• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Tentang Berlakunya Force Majeur Terhadap Wanprestasi Dalam Kontrak Leasing

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Yuridis Tentang Berlakunya Force Majeur Terhadap Wanprestasi Dalam Kontrak Leasing"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS TENTANG BERLAKUNYA FORCE MAJEUR TERHADAP WANPRESTASI DALAM KONTRAK LEASING

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

NAMA : MASNUR SIDAURUK

NIM : 070200036

DEPARTEMEN : HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

(2)

ANALISIS YURIDIS TENTANG BERLAKUNYA FORCE MAJEUR TERHADAP WANPRESTASI DALAM KONTRAK LEASING

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara

OLEH:

MASNUR SIDAURUK 070200036 HUKUM PERDATA

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Nip: 196603031985081004 (Dr. Hasim Purba,S.H.,M.Hum)

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Muhammad Husni,S.H.,M.Hum

Nip:195802021988031004 Nip: 196908201995121001 Dr.Dedi Harianto,S.H.,M.Hum

FAKULTAS HUKUM

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Allah Bapa Tuhan Yesus Kristus

yang karena berkat dan anugrahNya saya dapat menyelesaikan dan

menyempurnakan Skripsi ini. Doa dan pujian bagi Tuhan Yesus telah menuntun

saya dari ketidaktahuan sampai kepada pengetahuan.

Skripsi ini berjudul “Analisis Yuridis Tentang Berlakunya Force Majeur

Terhadap Wanprestasi Dalam Kontrak Leasing” yang disusun untuk melengkapi

tugas-tugas dan syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum dan sebagai

sarana bagi kita untuk menumbuh kembangkan rasa bangga dan cinta terhadap

tanah air Indonesia.

Terimakasih kepada Orang tua saya tercinta, Ayahanda tercinta Darius

Sidauruk (Alm) sebagai sosok bapak yang sangat menginspirasi saya, seorang

motivator dan pemberi nasehat, seorang yang mengingatkan saya untuk selalu

bangkit, maju dan pantang mundur serta sebagai contoh nyata dalam kehidupan

dan selamanya nasehatmu akan hidup di hatiku. Ibunda saya tercinta Lestina

Silaban adalah seorang ibu yang sangat kuat dan luar biasa (my hero) yang selalu

berdoa, memberi dorongan kepada saya, dukungan semangat, sosok Ibu yang

penuh cinta dan kasih sayang. Trimakasih untuk semuanya mama.

Dalam kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih atas

bimbingan, jasa dan dukungan yang diberikan kepada saya dalam penyelesaian

(4)

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTMH.MSc(CTM).SpA(K)., selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H.,

M.Hum dan Bapak Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU Syafruddin

Hasibuan, SH, MH, DFM.

4. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum selaku Kepala Bagian Departemen Hukum

Keperdataan.

5. Ibu Rabiatul Syahriah, S.H.,M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum

Keperdataan.

6. Bapak Muhammad Husni,S.H.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing I dan selaku

Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU.

7. Bapak Dr.Dedi Harianto,S.H.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing II.

8. Bapak Arif. S.H., M.Hum selaku Dosen Wali yang telah memberikan arahan,

dukungan, motivasi serta bimbingan selama dibangku perkuliahan. Dan juga Bapa

/Ibu Dosen yang telah memberikan ilmunya yang tak terhingga kepada saya.

9. Seluruh Staff / Pegawai Tata Usaha di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

10.Bapak uda saya, Romsen Sidauruk (Koten), merupakan malaikat penolong yang

dikirimkan Tuhan bagiku dan Keluarga, yang selalu mendukung dan memberi

saya semangat untuk segala hal yang terbaik untuk hidupku. Di mataku Uda

(5)

Uda tidak lagi bersamaku, tapi aku selalu berdoa semoga uda panjang umur dan

menemukan kebahagiaan di masa depan Uda.

11.Saudara dan saudari saya. Kakak saya Leriska & Tiurma (kakak dan sahabatku),

dan Adek-adek saya Bunga Rotua, Hotmaida, Rindu Ito, Cinta Putri, Abang

Togar, Delvi, Kevin dan Riewath (Daniel) trimakasih untuk doa dan dukungan

kalian dalam hidupku, kelak kita semua harus sukses dan berhasil agar bisa

mengembalikan senyum dan mengusap luka dan duka yang begitu berat dihati

Mama kita, memberinya kebahagiaan dan kasih sayang.

12.Semua Bapak uda dan Inanguda, Namboru, Tulang & Nantulang dan semua

kerabat keluarga saya.

13.Buat K’ Helena, Kk pembinaku yang selalu sabar dalam membinaku dan tak

pernah berhenti mendoakanku, Adelina Sembiring, adek binaanku

tersayang,,,,,yang juga selalu berdoa dan pengertian, serta memberiku perhatian.

14.Teman-teman pelayanan Mahasiswa dan Profesi Gereja Blessing Community

(GKB) Medan, Khususnya Satelit Hotel Pardede k’Lasma, k’Emma, k’Ria,

k’Renty, k’Runggu, k’Rossa, Marlina, Irna, Ester, Berlian, B’Leo, B’Robet dan

teman-teman lainnya yang tidak disebutkan satu per satu.

15.Teman-teman satu Komsel Mahasiswa (GKB), Khususnya Komsel Marakas “God

Chaesar” B’Sony, K’Runggu, k’Intan, Winda, Beta, Dyesra, Heny,

Amansyahputra, Dendriko, dan Ismai I lov U AlL.

16.Abang dan kakak pegawai di kampus dan perpustakaan Fakultas Hukum USU.

(6)

mahasiswa/i yang datang ke perpustakaan untuk meminjam buku dan mencari

bahan skripsi.

17.Sahabat-sahabatku Riska Sinaga, Ima F. Barus, Yudika D. Hutabarat, Arisanta

PHS, Widya L.Silaban, Fitri W. Hutabarat, Lita Y. Lingga, inspirasi dan

semangatku, bersama kita telah melalui banyak suka/ duka, cita dan cinta di

kampus tercinta demi cita-cita dan masa depan kita.

18.Teman-teman stambuk 2007, terutama teman-teman dari Grup A yaitu Windy,

Beby, Irma, Rina, Y.Grace Sitompul, Adit, Shelly, Astri, Melissa, Yusuf, Beni,

Rolly, Dian, Rotua, Juni, Ricky, Prananta, Desi, Abde dll. Teman-teman Klinis

Perdata, Pidana, dan PTUN, serta kepada temanku Mutiara dan Erik, Idama yang

telah membantuku dalam mencari tempat riset dan memberiku banyak semangat.

19.Para senior yang telah membimbing selama di bangku perkuliahan.

Saya berharap agar kiranya Skripsi ini dapat memberikan manfaat baik

bagi saya maupun bagi para pembaca. Disamping itu, saya juga menyadari bahwa

Skripsi ini masih belum sempurna sehingga kritik dan saran yang membangun

dari para pembaca sangat diharapkan untuk penyempurnaan Skripsi ini.

Akhir kata, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terapat

kesalahan-kesalahan di dalam Skripsi ini, karena sebagai manusia biasa pasti tak

ada manusia yang sempuna, sehingga sudi kiranya pembaca memaafkan

kesalahan-kesalahan yang terdapat di dalamnya.

Medan, 19 Maret 2011

Penulis

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAKSI ... vii

BAB I : PENDAHULUAN... 1

1. Latar Belakang... 1

2. Perumusan Masalah... 17

3. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 17

4. Keaslian Penulisan... 19

5. Tinjauan Kepustakaan ... 19

6. Metode Penelitian... 26

7. Sistematika Penulisan ... 29

BAB II : PENGATURAN LEASING DALAM HUKUM KONTRAK DI INDONESIA... 30

1. Pengertian Leasing dan Para Pihak Dalam Kontrak Leasing... 30

2. Pengaturan Leasing Sebagai Kontrak Innominat Dalam Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku di Indonesia ... 40

3. Pemberlakuan Ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Dalam Menentukan Keabsahan Kontrak Leasing... 49

4. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Kontrak Leasing... 54

(8)

BAB III : BENTUK-BENTUK WANPRESTASI AKIBAT

TERJADINYA FORCE MAJEUR DALAM KONTRAK

LEASING DAN AKIBAT HUKUMNYA... 62

1. Pengertian Wanprestasi dan Force Majeur Serta Pengaturannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata... 58

