RATIO LEGIS PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM HUKUM ACARA KEPAILITAN
D. Perbedaan Pembuktian Gugatan Perdata dan Pembuktian Sederhana Hukum Kepailitan Hukum Kepailitan
1. Pembuktian dalam Gugatan Perdata Umum
Pembuktian dalam gugatan perdata umum dapat dibedakan atas pembuktian dalam gugatan permohonan dan gugatan kontentiosa.
a. Gugatan Permohonan
Gugatan dalam hukum acara perdata umum berdasarkan cara mengajukan hak dan jumlah pihak pada umumnya dapat dibedakan atas gugatan permohonan atau volunteer dan gugatan contentiosa. Menurut M.Yahya Harahap terdapat 3 (tiga) ciri dalam permohonan volunteer yaitu: (1) Masalah yang diajukan bersifat sepihak semata (for the benefit of one party only), (2) Permasalahan yang dimohonkan tanpa sengketa (without disputes or differences with another party), dan (3) Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan tetapi bersifat ex-parte.245
Gugatan permohonan misalnya tentang: (1) pengangkatan wali menurut Pasal 360 KUH Perdata, (2) pengangkatan anak menurut Stb. 1917 Nomor 129, (3) perubahan dan penambahan nama keluarga, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,(4) pengampuan (curatele) yang diatur dalam Pasal 433 KUH Perdata, (5) keadaan tidak hadir (afwezigheid) menurut ketentuan Pasal 463 KUH Perdata, dan lain-lain.
M. Yahya Harahap dan Sudikno Mertokusumo menyebutnya dengan permohonan atau gugatan volunter untuk pengajuan hak yang bersifat ex-parte
245M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Op.cit. hlm. 28.
dengan ciri-ciri sebagaimana tersebut di atas.246 Dalam praktik gugatan volunteer biasa disebut “perkara permohonan” yang dalam register perkara disimbolkan dengan huruf “P”. Misalnya perkara permohonan No. 18/Pdt.P/2017/PN.Mdn.
Artinya perkara Nomor urut 18, jenis perkara perdata Permohonan, tahun 2017 di Pengadilan Negeri Medan. Untuk perkara gugatan kontentiosa biasa disebut
“perkara gugatan” yang dilambangkan dengan huruf “G” artinya “Gugatan”.
Misalnya perkara Nomor 21/Pdt.G/2016/PN Mdn. Perkara permohonan dan gugatan dicatat masing-masing dalam register tersendiri di bawah pengelolaan Kepaniteraan Muda Perdata. Selain dimuat secara manual tersebut data yang bersangkutan juga di-apload ke register secara elektronik yang biasa disebut Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) atau Case Tracking System (CTS).
Pengadilan yang memeriksa perkara permohonan ini merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir. Artinya pengadilan ini pengadilan yang memeriksa fakta dan aspek hukumnya pada tingkat terakhir. Tidak ada banding atas penetapanyang dikeluarkan oleh Pengadilan atas permohonan tersebut. Hakim yang memeriksa perkara gugatan permohonan adalah hakim tunggal bukan hakim majelis dan dibantu seorang Panitera Pengganti. Sedangkan dalam perkara gugatan kontentiosa diperiksa dan diadili oleh Majelis Hakim yang terdiri dari seorang ketua, dan dua orang anggota majelis dan dibantu seorang Panitera Pengganti yang bertugas mencatat jalannya persidangan. Catatan persidangan dibuat dalam
246M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Op.cit. hlm. 28
Berita Acara Persidangan yang ditandatangani oleh Ketua Majelis dan Panitera Pengganti.
Upaya hukum penetapan dalam gugatan volunteer tidak ke Pengadilan Tinggi akan tetapi ke Mahkamah Agung RI. Hal ini dapat ditafsirkan dari ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Pasal 43 ayat (1) UUMA menegaskan bahwa permohonan kasasi hanya dapat diajukan jika permohonan terhadap perkara telah menggunakan upaya hukum banding, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Atas klausa atau anak kalimat kecuali ditentukan lain oleh undang-undang secara arif ditafsirkan oleh M. Yahya Harahap bahwa karena gugatan permohonan atau volunteer tidak dapat dimintakan banding maka upaya hukumnya adalah pemeriksaan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.247
Dalam acara gugatan permohonan hanya ada Pemohon dan tidak ada Termohon. Tuntutan hak dari Pemohon yang dimuat dalam surat permohonannya harus juga dibuktikan. Pembuktiannya dengan mengajukan bukti surat-surat maupun saksi-saksi sebagaimana yang ditentukan sebagai alat bukti dalam Pasal 164 HIR/284 RBg dan Pasal 1866 KUH Perdata. Secara yuridis tidak ada tenggang waktu berapa lama suatu gugatan permohonan harus ditetapkan oleh hakim. Masing-masing Pengadilan Negeri mempunyai Standard Opersional Procedure (SOP). Biasanya cukup satu minggu bahkan ada yang satu hari.
