• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Penyelesaian Sengketa dalam Kontrak Leasing

BAB IV : PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI AKIBAT

3. Proses Penyelesaian Sengketa dalam Kontrak Leasing

Seperti telah diuraikan di atas, pada umumnya apabila terjadi suatu sengketa atau wanprestasi dalam perjanjian leasing yang diadakan oleh pihak

lessor dengan lessse, para pihak biasanya berusaha untuk menyelesaikannya

dengan cara damai atau dengan cara kekeluargaan. Terjadinya perselisihan dan

sengketa ini sering kali disebabkan apabila salah satu pihak tidak menjalankan kesepakatan yang telah dibuat dengan baik ataupun karena ada pihak yang wanprestasi, sehingga merugikan pihak lainnya yang kemudian timbul keinginanan untuk menuntut penyelesaian atas sengketa tersebut.

Proses penyelesaian sengketa dalam kontrak leasing yang dilakukan oleh para pihak, PT Orix Indonesia Finance akan mengambil tindakan sebagaimana yang tercantum dalam dalam pasal 16 ayat (1) perjanjian sewa guna usaha kendaraaan bermotor tentang cidera janji/ wanprestasi yang menyatakan sebagai berikut :

Pasal 16 ayat (1) :

Dalam hal lesse lalai untuk memenuhi kewajiban membayar sewa leasing atau hutang lainnya yang telah jatuh tempo menurut perjanjian leasing, atau jika lesse lalai mentaati atau lalai melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian

leasing, maka lessor mempunyai hak penuh tanpa keharusan menyampaikan

pemberitahuan atau mengajukan permintaan terlebih dahulu kepada lesse untuk segera menjalankan segala atau salah satu cara di bawah ini :

a. Meminta sebagaimana atau seluruh sewa leasing yang terhitung selama jngka waktu pertama dan semua ongkos berdasarkan perjanjian leasing yang jatuh tempo harus segera dan seketika dibayar oleh lesse secara tunai pada waktu ditagih.

b. Mengambil atau menarik barang leasing dengan atau tanpa bantuan pengadilan dan/atau alat-alat negara dan/atau pejabat pemerintah dan/atau pihak lain dan berhak untuk memasuki tanah dan/atau pekarangan dan/atau

bangunan serta barang tidak bergerak lainnya yang diduga menjadi tempat-tempat penyimpanan barang leasing.

c. Meminta bantuan pihak berwajib, instansi pemerintah dan/atau pihak lain agar lesse melaksanakan kewajiban berdasarkan perjanjian leasing dan mulai saat itu lesse harus segera menghantikan segala bentuk pemakain barang leasing

d. Mengakhiri dan/atau membatalkan perjanjian leasing dan menuntut lesse membayar seluruh nilai kerugian disetujui dan harus membayar seluruh kerugian dan kerusakan serta kehilangan keuntungan lessor.

e. Menjual dan/atau mengalihkan dan/atau memberikan barang leasing kepada orang atau pihak lain.

Dalam hal menghadapi kasus wanprestasi lesse, maka lessor mempunyai tiga alternatif, hal ini juga dilakukan oleh PT Orix Indonesia Finance yaitu sebagai berikut :

a. Penyelesaian Secara Damai 1) Melalui Negosiasi

Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa saling melakukan kompromi untuk menyuarakan kepentingannya. Dengan cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik.

Penyelesain dengan cara negosiasi adalah cara yang paling sering dan banyak digunakan dan biasanya paling awal dilakukan oleh kedua belah pihak dan biasanya berhasil dengan proses dan prosedurnya yang singkat dan tidak

memakan biaya yang besar. Tetapi jika usaha perdamaian dengan negosisasi ini tidak berhasil, sengketa atau perselisihan tersebut akan dibawa ke pengadilan.

Dalam pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dikatakan bahwa pada dasarnya para pihak dapat dan berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang timbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui oleh para pihak.99

Penyelesain melalui negosiasi setiap pihak yang bersengketa (lesse dan

lessor) merasakan sama-sama mendapat keuntungan, karena masing-masing

kepentingan yang berselisih sejauh mungkin diperhatikan. Demikian juga waktu yang diperlukan dalam penyelesaian sengketa dengan cara negosiasi ini relatif singkat. Hal ini jelas berbeda dengan dibandingkan penyelesaian dengan melalui pengadilan yang waktunya lebih lama yang karena segala prosesnya tergantung pada hakim dan birokrasi pengadilan.

