• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NOTARIS

A. Pembatasan Terhadap Kerahasiaan Jabatan Notaris

Secara umum Notaris wajib merahasiakan isi akta dan keterangan yang di perolehnya dalam pembuatan akta Notaris, kecuali diperintahkan oleh undang-undang bahwa Notaris tidak wajib merahasiakan dan memberikan keterangan yang diperlukan yang berkaitan dengan akta tersebut, dengan demikian batasannya hanya undang-undang saja yang dapat memerintahkan Notaris yang berkaitan dengan pembuatan akta yang dimaksud.

Rahasia yang dimaksud bukan untuk kepentingan Notaris tapi untuk kepentingan para pihak yang telah mempercayakan kepada Notaris, para pihak mempercayakan kepada Notaris bahwa Notaris mampu menyimpan semua keterangan atau pernyataan para pihak yang diberikan saat proses pembuatan akta oleh atau dihadapkan Notaris. Notaris dalam melaksanakan jabatannya harus bersikap netral dan tidak berpihak, memperhatikan kepentingan kedua belah pihak serta wajib merahasiakan setiap keterangan terkait isi akta yang diperbuatnya. bila terjadi sengketa antara pihak yang merasa dirugikan terkait dengan akta yang diperbuat oleh atau dihadapan Notaris sehingga dibutuhkan pemeriksaan oleh penyidik atau hakim dalam menjalankan proses hukum maka akta notaris tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti yang kuat dan sempurna.

Alat-alat bukti dan kekuatan pembuktian dalam Kitab Undang-Undnag Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak terlalu berbeda dengan yang tercantum dalam HIR. Pasal 184 KUHAP menyatakan bahwa alat bukti, yakni:

1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan terdakwa.

Suatu pembuktian haruslah dianggap tidak lengkap, jika keyakinan hakim didasarkan atas alat-alat bukti yang tidak mencukupi, umpamanya dengan keterangan hanya dari seorang saksi saja, ataupun karena keyakinan tentang itu sendiri tidak ada.

Pada proses peradilan pidana, di dalamnya akan terdapat proses pembuktian yang menekankan pada alat bukti yang berdasarkan Pasal 184 KUHAP, yaitu Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan Terdakwa. Dalam suatu pelaksanaan proses hukum para pihak yang berperkara dapat diwakili oleh pengacara, Jaksa, Hakim,ataupun pihak-pihak yang bersangkutan dalam pengadilan merasa perlu untuk menghadirkan Notaris sebagai saksi berkaitan dengan akta yang telah dibuatnya. Yang dalam hal ini, akta otentik yang merupakan alat bukti terkuat dan terpenuh dapat memberikan sumbangan konkrit bagi penyelesaian sengketa.

Pasal 66 UUJN mengatur mengenai kewenangan khusus dari Majelis Kehormatan Notaris (MKN) yang menyatakan bahwa untuk mengambil fotokopi minuta akta dan /atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol

Notaris dalam penyimpanan Notaris dan memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim harus mendapat persetujuan dari MKN.

Berkaitan dengan proses penyidikan Notaris, baik sebagai tersangka maupun sebagai saksi telah dibuat Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan INI dan IPPAT, yaitu Nota Kesepahaman Nomor 01/MOU/PP- INI/V/2006 tentang Pembinaan dan Peningkatan Profesionalisme di Bidang Penegakan Hukum (selanjutnya akan disebut sebagai Nota Kesepahaman). Nota Kesepahaman ini pada dasarnya mengatur mekanisme atau prosedur pemanggilan Notaris oleh pihak Kepolisian untuk memberikan keterangan sehubungan dengan akta yang dibuat Notaris yang bersangkutan. Dalam lampiran Nota Kesepahaman diatur : bahwa pemanggilan Notaris harus dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh penyidik dan pemanggilan Notaris tersebut harus sudah memperoleh persetujuan dari Majelis Pengawas. Dan surat pemanggilan tersebut juga harus jelas mencantumkan alasan pemanggilan, status pemanggilan sebagai saksi atau tersangka, waktu dan tempat serta pelaksanaannya.

Keterangan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : MA/Pemb/3425/86 tanggal 12 April 1986, mengatur antara lain :

a. Notaris yang akan diperiksa atau dimintai keterangan harus jelas kedudukan dan perannya, apakah sebagai saksi atau tersangka terhadap akta-akta yang dibuatnya dan/atau selaku pemegang protokol;

b. Dalam kedudukan dan perannya sebagai saksi, maka pemeriksaaan tidak perlu dilakukan peyumpahan, kecuali ada cukup kuat alasan, bahwa ia tidak dapat hadir dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 116 ayat (1) KUHAP;

c. Notaris berhak mengetahui kesaksian apa yang diperlukan oleh penyidik dan/atau tentang sangkaan apa yang dituduhkan padanya;

d. Sedapat mungkin pemeriksaan dilakukan oleh penyidik, kecuali terdapat alasan yang patut dan wajar, serta dapat dimengerti, maka pemeriksaan dapat dilakukan oleh penyidik pembantu;