Output dari suatu gugatan permohonan adalah “penetapan” (beschikking) bukan
“putusan” (vonnis).
247Ibid. hlm. 43.
Dalam gugatan permohonan tidak mengenal acara “verstek” (putusan tanpa hadirnya Tergugat) karena dalam gugatan permohonan hanya ada pihak pemohon tetapi tidak ada pihak Termohon. Berbeda dengan gugatan kontensiosa yang terdiri dari pihak Penggugat (para Penggugat) dan pihak Tergugat (tergugat-tergugat) dan dapat pula dimasukkan pihak Turut Tergugat sesuai dengan sifat gugatan yang bersangkutan.
b. Gugatan kontentiosa
Gugatan kontentiosa adalah gugatan yang mengandung sengketa dengan pihak lain. Demikian definisi gugatan kontensiosa menurut M. Yahya Harahap.248 Dapat dibuat penafsiran secara argumentuma contrario untuk memberikan definisi tentang gugatan permohonan yaitu gugatan yang tidak mengandung sengketa. M. Yahya Harahap dan Sudikno Mertokusumo sependapat dengan istilah ini. Cara memperoleh atau mempertahankan hak dengan mengajukannya ke pengadilan ini disebut gugatan. Dalam bahasa hukum Inggris disebut
“Claim”249 dan dalam bahasa Belanda disebut “Burgerleijke Vorderingen”.250 Terminologi Burgerlijke Vorderingen (secara harfiah diterjemahkan:
klaim perdata) ini merupakan penggalan dari redaksi Pasal 118 ayat (1) HIR yang mengatur cara-cara memasukkan suatu gugatan perdata. Selengkapnya sebagai berikut:
“Burgerlijke vorderingen, in eersten aanleg tot de bevoegdheid van de landraden behoorende, zullen bij verzoekschrift door den eischer of, overeenskomstig het bepaalde bij art. 123 door diens
248Ibid. hlm. 47
249Ibid.
250Engelbrecht, De Wettenboken, Wetten En Verordeningen, Benevens De Grondwet Van De Republiek Indonesie, PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta, 1989, hlm. 493.
gemachtigde, onderteekend, worden ingediend aan den voorzitter van den landraad, onder welks rechtsgebied de gedaagde zijn woonplaats heft, of bij gebreke van eene bekende woonplaats, zijn werkelijk verblijf houdt”.251 (Gugatan perdata, yang pada tingkat pertama menjadi kewenangan Pengadilan Negeri, harus diajukan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh kuasanya menurut ketentuan Pasal 123 HIR kepada Ketua Pengadilan Negeri di daerah hukum Tergugat bertempat tinggal atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat tinggal senyatanya)”.
Berbeda dengan gugatan permohonan yang mempunyai subjek hukum satu pihak, ex- parte maka dalam gugatan kontensiosa terdapat pihak-pihak (partijen, parties). Ciri-ciri khas dalam gugatan kontentiosa menurut Zainal Asikin252 dan M.Yahya Harahap253, yaitu:
1. Adanya Penggugat (plaintiff, eiser) yang mengajukan suatu hal untuk penyelesaian sengketa ke Pengadilan yang berwenang.
2. Adanya Tergugat (defendant, verweerder) yaitu pihak yang dituntut oleh Penggugat dengan perantaraan pengadilan yang berwenang agar memenuhi tuntutan hukum dari Penggugat.
3. Adanya permasalahan hukum (legal issue) yang berupa sengketa yang diajukan oleh Penggugat kepada Tergugat agar diselesaikan di Pengadilan yang berwenang.
4. Dimungkinkannya adanya Turut Tergugat, yaitu pihak yang tidak langsung bertanggungjawab atas objek perkara akan tetapi ada kaitannya dengan persoalan hukum yang diajujkan oleh Penggugat, misalnya Notaris dalam
251Ibid
252Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Prenadamedia Group, Jakarta, 2015, hlm. 20.
253M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Op.cit. hlm. 47.
hal pembuatan akte perjanjian jual beli atau ahli waris yang tidak berkonfrontasi dengan Penggugat.
