• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perpu Nomor 1 Tahun 1998 dan UU Nomor 37 Tahun 2004 tidak menegaskankan ratio legis pembuktian sederhana 200

RATIO LEGIS PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM HUKUM ACARA KEPAILITAN

B. Ratio Legis Pembuktian Sederhana Dalam Hukum Kepailitan

2. Perpu Nomor 1 Tahun 1998 dan UU Nomor 37 Tahun 2004 tidak menegaskankan ratio legis pembuktian sederhana 200

Penulis telah meneliti naskah asli Perpu Nomor 1 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Arsip Nasional Republik Indonesia tetapi tidak ditemukan alasan-alasan /tujuan umum lahirnya peraturan hukum (ratio legis) hukum acara kepailitan menggunakan pembuktian sederhana. Dalam Bundel 2344 A berupa konsep yang sudah jadi tetapi belum ditandatangani disertai dengan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang sudah ditandatangani dan diundangkan pada tanggal 22 April 1998. Bundel yang satu lagi adalah Bundel 1344 B berupa berkas penyusunan (memorie van toelichting) Perpu Nomor 1 Tahun 1998 tetapi tidak ditemukan alasan-alasan hukum kepailitan menggunakan asas pembuktian sederhana. Dalam Lampiran Memorendum Menteri Sekretariat Negara Saadilah Mursjid Nomor M- 595/M.sesneg/4/1998 tanggal 21 April 1998 hanya mengusulkan “Standar untuk Pengambilan Putusan pailit, yaitu: a. Merupakan perkara dengan “Pembuktian Sederhana” b. Permintaan pernyataan kepailitan dapat diajukan apabila: Pertama, Dalam keadaan berhenti membayar baik utang pokok ataupun bunganya ; Kedua Terdapat lebih dari satu kreditor, dan debitor

199 Naskah Akademik atas Perubahan UU Nomor 37 Tahun 2004.

200 Hasil penelitian di Arsip Nasional Republik Indonesia di Jl. Ampera Raya Nomor 7 Jakarta Selatan pada Senin, 5 Desember 2018.

gagal membayar utangnya kepada salah satu di antaranya. Dalam Bundel B atau Naskah Asli Perpu Nomor 1 Tahun 1998 pada pertimbangannya hanya menekankan bahwa penyelesaian sengketa secara adil, cepat dan terbuka.201

Penelitian di ANRI tersebut ditemukan Naskah Asli Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tersimpan dalam bundel Nomor 1044 A dan bundel Nomor 1044 B. RUU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam bundle B RUU Nomor 37 Tahun 2004 tersebut tidak memuat alasan-alasan dimuatnya asas pembuktian sederhana sebagai asas pembuktian.. RUU ini berasal dari pemerintah tetapi baik pemerintah maupun DPR-RI tidak mengajukan alasan-alasan bahwa UU Nomor 37 tahun 2004 tersebut menggunakan asas pembuktian sederhana dalam membuktikan permohonan pernyataan pailit. Dalam bundle A hanya ditemukan catatan permasalahan atas RUU Kepailitan dan PKPU yang menyangkut: Pertama, Permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh BI, Bapepam dan Menteri Keuangan tidak perlu menggunakan jasa Advokat. Kedua, Masalah utang-piutang antara Debitor dan Kreditor yang terdapat klausula arbitrase tetap merupakan kewenangan pengadilan niaga. Hal ini merupakan tindak lanjut dari rapat di Sekretariat Kabinret pada tanggal 20 Februai 2002.

Ketiga, Jangka waktu pemeriksaan Perkara yang semula selama 30 hari dalam Perpu Nomor 1 tahun 1998 menjadi 60 hari. Jangka waktu 60 hari ini harus diberikan tahap-tahapannya tanpa harus mengurangi fleksibilitas hakim

201 Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 1998 pada bagian “Menimbang”

huruf (f).

pengadilan untuk menyelesaikan lebih cepat.dan Keempat, Ketentuan mengenai Pengadilan Niaga.