2. Bentuk-bentuk Wanprestasi Akibat Terjadinya Force Majeur dalam Kontrak Leasing... 70

3. Akibat Hukum Terhadap Kontrak Leasing Sebagai Dampak Adanya Wanprestasi Force Majeur ... 83

BAB IV : PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI AKIBAT ADANYA FORCE MAJEUR DALAM KONTRAK LEASING... 88

1. Pengertian Sengketa dan Bentuk-bentuk Sengketa ……… 88

2. Upaya Hukum Lessor dalam Hal Terjadinya Force Majeur yang Mengakibatkan Terjadinya Wanprestasi dalam Kontrak Leasing Sepeda Motor……… 90

3. Proses Penyelesaian Sengketa dalam Kontrak Leasing…… 95

a. Penyelesaian Secara Damai……….. 97

b. Penyelesaian Melalui Pengadilan ……… 102

BAB V : PENUTUP………. 112

1. Kesimpulan ………... 112

2. Saran……….. 114

(9)

ABSTRAKSI

Dengan berkembangnya kegiatan ekonomi nasional, maka berkembang jugalah kegiatan masyarakat dalam bidang usaha ekonomi. Kegiatan usaha yang saat ini banyak berkembang di masyarakat adalah sewa guna usaha atau yang biasa disebut dengan leasing. Leasing adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna Usaha dengan hak opsi

(Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease)

untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran yang disepakati. Pelaksanaan kontrak leasing dalam praktekya tidak dapat dihindari dari terjadinya wanprestasi baik yang terjadi karena kesengajaan atau kelalaian lesse maupun yang terjadi di luar kehendak lesse atau (force majure). Force majure adalah suatu keadaan dimana lesse dalam keadaan tidak dapat memenuhi kewajiban prestasinya tidak dapat diminta pertanggungjawabannya, karena peristiwa yang menyebabkan wanprestasi lesse adalah bukan karena itikad buruk lesse. Dalam kontrak leasing,

force majure sangat jarang dicantumkan, dan biasanya para pihak tidak ada

memperkirakan akan terjadi hal demikian selama kontrak berjalan. Bentuk penyelesain apabila peristiwa force majure ini terjadi adalah para pihak menyelesaikannya dengan jalan damai atau musyawarah.

Metode penulisan yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penulisan skripsi ini adalah metode dengan cara yuridis normatif. Metode penelitian yuridis normatif yang dipergunakan dalam penulisan ini guna melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kegiatan usaha leasing, penelusuran terhadap sistematika hukum, dan penelusuran terhadap peneyesuaian peraturan-peraturan hukum serta untuk memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, koran, majalah, situs internet dan sebagainya. Selanjutnya untuk memperoleh data pendukung dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara melakukan observasi dan juga wawancara secara mendalam dengan narasumber yang berkenaan dengan judul skripsi ini dengan analisis data secara kualitatif yang bertujuan dan bermanfaat untuk melakukan analisis terhadap literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, koran, majalah, situs internet bahkan terhadap norma-norma hukum yang dilakukan secara menyeluruh dan merupakan suatu kesatuan yang berkesinambungan dan saling terkait.

Dalam pelaksanaan usaha leasing di Indonesia diperlukan adanya suatu undang-undang yang khusus mengatur tentang leasing demi menjamin kepastian hukum terhadap hak dan kewajiban para pihak terutama pihak lesse sebagai pihak yang lemah yang di dalam kontrak lebih banyak mengatur tentang kewajiban dari pada haknya. Dalam merancang kontrak leasing juga perlu untuk mencantumkan klausula force majure dan menjelaskannya kepada lesse, agar apabila hal itu terjadi lesse tidak mutlak dituntut ganti rugi seperti wanprestasi yang terjadi karena kelalaian atau kesengajaan lesse, karena hal tersebut sangat memberatkan

lesse sebagai konsumen dan penyelesaiannya sebaiknya dengan menggunakan

(10)

ABSTRAKSI

Dengan berkembangnya kegiatan ekonomi nasional, maka berkembang jugalah kegiatan masyarakat dalam bidang usaha ekonomi. Kegiatan usaha yang saat ini banyak berkembang di masyarakat adalah sewa guna usaha atau yang biasa disebut dengan leasing. Leasing adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna Usaha dengan hak opsi

(Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease)

untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran yang disepakati. Pelaksanaan kontrak leasing dalam praktekya tidak dapat dihindari dari terjadinya wanprestasi baik yang terjadi karena kesengajaan atau kelalaian lesse maupun yang terjadi di luar kehendak lesse atau (force majure). Force majure adalah suatu keadaan dimana lesse dalam keadaan tidak dapat memenuhi kewajiban prestasinya tidak dapat diminta pertanggungjawabannya, karena peristiwa yang menyebabkan wanprestasi lesse adalah bukan karena itikad buruk lesse. Dalam kontrak leasing,

force majure sangat jarang dicantumkan, dan biasanya para pihak tidak ada

memperkirakan akan terjadi hal demikian selama kontrak berjalan. Bentuk penyelesain apabila peristiwa force majure ini terjadi adalah para pihak menyelesaikannya dengan jalan damai atau musyawarah.

Metode penulisan yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penulisan skripsi ini adalah metode dengan cara yuridis normatif. Metode penelitian yuridis normatif yang dipergunakan dalam penulisan ini guna melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kegiatan usaha leasing, penelusuran terhadap sistematika hukum, dan penelusuran terhadap peneyesuaian peraturan-peraturan hukum serta untuk memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, koran, majalah, situs internet dan sebagainya. Selanjutnya untuk memperoleh data pendukung dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara melakukan observasi dan juga wawancara secara mendalam dengan narasumber yang berkenaan dengan judul skripsi ini dengan analisis data secara kualitatif yang bertujuan dan bermanfaat untuk melakukan analisis terhadap literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, koran, majalah, situs internet bahkan terhadap norma-norma hukum yang dilakukan secara menyeluruh dan merupakan suatu kesatuan yang berkesinambungan dan saling terkait.

Dalam pelaksanaan usaha leasing di Indonesia diperlukan adanya suatu undang-undang yang khusus mengatur tentang leasing demi menjamin kepastian hukum terhadap hak dan kewajiban para pihak terutama pihak lesse sebagai pihak yang lemah yang di dalam kontrak lebih banyak mengatur tentang kewajiban dari pada haknya. Dalam merancang kontrak leasing juga perlu untuk mencantumkan klausula force majure dan menjelaskannya kepada lesse, agar apabila hal itu terjadi lesse tidak mutlak dituntut ganti rugi seperti wanprestasi yang terjadi karena kelalaian atau kesengajaan lesse, karena hal tersebut sangat memberatkan

lesse sebagai konsumen dan penyelesaiannya sebaiknya dengan menggunakan

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Di dalam suatu masyarakat yang sedang membangun perkembangan

berbagai lembaga yang telah ada pada masyarakat tidak pernah berhenti, baik di

bidang ekonomi, sosial budaya, politik maupun di bidang yang sedang

berlangsung dimasyarakat seperti usaha-usaha ekonomi kecil. Perkembangan

lembaga-lembaga yang tidak pernah berhenti itu disebabkan adanya suatu sifat

dasar dari masyarakat yaitu senantiasa berubah atau dinamis. Oleh karena itu

apabila perkembangan-perkembangan itu berhenti, berarti kegiatan pembangunan

masyarakat akan terhambat kemajuannya, sehingga dapat mengakibatkan

timbulnya keadaan-keadaan yang mengarah pada terciptanya masyarakat yang

statis1

Dalam suasana pembangunan nasional Indonesia yang sedang meningkat

pesat di tahun-tahun terakhir ini, maka peranan usaha-usaha swasta untuk

membantu pemerintah dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi nasional

semakin ditingkatkan. Hal ini sejalan dengan berkurangnya devisa negara dari

penerimaan sumber daya alam dalam sektor minyak bumi dan gas bumi (migas),

sehingga penerimaan negara dari sektor non-migas harus ditingkatkan. Hal ini

mengakibatkan pemerintah membutuhkan peningkatan peran serta pihak swasta

karena pemerintah sudah tidak dapat membiayai kegiatan-kegiatan sebanyak

waktu sebelum krisis moneter di tahun 1998. .

1 Tommy Elhaitamy, Leasing Alternatif memperbaiki Likuiditas Perusahaan, Bank dan

(12)

Sejalan dengan itu pemberian tugas dan peluang yang lebih besar dari

pihak swasta, maka keadaan tersebut baik langsung maupun tidak langsung akan

menuntut untuk lebih aktifnya kegiatan di bidang pembiayaan. Berbagai upaya

dalam menghimpun dana dari masyarakat digunakan dalam peningkatan usaha,

telah dilakukan berbagai penetapan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh

pemerintah. Hal ini sangat membantu pihak pemerintah maupun pihak swasta

dalam meningkatkan usaha mereka, karena berbagai kebijakan pemerintah ini

memberi banyak kemudahan-kemudahan dalam kegiatan-kegiatan yang berguna

untuk pembiayaan dana, penambahan peralatan modal perusahaan-perusahaan

swasta.