Diketahui bahwa jika dalam suatu perkara terdapat beberapa penggugat maka dapat digunakan istilah Penggugat I, Penggugat II dan seterusnya dan dapat dihimpun menjadi “para Penggugat”, sedangkan tidak dikenal adanya istilah Turut Penggugat. Sebagai lawan Penggugat adalah Tergugat. Jika Tergugatnya terdiri dari beberapa orang dapat disebut dalam gugatan tersebut Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan seterusnya, yang untuk memudahkan dihimpun sebagai para Tergugat. Pihak yang tidak diminta pertanggungjawaban dalam gugatan disebut Turut Tergugat yang dapat terdiri dari: Turut Tergugat I, Turut Tergugat II dan seterusnya. Menurut Riduan Syahrani eksistensi Turut Tergugat dalam praktik digunakan terhadap pihak yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu. Diikutsertakannya Turut Tergugat dalam gugatan hanya untuk melengkapi pihak dalam perkara. Kewajiban Turut Tergugat dalam petitum putusan hakim hanya sekadar dihukum untuk tunduk dan taat terhadap putusan hakim yang bersangkutan.254
Sumber hukum (source of law, rechtsbron) dalam hukum acara perdata baik dalam gugatan volunteer maupun gugatan contentiosa adalah sama yaitu:
1. HIR/Het Herziene Indonesisch Reglements, Stb. 1848 Nomor 16 yang diperbaharui dengan Stb. 1926 Nomor 559 dan Stb. 1941 Nomor 441;
2. RBg/Reglement Buitengewesten, Stb. 1927 Nomor 227;
254Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata (Edisi Revisi), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, hlm. 31.
3. RV/Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering voor de Raden van Justitie op Java en het Hooggerechtshof van Indonesia, alsmede voor de Residentiegerecht en op Java en Madoera;
4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
5. Undang-Undang;
6. Yurisprudensi;
7. Adat Kebiasaan;
8. Para Doktrina tentang Hukum Acara Perdata, dan
9. Surat Edaran Mahkamah Agung.255 Surat Edaran Mahkamah Agung menurut Lilik Mulyadi sebagai sumber hukum selain yurisprudensi, adat kebiasaan dan pandangan para doktrina tentang hukum acara perdata. Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku sejak tanggal 12 Agustus 2011 (LN RI Tahun 2011 Nomor 82) bahwa produk Mahkamah Agung yang merupakan sumber hukum tersebut lebih tepat dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (Perma) bukan Surat Edaran Mahkamah Agung.256 Hal ini ditegaskan karena SEMA hanya sebagai pedoman bagi intern di Mahkamah Agung sedangkan Perma berlaku baik secara intern maupun secara eksern yaitu di luar lingkungan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
255Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Indonesia, Perspektif, Teoretis, Praktik, Teknik Membuat, dan Permasalahannya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2015, hlm.25..
256Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 menentukan Mahkamah Agung berwenang menerbitkan produk peraturan perundang-undangan. Pasal 8 ayat (2) UU tersebut menyatakan bahwa produk peraturan tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Perkara gugatan contentiosa yang dajukan oleh Penggugat terhadap Tergugat diperiksa dan diadili oleh Majelis Hakim di persidangan perdata yang dilaksanakan sesuai dengan mekanisme tertentu. Hakim pertama-tama harus mengkonstatirnya (cetak miring dari Penulis) dengan cara mendudukkan perkaranya berdasarkan fakta. Fakta diperoleh dari dalil gugatan, jawaban, replik, duplik yang dihubungkan dengan alat bukti para pihak. Berdasarkan fakta tersebut akan didapatkan duduk perkara atau peristiwa yang sebenarnya. Bagian ini biasa juga disebut dengan temuan fakta (fact finding, feitelijk bevinding). Dalam hal menkonstatering suatu fakta hakim sudah menggunakan alat bukti yang diajukan oleh para pihak. Alat bukti tersebut diperlukan untuk membuktikan bahwa suatu peristiwa benar-benar sudah terjadi.257
Langkah selanjutnya adalah merumuskan fakta yang telah ditemukan tersebut sehingga membentuk konsep atau pengertian tertentu. Sudikno Mertokusumo menyebutnya dengan terminologi, mengkualifikasi (cetak miring dari Penulis).
Misalnya fakta yang ditemukan tersebut dikualifikasi ke dalam peristiwa perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) atau wanprestasi. Akhirnya atas dasar kualifikasi tersebut bahwa tugas hakim berikutnya ialah menkonstituir (cetak miring dari Penulis) yaitu menerapkan hukumnya. Jika terbukti maka petitumnya dengan menghukum Tergugat atau jika tidak terbukti menolak gugatan. Gugatan yang tidak memenuhi syarat formal, misalnya para pihak
257Sudikno Mertokusummo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, Edisi Ketiga, 1988, hlm. 88.
kurang yang seharusnya dimuat dalam gugatan berakibat gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard).
