PANDUAN PENYUSUNAN OPINI 9.1 Gambaran Umum
9.2.1 Pembatasan Lingkup Audit atau Kecukupan Bukti Audit
Dalam standar pekerjaan lapangan dijelaskan bahwa pemeriksa wajib mengumpulkan bukti yang kompeten melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan pertanyaan dan konfirmasi sebagai dasar untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit. Auditor diharuskan untuk meyakinkan dirinya bahwa prosedur audit yang dilaksanakan pada akhirnya dapat menghasilkan bukti audit yang cukup memadai untuk menyatakan kesimpulan. Ketidakmampuan auditor dalam memeroleh bukti adalah merupakan pembatasan lingkup bagi auditor dalam memenuhi stadar pemeriksaan. Pembatasan lingkup yang mengakibatkan pemeriksa tidak dapat memperoleh cukup bukti dapat terjadi karena tiga hal:
1) Keadaan di luar kendali entitas, misalnya :
(1) Catatan akuntansi hancur (karena kebakaran misalnya)
(2) Catatan akuntansi telah disita oleh aparat pemerintah untuk waktu yang tidak dapat ditentukan.
(3) Adanya ketidakpastian
2) Keadaan terkait sifat dan waktu penugasan, misalnya :
(1) Waktu yang tersedia untuk penghitungan persediaan tidak cukup
(2) Pengendalian entitas tidak efektif dan pemeriksa tidak dapat menerapkan prosedur alternatif untuk memperoleh bukti yang cukup
(3) Ketidakcukupan catatan akuntansi
3) Pembatasan oleh manajemen, misalnya manajemen membatasi auditor melaksanakan prosedur peninjauan fisik, konfirmasi kepada pihak ketiga, ataupun pembatasan lainnya dalam pemeriksa melaksanakan prosedur pemeriksaan.
Ketidakmampuan auditor dalam menerapkan suatu prosedur tidak boleh dianggap sebagai pembatasan audit apabila auditor dapat melakukan prosedur alternatif untuk mengumpulkan bukti yang diperlukan. Auditor baru boleh berhenti dalam mengumpulkan bukti dan menyimpulkan bahwa bukti yang cukup tidak dapat diperoleh apabila auditor tidak dapat menjalankan prosedur alternatif.
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN 3 9.2.2 Penyimpangan dari prinsip akuntansi yang mengakibatkan salah
saji.
Pemberian opini atas laporan keuangan harus didasarkan pada keyakinan yang memadai bahwa laporan keuangan telah disajikan secara wajar dalam semua hal yang material sesuai dengan prinsip akuntansi berlaku umum. Penyajian laporan keuangan secara wajar artinya bahwa tidak terdapat salah saji yang material dalam pelaporan keuangan. Salah saji yang mempengaruhi opini adalah salah saji yang tidak dapat dikoreksi dengan alasan (1) entitas tidak bersedia melakukan koreksi akuntansi, (2) secara teknis koreksi tersebut memang tidak bisa dilakukan karena terikat pada peraturan atau kebijakan (sebagai contoh, dalam kebijakan audit BPK, salah saji yang terkait dengan pelampauan atau kesalahan pembebanan tidak dapat dikoreksi).
Salah saji dapat diklasifikasikan: 1) Kesesuaian Pilihan Kebijakan Akuntansi
(1) Kebijakan akuntansi yang dipilih tidak konsisten dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku; atau
(2) Laporan keuangan, termasuk catatan terkait, tidak merepresentasikan transaksi dan kejadian yang sebenarnya (underlying transactions and
events) sehingga penyajian yang wajar tidak dapat dilakukan.
2) Penerapan kebijakan akutansi terpilih
(1) Manajemen tidak secara konsisten menerapkan kebijakan akuntansi tersebut sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan, termasuk ketika manajemen tidak menerapkan kebijakan akuntansi secara konsisten antarperiode atau antartransaksi yang sejenis (konsistensi penerapan); atau
(2) Terjadi kesalahan penerapan kebijakan akuntansi (misalnya karena kesalahan yang tidak disengaja dalam menerapkan kebijakan akuntansi).
3) Kesesuaian atau kecukupan pengungkapan dalam laporan keuangan
(1) Laporan keuangan tidak memasukkan semua hal yang perlu diungkapkan sesuai yang dipersyaratkan dalam SAP;
(2) Pengungkapan dalam laporan keuangan tidak disajikan sesuai dengan SAP; atau
(3) Laporan keuangan tidak mengungkapkan hal-hal yang dipersyaratkan untuk mencapai penyajian yang wajar (fair presentation).
Salah saji dapat disebabkan oleh (1) ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan; (2) kecurangan (fraud); dan (3) ketidakpatutan (abuse). Ketidakpatutan merupakan perbuatan yang tidak masuk akal dan di luar praktik-praktik yang lazim. Salah saji juga dapat terjadi karena tidak efektifnya pengendalian intern.