Penambahan modal dalam suatu kegiatan bisnis umumnya dapat dilakukan

dengan melalui pinjaman di lembaga perbankan. Namun karena lembaga ini

memerlukan jaminan yang kadang-kadang tidak bisa dipenuhi oleh badan usaha

yang bersangkutan, maka diperlukan suatu upaya lain, yang tanpa jaminan dan

prosesnya lebih mudah. Upaya lain tersebut dapat dilakukan melalui suatu jenis

badan usaha yang disebut lembaga pembiayaan2

Secara umum sewa guna usaha (leasing) merupakan suatu equipment

funding, yaitu suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk peralatan atau barang

modal pada perusahaan untuk digunakan dalam proses produksi. .

3

Menurut pasal 1 ayat (2) Keputusan Presiden No.61 tahun 1988 tentang

Lembaga Pembiayaan yang dimaksudkan dengan lembaga pembiayaan adalah

“Badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan

2 Zaeni Ashadiye, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia , ( Jakarta :

PT Raja Grafindo Persada, 2005 ), hal. 99.

(13)

dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari

masyarakat melainkan dengan penyediaan atau barang modal”. Sehingga dari

pengertian tersebut lembaga pembiayaan memuat dua unsur pokok, yaitu :4

1. Melakukan kegiatan dalam bentuk penyediaan dana/dan atau barang

modal

2. Tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat sehingga sering

disebut Non-Depository Financial Institution.

Kemudian dalam pasal 1 Angka (1) Peraturan Presiden Republik

Indonesia No. 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan. Maka yang

dimaksud dengan Lembaga Pembiayaan adalah “Badan usaha yang melakukan

kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal”.

Untuk mengatasi kebutuhan dana yang cukup besar yang diperlukan oleh

pengusaha kecil seperti perusahaan-perusahaan yang baru berdiri, guna turut

berperan dalam pembangunan ekonomi yang sedang digalakkan di Indonesia,

tidak cukup atau tidak mungkin ditempuh dengan mengadakan pinjaman di

bank-bank dengan jaminan hipotik, sebab para pengusaha itu dituntut lebih dahulu

memiliki asset yang memadai untuk memperoleh kredit. Kondisi itulah yang

menjadi faktor penghambat utama bagi pengusaha-pengusaha dalam upaya untuk

ikut ambil bagian dalam melaksanakan pembangunan. Sehingga cita-cita mulia

pemerintah untuk mengajak para pengusaha ikut serta dalam pembangunan

terpaksa mengalami kendala, karena hal tersebut pemerintah mengambil

(14)

kebijaksanaan untuk mencarikan jalan bagaimana agar para pengusaha lemah itu

dapat memperoleh peralatan yang mereka butuhkan.

Pada hakekatnya perluasan memang membutuhkan pembiayaan dana dan

peralatan modal, di samping penghematan modal agar pengusaha juga dapat

memanfaatkan modal yang sudah ada untuk dialokasikan pada keperluan lain

misalnya membiayai produk-produk baru yang sangat dibutuhkan. Hal ini

terutama berlaku bagi perusahaan yang baru didirikan, yang belum mempunyai

asset yang dapat dijadikan jaminan bagi pinjaman yang akan diperoleh dari bank.

Dalam leasing pengusaha tidak perlu menyediakan jaminan karena asset yang

diperoleh melalui leasing sekaligus menjadi jaminan bagi perusahaan leasing

(lessor).5

Pemerintah menyadari bahwa di Indonesia telah berpraktek secara resmi

lembaga hukum baru dan dikenal dengan nama leasing. Lembaga ini berasal dari

bahasa inggris yaitu lease yang berarti sewa-menyewa dan telah berdiri di

Indonesia sejak tahun 1974. Dalam prakteknya peranan lembaga leasing

menunjukkan dampak positif dalam melayani kebutuhan pengusaha untuk

memperoleh barang-barang modal yang mereka butuhkan.

Kenyataanya bahwa kegiatan usaha leasing di Indonesia masih tergolong

muda dan perkembangannya cukup pesat, perusahaan pertama yang menyediakan

jasa seperti ini mulai beroprasi pada tahun 1974, yakni dengan dikeluarkannya

Surat Keputusan Bersama Menteri Keungan No. 32/ M/ SK/ 2/1974 dan Menteri

Perdagangan No.30/Kpb/ I/ 1974 tertanggal 7 Februari 1974 tentang Perizinan

5 Amin Widjaja Tunggal & Arif Djohan Tungal, Aspek Yuridis dalam Leasing, ( Jakarta :

(15)

Usaha Leasing. Menurut Surat Keputuan Bersama tersebut, maka pengertian

Leasing adalah sebagai berikut :

“Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaraan secara berkala disertai dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama ”.6

Selain itu ada juga peraturan lain yang mengatur tentang leasing yaitu

Keputusan Presiden RI No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan,

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 1251 / KMK.013/1988,

tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan sebagaimana

telah berkali-kali di ubah, terakhir dengan keputusan Menteri Keuangan RI No.

448/ KMK.07/2000 tentang pembiayaan perusahaan, Keputusan Menteri

Keuangan RI No. 634/ KMK.013/1990, tentang Pengadaan Barang Modal

berfasilitas melalui perusahaan Sewa Guna Usaha (perusahaan leasing), dan

Keputusan Menteri Keuangan RI No.1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan sewa

guna usaha (leasing). Dalam Peraturan Presiden No. 9 tahun 2009 tentang

Lembaga Pembiayaan, pada pasal 1 Angka (5) disebutkan :

“Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna Usaha dengan hak opsi

(Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease)untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee) selama

jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran”.

Lembaga leasing ini merupakan sebuah lembaga yang sangat membantu

bagi banyak pihak dan golongan khususnya bagi golongan ekonomi lemah,

6 Ahmad Anwari, Leasing di Indonesia, Cetakan Kedua, ( Jakarta : Ghalia Indonesia ,

(16)

sehingga mereka juga dapat menjalankan berbagai kegiatan usaha-usaha kecil

untuk meningkatkan taraf hidup mereka seperti untuk keperluan akan kendaraan

niaga, mesin percetakan, alat-alat listrik dan sebagainya, kemudian barang-barang

tersebut disediakan oleh vendor , in casu pihak supplier, lewat pendanaan melalui

leasing, walaupun pada kenyataannya jasa leasing sering juga dimaksudkan

untuk perusahaan-perusahaan kelas atas misalnya untuk pengadaan pesawat

terbang.7

Pesatnya perusahaan leasing di Indonesia tidak hanya membawa akibat

positif atau keuntungan bagi semua pihak yang menggunakannya tetapi dapat

juga membawa konsekuensi buruk bagi pihak debitur yang kurang memahami

atau yang sama sekali tidak mengerti akan tata cara prosedur atau penggunaan

leasing tersebut yang dapat merugikan pihak debitur sendiri bahkan dapat juga

merugikan kreditur sebagai pemilik usaha leasing

8

Seperti dalam kegiatan leasing motor yang sering terjadi masalah-masalah

wanprestasi antara pihak lessor dan lesse menggigat bahwa debitur yang

terkadang menjadi korban wanprestasi kurang memahami peraturan dan ketentuan

tentang leasing itu sendiri karena dalam membeli dangan cara kredit sudah

merupakan hal yang sangat biasa di masyarakat, khususnya kredit sepeda motor. . Akibat dari ketidaktahuan

atau informasi yang kurang jelas dari kreditur dapat juga mengakibatkan kerugian

bagi pihak debitur, dimana pihak debitur merupakan pihak yang memiliki posisi

lemah.

7 Munir Fuady, Hukum tentang Pembiayaan (dalam teori dan prektek ), ( Bandung : PT

Citra Aditya Bakti, 2002 ), hal 5.