Bila penyelesaian sengketa atau wanprestasi lesse digunakan dengan langkah negosiasi, maka peran negosiasi adalah menciptakan titik temu diantara kepentingan masing-masing pihak baik lessor dan lesse. Negosiasi ini harus bisa menciptakan situasi dimana masing-masing kepentingan pihak itu dapat diterima dan diakui secara layak oleh kedua belah pihak yang bersengketa.

2) Melalui Lembaga Mediasi

Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa yang kurang lebih hampir sama dengan negosiasi. Bedanya adalah terdapat pihak ketiga yang netral dan berfungsi

99 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Alternatif Penyelesain Sengketa, (Jakarta :

sebagai penengah atau memfasilitasi mediasi tersebut yang biasa disebut “mediator”. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 1 butir 6, yaitu “Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator.” Pihak ketiga tersebut hanya boleh memberikan saran-saran yang bersifat sugestif, karena pada dasarnya yang memutuskan untuk mengakhiri sengketa adalah para pihak. Pihak ketiga tersebut juga harus netral sehingga dapat memberikan saran-saran yang objektif dan tidak terkesan memihak salah satu pihak.

Untuk penyelesaian sengketa yang melibatkan lembaga mediasi. Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan tanggal 11 September 2003. Adapun latar belakang diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung ini dijelaskan dalam pertimbangan (konsiderans) pada butir b bahwa mediasi merupakan salah satu proses lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan itu atau penyelesaian yang memuaskan atas sengketa yang dihadapi.

Jauh sebelum diterbitkannya peraturan Mahkamah Agung ini, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai. Namun, surat Edaran tersebut oleh MA dianggap belum lengkap sehingga perlu disempurnakan.

Sengketa Perdata di Pengadilan Diawali dengan Proses Mediasi. Dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan: “Semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator.” Dalam Pasal 11 ayat (5) menyatakan bahwa “Hakim dapat mengukuhkan kesepakatan sebagai suatu akta perdamaian”.

3) Melalui Lembaga Arbitrase

Upaya lainnya dalam penyelesian sengketa/wanprestasi antara lesse dengan lessor apabila tidak berhasil diselesaikan dengan cara damai (negosiasi), adalah dengan menyelesaikannya dengan cara menggunakan lembaga arbitrase. Lembaga ini sering pula disebut lembaga perwasitan. Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai "litigasi swasta" Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang “arbiter” sedangkan arbitrase adalah penyelesaian suatu sengketa oleh seorang atau beberapa orang yang ditunjuk untuk memutuskan atau menyelesaikan sengketa tersebut.

Untuk dapat menempuh proses arbitrase hal pokok yang harus ada adalah "klausula arbitrase" di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau "perjanjian arbitrase" dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban

pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut100. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan akibat adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase101

Para anggota dari lembaga arbitrase terdiri dari berbagai keahlian, antara lain, ahli dalam perdagangan, industri, perbankan, hukum dan kesehatan.

.

Sebenarnya, masalah penyelesaian sengketa bisnis atau perdagangan melalui lembaga arbitrase bukanlah sesuatu hal yang baru dalam praktek hukum di Indonesia. Disebut demikian karena pada zaman Hindia Belanda pun sudah dikenal. Hanya saja, pada waktu itu berlaku untuk golongan tertentu saja sehingga pengaturan lembaga ini pun diatur tersendiri yakni dalam hukum acara perdata yang berlaku bagi golongan Eropa yang termuat dalam reglement op de

rechtelijke rechtsvordering (RV).

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam dua bentuk, yaitu:

1. Factum de compromitendo yaitu klausa arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa.

100 Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta : Pustaka

Sinar Harapan, 1993), hal 146.

5 “Alternatif penyelesaian sengketa dagang”

2. Akta Kompromis yaitu suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.102

Pasal 61 UUAPS menyatakan bahwa, “ Putusan arbitrase adalah bersifat final dan mengikat (final and binding) kedua belah pihak.” Dalam hal putusan tidak dilaksanakan secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak.

b. Penyelesaian Melalui Pengadilan (Litigasi)

Apabila upaya lessor untuk menggambil kembali barang objek leasing atau upaya untuk meminta lesse untuk membayar sewa lesse sepenuhnya tidak berhasil dengan cara damai di luar pengadilan, maka lessor dapat menyelesaikannya dengan melalui jalur pengadilan negeri yang berwenang.

Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim103

Pihak-pihak yang berpekara mempunyai kedudukan hukum yang sama di depan pengadilan. Didasarkan pada asas bahwa masing-masing pihak yang berperkara diberi kesempatan yang sama untuk menggemukakan dalil-dalil yang

. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-

win solution (solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus

menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah.

102 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa Pasal 1.

5 “Penyelesaian-sengketa-dagang-melalui-litigasi-dan-non-litigasi”, http://dinatropika.wordpress.com/2010/07/21.html

mereka anggap dapat mengguntungkannya, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku dan harus didengar dan diperhatikan oleh hakim.

Hakim yang memeriksa kasus wanprestasi tersebut tidak boleh menolak untuk memeriksa walaupun kegiatan usaha leasing masih relatif baru dan belum ada peraturan undang-undang yang khusus mengaturnya, karena pada dasarnya hakim harus paham terhadap semua jenis hukum. Jadi apabila hakim tidak menemukan peraturan tertulis atas kasus yang diajukan kepadanya, maka hakim tersebut harus menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Jadi tidak boleh ada hakim yang menolak perkara, apalagi hanya karena dia tidak menguasai bidang sengketa tersebut104

Berdasarkan konsekuensi bahwa putusan hakim akan memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan pihak yang lain, maka berdasarkan hukum acara perdata di Indonesia hakim wajib memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi untuk mendamaikan para pihak. Jika para pihak sepakat untuk berdamai, hakim membuat akta perdamaian (acte van daading) yang pada intinya berisi para pihak harus menaati akta perdamaian tersebut dan tidak dapat mengajukan lagi perkara tersebut ke pengadilan. Jika perkara yang sama tersebut tetap diajukan ke pengadilan maka perkara tersebut akan ditolak dengan alasan ne bis in idem (perkara yang sama tidak boleh diperkarakan dua kali) karena akta perdamaian tersebut berkekuatan sama dengan putusan yang final dan mengikat (tidak dapat diajukan upaya hukum).

.

104 “ Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Liberty: Yogyakarta,

Selanjutnya jika proses perdamaian yang diperintahkan oleh hakim tersebut tidak berhasil maka hakim akan melanjutkan memeriksa sengketa tersebut. Dalam memeriksa kasus wanprestasi pihak lesse dengan lessor pada perjanjian leasing itu sendiri, hakim akan memperlihatkan hal sebagai berikut : a. Mengenai bukti-bukti yang ada terutama perjanjian leasing itu sendiri. Dalam

hal ini yang harus diperhatikan oleh hakim adalah:

1) Apakah para pihak telah menandatangani perjanjian dan bagaimana kwalitas mereka masing-masing apakah sebagai perseorangan atau pribadi, atau perusahaan.

2) Apakah pihak yang menandatangani itu memang berwenang mewakili perusahaan yang bersangkutan sesuai dengan perjanjian dasarnya. 3) Apakah telah diisi secara lengkap alamat objek leasing itu beroperasi. 4) Apakah telah diisi tempat tinggal atau kedudukan sipenandatangan

dengan lengkap

5) Apakah telah dibubuhi tanggal di atas materai.

6) Apakah saksi-saksi telah membubuhkan tandatangannya.

b. Mengenai konstruksi hukumnya. Bila hakim berpendapat bahwa perjanjian itu sewa guna usaha, maka hakim harus memperhatikan hal-hal berikut:

1) Maksud sebenarnya para pihak mengadakan perjanjian

2) Melihat sifat perjanjiannya. Pasal 1345 KUHPerdata “jika kata-kata memberikan dua pengertian maka dipilih pengertian yag selaras dengan persetujuan”.

4) Melihat pasal demi pasal yang menentukan hak dan kewajiban para pihak, karena akan jelas terlihat apakah kontrak itu merupakan

leasing.

Sebagai ganti kerugian yang diderita oleh lessor, maka lessor dapat menuntut ke pengadilan agar :105

a. Melakukan sita tarik (revindicator) atas objek leasing dan mengambil kembali barang-barang milik lessor yang berada dalam kekuasaan lesse untuk diserahkan kembali kepada lessor

b. Menghukum lesse unuk membayar ganti rugi kepada lessor atas wanprestasi yang dilakukannya berupa :

1) uang sewa yang masih tertunggak 2) denda yang tertunggak beserta bunganya

3) seluruh uang sewa yang masih berjalan hingga angsuran terakhir 4) nilai sisa barang yang dilease

5) biaya penagihan, termasuk biaya perkara dan honor pengacara

c. meletakkan sita jaminan atas harta milik lesse untuk menjamin pembayaran ganti rugi dan lain-lain atas tuntutan di atas.

d. mengalihkan segala risiko kepada lesse

e. menuntut kepada hakim agar membatalkan perjanjian leasing atau menyatakan perjanjian batal akibat wanprestasi.