Jika kita mengacu pada SPAP, makna dari ketidaksesuaian dengan SAP seyogyanya dapat diperluas bukan hanya untuk hal-hal yang diatur dalam PSAP, akan tetapi dapat diperluas sebagai berikut.
1) Prinsip akuntansi yang sudah diatur dalam PSAP dan Interprestasinya serta Buletin Teknis dalam hal ini termasuk kerangka konseptual.
2) Ketentuan atau peraturan yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang, misalnya Permendagri, Peraturan Meteri Keuangan.
3) Praktik atau pernyataan resmi yang sudah diakui secara luas berlaku umum karena sudah merupakan praktik yang lazim dalam pemerintahan.
Untuk itu pemeriksa dapat melihat Kerangka Prinsip Akuntansi yang berlaku umum di SPAP seksi 411 Paragraf 2.
9.2.3 Materialitas
Materialitas adalah besarnya informasi akuntansi yang apabila terjadi penghilangan atau salah saji, dilihat dari keadaan yang melingkupinya, mungkin dapat mengubah atau mempengaruhi pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan atas informasi tersebut. Definisi tersebut mengakui pertimbangan materialitas dilakukan dengan memperhitungkan keadaan yang melingkupi dan perlu melibatkan baik pertimbangan kuantitatif maupun kualitatif.
Tingkat materialitas diukur terhadap:
1) Tolerable Error (TE), yaitu tingkat materialitas terhadap suatu akun hanya mempunyai konsekuensi maksimal pengecualian terhadap akun tertentu tersebut (apabila tidak dapat dilakukan koreksi). Akan tetapi, hal ini tidak berpengaruh terhadap penyajian LK secara keseluruhan;
2) Planning Materiality (PM), yaitu tingkat materialitas yang mempunyai konsekuensi maksimal terhadap laporan keuangan secara keseluruhan (apabila tidak dapat dilakukan koreksi).
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN 5
Sebuah salah saji dapat dikatakan material apabila kesalahan penyajian tersebut dapat mempengaruhi keputusan yang diambil oleh pengguna laporan. Dalam penerapan konsep materialitas ini, terdapat tiga tingkatan nilai yang digunakan untuk menentukan jenis opini yang akan diterbitkan.
1) Tidak Material
Kesalahan penyajian dapat terjadi tetapi salah saji tersebut tidak mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh pengguna laporan keuangan. Klasifikasi tidak material ini biasanya menyangkut jumlah-jumlah salah saji yang kecil apabila dibandingkan dengan nilai batas tingkat kesalahan yang dapat ditoleransi (TE).
2) Material tetapi tidak mempengaruhi keseluruhan penyajian laporan keuangan.
Kesalahan penyajian dapat mempengaruhi keputusan seorang pengguna laporan keuangan, tetapi secara keseluruhan laporan keuangan tetap disajikan secara wajar dan tetap dapat digunakan. Sebagai contoh, bila diketahui terdapat kesalahan penyajian aktiva tetap yang bernilai cukup besar, hal ini kemungkinan dapat mempengaruhi pengguna laporan keuangan, misalnya DPRD, untuk membuat keputusan penganggaran. Namun, salah saji tersebut tidak memiliki pengaruh menyeluruh pada kewajaran laporan keuangan, karena dampaknya hanya terjadi pada akun tersebut.
3) Sangat material sehingga mempengaruhi kewajaran penyajian seluruh laporan keuangan
Yang dimaksud dengan salah saji sangat material terhadap keseluruhan laporan keuangan adalah apabila salah saji tersebut secara nilai sangat material dan/atau mempunyai pengaruh secara luas terhadap akun dan/atau laporan lainnya.
Tingkat materialitas tertinggi terjadi apabila terdapat probabilitas yang sangat tinggi bahwa pengguna laporan keuangan akan membuat keputusan yang tidak benar jika dalam pembuatan keputusannya didasarkan pada informasi yang dihasilkan dari keseluruhan laporan keuangan. Pada tingkat ini, salah saji yang terjadi dikatakan sebagai pervasive. Contoh, apabila salah saji terjadi terkait dengan transaksi Kas di Kas Daerah yang jumlahnya sangat besar, salah saji tersebut memiliki pengaruh terhadap kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan sehingga pengguna laporan keuangan dapat membuat keputusan yang salah. Dalam hal ini, transaksi Kas di Kas Daerah
memiliki pengaruh yang besar pada laporan keuangan karena menyangkut akun lain seperti SiLPA.
Perlu dipahami bahwa, total salah saji (misstatement) atau pembatasan lingkup yang nilainya di atas PM tidak selalu mengakibatkan opini Tidak Wajar ataupun Tidak Memberikan Pendapat. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah masalah tingkat
pervasiveness.