8 Budiman Sinaga, Hukum Kontrak dan Penyelesain Sengketa dari Perspektif Sekretaris,

(17)

Setiap orang dapat mengajukan kredit kepemilikan sepeda motor dengan sangat

mudah dan murah. Ditunjang lagi semakin banyaknya perusahaan pembiayaan

pada saat ini justru terjadi kondisi surplus/over supply, dimana perusahaan

pembiayaan mengalami kelebihan dana untuk dibelanjakan, maka yang terjadi

perusahaan pembiayaan berlomba-lomba untuk mendapatkan konsumen dengan

berbagai cara, salah satunya dengan program uang muka yang sangat murah,

angsuran yang bersaing, dengan harapan dapat menambah volume penjualan,

dalam hal ini bertambahnya jumlah konsumen yang mengajukan kredit sepeda

motor9

Dengan keadaan yang seperti ini mengakibatkan masyarakat cenderung

untuk memiliki sepeda motor dengan cara kredit yang terkadang tidak lagi

mempertimbangkan kemampuan keuangan mereka. Dampaknya akan sangat

dirasakan oleh pihak pembiayaan bila semakin banyak konsumen mereka yang

tidak sanggup untuk membayar cicilan atau angsuran perbulannya, untung yang

diharapakan tetapi justru kerugian yang akan mereka (perusahaan pembiayaan)

peroleh. Karena semakin tinggi tingkat konsumen yang diberikan kredit, maka

semakin tinggi pula resiko yang harus ditanggung oleh perusahaan leasing. .

Akan tetapi salah satu hal yang bisa mendukung kecepatan mobilitas

masyarakat adalah kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor dapat digunakan

manusia ataupun barang dari satu tempat ke tempat lain dengan cepat dan dalam

jumlah yang banyak. Secara umum jenis kendaraan bermotor yang digunakan ada

dua jenis, yaitu sepeda motor dan mobil. Sepeda motor mempunyai harga yang

9 Jumiah Kania , “Lembaga Pembiayaan Motor Sebagai Altenatif dalam Kegiatan

(18)

lebih murah daripada mobil, akan tetapi mempunyai muatan yang lebih sedikit. Di

lain pihak, mobil mempunyai muatan yang lebih banyak, namun harganya lebih

mahal. Bagi sebagian masyarakat tertentu harga mobil dan motor tidak terjangkau

jika dibeli dengan harga kontan (cash), akan tetapi masyarakat tetap

membutuhkan kendaraan tersebut untuk mempercepat dan mempermudah

mobilitasnya10

Di lain pihak, dealer motor dan mobil menginginkan agar produknya terjual kepada masyarakat agar mendapatkan keuntungan. Untuk itu muncullah lembaga pembiayaan sebagai lembaga pembiayaan kendaraan bermotor yang disebut

leasing. Menurut Pasal 1 angka (2) Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988,

pengertian Lembaga Pembiayaan (leasing) adalah “Badan usaha yang melakukan

kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan

tidak menarikdana secara langsung dari masyarakat.”

. Lembaga pembiayaan leasing ini sudah banyak dikenal

masyarakat Indonesia karena lembaga pembiayaan sangat membantu dalam

menunjang pemasaran kendaraan bermotor

Hal yang membuat masyarakat tertarik untuk menggunakan jasa leasing

adalah bahwa keberadaan lembaga-lembaga leasing itu sendiri untuk masa

sekarang ini sudah begitu mudah ditemukan, artinya bukan hanya terdapat di kota

-kota besar tetapi juga di kota-kota kecil atau kabupaten yang baru atau sedang

berkembang sehingga begitu terjangkau dan sangat mudah bagi masyarakat untuk

menggunakannya. Itulah sebabnya leasing ini diperuntukkan bagi segenap lapisan

perusahaan dalam tingkat manapun. 11

(19)

Lessor sebagai pihak yang melepaskan barang-barang modal sudah tentu

menghendaki adanya jaminan dari pihak lesse bahwa biaya yang telah

dikeluarkannya akan kembali disertai dengan keuntungannya. Mengingat bahwa

perjanjian leasing ini merupakan perjanjian yang umumnya melibatkan sejumlah

besar modal dan kemungkinan terjadinya wanprestasi oleh para pihak, maka untuk

menjamin kelancaran dan ketertiban pembayaran biaya lesse itu serta mencegah

timbulnya kerugian bagi pihak lessor, lembaga jaminan inilah yang digunakan

untuk perlindungan hukum.

Dalam hal wanprestasi ini ditekankan pada wanprestasi yang dimana si

debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya kerana keadaan atau peristiwa

yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak dimana keadaan atau peristiwa

tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan debitur dan si debitur (lessor dan

lesse) tersebut tidak dalam beritikad buruk dan suatu peristiwa force majeure ini

dapat juga terjadi karena kehendak alam.

Dalam ruang lingkup yang lebih spesifik, terdapat istilah Acts of God,

yang merupakan cakupan dari force majeure itu sendiri, sesungguhnya dapat

diuraikan bahwa force majeure Clause adalah klausula yang memberikan dasar

pemaaf atas terjadinya event-event atau kejadian-kejadian tertentu yang dialami

pihak tertentu. Kejadian-kejadian tersebut dapat berupa kejadian atau event yang

tergolong sebagai kehendak Tuhan (Acts of God) seperti banjir, gunung meletus,

gempa bumi dan tsunami atau kejadian yang tidak tergolong sebagai kehendak

(20)

sebagainya. Selain hal-hal yang tidak dapat diprediksi dan di luar keadaan yang

bersifat normal, dalam konteks perdagangan internasional terdapat juga hal-hal

yang tidak tergolong sebagai force majeure tapi berakibat terjadinya ketiadaan

keseimbangan (equilibrium) pada para pihak yang terlibat dalam perjanjian, yang

dikenal sebagai hardship. Kesulitan (hardship) adalah peristiwa yang secara

fundamental telah mengubah kesimbangan kontrak. Hardship ini juga merupakan

metode kontraktual yang cukup canggih dalam menangani persoalan terjadinya

perubahan keadaan fundamental yang akan mempengaruhi hakikat dari perjanjian

para pihak. Namun biasanya klausul hardsip ini digunakan dalam kontark-kontrak

jangka panjang yang nilainya tinggi. Maksudnya adalah untuk mengatasi kesulitan

yang dalam penerapan isi kontrak termasuk keadaan memaksa dan doktrin

kegagalan (frustration). Hal ini diakibatkan oleh biaya pelaksanaan kontrak

meningkat sangat tinggi atau nilai pelaksanaan kontrak bagi pihak yang menerima

sangat menurun, sementara itu :12

a. Peristiwa itu terjadi atau diketahui oleh pihak yang dirugikan setelah penutupan konrak;

b. Peristiwa tidak dapat diperkirakan secara semestinya oleh pihak yang dirugikan pada saat penutupan kontrak;

c. Peristiwa terjadi diluar kontrol dari pihak yang dirugikan;

d. Resiko dari peristiwa itu tidak diperkirakan oleh pihak yang dirugikan.

Namun ada kalanya wanprestasi itu terjadi karena sebab-sebab yang tidak

disangka sebelumnya atau di luar perkiraan seperti halnya bencana alam besar,

demonstrasi, kebakaran yang bukan karena kesengajaan debitur, perang dan lain

12 Taryana Soenandar, Prinsip-prinsip UNIDROIT sebagai Sumber Hukum Kontrak dan

(21)

sebagainya, dikenal sebagai keadaan memaksa yang dalam suatu kontrak disebut

dengan istilah force majeur.

Penyelesaian masalah force majeur berbeda dengan penyelesaian

wanprestasi yang terjadi karena kesalahan dan kelalaian dari para pihak yang

terkait. Terjadinya force majeur ini bukan dikarenakan kelalaian dari pihak yang

terkait. Dalam peraturan-peraturan yang mengatur tentang perdagangan

internasional, serta kontrak-kontrak internasional telah mengatur permasalahan

force majeur ini. Bagaimanakah kriteria dari force majeur itu sendiri, bagaimana

cara penyelesaiannya agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan, serta

lembaga-lembaga yang berwenang untuk menanganinya.

Dengan berbagai peristiwa force majure atau permasalahan yang timbul

dalam sebuah kontrak leasing maka, perlu keahlian tersendiri untuk dapat

menangani berbagai permasalahan leasing baik bagi pihak swasta maupun pihak

pemerintah yang mampunyai kaitan dan kepentingan. Tidak dapat disangkal lagi,

bagi usaha leasing khususnya usaha leasing sepeda motor yang di bahas dalam

skripsi ini, masalah yang mendesak adalah masalah pada bidang hukum, yaitu

aspek-hukum dari usaha leasing tersebut dengan terjadinya sebuah wanprestasi

yang disebabkan oleh force majure.

Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, dalam dunia usaha leasing

sepeda motor banyak terjadi kesimpangsiuran dan ketidakseragaman dalam

menjalankan perusahaan-perusahaannya. Ketentuan-ketentuan mengenai usaha

leasing di Indonesia lebih menitikberatkan pada aturan-aturan yang hanya

(22)

leasing saja. Sedangkan dengan pesatnya perkembangan usaha leasing ini

mengakibatkan kebutuhan yang mendesak dari dunia usaha agar

peraturan-peraturan yang ada ditambah atau dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan yang

lebih mendetail .

