• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PENGATURAN LEASING DALAM HUKUM KONTRAK

3. Pemberlakuan Ketentuan Kitab Undang-undang

Untuk membuat perjanjian yang sah berdasarkan ketentuan hukum, undang-undang menentukan 4 (empat) persyaratan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1320 KUHPerdata, yakni :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan c. Suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal

Persyaratan adanya kata sepakat dan kecakapan bertindak dalam hukum adalah syarat subjektif atau syarat yang melekat pada orang yang membuat perjanjian yang apabila tidak dipenuhi dalam sebuah perjanjian mengakibatkan perjanjian itu dapat dibatalkan (voidable), perjanjian tersebut dapat dimintakan

pembatalan kepada hakim melalui pengadilan oleh salah satu pihak. Kemudian persyaratan adanya suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal adalah syarat yang berhubungan dengan objek perjanjian yang disebut juga dengan syarat objektif perjanjian yang apabila tidak dipenuhi dapat mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum (null and void), artinya sejak awal perjanjian itu tidak pernah ada dalam perikatan sebab perikatan itu tidak pernah lahir jadi tidak ada akibat hukum apapun sehingga tidak ada dasar hukum yang dapat dijadikan alas hak untuk melakukan penuntutan atau gugatan.54

Masing-masing persyaratan perjanjian tersebut diatur dalam pasal-pasal KUHPerdata. Mengenai sepakat ditentukan dalam Pasal 1321 KUHPerdata yang menyatakan bahwa ” Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.55

Mengenai kecakapan ditentukan dalam Pasal 1329 KUHPerdata yang berbunyi: ”Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan jika oleh undang- undang tidak dinyatakan tidak cakap.” Cakap atau bakwaan menurut hukum adalah orang yang sudah dewasa, yaitu sudah berumur 21 tahun. Dalam Pasal 330 KUHPerdata, semua orang adalah cakap dalam membuat perikatan apabila dalam undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Jadi pada dasarnya semua orang adalah cakap dalam membuat perjanjian kecuali dinyatakan tidak cakap oleh Kesepakatan itu harus diberikan secara bebas dari kekhilafan, paksaan atau penipuan. Apabila dalam perjanjian kesepakatan itu diberikan secara tidak bebas, mengakibatkan perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

54 I.G. Rai Widjaja, Merancang Suatu Kontrak, Contrak Drafting dalam Teori dan

Praktek, (Jakarta : Megapoin Kesaint Blanc, 2001), hal.55

undang-undang. Sedangkan oleh undang-undang Pasal 1330 KUHPerdata yang dikatakan sebagai orang yang tidak cakap dalam membuat perjanjian adalah ”Orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan undang-undang, dan semua orang yang telah dilarang oleh undang-undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu”.

Mengenai suatu hal tertentu sebagai objek perjanjian artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Pasal 1333 KUHPerdata mengatakan bahwa ”Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.” Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung. Berdasarkan pasal ini maka barang yang perjanjikan harus tentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau dihitung, sebab apabila suatu objek perjanjian tidak tertentu yaitu tidak jelas jenisnya dan tidak tentu jumlahnya, perjanjian yanng demikian tidak sah.56

Mengenai sebab yang halal atau kausa yang diperbolehkan, maksudnya adalah isi perjanjian harus kausa yang sesuai dengan undang-undang atau hukum sehingga perjanjian tersebut menjadi perjanjian yang valid atau sah dan mengikat (binding). Menurut Van Brakel bahwa sebab (causa) itu menjadi dasar (untuk membenarkan) keterikatan debitur dalam perjanjian. Mengenai suatu sebab yang

halal diatur dalam Pasal 1335-1337 KUHPerdata. Semua ketentuan mengenai syarat-syarat perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata berlaku bagi semua perjanjian baik perjanjian bernama (nominaat) maupun perjanjian tidak bernama (innominaat). Artinya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan /atau kesusilaan.

