• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Wanprestasi dan Force Majeur Serta

BAB II : PENGATURAN LEASING DALAM HUKUM KONTRAK

1. Pengertian Wanprestasi dan Force Majeur Serta

Umumnya semua kontrak diakhiri dengan pelaksanaan, dan memang demikianlah yang seharusnya terjadi. Itu berarti bahwa para pihak memenuhi kesepakatan untuk dilaksanakan berdasarkan persyaratan yang tercantum dalam perjanjian atau kontrak. Pemenuhan perjanjian atau hal-hal yang harus dilaksanakan disebut prestasi. Dengan terlaksananya prestasi maka kewajiban- kewajiban para pihak akan berakhir. Sebaliknya apabila si berutang atau debitur tidak melaksanakannya, ia disebut melakukan wanprestasi.65

Wanprestasi (defauld) berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk. Artinya tidak memenuhi kewajiban atau prestasi yang telah diterapkan dalam perikatan baik yang timbul karena perjanjian maupun yang timbul karena undang-undang, sehingga debitur dapat dikatakan telah melakukan perbuatan pelanggaran hukum terhadap hak kreditur, yang lebih dikenal dengan

onrechtmatigedaad.66 Tidak dipenuhinya prestasi dalam perikatan itu dapat

disebabkan oleh alasan-alasan berikut, yaitu :67

65 I.G. Rai Widjaja, Op Cit, hal.77

66 Subekti, Hukum Perjanjian, ( Jakarta : Sinar Grafika, 1982 ), hal.45.

a. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian

b. Karena keadaan memaksa (force majure), keadaan atau peristiwa yang terjadi di luar kemampuan debitur.

Menurut Riduan Syahrani prestasi adalah:

“Sesuatu yang wajib harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikata dan merupakan isi dari perjanjian apabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian maka debitur dikatakan wanprestasi (kelalaian), akibatnya debitur diharuskan untuk membayar ganti rugi atau pihak kreditur dapat meminta pembatalan perjanjian”.68

Apabila seorang berhutang tidak memenuhi kewajibannya, maka menurut bahasa hukum si berutang telah melakukan wanprestasi yang menyebabkan si berutang dapat digugat di depan hakim.69

Pihak yang berhak untuk menuntut dinamakan pihak yang berpiutang atau kreditur, sedangkan pihak yang dituntut dinamakan pihak yang berutang atau debitur. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan prestasi, yang menurut undang-undang dapat berupa :

a. menyerahkan suatu barang b. melakukan suatu perbuatan c. tidak meakukan suatu perbuatan

Seorang debitur yang tidak bisa mengemukakan suatu keadaan memaksa, dalam hal ini tidak bisa memenuhi kewajibannya disebut wanprestasi

68 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni,

2004), hal.218.

(tidak ada prestasi). Seorang debitur yang melakukan wanprestasi akan menimbulkan akibat-akibat yang merugikan pihak kreditur.70

Untuk mengetahui sejak kapan debitur itu dalam keadaan wanprestasi adalah dengan memperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak.

Di dalam perjanjian untuk memberikan sesuatu, atau untuk melakukan sesuatu, pihak-pihak menentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi oleh debitur. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan, dipandang perlu untuk memperingatkan debitur guna untuk memenuhi prestasinya.

Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi ditentukan, maka menurut ketentuan pasal 1238 KUHPerdata menyatakan bahwa, “ Debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.

Ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata ini hanya mengatur tentang perikatan untuk memberikan sesuatu, sedangkan perikatan untuk berbuat sesuatu tidak ada ketentuan semacam pasal ini.

Untuk menentukan apakah seorang debitur dalam keadaan wanprestasi atau tidak, ditentukan dengan melihat bagaimana keadaan debitur itu dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Ada tiga keadaan yang menyatakan bahwa debitur sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi yaitu :71

70 Mashudi dan Mohammad Chidir Ali, Bab-Bab Hukum Perikatan, (Jakarta : Mandar

Maju, 1995), hal.64.

a) Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, artinya debitur tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan undang-undang dalam perikatan yang timbul karena undang-undang.

b) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru. Di sini debitur melaksanakan atau memenuhi apa yang diperjanjikan atau apa yang ditentukan oleh undang-undang.

c) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya. Di sini debitur memenuhi prestasi tetapi terlambat. Waktu yang ditetapkan dalam perjanjian tidak dipenuhi.