Kebutuhan-kebutuhan itu terutama menyangkut hal-hal yang cukup sering

terjadi dalam usaha leasing seperti wanprestasi. Untuk melaksanakan ketentuan

yang tercantum dalam suatu perjanjian leasing, masih tetap menggunakan

peraturan yang umum mengenai perjanjian yaitu pasal 1338 KUHPerdata yang

berbunyi : “semua perjanjian yang dibuat secara sah barlaku sebagai

undang-undang bagi meraka yang membuatnya ”. Hal ini tetap dijadikan sebagai acuan

dalam perjanjian leasing karena belum ada undang-undang yang secara khusus

mengaturnya.

Ketiadaan undang-undang yang khusus untuk mengatur lembaga leasing

ini, sangat meresahkan para pengusaha leasing. Akan tetapi, mengenai status

lembaga leasing hingga saat ini belum jelas kearah mana lebih condong, apakah

kepada jual-beli atau sewa menyewa, namun untuk menjawab pertanyaan itu oleh

Subekti mengatakan bahwa perjanjian leasing adalah perjanjian sewa- menyewa

yang berkembang di kalangan pengusaha 13

Secara umum masalah terjadinya wanprestasi atau putusnya perjanjian

dalam kontrak leasing disebabkan oleh tiga hal yaitu konsensus, wanprestasi dan .

(23)

force majeure14

Force majeure atau keadaan memaksa bukanlah merupakan terminologi

yang asing dikalangan komunitas hukum. Force majure sendiri secara harafiah

berarti kekuatan yang lebih besar. Sedangkan dalam konteks hukum, force

majeure dapat diartikan sebagai klausula yang memberikan dasar pemaaf pada

salah satu pihak dalam suatu perjanjian, untuk menanggung sesuatu hal yang tidak

dapat diperkirakan sebelumnya, yang mengakibatkan pihak tersebut tidak dapat

menunaikan kewajibannya berdasarkan kontrak yang telah diperjanjikan.

. Namun yang paling ditekankan untuk dibahas dalam skripsi ini

adalah wanprestasi dengan terjadinya force majure.

15

Force majure dalam hukum perdata pada prinspinya terbagi dalam 2 (dua)

jenis yaitu :16

“1. Act of God ( bersifat mutlak absolute)

Yang bersifat mutlak adalah keadaan dimana para pihak tidak mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya.

2. Act of Nature (tidak bersifat mutlak relatif)

Sedangkan yang bersifat relatif adalah keadaan yang masih memungkinkan para pihak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya dan persoalan resiko yang diakibatkan oleh keadaan memaksa dapat diperjanjikan oleh para pihak antara lain melalui lembaga pertanggungan (asuransi)”.

Dalam pasal 1244 KUHPerdata disebutkan bahwa:

“Force majure atau yang sering diterjemahkan sebaga keadaan memaksa merupakan keadaan di mana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak

14 Ibid. hal. 43

15“Force Majeure dalah Hukum :Wanprestasi Dalam Perjanjian”,

http://en.wikipedia.org/wiki/Force_majeure

16

(24)

dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk”.

Senada dengan hal tersebut di atas, menurut Harimurti Subanar, kondisi

force majure mengandung risiko yang tidak terduga-duga. Sehingga apabila

risiko tersebut datang, pengusaha tidak sempat untuk melakukan persiapan dan

upaya lain, risiko tersebut dapat berupa antara lain yaitu mesin rusak atau

terbakar tanpa sebab, gempa bumi besar disekitar lokasi usaha, kecelakaan

individu atau musibah yang menimpa karyawan, pemilik sakit keras atau

meninggal, adanya kegiatan tertentu yang merugikan bagi kelangsungan hidup

perusahaan misalnya penutupan ruas jalan sebagai akibat adanya perbaikan jalan,

jembatan, kegiatan lain yang menuju ke perusahaan. Dalam hal ini,

kejadian-kejadian yang merupakan force majure tersebut tidak pernah terduga oleh para

pihak sebelumnya. sebab, jika para pihak sudah dapat menduga sebelumnya akan

adanya peristiwa tersebut, maka seharusnya hal tersebut harus sudah

dinegosiasikan di antara para pihak.

Force majeure dalam bahasa Perancis disebut dengan keadaan kahar yang

berarti kekuatan yang lebih besar, adalah suatu kejadian yang terjadi di luar

kemampuan manusia dan tidak dapat dihindarkan sehingga suatu kegiatan tidak

dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Kejadian atau peristiwa-peristiwa yang termasuk kategori keadaan kahar

adalah peperangan, kerusuhan, revolusi, bencana alam, pemogokan, kebakaran,

dan bencana lainnya yang harus dinyatakan oleh pejabat/instansi yang berwenang.

(25)

Kedua pasal ini terdapat dalam bagian yang mengatur tentang ganti rugi.

Dasar pembuat undang-undang dimasukkannya keadaan memaksa dalam bagian

yang mengatur ganti rugi, ialah suatu alasan untuk membebaskan seseorang dari

kewajiban untuk membayar ganti rugi.

Menurut undang-undang ada 3 (tiga) elemen yang harus dipenuhi untuk

keadaan memaksa, yaitu :

1. tidak memenuhi prestasi

2. ada sebab yang terletak diluar kesalahan debitur

3. faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan dapat

dipertanggungjawabkan pada debitur.

Adanya hal yang tidak terduga atau wanprestasi yang disebabkan karena

adanya peristiwa force majure dan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan

kepada seseorang/debitur, sedangkan yang bersangkutan dengan segala daya

berusaha secara patut memenuhi kewajibannya.

Dengan demikian, hanya debiturlah yang dapat mengemukakan adanya

keadaan yang tidak diduga-dugakan akan terjadi dan keadaan itu tidak dapat

dipertanggung jawabkan kepadanya.

Dalam hubungannya dengan perjanjian leasing dalam praktek apabila

terjadi wanprestasi di luar force majure, maka debitur dalam hal ini lesse lalai

atau sengaja tidak memenuhi prestasi yang telah dijanjikan dalam perjanjian

leasing yang telah disepakati, maka lessor yang dirugikan oleh lesse dapat

(26)

Dalam kenyataannya sengketa mengenai leasing ini sudah sering terjadi

dan tidak mudah untuk menyelesaikan sengketa tersebut dikarenakan lembaga

leasing ini masih tergolong muda di Indonesia dan bagaimana upaya

penyelesaian sengketa tersebut.

Dengan semakin mendesaknya kebutuhan akan peraturan-peraturan yang

memuat ketentuan tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh dunia usaha

leasing dan masyarakat dalam usaha lainnya serta untuk memberikan

perlindungan hukum dan kapastian hukum bagi pihak lessor dan lesse yang

mengikatkan diri dalam kontrak leasing dan upaya apa yang dapat dilakukan

apabila terjadinya wanprestasi.

Untuk mengharmonisasikan perdagangan internasional maupun nasional

dan peraturan-peraturannya, maka diperlukanlah suatu kesatuan peraturan dalam

kontrak dagang internasional yaitu dengan adanya konvensi-konvensi

perdagangan internasional dan juga penerbitan peraturan-peraturan perdagangan

internasional yang dihasilkan melalui upaya organisasi-organisasi perdagangan

internasional terutama dalam masalah force majeur yang sering menimbulkan

polemik dalam masyarakat. Hal inilah yang menjadi alasan untuk mamilih judul

“Analisis Yuridis tentang Berlakunya Force Majeure terhadap Wanprestasi dalam

(27)

B. PERUMUSAN MASALAH

Dari apa yang telah diuraikan di atas maka, permasalahan yang akan

dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan Leasing dalam hukum kontrak di Indonesia

2. Bagaimana bentuk-bentuk wanprestasi akibat terjadinya force majeur

dalam kontrak leasing dan akibat hukumnya terhadap kontrak leasing

tersebut

3. Apakah mekanisme penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh apabila

terjadi wanprestasi akibat adanya force majeur dalam kontrak leasing.

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

1. Tujuan Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, adapun yang menjadi tujuan penelitian yang

hendak dicapai dari penulisan ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui bagaimana penagaturan hukum di Indonesia terhadap

kontrak leasing yang saat ini berkembang dan banyak digunakan oleh

masyarakat sebagai salah satu lembaga pembiayaan yang menjadi

alternatif bagi masyarakat untuk membangun usaha.

b. Untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk dari wanpreatasi yang

terjadi dalam kontrak leasing yang disebabkan adanya force majeure

(keadaan memaksa) yang terjadi bukan karena itikad buruk si debitur, dan

bagaimana akibat hukumnya terhadap kontrak leasing yang mengalami

(28)

c. Untuk mengetahui bagaimana cara ataupun upaya penyelesaian yang

dilakukan oleh lessor dan lesse apabila terjadi wanpreatasi yang

disebabkan force majeure dalam kontrak leasing.