Namun demikian pihak lesse tidak akan mudah untuk menerima begitu saja, sehingga pihak lessepun dapat mengadakan pembelaan. Hal-hal yang dipakai menjadi bahan pembelaaannya adalah :

a. adanya keadaan memaksa (force majure)

b. lessor juga lalai, karena telah memberikan barang yang ternyata cacat,

tidak menyediakan suku cadang pada waktunya.

c. Meminta penundaaan pembayaran atau mengadakan pembaharuan perjanjian.

Penyelesian sengketa di atas merupakan upaya penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh pihak lessor apabila pihak lesse mengalami wanprestasi terhadap perjanjian yang telah disepakati dengan baik sebelumnnya. Dalam perjanjian leasing memberikan hak kepada lessor untuk menuntut pihak lesse apabila melakukan suatu perbuatan yang merugikan pihak lessor. Untuk itu pihak

lessor dapat melakukan uapaya damai dan apabila tidak berhasil dapat melakukan

upaya hukum melalui jalur pengadilan untuk mengembalikan kerugiannya, sebagai akibat dari perbuatan wanprestasi yang dilakukan oleh lesse. Wanprestasi yang disengketakan oleh pihak lessor biasanya adalah sengketa yang diakibatkan oleh kelalaian lesse atau bahkan juga karena kesengajaan oleh pihak lesse. Artinya semua perbuatan yang mengakibatkan wanprestasi itu dengan sadar dan dengan diketahui oleh pihak lesse. Wanprestasi atau ingkar janji dalam leasing adalah tindakan dimana lesse tidak memenuhi kewajiban/prestasi dalam suatu perjanjian

yang seharusnya menjadi kewajiban lesse sampai perjanjian itu habis masanya. Dalam hal ini lesse dikatakan berprestasi buruk.

Akan tetapi berbeda penyelesaian sengketa atau wanprestasi yang disebabkan karena terjadinya suatu keadaan memaksa (force majure). Sampai saat ini masih banyak sekali kontrak-kontrak leasing di Indonesia yang belum mencantumkan akan perlunya klausul force majure dalam kontrak kegiatan usahanya. Alasan mengapa tidak dicantumkan adalah karena pada umumnya dalam perjanjian pihak kreditur (lessor) tidak mau dirugikan, sehingga apabila dalam kontrak tertentu klausul force majure ini dicantumkan, maka saat terjadinya wanprestasi yang disebabkan oleh force majure pihak lesee tidak dapat dituntut untuk mengganti rugi, karena keadaan mendesak itu terjadi di luar itikad buruk dan kekuasaaan lesse dan pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata melindunginya.

Force majure adalah klausa dala

kedua belah pihak dari

biasa atau keadaan luar kendali para pihak, seperti kejahatan, atau peristiwa yang dijelaskan oleh "istilah hukum

"(seperti

mengahalangi kedua belah pihak untuk memenuhi kewajibannya berdasarkan kontrak106

Suatu pihak tidak bertanggung jawab atas kegagalan dalam melakukan kewajiban pihak jika kegagalan tersebut adalah sebagai hasil dari keadaan alam

.

106 “ Force_majeure dan hardship_causule &rul”, http:// notarissby.blogspot,

com/searc/label/akta otentik-kontrak

66 “Penyelesain Konflik Keadaan Memaks translate.google.co.id$usg

termasuk kebakaran, banjir, gempa bumi, badai, angin topan atau bencana alam lainnya, perang, invasi, tindakan musuh asing, permusuhan (terlepas dari apakah perang dinyatakan), perang saudara, pemberontakan, revolusi, pemberontakan, kekuatan militer atau merebut atau penyitaan, kegiatan teroris, nasionalisasi, sanksi pemerintah, penyumbatan, embargo, perselisihan perburuhan, pemogokan, sebagai penyebab pihak lesse tidak dapat untuk melaksanakan prestasinya107

Jika pihak lesse menegaskan force majeure sebagai alasan atas kegagalan untuk melakukan kewajiban lesse, pada PT Orix Indonesia Finance, maka lesse yang wanprestasi karena keadaan mendesak harus membuktikan bahwa lesse memang benar mengalami suatu keadaan yang mendesak yang menyebabkan

lesse tidak dapat memenuhi kewajiban atau memberikan prestasinya dalam

kontrak leasing yang telah disepakati dan apabila benar lesse mengalami hal yang demikian maka secara musyawarah lessor, lesse dan asuransi akan merundingkan bagaimana peneyelesaian atas sengeta tersebut, apalagi jika keadaan mendesak yang merupakan Act Of God tidak diatur di dalam asuransi pada kontrak sebelumnya.