Bagaimana cara memperingatkan debitur supaya memenuhi prestasinya apabila tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasinya tidak dipenuhi dalam perjanjian. Dalam hal ini debitur perlu diperingatkan secara tertulis, dengan surat perintah atau akta sejenis. Dalam surat atau akta tersebut ditentukan bahwa debitur segera atau pada waktu sejenis yang disebutkan untuk memenuhi prestasinya, jika tidak dipenuhinya maka debitur dinyatakan lalai atau wanprestasi seperti yang disebutkan pada Pasal 1238 KUHPerdata.

Surat perintah dalam Pasal 1238 KUHPerdata tersebut adalah peringatan resmi oleh jurusita pengadilan. Sedangkan yang dimaksud dengan akta sejenis adalah suatu tulisan biasa (bukan resmi), surat atau pun telegram yang tujuannya sama yakni untuk memberi peringatan kepada debitur untuk memenuhi prestasi dalam seketika atau dalam tempo waktu yang telah ditentukan.

Peringatan terhadap debitur baik dengan teguran (somasi) maupun dengan akta (ingebreke stelling) tidak akan menimbulkan masalah jika debitur menyadari kewajibannya dan memenuhi kewajibannya tersebut.72

72 Amin Widjaja Tunggal & Arif Djohan Tunggal, Op cit, hal .48

Tetapi masalah akan timbul jika debitur tetap tidak memenuhi prestasinya. Hal ini mengakibatkan timbulnya gugatan di muka pengadilan dari pihak kreditur terhadap debitur.

Dalam perjanjian, wanprestasi yang sering terjadi adalah wanprestasi sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 1238 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, “Debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yag ditentukan”. Debitur juga dikatakan wanprestasi apabila debitur masuk dalam salah satu keadaan- keadaan di mana debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, debitur memenuhi prestasi tetapi tidak baik atau keliru dan/atau debitur memenuhi prestasi tidak tepat pada waktunya. Semua keadaan wanprestasi itu, apabila salah satu dari keadaan tersebut dialami oleh debitur mengakibatkan kreditur akan menuntut debitur untuk memenuhi prestasinya, karena jika tidak demikian debitur akan dituntut ganti rugi atas wanprestasinya.

Namun selain karena keadaan-keadaan yang disebutkan di atas, wanprestasi bisa terjadi di luar dari ketentuan itu, dan tidak diatur dalam pasal 1238 KUHPerdata, yaitu wanprestasi yang terjadi bukan karena kemauan atau itikad buruk dari debitur, tetapi karena adanya suatu keadaan memaksa (force majure), yang terjadi diluar kehendak debitur yang sebelumnya tidak diketahui oleh pihak debitur.

Force majure atau keadaan memaksa bukanlah merupakan terminologi yang

asing di kalangan komunitas hukum. Force majure sendiri secara harafiah berarti “Kekuatan yang lebih besar”. Sedangkan dalam konteks hukum, force majeure dapat diartikan sebagai klausula yang memberikan dasar pemaaf pada salah satu pihak dalam suatu perjanjian, untuk menanggung sesuatu hal yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya, yang mengakibatkan pihak tersebut tidak dapat menunaikan kewajibannya berdasarkan kontrak yang telah diperjanjikan.

Apabila keadaan memaksa yang telah dibicarakan dibandingkan dengan wanprestasi, keduanya mempunyai persamaan pada akhirnya, yaitu berakhir pada tidak terlaksananya perjanjian. Namun berbeda dengan risiko atau tanggung jawab karena antara kedunya mempunyai perbedaan yang mendasar terhadap penyebab terjadinya wanprestasi.

Dalam hal ini apabila seseorang dapat membuktikan bahwa lesse berada dalam keadaan memaksa atau force majure, justru dibebaskan dari risiko atau tanggung jawab. Dengan kata lain seseorang atau debitur yang lalai telah melakukan wanprestasi dapat menghapusnya dengan mengajukan alasan bahwa telah terjadi force majure. Seseorang yang tidak melakukan kewajiban prestasinya bukan karena force majure, akibatnya debitur dapat dikenakan sanksi. Sanksi yang dimaksudkan itu dapat berupa, kewajiban membayar kerugian yang diderita oleh pihak lawan, berakibat pembatalan perjanjian, peralihan risiko dan membayar biaya perkara (apabila masalahnya sampai ke pengadilan)73

Force majure atau yang sering diterjemahkan sebagai suatu keadaan

memaksa, merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melakukan prestasinya karena peristiwa atau keadaan yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara debitur bukan dalam keadaan itikad buruk.