2. Manfaat Penulisan

Penulisan skripsi ini diharapkan mampu untuk memberikan manfaat baik

manfaat secara teoritis maupun manfaat secara praktis.

a. Manfaat Teoritis

Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan

dalam pengaturan untuk membuat peraturan hukum tentang leasing di Indonesia.

Selain itu hasil penulisan ini juga akan menambah khasanah kepustakaan di

bidang terjadinya leasing khususnya apabila terjadi wanprestasi serta dapat

dijadikan sebagai masukan-masukan bagi perusahaan-perusahaan atau lembaga

pembiayaan leasing.

b. Manfaat Praktis

Hasil dari penulisan skripsi ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi

badan legislatif dan pemerintah dalam merancang, menyusun dan membuat

peraturan kelembagaan usaha leasing serta peraturan yang berkaitan dengan

periklanan di Indonesia, juga bagi para produsen serta masyarakat umum,

mengenai berbagai problema praktis yang dihadapi dalam menegakkan hak

konsumen dalam memperoleh informasi yang benar, penggunaan dan prosedur

dalam pelaksanaan usaha leasing, terutama menyangkut hak dan kewajiban bagi

para pihak. Selain itu juga dapat dijadikan sebagai landasan operasional bagi

(29)

dalam menanggulangi hambatan-hambatan dan masalah-masalah yang timbul

dalam praktek leasing itu sendiri serta perlunya penerapan peraturan yang

menyangkut perlindungan hukum terhadap pihak lessor dan lesse pada umumnya.

D. KEASLIAN PENULISAN

Dalam penulisan skripi ini pada prinsipnya ditulis sendiri dengan melihat

dasar-dasar yang telah ada dan tersedia baik melalui literatur yang diperoleh dari

perpustakaan, buku, dan media massa baik media cetak maupun media elekronik

yang dituangkan dalam skripsi ini. Bila ternyata ada skripsi yang sama sebelum

skripsi ini dibuat maka penulis bertanggung jawab untuk itu.

E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Untuk mengantarkan kepada pemahaman yang benar mengenai skripsi ini

maka terlebih dahulu akan diuraikan dalam tinjauan kepustakaan yang akan

mengantarkan kepada pengertian umum atau gambaran tentang isi skripsi ini.

Dalam penelitian terhadap skripsi yang berjudul tentang Analisis yuridis

berlakunya force majeure terhadap wanprestasi dalam kontrak leasing ini akan

dibahas dan diteliti bagaimana wanprestasi itu terjadi apabila adanya suatu

keadaan memaksa atau peristiwa force majeure dalam sebuah kontrak leasing

yang dikhususkan pada leasing sepeda motor. Membeli dangan cara kredit sudah

merupakan hal yang sangat biasa di masyarakat, khususnya kredit sepeda motor.

Setiap orang dapat mengajukan kredit kepemilikan sepeda motor dengan sangat

(30)

Kontrak atau yang secara hukum lebih banyak disebut dengan perjanjian

adalah suatu pernyataan kehendak atau kesepakatan yang diperjanjikan

(promissory agremeent) diantara dua atau lebih pihak yang dapat menimbulkan,

memodifikasi atau menghilangkan hubungan hukum. Para pihak yang

mengikatkan diri dalam sebuah kesepakatan kontrak memiliki hak dan kewajiban

untuk melakukan atau memenuhi setiap apa yang dituangkan dalam kontrak yang

telah disepakati oleh pihak-pihak yang biasanya menyangkut tentang hak dan

kewajiban17

Hak dan kewajiban itu dituangkan dalam perjanjian yang telah disepakati

bersama untuk dilaksanakan dengan adanya tujuan yang akan dicapai. Kontrak ini

banyak sekali digunakan khususnya dalam kontrak kegiatan bisnis menyangkut

tentang kontrak sewa guna usaha (leasing), kontrak jual beli, kontrak

sewa-menyewa dan masih banyak lagi macam-macam kontrak yang sering muncul

dikalangan masyarakat khususnya mereka-mereka yang berprofesi sebagai

pengusaha atau profesi lain yang membutuhkannya. .

Sebuah kontrak biasanya akan dimulai dengan suatu pembicaraan,

pendahuluan serta pembicaraan-pembicaraan tingkat berikutnya (negosiasi), untuk

mematangkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, kontrak akan

ditandatagani apabila betul-betul telah matang (lengkap dan jelas)18

Namun berbeda halnya dengan kontrak leasing, kontrak leasing dapat

disebut juga sebagai kontrak standar (kontrak baku), karena kontrak baku ini .

17 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis dalam Menata Bisnis Modern di Era GlobaI,

(Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2005 ), hal 9

18 Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, ( Jakarta : PT Rineka Cipta

(31)

merupakan kontrak yang telah disediakan (disiapkan) oleh kreditur dalam bentuk

formulir-formulir yang dibuat dalam jumlah yang banyak. Artinya kontrak

tersebut siap untuk ditandatangani oleh debitur sebagai bukti atau tanda

persetujuannya atas semua yang tertuang dalam kontrak leasing tersebut. Debitur

dapat menandatagani kontrak jika debitur setuju atau menolakanya jika tidak

setuju (take it or leave it). Secara hukum, menurut pasal 1338 KUHPerdata

perjanjian leasing ini adalah perjanjian yang sah, perjanjian sewa guna usaha

tersebut (leasing) dan tetap mengacu kepada ketentuan buku III KUHPerdata

tentang perikatan dan perjanjian karena secara umum ketentuan ini masih tetap

berlaku.

Dari segi lain perjanjian leasing sebagai lembaga hukum perjanjian yang

hadir dari praktek yang tidak dijumpai pengaturannya secara khusus pada

KUHPerdata dan pelaksanaanya didasarkan kepada asas kebebasan berkontrak

dapat memberi banyak kemungkinan timbulnya masalah-masalah hukum antara

para pihak yang menyebabkan tidak terdapatnya kepastian hukum bagi para pihak

yang mengadakan perjanjian leasing. Dalam perjanjian leasing tersebut diatur hak

dan kewajiban masing-masing pihak, disebabkan karena sebagian besar perjanjian

leasing mempergunakan perjanjian baku yang ditetapkan oleh perusahaan atau

lessor yang menyusun kontrak sesuai keperluan untuk memberikan perlindungan

terhadap konsumen (lesse) dan (lessor)19

19 Siswanto Sutojo, Peluang Bisnis di Indonesia dan Teknik Pembiayaannya, (Jakarta: PT

(32)

Perlindungan konsumen ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian

hukum dan melindungi hak para pihak yang melakukan perjanjian agar tidak ada

yang dirugikan.

Dalam rangka tetap memberikan perlindungan yang efektif kepada

konsumen/debitur di dalam pasal 4 (empat) dan pasal 5 (lima) UU No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan konsumen mengatur tentang hak dan kewajiban

konsumen, yaitu :

Pasal 4 UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

menyebutkan bahwa hak-hak konsumen adalah sebagai berikut :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pada Pasal 5 UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

menyebutkan bahwa kewajiban konsumen adalah sebagai berikut :

(33)

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Perlindungan hukum oleh Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen adalah pada saat konsumen melakukan hubungan

jual-beli antara produsen dan pelaku usaha yang didirikan dan berkedudukan atau

melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Hal ini

diperlukan agar konsumen dalam lembaga pembiyaan leasing mengetahui apa

yang menjadi hak dan kewajibannya selain dari apa yang diatur dalam

kontrak-kontrak leasing yang dibuat oleh pelaku usaha.

Untuk lebih memperjelas tentang pengertian leasing di dalam Surat

Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri

Perdagangan dan Koperasi Nomor : Kep-122/MK/IV/1/1974 ; No. 32/ M/ SK/

2/1974 dan Menteri Perdagangan No.30/Kpb/ I/ 1974 tertanggal 7 Februari 1974

tentang Perizinan Usaha Leasing. Menurut Surat Keputuan Bersama tersebut,

maka pengertian Leasing adalah:

“Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaraan secara berkala disertai dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.”