.

Berdasarkan pada apa yang telah dijelaskan sebelumnya tentang force

majure sebagai klausula yang membebaskan lesse untuk tidak dapat dituntut

pertanggung jawabannya, maka sebuah force majure harus memenuhi syarat- syarat sebgai berikut yaitu :

a. Peristiwa yang terjadi tidak terduga;

b. Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan;

70 Ibid.

c. Di luar kesalahan debitur d. Debitur tidak beritikad buruk

e. Para pihak boleh menuntut ganti rugi

Dalam keadaan mendesak lesse tidak dapat dipersalahkan dengan tuduhan atau tuntutan adanya sebuah perbuatan wanprestasi, karena keadaaan itu terjadi di luar kekuatan atau kekuasaan lesse. Namun dalam kegiatan leasing, lessor tidak mudah begitu saja untuk menerima pernyataan lesse dengan adanya alasan keadaan memaksa. Biasanya kontrak leasing yang dibuat oleh lessor tidak ada mengatur tentang keadaan memaksa (force majure) dan menyatakan bahwa segala sesuatu yang menyebabkan terjadinya wanprestasi atau yang menyebabkan lesse cidera janji menjadi tanggung jawab lesse dan lessor tidak mau bertanggung jawab atas risiko akibat keadaan force majure. Lessor akan tetap berpedoman pada kontrak yang telah ditandatangani para pihak sejak awal adanya kesepakatan bersama dalam kegiatan leasing. Apabila dianalisa lebih lanjut maka pada keadaan memaksa pemenuhan prestasi oleh debitur praktis menimbulkan keberatan, karena walaupun hal itu terjadi, mengingat bahwa kedudukan lesee adalah pihak yang lemah yang harus memenuhi prestasinya dan pihak lessor akan tetap menuntutnya apalagi bila klausula tentang keadaan memaksa itu tidak ada dicantumkan dalam kontrak. Dari analisa tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam keadaan memaksa titik beratnya terletak pada posisi debitur yaitu debitur terhalang untuk memenuhi prestasi, apakah pihak deditur berdasarkan itikad baik atau tidak, harus dibuktikan oleh debitur/lesse dan kepatutan menuntut pemenuhan prestasi dari debitur pada umunya tetap ada pada lessor.

Dalam kenyataannya, berdasarkan apa yang telah pernah terjadi pada konsumen PT Adira Finance, wanprestasi karena keadaan memaksa (force

majure) yang dialami lesse maka, para pihak lessor dan lessee memilih

menyelesaikannya dengan jalan damai/negosisasi dan mencari solusi terbaik bagi kedua belah pihak, apakah pihak lesse diminta oleh lessor untuk membayar semua atau sebagian kerugian yang diakibatkan oleh force majure terhadap lessor.

Namun sebaliknya apabila ternyata lesse tidak benar dan tidak dalam keadaan mendesak, artinya lesse wanprestasi karena dalam keadaan itikad buruk, hakim akan memutuskan bahwa lesse wajib untuk membayar kerugian lesse akibat dari wanprestasinya berdasarkan pasal 1244 KUHPerdata. Ketentuan tentang ganti rugi dalam perjanjian pada umumnya diatur dalam pasal 1239 dan 1243 KUHPerdata.

Dengan demikian sesuai dengan apa yang dijelaskan di atas, bahwa sebaiknya dalam kontrak-kontrak leasing hendaknya dicantumkan klausul yang mengatur tentang adanya suatu keadaan memaksa. Dengan klausul ini apabila

lesse wanprestasi karena suatu keadaan yang terjadi di luar kekuatan dan

kekuasaan yang tidak diketahui oleh lesse, maka lesse tidak dapat diminta pertanggungjawabannya untuk itu. Klausul mengenai keadaan memaksa ini merupakan suatu hal yang memberikan kebebasan dan kepastian hukum bagi lesse untuk tidak dapat dituntut atas wanprestasi karena keadaan memaksa, merupakan hak bagi lesse untuk menolak dan meminta kepada pengadilan untuk

membatalkan perjanjian leasing apabila lessor tetap menuntut lesse untuk mengganti rugi.

BAB V