
Yang dimaksudkan dengan memiliki daya pembeda adalah memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai tanda yang dapat membedakan hasil perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain. Tidak dapat diterima sebagai merek apabila tanda tersebut sederhana seperti gambar “Sepotong Garis” atau tanda yang terlalu ruwet seperti gambar “Benang Kusut”.133
Dalam pemasaran, merek berperan sebagai tanda yang menuntun konsumen untuk mengidentifikasi sumber barang yang dilekatinya. Sehingga berdasarkan peruntukannya, pemaknaan tentang merek sejalan dengan definisi merek yang disampaikan Harsono Adisumarto “Merek adalah tanda pengenal yang membedakan milik seseorang dan milik orang lain..,”134 yaitu mutatis mutandis dengan konsep merek dalam tataran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) oleh Wauran bahwa “HKI dapat dipahami sebagai milik seorang individu atas hasil karya intelektualnya termasuk untuk menikmati konsekuensi materiil dan atau non materiil atas karya tersebut.”135
Merek digunakan untuk membedakan barang atau produksi satu perusahaan dengan barang atau jasa produksi perusahaan lain yang sejenis.
Dengan demikian merek adalah tanda pengenal asal barang dan jasa yang bersangkutan dengan produsennya, dengan demikian menggambarkan jaminan kepribadian (individuality) dan reputasi barang dan jasa hasil usahanya tersebut sewaktu diperdagangkan. Fungsi merek dapat dilihat dari sudut produsen,
133 Suyud Margono, 2010, Aspek Hukum Komersialisasi Aset Intelektual, Nuansa Aulia, Bandung, hlm. 20
134 Harsono Adisumarto, Hak Milik Perindustrian, Akademika Pressindo, Jakarta, 1990, hlm. 44.
135Indirani Wauran, Hak Kekayaan Intelektual Sebagai Benda: Penelusuran Dasar Perlindungan HKI di Indonesia, Refleksi Hukum, Fakultas Hukum UKSW, Salatiga, 2015, hlm.
107
pedagang dan konsumen. Dari pihak produsen merek digunakan untuk jaminan nilai hasil produksinya, khususnya mengenai kualitas, kemudian pemakaiannya dari pihak pedagang, merek digunakan untuk promosi barang-barang dagangannya guna mencari dan meluaskan pasaran. Dari pihak konsumen, merek digunakan untuk mengadakan pilihan barang yang akan dibeli.136
Jadi merek memberikan jaminan nilai atau kualitas dari barang dan jasa yang bersangkutan. Hal ini tidak hanya berguna bagi produsen pemilik merek tersebut, tetapi juga memberikan perlindungan dan jaminan mutu barang kepada
Jadi merek memberikan jaminan nilai atau kualitas dari barang dan jasa yang bersangkutan. Hal ini tidak hanya berguna bagi produsen pemilik merek tersebut, tetapi juga memberikan perlindungan dan jaminan mutu barang kepada