Sekalipun demikian selengkap-lengkapnya sebuah kontrak (perjanjian),

selalu saja ada kekurangan-kekurangan di sana-sini, barangkali benar bila ada

ungkapan yang mengatakan no body is ferfect artinya tak ada seorangpun manusia

yang sempurna. Demikian pula halnya dengan si pembuat kontrak selalu ada

(34)

yang membuat kontrak. Tetapi walaupun demikian para pengusaha atau para

pihak yang memerlukan lembaga pembiayaan sewa guna usaha (leasing) ini tetap

akan menggunakan jasa leasing, karena seorang pengusaha yang tidak

mempunyai cukup modal, tetapi ingin mendirikan sebuah pabrik ia dapat

memperolehnya dengan cara leasing. Misalnya pengusaha tersebut hanya

mempunyai tanah dan bangunan maka untuk membeli mesinnya pengusaha

tersebut dapat melakukannya dengan cara leasing atau menyewa dari suatu

leasing company. Leasing Company merupakan salah satu sumber dana bagi

pengusaha yang membutuhkan barang modal, selama jangka waktu tertentu

dengan membayar sewa20

Seperti yang telah diuraikan diatas, kegiatan leasing dapat dilakukan

dengan secara finance maupun secara operating lease. Finance Lease artinya

kegiatan sewa guna usaha dimana penyewa guna usaha pada akhir masa kontrak

mempunyai hak opsi untuk membeli objek sewa guna usaha berdasarkan nilai sisa

yang disepekati bersama. Sedangkan Operating lease adalah kegiatan sewa guna

usaha dimana penyewa guna usaha itu tidak mempunyai hak opsi untuk membeli

objek sewa guna usaha .

21

20 Ibid. hal 108

. Dalam operating lease, jumlah seluruh pembayaran

sewa guna berkala tidak mencakup jumlah biaya yang dikeluarkan untuk

memperoleh barang modal tersebut berikut dengan bunganya. Perusahaan sewa

guna usaha dalam operating lease biasanya bertanggung jawab atas biaya-biaya

pelaksanaan sewa guna usaha seperti asuransi, pajak maupun pemeliharaan barang

modal yang bersangkutan.

21

(35)

Dalam skripsi ini terjadinya wanprestasi dalam sebuah kontrak leasing

disebabkan terjadinya suatu force majeure (keadaan memaksa), bahwa

sungguhpun hak milik belum beralih kepada lesse sebelum hak opsi beli

dilaksanakan oleh pembeli, tetapi karena lessor memang dari semula hanya

bertujuan sebagai penyandang dana bukan sebagai pemilik. Dalam

kontrak-kontrak leasing memang jelas kelihatan bahwa lessor tidak ingin mengambil

resiko, jadi pengaturan resiko pada transaksi leasing lebih condong ke risiko yang

ada pada transaksi jual beli dari pada sewa-menyewa22

Dalam praktek isu resiko ini tidak menjadi soal, berhubung biasanya

barang leasing yang bersangkutan telah diasuransikan. Bahkan sering juga dalam

bentuk asuransi all risk dimana hak untuk menerima ganti kerugian dari asuransi

ini telah dialihkan kepada lessor. Namun demikian pengaturan tentang resiko ini

tetap penting menggingat jika sesuatu dan hal lain menyebabkan pihak asuransi

tidak mau membayar/ tidak dapat mengganti seluruhnya atau sebagian dari ganti

kerugian jika terjadi fore majeure. Misalnya dengan alasan bahwa asuransi

bukan untuk all risk atau perusahaan asuransi jatuh pailit ataupun karena adanya

dispute dalam melihat sebab terjadinya force majeure tersebut, karena dalam

prakteknya kebanyakan menjadikannya sebagai pedoman bahwa untuk hal ini,

pihak lesselah yang akhirnya pihak yang akan menanggung resiko apabila pihak

lain tidak ada yang bertanggung jawab seperti asuransi .

23

.

(36)

F. METODE PENELITIAN

1. Metode yang digunakan

Metode penulisan yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam

rangka penulisan skripsi ini adalah metode dengan cara yuridis normatif. Metode

penelitian yuridis normatif yang dipergunakan dalam penulisan ini guna

melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam

peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kegiatan usaha leasing,

penelusuran terhadap sistematika hukum, dan penelusuran terhadap peneyesuaian

peraturan-peraturan hukum serta untuk memperoleh data maupun keterangan yang

terdapat dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, koran,

majalah, situs internet dan sebagainya24

Meteode penelitian yuridis normatif ini dilakukan dengan meneliti

sumber-sumber bacaan yang relevan dengan judul skripsi ini baik yang bersifat

teoritis ilmiah, serta dapat menganalisa masalah-masalah yang dibahas dalam

permasalahan skripsi ini.

.

2. Metode pengumpulan data

Di dalam penelitian pada umumnya dikenal tiga jenis alat pengumpulan

data yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan

wawancara atau interview. Ketiga alat tersebut dapat dugunakan secara

bersama-sama atau masing-masing25

24 Bambang Sugono, Metodologi Penelitian Hukum, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,

1996 ), hal. 41.

. Studi dokumen atau bahan pustaka merupakan suatu

alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis dengan

mempergunakan sistem analisis terhadap data-data yang diperoleh.

(37)

Dalam penulisan skripsi ini alat yang digunakan dalam upaya untuk

mendukung penulisan dan pemecahan permasalahannya adalah dengan

menggunakan alat studi dokumen ataupun disebut dengan data sekunder yaitu

penelitian dengan menggunakan bahan-bahan pustaka yang telah tersedia. Data

sekunder antara lain mencakup tentang dokumen-dokumen resmi, buku-buku,

hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, ensiklopedia dan

sumber-sumber tertulis lainnya yang mendukung terhadap skripsi ini.

Ciri-ciri umum dari data sekunder adalah :

a. Pada umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat

dipergunakan dengan segera.

b. Baik bentuk maupun isi data sekunder telah dibentuk dan disiapkan oleh

peneliti-peneliti terdahulu, sehingga peneliti kemudian tidak mempunyai

pengawasan terhadap pengumpul, pengelola, analisa maupun terhadap

konstruksi data.

Dari sudut tipe-tipenya maka data sekunder dapat dibedakan antara lain:

1) data sekunder yang bersifat pribadi, yang antara lain mencakup :

a) Dokumen pribadi, seperti surat surat dan buku harian

b) Data pribadi yang tersimpan dilembaga dimana yang bersangkutan

pernah bekerja atau sedang bekerja

2) data sekunder yang bersifat publik mencakup :

a) Data arsip yaitu data yang dapat dipergunakan untuk kpentingan ilmiah

(38)

b) Data resmi pada instansi pemerintah, yang kadang-kadang tidak mudah

untuk diperoleh, oleh karena kemungkinan bersifat rahasia.

c) Data lain yang dipulikasikan seperti yurisprudensi Mahkamah Agung.

Selanjutnya untuk memperoleh data pendukung dalam penulisan skripsi

ini dilakukan dengan cara melakukan observasi (studi riset), dan juga wawancara

secara mendalam dengan narasumber yang berkenaan dengan judul skripsi ini

dengan mempergunakan petunjuk umum wawancara yang telah disiapkan terlebih

dahulu.

3. Analisis data yang digunakan

Analisis data yang digunakan adalah dengan analisis data secara kualitatif

yang bertujuan dan bermanfaat untuk melakukan analisis terhadap literatur di

perpustakaan, jurnal hasil penelitian, koran, majalah, situs internet bahkan

terhadap norma-norma hukum yang dilakukan secara menyeluruh dan merupakan

suatu kesatuan yang berkesinambungan dan saling terkait.

G. SISTEMETIKA PENULISAN

Secara garis besar dalam penulisan skripsi ini dibagi atas lima bab dan

masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab sesuai dengan kebutuhannya.

Adapun gambaran dari isi atau sistematika dari skripsi ini adalah sebagai berikut :

Bab I merupakan bab Pendahuluan yang memuat tentang Latar belakang,

Rumusan masalah, Tujuan dan manfaat penulisan, Keaslian penulisan, Tinjauan

(39)

Bab II merupakan bab yang membahas tentang Pengaturan Leasing

Dalam Hukum Kontrak Di Indonesia Pengertian Leasing dan Para Pihak Dalam

Kontrak Leasing, Pengaturan Leasing Sebagai Kontrak Innominat Dalam

Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku di Indonesia, Pemberlakuan

Ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Dalam Menentukan Keabsahan

Kontrak Leasing, Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Kontrak Leasing dan

Berakhirnya Kontrak Leasing.

Bab III menjelaskan Bentuk-Bentuk Wanprestasi Akibat Terjadinya Force

Majeur Dalam Kontrak Leasing Dan Akibat Hukumnya meliputi Pengertian

Wanprestasi dan Force Majeur Serta Pengaturannya dalam Kitab Undang-undang

Hukum Perdata, Bentuk-bentuk Wanprestasi Akibat Terjadinya Force Majure

dalam Kontrak Leasing dan Akibat Hukum Terhadap Kontrak Leasing Sebagai

Dampak Adanya Wanprestasi Force Majure.