e. Pemeriksaan dilakukan di tempat dan waktu sebagaimana tersebut dalam surat panggilan atau di tempat dan waktu yang telah disepakati antara penyidik dan Notaris sesuai dengan alasan yang sah menuut Undang-Undang;

f. Notaris yang dipanggil sebagai saksi wajib hadir dan memberikan keterangan secara benar, mengingat sumpah jabatan dan UUJN. Notaris dapat meminta untuk dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan berdasarkan Pasal 170 KUHAP yang mengatur tentang hak untuk menolak memberika keterangan kepada pihak, karena Notaris tersebut diwajibkan untuk menyimpan rahasia jabatan;

g. Hak ingkar Notaris dapat dilepaskan demi kepentingan umum yang berkaitan dengan isi akta;

h. Notaris yang diduga melakukan tindak pidana berkenaan dengan akta yang dibuatnya, berhak mendapat bantuan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 54 KUHAP atau didampingi oleh pengurus INI berdasarkan Surat Penugasan; i. Pemeriksaan terhadap Notaris dilakukan tanpa tekanan dan paksaan dari penyidik

atau petugas. Apabila Notaris diperiksa sebagai tersangka dan tidak terbukti adanya unsur pidana, maka penyidik wajib menerbitkan Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan (selanjutnya disebut SP3) secepatnya setelah pemeriksaan baik saksi, tersangka maupun alat bukti dinyatakan selesai.

Dalam hal memberikan keterangan kepada penyidik, Notaris tidak dapat mengabaikan sumpah jabatan sebagai Notaris. Karenanya, penting bagi Notaris dan penyidik untuk memahami isi kerahasiaan yang dimiliki oleh suatu jabatan Notaris. Sehingga Notaris dapat tetap memberikan keterangan tanpa mengabaikan sifat kerahasiaan jabatan Notaris terhadap akta yang dibuat oleh Notaris.

Menurut Munir Fuady, suatu rahasia jabatan dapat dibuka dalam konteks profesi dan Notaris dapat memberitahukan isi akta atau diuraikan, bahwa suatu rahasia jabatan Notaris hanya dapat dibuka apabila memenuhi kategori sebagai berikut:77

1) Mendapat ijin dari pihak, karena hubungan antara Notaris dengan para pihak adalah hubungan yang setara, sehingga ijin untuk membuka rahasia jabatannya hanya dapat diberikan berdasarkan persetujuan para pihak;

77Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), Citra Aditya Bakti,

2) Kepentingan umum menghendaki;

3) Undang-Undang yang lebih khusus memperbolehkan dibukanya rahasia jabatan tersebut, misalnya Nota Kesepahaman antara Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dengan INI dan IPPAT.

Dalam nota kesepahaman antara POLRI dengan INI dan IPPAT terkait prosedur pemanggilan Notaris dan prosedur terhadap penyitaan akta Notaris berdasarkan nota kesepahaman yang dimaksud dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Prosedur terkait dengan pemanggilan Notaris

1) Tindakan pemanggilan oleh penyidik terhadap Notaris-PPAT harus dilakukan secara tertulis dan ditanda tangani oleh penyidik;

2) Pemanggilan Notaris-PPAT dapat dilakukan oleh penyidik setelah memperoleh persetujuan dari Majelis Pengawas Notaris;

3) Surat pemanggilan mencantumkan waktu, tempat, alasan yang jelas serta status pemanggilan (sebagai saksi/tersangka);

4) Surat pemanggilan yang sah menurut hukum maka Notaris wajib memenuhi panggilan penyidik sesuai dengan Pasal 112 (2) KUHAP;

5) Jika Notaris telah dipanggil secara sah menurut hukum tidak memenuhi panggilan penyidik maka penyidik dapat datang ke kantor atau tempat kediaman Notaris-PPAT yang dipanggil untuk melakukan pemeriksaan sesuai dengan Pasal 113 KUHAP.

1) Penyidik mengajukan permohonan kepada Majelis Pengawas di tempat kedudukan Notaris-PPAT bersangkutan;

2) Surat permohonan tersebut menjelaskan secara rinci relevansi dan urgensinya untuk membuka rahasia suatu minuta akta Notaris-PPAT, demi kelancaran kepentingan proses penyidikan suatu perkara pidana;

3) Dalam mengajukan surat permohonan kepada majelis pengawas Notaris- PPAT yang bersangkutan wajib diberi tembusan;

4) Apabila majelis pengawas Notaris-PPAT sesuai dengan Pasal 66 UUJN memberikan persetujuan maka penyidik diberikan fotocopy minuta akta atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protool Notaris dalam penyimpanan Notaris, setelah disahkan oleh Notaris-PPAT yang bersangkutan sesuai dengan aslinya dan dibuat berita acara pengesahan;