Ketentuan mengenai peraturan leasing yang berlaku di Indonesia saat ini masih sangat sederhana, disebabkan belum adanya undang-undang yang khusus mengatur tentang leasing. Peraturan tentang leasing yang sekaligus menjadi dasar hukum berlakunya lembaga kegiatan pembiayaan leasing sebagaimana dalam kontrak-kontrak pada umumnya adalah sebagai berikut :57

a. Peraturan umum (General)

1) Asas Konkordansi Hukum berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 atas Hukum Perdata Bagi penduduk Eropa

2) Pasal 1338 mengenai Asas Kebebasan Berkontrak serta asas-asas perjanjian umum yang terdapat pada KUHPerdata.

3) Pasal 1548-1580 KUHPerdata (Buku III Bab VII) berisikan ketentuan tentang sewa menyewa sepanjang tidak diadakan penyimpangan oleh para pihak.

b. Peraturan khusus (Spesifik)

1) Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Perindustrian dan Perdagangan Nomor: Kep-122/MK/IV/2/1974, Nomor: 32/M /SK/2/1974, dan Nomor: 30/ KPB/I/ 1974 tertanggal 7 Februari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing.

2) Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. Kep 650/MK/IV/5/1974 tentang Penegasan Ketentuan Pajak Penjualan dan Besarnya Materai Terhadap Usaha Leasing.

3) Surat Edaran Direktur Jenderal Moneter No. PEG. 307/DJM/III.1/7/1974 tertanggal 8 Juli 1975 tentang :

a) tata cara perizinan b) pembatasan usaha c) pembukuan

d) tingkat suku bunga e) perpajakan

f) pengawasan dan pembinaan

4) Surat Edaran Dirjen Moneter Dalam Negeri No. SE. 4815/MD/1983 tertanggal 31 Agustus 1983 tentang Ketentuan Perpanjangan Izin Usaha Perusahaan Leasing dan Perpanjangan Penggunaan Tenaga Warga Negara Asing pada Perusahaan Leasing.

5) Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. S. 742/MK.011/19784 tertanggal 21 Juli 1984 mengenai PPh pasal 23 atas Usaha Financial

Leasing.

Sampai saat ini peraturan-peraturan mengenai leasing masih sangat sederhana sehingga dirasakan kurangnya kepastian hukum bagi para pihak. Para pihak dalam leasing mengadakan perjanjian dengan bersandarkan pada Surat Keputusan Tiga Menteri tahun 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing yang merupakan peraturan pertama mengenai leasing yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Sebagaimana telah diauraikan di atas kontrak leasing adalah salah satu dari jenis kontrak innominaat atau disebut juga dengan perjanjian tidak bernama yaitu kontrak yang tumbuh dan berkembang dalam praktik atau masyarakat yang lahir berdasarkan atas asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam pasal 1338 KUHPerdata. Pasal 1338 KUHPerdata yang mengatur asas kebebasan berkontrak berbunyi sebagai berikut:

”Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

Untuk sahnya perjanjian maka pasal 1320 KUHPerdata mengatur syarat- syarat tentang sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan, kecakapan, suatu hal tertentu dan adanya sebab yang halal. Apabila syarat-syarat yang dimaksud pasal

1320 KUHPerdata dipenuhi maka perjanjian mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan undang-undang demikian juga terhadap kontrak leasing.

Oleh karena itu, kontrak leasing ini harus tunduk kepada peraturan KUHPerdata khususnya Buku III tentang Perikatan sebagai peraturan yang umum, walaupun ada peraturan-peraturan yang khusus mengatur tentang kegiatan usaha

leasing ini, dan semua ketentuan tentang leasing tidak boleh bertentangan dengan

isi KUHPerdata.

Namun di dalam praktek kontrak leasing yang biasanya dibuat dalam kontrak baku yaitu kontrak yang telah disiapkan terlebih dahulu oleh pihak lessor, sehingga pihak lesse tidak memiliki kesempatan untuk menambahkan pendapatnya ke dalam kontrak tersebut, lesse hanya cukup menandatangani kontrak apabila lesse setuju dengan semua apa yang tertuang dalam kontrak. Sehingga sering lesse tidak memahami apa yang tertuang dalam kontrak dan sejauh mana batas hak dan kewajiban yang harus dipenuhinya.