.

74

Dalam Pasal 1244 KUHPerdata menyatakan:

“Dalam hal ini, kejadian-kejadian yang merupakan force majure tersebut tidak pernah terduga oleh para pihak sebelumnya, sebab jika para pihak

73

I.G. Rai Widjaja, Op Cit, 88

74 Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung : PT

sudah dapat menduga sebelumnya akan ada pristiwa tersebut, maka seyogianya peristiwa tersebut harus sudah dinegosiasikan di antara para pihak.”

Dengan perkataan lain bahwa peristiwa yang merupakan force majure tidak termasuk kedalam asumsi dasar (basic assumption) dari para pihak ketika kontrak tersebut dibuat.

Sungguhpun pasal 1244 dan pasal 1245 KUHPerdata hanya mengatur masalah force majure dalam hubungannya dengan penggantian biaya, rugi dan bunga, akan tetapi perumusan pasal-pasal ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam mengartikan force majure pada umumnya dan apabila pihak kreditur mempermasalahkannya.

Dari rumusan-rumusan dalam Pasal KUHPerdata seperti tersebut di atas dapat dilihat kausa-kausa force majure menurut KUHPerdata, yaitu sebagai berikut :75

a. Force majure karena sebab-sebab yang tidak terduga

Dalam hal ini menurut pasal 1244 KUHPerdata, jika terjadi hal-hal yang tidak terduga maka pihak debitur harus membuktikannya sebagai penyebab terhalangnya debitur untuk melaksanakan isi kontrak, hal tersebut bukan termasuk ke dalam kategori wanprestasi kontrak melainkan termasuk ke dalam kategori

force majure, kecuali jika debitur beritikad jahat (buruk) maka debitur dapat

dimintakan pertanggungjawannya. Dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum dan menyatakan bahwa kejadian tersebut seolah-olah karena suatu keadaan memaksa.

b. Force majure karena keadaan memaksa

Sebab lain mengapa seorang debitur dianggap dalam keadaan force majure sehingga debitur tidak perlu untuk bertanggung jawab atas tidak dilaksanakannya kontrak adalah jika tidak dipenuhinya kontrak tersebut disebabkan oleh keadaan memaksa yang dapat dibuktikan oleh debitur bahwa kejadian itu benar-benar terjadi.

c. Force majure karena perbuatan tersebut dilarang

Apabila ternyata perbuatan (prestasi) yang harus dilakukan oleh debitur ternyata dilarang oleh undang-undang yang berlaku, maka kepada debitur tidak berkewajiban untuk membayar ganti rugi.

Dari seluruh pasal-pasal dalam KUHPerdata yang mengatur tentang force

majure, dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat-syarat dari suatu force majure

adalah sebagai berikut :76

a. Peristiwa yang menyebabkan force majure tersebut haruslah keadaan yang tidak terduga oleh para pihak.

b. Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak yang harus melaksanakan prestasi (debitur) tersebut.

c. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majure, adalah peristiwa yang di luar kesalahan lesse.

d. Peristiwa yang menyebabkan force majure bukan karena kelalaian atau kesengajaan dari pihak lesse. Artinya di luar kesalahan debitur seperti pada pasal 1245 KUHPerdata.Pihak debitur tidak dalam keadaan itikad buruk.

e. Jika terjadi force majure maka kontrak tersebut menjadi gugur dan sedapat mungkin para pihak dikembalikan seperti seolah-olah tidak pernah melakukan kontrak tersebut. Hal ini diterangkan pada pasal 1545 KUHPerdata.

f. Jika terjadi force majure maka para pihak tidak boleh menuntut ganti rugi. Akan tetapi, karena kontrak yang bersangkutan menjadi gugur karena adanya force majure tersebut, maka untuk menjaga terpenuhinya

unsur keadilan pemberian nilai tambah (restitusi) atau harga wajar (quantum meruit) masih dimungkinkan.

g. Risiko sebagai akibat dari force majure beralih dari pihak debitur kepada kreditur (dari lesse kepada lessor), sejak saat seharusnya barang tersebut diserahkan seperti pada pasal 1545 KUHPerdata.

2. Bentuk-Bentuk Wanprestasi Akibat Terjadinya Force Majeur dalam