Saat menentukan tingkat materialitas dari suatu kesalahan penyajian, auditor juga harus mempertimbangkan seberapa besar pengaruh salah saji tersebut terhadap bagian-bagian laporan keuangan lainnya. Pengaruh semacam ini disebut sebagai tingkat resapan atau rembetan (pervasiveness). Suatu salah saji dikatakan pervasive apabila salah saji tersebut memiliki pengaruh pada akun lain. Pertimbangan atas pervasive dapat didasarkan pada 3 faktor berikut.
1) Kompleksitas
Kompleksitas akun diukur dari tingkat pengaruh akun tersebut terhadap akun lain dalam laporan keuangan. Beberapa akun dalam laporan keuangan menurut sifatnya memiliki tingkat kompleksitas tinggi karena pengaruhnya pada akun lain. Kompleksitas berkaitan dengan dampak permasalahan pada suatu akun terhadap akun lainnya atau laporan lainnya dan atau banyaknya asersi yang terpengaruh. Beberapa akun dalam laporan keuangan menurut sifatnya memiliki tingkat kompleksitas tinggi karena pengaruhnya pada akun lain. Contohnya, suatu pemda dengan anggaran belanja sebesar Rp1,3triliun ditemukan adanya 10 transaksi belanja modal fiktif sebesar Rp75miliar. Hal tersebut dapat mengakibatkan salah saji pada pos belanja modal, aset tetap, dan ekuitas, sehingga dapat dikatakan bahwa temuan terkait belanja modal tersebut bersifat kompleks. Dalam kasus ini, jika tidak diungkapkan dalam CaLK, pemeriksa dapat mempertimbangkan memberikan opini Tidak Wajar walaupun secara proporsi belum mencapai 20% dari nilai akun yang diperiksa. Contoh lain, penerimaan hibah dari negara donor sebesar Rp40miliar dikelola di luar APBD, sehingga pendapatan dan belanja menjadi kurang saji, sisa kas tidak dicatat, dan aset tetap yang dihasilkan juga tidak dicatat. Hal tersebut dapat dipertimbangkan pemeriksa untuk memberikan opini TW atau TMP.
Tingkat kompleksitas akun diuraikan dalam guideline untuk sektor publik sesuai Lampiran 9.1.
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN 7
2) Proporsi
Tidak ada ukuran baku yang menjadi besaran proporsi yang bersifat substansial karena ini lebih didasarkan pada pertimbangan auditor. Untuk memudahkan penilaian, auditor bisa menetapkan kebijakan mengenai batasan proporsi yang dianggap fundamental, misanya 20% dari total akun yang diperiksa dapat dianggap berpegaruh secara keseluruhan secara kuantitatif. Sebagai contoh, dampak potensi salah saji (kurang saji) akibat adanya aset yang tidak tercatat dan pemda tidak bersedia dikoreksi adalah sebesar Rp500miliar dari total akun yang diperiksa sebesar Rp1,2triliun. Dampak tersebut dapat dipertimbangkan pervasive karena sudah lebih dari 20% total akun yang diperiksa, sehingga dapat dipertimbangkan untuk opini Tidak Wajar dari pada hanya WDP.
Contoh lain, misalnya pemeriksa menemukan dua permasalahan dari total akun yang diperiksa sebesar Rp1,2 triliun, yaitu (1) piutang tidak ada bukti sebesar Rp50 miliar; dan (2) penyertaan pada BUMD senilai Rp20 miliar dengan kepemilikan di atas 20% masih dicatat dengan harga perolehan karena belum ada laporan keuangan BUMD yang mutakhir. Dalam kondisi ini, pemeriksa dapat mempertimbangkan untuk memberikan opini WDP dari pada TMP.
3) Pengungkapan yang bersifat fundamental
Pengungkapan dikatakan fundamental apabila dapat mempengaruhi pengguna laporan keuangan membuat keputusan atau terdapat penilaian yang berbeda apabila tidak diungkapkan.
Apakah pengungkapan dapat mempengaruhi opini? Jawabannya “ya”. SPAP Seksi 431 paragraf 3 intinya mengatur : Bila manajemen menghilangkan dari laporan keuangan, informasi yang seharusnya diungkapkan sesuai dengan prinsip akuntansi, termasuk catatan atas laporan keuangan, auditor harus memberikan pendapat wajar dengan pengecualian atau pendapat tidak wajar karena alasan tersebut dan harus memberikan informasi yang cukup dalam laporannya.
Contoh: Pemda menolak untuk mengungkapkan adanya aset yang masih dalam sengketa, padahal pada tingkat pengadilan negeri pemda sudah dikalahkan. Jika nilai aset mencapai lebih dari PM, pemeriksa dapat mempertimbangkan untuk tidak memberikan opini WTP.