Bab IV adalah bab yang merupakan inti dari pembahasan skripsi ini yaitu

Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Akibat Adanya Force Majeur dalam Kontrak

Leasing yang meliputi Berakhirnya Kontrak Leasing, Upaya Hukum Lessor dalam

Hal Terjadi Force Majeur yang Mengakibatkan Terjadinya Wanprestasi dalam

Kontrak Leasing Sepeda Motor dan Proses Penyelesaian Sengketa dalam Kontrak

Leasing yaitu Penyelesaian Secara Damai dan Penyelesaian Melalui Pengadilan.

Bab V merupakan bab kesimpulan sekaligus menjadi bab terakhir dari

skripsi ini yang berisikan Kesimpulan dan Saran.

(40)

BAB II

PENGATURAN LEASING DALAM HUKUM KONTRAK

DI INDONESIA

1. Pengertian Leasing dan Para Pihak dalam Kontrak Leasing

Leasing adalah suatu bangunan hukum yang tidak lain merupakan

improvisasi dari pranata hukum konvensional yang disebut dengan sewa menyewa

(lease). Dikatakan konvensional karena ternyata sewa menyewa itu merupakan

bangunan tua dan sudah lama sekali ada dalam sejarah peradaban umat manusia.

Pranata hukum sewa menyewa yang dikembangkan sebagai ilmu pengetahuan

telah terekam dalam sejarah, paling tidak sudah sejak lebih kurang 4500 tahun

sebelum masehi, yakni sewa menyewa yang dipraktekkan dan dikembangkan oleh

orang-orang Sumeria.26

Kata leasing berasal dari bahasa Inggris yaitu kata lease yang berarti

menyewakan. Leasing sebagai suatu lembaga pembiayaan dapat dikatakan sebagai

suatu kegiatan yang masih sangat muda atau baru dilaksanakan di Indonesia pada

awal tahun 1970-an dan baru diatur untuk pertama kali dalam peraturan

perundang-undangan Republik Indonesia sejak tahun 1974. Eksistensi prananta

hukum leasing di Indonesia sendiri sudah ada beberapa perusahaan leasing yang

statusnya sama sebagai suatu lembaga keungan non bank. Oleh karena itu, maka

yang dimaksudkan dengan leasing adalah setiap kegiatan pembiyaan perusahaan

(41)

dalam bentuk penyediaan atau menyewakan barang-barang modal untuk

digunakan oleh perusahaan lain dalam jangka waktu tertentu dengan kriteria

sebagai berikut :27

a. pembiyaan perusahaan

b. pembayaran sewa dilakukan secara berkala

c. penyediaan barang-barang modal

d. disertai dengan hak pilih atau hak opsi

e. adanya nilai sisa yang disepakati.

Fungsi leasing sebenarnya hampir setingkat dengan bank, yaitu sebagai

sumber pembiayaan jangka menengah (dari satu tahun sampai lima tahun).

Ditinjau dari segi perekonomian nasional, leasing telah memperkenalkan suatu

metode baru untuk memperoleh barang modal dan menambah modal kerja.

Sampai saat ini belum ada undang-undang khusus yang mengatur tentang leasing

namun demikian praktek bisnis leasing telah berkembang dengan cepat, dan untuk

mengantisipasi kebutuhan agar secara hukum mampunyai pegangan yang jelas

dan pasti, pada tahun 1971 telah dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri

Keuangan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor

: Kep-122/MK/IV/1/1974; No. 32/M/ SK/2/1974/; dan No.30/Kpb/1/1974,

tertanggal 7 Februari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing.

Menurut Surat Keputusan Bersama di atas, yang dimaksud dengan leasing

adalah :

27 Sigit Triandaru dan Totok Budisantoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Jakarta :

(42)

“Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan, untuk suatu jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu

leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama”.

Kemudian di dalam Peraturan Presiden No. 9 tahun 2009 tentang Lembaga

Pembiayaan, pasal 1 Angka (5) disebutkan :

“Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna Usaha dengan hak opsi

(Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee) selama

jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.”

Oleh Subekti mengartikan leasing adalah:28

“Perjanjian sewa-menyewa yang telah berkembang di kalangan pengusaha, di mana lessor (pihak yang menyewakan, yang sering merupakan perusahaan leasing) menyewakan suatu perangkat alat perusahaan (mesin-mesin) termasuk servis, pemeliharaan dan lain-lain kepada lesse (penyewa) untuk jangka wkatu tertentu.”

Berdasarkan pengertian leasing di atas, Subekti mengonstruksikan leasing

tersebut sebagai berikut:29

a. Leasing sama dengan sewa-menyewa;

b. Subjek hukum yang terkait dalam perjanjian tersebut adalah pihak

lessor dan lesse;

c. Objeknya perangkat perusahaan termasuk pemeliharaan dan lain-lain;

d. Adanya jangka waktu sewa.

Sedangkan menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengatakan bahwa

leasing adalah: “Suatu perjanjian dimana si penyewa barang modal (lesse)

28 R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, (Bandung; Alumni, 1985), hal.

55.

(43)

menyewa barang modal untuk usaha tertentu, untuk jangka waktu tertentu dan

jumlah angsuran tertentu .”30

Defenisi yang dikemukakan oleh Sri Soedewi Masjchoen Sofwan

memandang bahwa institusi leasing merupakan suatu kontrak atau perjanjian

antara pihak lesse dan pihak lessor. Oleh kerena itu antara pihak lessor dan lesse

terdapat hubungan hukum sewa menyewa. Objek yang disewa adalah barang

modal. Jangka waktu dan jumlah angsuran ditentukan oleh para pihak.

Kemudian oleh Salim H.S mengartikan leasing sebagai:31

“Kontrak sewa-menyewa yang dibuat antara pihak lessor dengan lesse dimana pihak lessor menyewakan kepada lesse barang-barang produksi yang harganya mahal untuk digunakan oleh lesse, dan pihak lesse berkewajiban membayar harga sewa sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara pihak lesse dengan lessor dengan disertai hak opsi, yaitu untuk membeli atau memperpanjang sewa.”

Dari pengertian leasing yang dikemukakan oleh Salim di atas dapat di

temukan unsur-unsur yang terkandung dalam leasing yaitu:

a. Adanya subjek hukum, yaitu pihak lessor dan lesse;

b. Adanya objek, yaitu barang-barang modal yang harganya mahal; c. Adanya jangka waktu tertentu;

d. Adanya sejumlah angsuran (pembayaran ini merupakan harga sewa dari barang tersebut yang dibayar secara berkala);

e. Adanya hak opsi (hak lesse untuk memperpanjang atau membeli objek

lesse pada masa akhir kontrak).

Oleh Soerjono Soekanto, mengatakan bahwa “Leasing sebenarnya

merupakan suatu proses yang terkait pada lembaga keuangan, yang secara

langsung atau tidak langsung menghimpun dana dari masyarakat”.32

30 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan , Hukum Perjanjian, (Yogyakarta: Gadjah

Mada,1988), hal. 28.

Memang

31 Salim, Op.cit,hal. 33.

32 Soerjono Soekanto, Inventarisasi Perundang-Undangan Mengenai Leasing, Ind_Hill

Referensi

Dokumen terkait

pertimbangannya antara lain mencantumkan sebagai berikut: “...sesuai dengan yurisprudensi yang ada apabila ternyata putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa itu

Masalah yang penulis analisis yaitu apakah perbuatan yang menyangkut kontrak tersebut memenuhi unsur melawan hukum ( wederrechtelijk ) dalam Pasal 2 ayat (1)

Hal tersebut menimbulkan dampak yang langsung berkenaan dengan pelaksanaan kontrak karya antara Pemerintah dan PT Newmont Nusa Tenggara yang masih berlaku hingga saat

Apabila dilihat secara eksplisit, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016 merupakan implementasi dari Hukum Acara Perdata (HIR dan RBg), namun Peraturan

Oleh karena itu untuk memudahkan pengaturan hal-hal tersebut, dibuatlah suatu perjanjian kontrak kerja sama, dimana para pihak sepakat untuk mengatur sendiri hak, kewajiban serta

Dalam hal pembuatan Kontrak di Era Globalisasi ini terlebih lagi dengan Lahirnya Undang-Undang Bahasa Pasal 31 yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Bahasa

Jadi yang dimaksud dengan ‚Analisis Yuridis penggunaan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak sebagai pengganti Akta Nikah dalam pembuatan Akta Kelahiran (Studi pasal 4

usaha dengan pelaku usaha lain, yang bertujuan untuk menguasai sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu, setiap rangkaian produksi