RATIO LEGIS PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM HUKUM ACARA KEPAILITAN
C. Pembuktian Sederhana dalam Hukum Kepailitan
3. Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Istilah yang sama, ”Pembuktian Sederhana” dalam Perppu Nomor 1 Tahun 1998 digunakan pula dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang UUK-PKPU. Pasal 8 ayat (4) UU ini berbunyi: “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.”
Rumusan norma pembuktian secara sumir atau pembuktian sederhana dalam undang-undang Faillissement-Verordening Stb. 1905 Nomor 217 jo. Stb. 1906 Nomor 348 secara historisada benang merahnya satu sama lain dengan undang-undang kepailitan sesudahnya tetapi mempunyai dasar politik hukum (rechtspolitiek) dan situasi yang berbeda ketika norma-norma hukum kepailitan itu dirumuskan.
Faillissements-Verordening, Stb. Nomor 217 Tahun 1905 diberlakukan berdasarkan asas konkordansi Faillissementswet 1986 Belanda karena ketika itu
Indonesia masih dalam jajahan Belanda. Perppu Nomor 1 Tahun 1998/UU Nomor 4 Tahun 1998 lahir dalam suasana terdampak krisis moneter tahun 1997.
Nilai tukar rupiah pada saat itu terpuruk terhadap mata uang asing terutama mata uang dolar Amerika Serikat. Sementara Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dibuat sebagai penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 ketika kondisi perekonomian Indonesia sudah berangsur pulih.221
Norma hukum pembuktian yang terdapat dalam Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU boleh dikatakan merupakan tiruan atau copy paste dari norma pembuktian sederhana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998/Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 karena persis sama, sedangkan norma hukum pembuktian yang terdapat Perpu/Undang-undang 1998 ini adalah penyempurnaan dari ketentuan Pasal 6 ayat (5) Faillissements-Verordening, Staatsblad 1905 Nomor 217 jo.
Staatsblad 1906 Nomor 348. Hal ini terjadi karena dikehendaki atau dipengaruhi oleh politik hukum kepailitan yang berlaku pada saat itu.
Pembuktian sederhana ini salah satu ciri khas hukum kepailitan sebagai subsistem hukum acara perdata umum. Sesuai dengan namanya bahwa pembuktiannya adalah “sederhana”, simple. Menurut Syamsudin Manan Sinaga
bahwa pembuktian perkara pailit tidak terlalu sulit dan complicated.
Untuk membuktikan unsur-unsur permohonan pailit cukup dibuktikan secara sederhana.222 Dari sisi lain bahwa sifat sederhana ini telah menimbulkan kekhawatiran dari beberapa sarjana hukum di antaranya Sutan Remy Sjahdeini223 dan Sudargo Gautama. Sjahdeini mengatakan tidak berarti perkara yang rumit
221Supra, hlm. 4.
222Syamsuddin Manan Sinaga, Op.cit. hlm.87.
223Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit. hlm. 149.
tidak dapat diperiksa di Pengadilan Niaga sedangkan Gautama mengkhawatirkan praktik pembuktian sederhana apabila permohonan pailit diajukan oleh Debitor (voluntary petition). Debitor dapat meminta dirinya dinyatakan pailit dengan mencari seorang kreditor tambahan di samping kreditor sebelumnya. Dengan demikian mudah sekali untuk memperoleh kepailitan.224 Komentar Sudargo Gautama tersebut ketika Undang-Undang Kepailitan baru (Perppu Nomor 1 Tahun 1998 jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998) baru saja diberlakukan. Di mana kasus-kasus kepailitan belum begitu banyak dan kompleks seperti tahun-tahun setelahnya.
Sunarmi mempertanyakan mengenai perkara-perkara kepailitan yang menyangkut pemohon atau termohonnya adalah perusahaan-perusahaan besar apakah masih relevan dibuktikan secara sederhana. Apakah pembuktian sederhana masih relevan untuk digunakan sebagai hukum acaranya. Dalam hal ini Sunarmi memberi komentar:
“Untuk perkara-perkara kepailitan yang terjadi pada masa kolonial dan masa kemerdekaan sebelum berlakunya Perpu No. 1 Tahun 1998, pembuktian sederhana untuk perkara-perkara kepailitan masih relevan untuk diberlakukan. Namun apakah pembuktian sederhana ini masih dapat diterapkan terhadap perkara-perkara kepailitan yang saat ini tidak sederhana lagi.