Dalam proses pembahasan RUU tersebut ditemukan pula data yang berupa petisi, dan memorandum Sekretaris Negara tentang RUU Kepailitan yang ditujukan kepada Presiden serta keberatan Advokat Indonesia . Petisi - petisi dari karyawan PT. Prudensial Life Assurance (PLA) yang keberatan atas dipailitkannya PT.Prudential Life Assurance (PLA) tersebut. Sedangkan Memorandum Sekretaris Negara Bambang Kesowo Nomor M-290 tanggal 6 Mei 2002 yang ditujukan kepada Presiden RI yang menyangkut : (a) RUU Kepailitan dan PKPU merupakan kesepakatan antara Pemerintah RI dan IMF yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI) (b). RUU Kepailitan dan PKPU telah dibahas bersama oleh Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen Keuangan ( Direktorat Jenderal Lembaga keuangan dan bapepam), Bank Indonesia, Sekretariat Negara, Hakim Pengadilan Niaga beserta praktisi hukum. Akademisi dan pakar hukum. Selanjutnya keberatan Asosiasi Advokat Indonesia ( Indonesian Bar Association) ditujukan kepada Menteri Kehakiman dan HAM RI atas Pembahasan Revisi UU Kepailitan dan PKPU dengan beberapa argumen, yaitu:(a) Revisi UU Kepailitan tidak dapat dilakukan terburu-buru seolah-olah mengejar “target’ dan “pesanan” dari pihak tertentu. (b) Akibat desakan dari pihak tertentu saja DPR RI dengan mudahnya mengesampingkan prinsip-prinsip dasar pembahasan suatu produk perundang-undangan. Sampai tanggal 15 September 2004 baru membahas segi redaksionalnya dan belum menyentuh aspek materi revisi UU Kepailitan. Asosiasi Advokat Indonesia berpendapat bahwa sangat

tidak mungkin melakukan suatu revisi undang-undang Kepailitan yang komprehensif dan integratif sebelum tanggal 22 September 2004, kecuali apabila dilakukan dengan seadanya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa menurut Asosiasi Advokat Indonesia bahwa Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dibentuk dengan seadanya saja jika diukur berdasarkan tenggang waktu yang tersedia untuk itu.

Dalam proses pembentukan UU Kepailitan juga ditemukan fakta bahwa IMF dalam hal ini berperan dalam gagasan reformasi undang-undang kepailitan sebagaimana terdapat dalam Memorandum Sekretaris Kabinet Lambock V.Nahattands Nomor N-81/Setkab/dep-HP/3/2002 tanggal 8 Maret 2002 yang ditujukan kepada Wakil Sekretaris Kabinet yang isinya antara lain menyatakan bahwa Rancangan Undang- Undang ini termasuk dalam komponen kesepakatan antara pemerintah Republik Indonesia dengan IMF sebagaimana tertuang dalam letter of Intent (LoI) yang ditandatangani pada bulan Agustus 2001. Tindak lanjut kesepakatan tersebut adalah produk yang berupa Keterangan Pemerintah yang disampaikan oleh Yusril Ihza Mahendra ,Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia tentang Rancangan Undang-undang Republik Indonesia tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pada bulan Mei 2002 (tanpa tanggal, sic!) Selanjutnya RUU Kepailitan dan PKPU disetujui oleh DPR RI dalam bentuk Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 09/DPR-RI/I/2004-2005 tanggal 22 September 2004 tentang Persetujuan DPR-RI terhadap RUU RI tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Tidak ditemukan adanya ratio legis atau alasan ditetapkannya pembuktian sederhana sebagai cara pembuktian dalam hukum kepailitan, oleh karena itu untuk mengetahui ratio legis tentang pembuktian sederhana tersebut dalam peratutan atau undang-undang kepailitan di Indonesia harus dilihat kepada filosofis peraturan yang bersangkutan dengan membandingkannya dengan peraturan lainnya seperti terurai di bawah ini.