Achmad Ali dan Wiwie Heryani menyatakan bahwa keseluruhan tugas hakim yang demikian mulai dari mengkonstatir, mengkualifikasi dan mengkonstituir tersebut adalah tidak saja hanya bertugas untuk menemukan dan menerapkan hukum (rechtsvinding en rechtstoepassing), tetapi lebih berat lagi, yaitu menciptakan hukum(rechtsschepping)dalam hal hukumnya tidak ada atau tidak jelas.258
Jawaban, replik, duplik serta konklusi tidak dijumpai dalam hukum acara gugatan voluntair karena bentuknya yang ex- parte. Sebaliknya dalam gugatan contentiosa lembaga-lembaga tersebut sering ditemukan dalam praktik bahkan terbuka untuk mengajukan gugat balas (reconventie) berdasarkan ketentuan Pasal 132 (a) HIR/Pasal 157 RBg.
Hukum acara perdata mengatur mekanisme gugatan sejak didaftarkan, diperiksa di muka persidangan dan menjatuhkan penetapan atau putusan hingga pelaksanaan putusan (executie).259Hakim diwajibkan untuk mengikutirule ofgame
258Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2013, hlm. 54.
259Executie atau menjalankan putusan ( ten uitvoer legging van vonnis) dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri oleh Panitera atau Juru Sita Pengadilan Negeri atas putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ( in kracht van gewijsde). Putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap apabila perkara tersebut tidak diajukan upaya hukum berupa perlawan, banding atau kasasi. Disamakan dengan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap adalah : 1.
Putusan yang dimintakan sifat serta merta (uitvoerbaar bij vorraad, Pasal 180 ayat 1 HIR/ Pasal 191 ayat 1 RBg), 2. Putusan Provisi, 3. Eksekusi Hak Tanggungan ( Pasal 20 jo. Pasal 6 UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah) dan 4. UU. Jaminan Fidusia yang terdapat dalam (Pasal 29 jo. Pasal 5 UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.) 5. Putusan Akta Perdamaian ( Acta van dading) dan eksekusi Grosse akta menurut Pasal,224 HIR/Pasal 258 RBg. (Lebih lanjut dapat dilihat dalam
berupa hukum acara yang telah ditentukan seperti yang terdapat dalam HIR/RBg dan peraturan lainnya.
Sebelum memeriksa materi perkaranya dalam perkara gugatan kontentiosa Majelis Hakim terlebih dahulu wajib menunjuk mediator untuk memediasi perkara yang bersangkutan. Akan tetapi acara tersebut tidak dijumpai dalam perkara gugatan volunter yang bersifat ex-parte. Dalam peradilan volunter tidak pula perlu dieksekusi karena keputusan hakim yang berupa penetapan (beschiikking) bersifat declaratoir, menyatakan sesuatu hak. Di sini pemohon gugatan voluntair setelah penetapan langsung memperoleh haknya apabila tidak ada upaya hukum berupa kasasi dari pihak lain atau penetapan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap (final and binding, in kracht van gewisjde). Menurut M. Yahya Harahap bahwa putusan volunter yang bersifat deklarator hanya mempunyai kekuatan hukum mengikat pada diri pemohon sendiri. Itu sebabnya perkara volunter tidak mengandung kekuatan hukum eksekutorial.260 Hanya putusan yang bersifat contentiosa yang memiliki daya eksekusi dan itu pun mesti ada tercantum diktum condemnatoir.261
Berdasarkan cara memberikan beban pembuktian maka dalam gugatan kontensiosa dapat pula dibedakan antara pembuktian secara konvensional dan pembuktian dengan sistem putusan sela.
M.Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi, Bidang Perdata, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm 6 -10)
260M.Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Edisi Kedua, SinarGrafika, Jakarta, Cetakan Ketujuh, 2014, hlm. 15.
261M. Yahya Harahap, Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan Pengadilan, Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi, PT. Citra Adytia Bakti, Jakarta, 1993, hlm. 62.
Tidak seperti dalam sistem hukum acara pidana di mana tujuannya adalah mencari kebenaran materil (materiele waarheid),262 maka hukum acara perdata bertujuan mencari kebenaran formal (formeel waarheid).Walaupun demikian tidak berarti penerapan hukum acara perdata lebih mudah dibandingkan dengan hukum acara pidana. Hal ini tentu tergantung kepada kerumitan kasus yang dihadapi dalam suasana konkret. Lebih-lebih apabila pihak Tergugat mengajukan eksepsi dan jawaban yang bersifat menyangkal atas gugatan Penggugat.