Karena sejalan dengan perkembangan struktur ekonomi setelah kemerdekaan Indonesia, terdapat perubahan karakteristik terhadap pelaku bisnis Indonesia yangsemula didominasioleh pedagang-pedagang modal kecil dan menengah menjadi perusahaan-perusahaan besar dengan modal besar dan lingkup nasional dan internasional.”225
Sutan Remy Sjahdeini seolah-olah menjawab permasalahan hukum yang dikemukankan oleh Sunarmi tersebut di atas. Sutan Remy Sjahdeini berpendapat
224Sudargo Gautama, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia (1998), PT. Citra Adytia Bakti, Bandung, 1998, hlm. 30.
225Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Edisi 2, (A Critical Review On BankruptcyLaw: Towards The Bankruptcy Laws That Protect Creditor and Debtor Interest), PT. Softmedia, 2010, hlm. 320-321.
mengenai Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU tentang pembuktian sederhana ini merupakan norma yang mewajibkan hakim agar suatu perkara kepailitan diperiksa di Pengadilan Niaga. Akan tetapi walaupun perkaranya tidak sederhana tetap juga diperiksa di Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga tidak wajib menolak perkara kepailitan. Pendapat Sutan Remy Sjahdeini sebagai berikut:
“Bahwa Pasal 6 ayat (3) UUK hanyalah bertujuan mewajibkan hakim untuk tidak menolak permohonan pailit apabila dalam perkara itu dapat dibuktikan secara sederhana fakta dan keadaannya yaitu fakta dan keadaan yang merupakan syarat-syarat kepailitan sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (1) UUK.
Tetapi bukanlah berarti bahwa apabila ternyata dalam perkara yang diajukan permohonan pernyataan kepailitan itu tidak dapat dibuktikan secara sederhana fakta dan keadaannya, maka Majelis Hakim Pengadilan Niaga atau Majelis Hakim Kasasi wajib menolak untuk memeriksa perkara itu sebagai perkara kepailitan karena perkara yang demikian itu merupakan kewenangan Pengadilan Negeri (pengadilan perdata biasa). Majelis Hakim Pengadilan Niaga maupun Majelis Hakim Kasasi wajib tetap memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit itu, sedangkan fakta dan keadaan yang tidak dapat dibuktikan secara sederhana tetap menjadi tanggung jawabnya dan bukan karena kenyataan yang demikian itu Majelis Hakim Kepailitan harus terlebih dahulu mempersilakan para pihak untuk meminta putusan Pengadilan Negeri (pengadilan perdata biasa) mengenai fakta dan keadaan pokok perkaranya.” 226
Penulis tidak sependapat dengan Sutan Remy Sjahdeini tersebut di atas, karena perkara kepailitan adalah perkara perdata khusus yang mempunyai hukum acara khusus. Perkara kepailitan mempunyai buku register tersendiri di samping buku register perdata umum. Hukum kepailitan mempunyai hukum acara khusus baik pembuktian maupun tenggang waktunya. Diketahui bahwa perkara pailit adalah dalam bentuk permohonan bukan gugatan. Jika perkara yang diajukan dinilai tidak dapat diselesaikan secara pembuktian sederhana maka perkara
226Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, Grafiti, Cetakan Pertama, 2002, hlm. 171.
tersebut menjadi wewenang pengadilan umum sehingga perkara dimasukkan ke dalam buku register perdata umum.
Walaupun demikian diakui bahwa terdapatnya kerancuan dalam penerapannya terutama pada awal berlakunya Perpu Nomor 1 Tahun 1998.
Permohonan kepailitan yang bersifat ex-party seolah-olah diperiksa secara gugatan perdata biasa yang ditandai adanya replik dan duplik serta bukti dari pihak Termohon pailit seolah-olah telah memasuki area perkara gugatan biasa.