5) Jika diperlukan pemeriksaan laboratorium terhadap minuta akta dan atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, maka atas izin majelis pengawas, Notaris-PPAT dan penyidik bersama-sama membawa bundel minuta akta tersebut ke laboratorium forensik (labfor) yang telah ditentukan. Kenyataan yang terdapat dilapangan bahwa kerahasiaan Notaris menjadi hal yang sulit untuk dapat dipertahankan. Hal ini disebabkan karena adanya aturan ynag mengatur mengenai defenisi kepentingan umum yang wajib dijunjung tinggi oleh Notaris. Lampiran Pasal 3 huruf (h) Nota Kesepahaman mengatur : bahwa demi kepentingan umum, Notaris dapat mengabaikan hak ingkar yang dimiliki oleh Notaris, tapi mengenai defenisi dari kepentingan umum tidak dijelaskan secara

terperinci, sehingga dalam setiap kasus para pihak, penyidik dan Notaris masing- masing memiliki defenisi tersendiri mengenai kepentingan umum.

Pitlo mengatakan, bahwa kewajiban untuk merahasiakan antara lain berlaku bagi dokter, Notaris dan petugas agama, yang diletakkan kepada mereka oleh undang-undang dan pergaulan hidup untuk memungkinkan, agar seseorang tanpa perlu memikirkan sesuatu dapat pergi meminta bantuan di bidang kerohanian dan kebendaan (geestelijke en materiele) kepada mereka, yang karena pekerjaan kemasyarakatannya memungkinkan memberikan bantuan sedemikian.78

Kewajiban merahasiakan ini merupakan dasar yang bersifat hukum publik yang kuat. Akan tetapi kewajiban merahasiakan itu bukan dibebankan untuk melindungi Notaris melainkan untuk melindungi kepentingan masyarakat umum. Dengan kata lain perlindungan terhadap Notaris selalu terdapat kepentingan hukum sebagai latar belakangnya. Sehingga Notaris harus dapat mempertimbangkan apa yang harus diutamakan dalam kepentingan umum ditambah kepentingan dari Notaris dalam hal ia tidak bicara atau kepentingan umum dalam hal ia bicara.

Notaris merupakan orang kepercayaan, dimana hak ingkar tidak hanya dapat diberlakukan terhadap keseluruhan kesaksian, namun juga terhadap pertanyaan- pertanyaan tertentu. Notaris harus memahami seberapa jauh jangkauan hak ingkarnya tersebut, hal ini dikarenakan dalam kenyataannya terdapat kemungkinan Notaris dihadapkan pada hal-hal dimana Notaris harus menentukan sendiri dengan memperhatikan undang-undang yang berlaku. Notaris haruslah dengan sungguh-

sungguh dalam mempergunakan hak ingkarnya dikarenakan terdapat sanksi yang berupa hukuman atau denda, kewajiban membayar biaya, kerugian dan bunga serta kemungkinan pemecatan dari jabatan Notaris karena pelanggaran terhadap Pasal 4 dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 mengenai Jabatan Notaris.

Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya wajib merahasiakan isi akta dan segala keterangan yang diperoleh Notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya, kecuali ketentuan undang-undang memerintahkan kepada Notaris yang dipanggil sebagai saksi untuk membuka rahasia jabatan Notaris dan memenuhi kewajiban hukum sebagai saksi dalam memberikan keterangan isi akta yang diperlukan sebagai alat bukti di persidangan demi penegakkan hukum. Kewajiban ingkar yang dimiliki oleh Notaris tidak berlaku absolut/mutlak, karena kewajiban ingkar Notaris dapat dikesampingkan apabila undang-undang memerintahkan kepada Notaris untuk membuka rahasia jabatannya dalam memenuhi kewajiban hukum sebagai saksi, memberikan keterangan isi akta yang diperlukan sebagai alat bukti dalam penyelesaian perkara.

Notaris sebagai saksi tidak boleh memberikan keterangan berupa dugaan ataupun kesimpulan yang berasal dari pendapatnya sendiri, melainkan harus berdasarkan apa yang ia lihat, alami, dengar sendiri mengenai peristiwa hukum. “Dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu. Demikian juga dengan pendapat maupun rekaan, yang

diperoleh dari hasil pemikiran saja, buka merupakan keterangan saksi”.79Keterangan Notaris sebagai saksi sebenarnya terwakili dalam akta otentik yang dibuatnya, karena isi akta merupakan keterangan dan kehendak para pihak. Notaris yang dipanggil sebagai saksi memiliki kewajiban sebagai saksi untuk hadir dan memberikan keterangan yang diperlukan sebagai alat bukti dalam penyelesaian perkara, sehingga Notaris yang tidak memenuhi kewajiban sebagai saksi dalam perkara pidana dapat dikenakan ketentuan Pasal 224 ayat 1 KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal sembilan bulan.

Hal ini perlu dipahami oleh Notaris dikarenakan bahwa setiap keterangan yang diberitahukan oleh klien terhadap Notaris terdapat keterangan yang tidak dicantumkan dalam akta oleh Notaris. Keterangan yang disampaikan oleh klien bukan dalam kedudukannya sebagai seorang Notaris, melainkan sebagai seorang ahli yang memberikan penyuluhan hukum berupa penjelasan kepada kliennya.

Dokumen terkait