Selain itu ada pula sikap atau upaya sebagian Kreditor dan Debitor yang ingin melepaskan diri dari prosedur kepailitan. Hal inilah yang dimaksudkan oleh Sebastian Pompe dalam komentarnya di bawah ini:227 either because the claim is being challenged or the evidence being challeneged, it has developed effectively despite a legialation procedure and the issue raised by the honorable judge, this creates problem for the comercial court because the commercial court must issue a decicion with fixed dateline, which is 30 days.
And which a contentious procedure, which replik, and duplik, and a submission of evidences, they are unable to meet a dateline, so there is a push in the part of the commercial court to dismiss case because there is no summary evidence or there is no way to meet the requirement for summary evidence to issue bankruptcy decicion. And the question is, how does one definite summary evidence in order to overcome effectively contentious setting, in which the contentious often is bona fide? So there is a behaviour sometime on part of creditors or debtors, to get away from the bankruptcy procedure by submitting all sort of argument.”
(Terjemahan bebas: Menurut hukum kepailitan di Indonesia, ini adalah bentuk permohonan, pada hakikatnya adalah bentuk ex party dimana pembuktiannya adalah secara sumir dan acaranya pada umumnya harus dilaksanakan secara singkat, tujuannya
227Vesna Lazic, Interaksi Antara Arbitrase dan Proses Kepailitan, (The Interaction Between Arbitration AndInsolvency Proceeding) Dalam Emmy Yuhassarie (Editor), Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 2004, hlm. 176.
antara lain untuk mencegah agar aset tidak hilang. Apa yang terjadi di Indonesia adalah karena satu dan alasan lain permohonan tersebut disanggah atau dengan mengajukan bukti lawan, hal ini berlaku secara efektif walaupun ada prosedur legalisasi dan masalah hukum yang mengikat oleh hakim yang terhormat, hal ini menimbulkan masalah bagi pengadilan niaga karena pengadilan niaga harus menjatuhkan keputusannya dengan penetapan waktu yang sudah ditetapkan, yaitu 30 hari. Dan adanya acara jawab-menjawab seperti replik, duplik, dan pengajuan bukti, mereka tidak dapat menggunakan waktu yang terbatas; jadi ada dorongan di pihak pengadilan niaga untuk memberhentikan kasus karena tidak ada bukti sumir atau tidak ada acara untuk terpenuhinya persyaratan bukti sumir untuk menjatuhkan putusan pailit. Dan pertanyaannya adalah, bagaimana seseorang menentukan bukti sumir untuk mengatasi masalah yang disengketakan secara efektif, dimana seringkali sengketa dianggap benar? Jadi, ada suatu perilaku pada sebagian kreditur atau debitur, untuk melepaskan diri dari prosedur pailit dengan mengajukan segala macam argumen).”
Dalam konteks pembuktian sederhana dan penerapannya memang selalu mengundang debat di antara para sarjana hukum seperti yang dikemukakan oleh M.Hadi Subhan228, Sutan Remy Sjahdeini,229 Aria Suyudi et.al230.,Sudargo Gautama,231 Andriani Nurdin,232 Aco Nur,233
228 M. Hadi Shubhan, Op.Cit. hlm. 124-125.
229 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Cetakan Pertama, Op.cit. hlm. 170-171.
230 Aria Suyudi, Eryanto Nugroho dan Herni Sri Nurbayanti, Kepailitan di Negeri Pailit, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 147-148
231 Sudargo Gautama, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia (1998), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 30-31.
232 Andriani Nurdin, Kepailitan BUMN Persero Berdasarkan Asas Kepastian Hukum, Alumni, Bandung, 2012, hlm. 165.
233233Aco Nur, Hukum Kepailitan Perbuatan Melawan Hukum oleh Debitor, PT. Pilar Yuris Ultima, Jakarta, 2015, hlm. 149-150.
Paulus Effendi Lotulung,234 Ricardo Simanjuntak,235 dan Man S.
Sastrawijaya. 236
4. Pendapat Hakim Niaga pada Pengadilan Negeri Medan237