• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN PRINSIP PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM PERKARA KEPAILITAN DI PENGADILAN NIAGA (Suatu Karakter Khusus Dalam Sistem Hukum Acara Perdata)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENERAPAN PRINSIP PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM PERKARA KEPAILITAN DI PENGADILAN NIAGA (Suatu Karakter Khusus Dalam Sistem Hukum Acara Perdata)"

Copied!
439
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN PRINSIP PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM PERKARA KEPAILITAN DI PENGADILAN

NIAGA (Suatu Karakter Khusus Dalam Sistem Hukum Acara Perdata)

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Bawah

Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof.Dr. Runtung, S.H., M.Hum

Untuk Dipertahankan di Hadapan Sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara

OLEH FAHREN 148101002 / HK

PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)

PENERAPAN PRINSIP PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM PERKARA KEPAILITAN DI PENGADILAN

NIAGA (Suatu Karakter Khusus Dalam Sistem Hukum Acara Perdata)

DISERTASI

OLEH

FAHREN 148101002 / HK

PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Prinsip pembuktian sederhana dalam hukum acara kepailitan merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum kepailitan. Prinsip atau asas pembuktian sederhana telah dinormakan dalam: 1) Pasal 6 ayat (5) Faillissements-Verordening, Staatsblad 1905 Nomor 217 jo Staatsblad 1906 Nomor 348 , 2) Pasal 6 ayat (3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1998 dan 3) Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang UUK-PKPU. Peraturan atau undang-undang kepailitan tidak secara jelas dan lengkap mengatur tentang pembuktian sederhana tersebut yang pada akhirnya dalam penerapannya terdapat putusan-putusan yang berbeda terhadap hal- hal yang sama baik di tingkat pengadilan niaga maupun Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan beberapa pendekatan yaitu pendekatan undang- undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan sejarah (historical approach) serta pendekatan konseptual ( conceptual approach). Penelitian normatif dalam penelitian ini dengan menelaah penerapan norma hukum yang bersumber dari asas pembuktian sederhana dalam putusan-putusan hakim di tingkat pengadilan niaga dan Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan cara mendudukkan perkara, dan menganalisis pertimbangan dan putusan- putusan hukumnya.

Hasil penelitian disertasi menyimpulkan bahwa hukum kepailitan dan PKPU menggunakan prinsip atau asas pembuktian sederhana karena Pertama, (a) mempunyai tenggang waktu ( time frame) , (b) secara historis didasarkan aspek hukum perdata dan (c), bergerak dalam bidang hukum bisnis yang menuntut kepastian hukum yang lebih cepat. Kedua, penerapan norma pembuktian sederhana dalam praktik pengadilan niaga dan Mahkamah Agung Republik Indonesia terdapat keragaman penafsiran. Hal ini terjadi karena tidak ada parameter yang tegas dalam undang-undang kepailitan dan PKPU. Ketiga, Perumusan norma pembuktian sederhana yang dapat mengatasi perbedaan tafsir dalam praktik di pengadilan niaga ialah dengan cara merumuskan secara tegas dan jelas oleh badan legislatif dengan menyebutkan pula secara jelas model insolvensi yang dianut apakah model insolvency test atau simply desn’t pay.

Berdasarkan kesimpulan tersebut maka direkomendasikan kepada badan legislatif agar merumuskan kembali norma pembuktian sederhana dalam undang- undang kepailitan yang akan datang (ius constituendum) secara tegas dan jelas, dengan menambahkan ayat-ayat penjelas, misalnya: (a) Jika Termohon membantah utang yang didalilkan oleh Pemohon pailit maka perkara tersebut sudah tidak sederhana lagi sehingga telah menjadi kewenangan absolut pengadilan negeri, (b) Termohon tidak wajib memberikan jawaban atas permohonan pemohon dan Termohon tidak diwajibkan beban pembuktian serta (c) untuk menghindari suatu perusahaan yang masih solven dapat dipailitkan maka perlu diadopsi model insolvency test dengan melibatkan akuntan publik yang independen dengan cara mengaudit perusahaan debitor.

Kata-kata kunci: Pembuktian Sederhana, Perkara Kepailitan, Pengadilan Niaga

(7)

ABSTRACT

Summary proof system in a bankruptcy law of civil procedure is one of the most important principles in the law on bankruptcy. Summary proof principle is normed in 1) Article 6, paragraph 5 of Faillissements-Verordening, Staatsblad 1905 No. 217 in conjunction with Staatsblad 1906 No. 348, 2) Article 6, paragraph 3 of Government Regulation, the substitute of Law No. 1/1998 and Law No. 4/1998, and 3) Article 8, paragraph 4 of Law No. 37/2004 on UUK- PKPU. Regulation or Law on Bankruptcy does not clearly and completely regulates the summary proof which eventually there are different verdicts in its implementation on the same cases, either in commercial court or in the Supreme Court.

The research used juridical normative method with statute approach, case approach, historical approach, and conceptual approach which was aimed to analyze the implementation of legal norms in the commercial court and in the Supreme Court by positioning the cases, and analyzing their legal consideration and verdicts.

The result of the research shows that law on bankruptcy and PKPU uses summary proof principle because a) it has time frame, b) historically, it is based on the aspect of civil law, and c) it operates in business law which demands prompt legal certainty. Secondly, the implementation of summary proof norm in the practice in commercial court and the Supreme Court, there are varieties of interpretation since there is no firm parameter in the law on bankruptcy and PKPU. Thirdly, the formula of summary proof norm which can solve the difference in interpretation in the practice in the commercial court is by firmly and clearly formulating done by legislative body and also by mentioning clearly the insolvency model: either insolvency test or simply doesn’t pay.

It is recommended that the legislative body re-formulate summary proof norm in the future law on bankruptcy (ius constituendum) clearly and firmly by adding clear paragraphs; for examples: a) If a petitionee denies his debt claimed by the petitioner, the case will not be simple any more, and it will be an absolute authority of the District Court, b) the petitionee is not required to respond to petitioner’s claim, and he does not have burden of proof anymore, c) insolvency test should be applied by involving an independent public accountant audit debtor’s company in order to avoid solvent company which can be declared bankrupt.

Keywords: Summary Proof, Bankruptcy Case, Commercial Court

(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya hingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa rahmat dan pesan pentingnya menuntut ilmu pengetahuan untuk kepentingan dunia dan akhirat.

Disertasi ini berjudul “PENERAPAN PRINSIP PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM PERKARA KEPAILITAN DI PENGADILAN NIAGA” (Suatu Karakter Khusus Dalam Sistem Hukum Acara Perdata).

Penelitian sudah mulai dilakukan sejak awal kuliah di Semester II Tahun Akademi 2014 didorong oleh minat di bidang hukum kepailitan. Pada saat mulai melakukan penelitian secara informal penulis belum menjabat sebagai hakim niaga dan baru sebagai hakim niaga pada tahun 2018. Pembuktian sederhana diterapkan pada saat membuktikan perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Penulis menyadari bahwa selama penelitian dan penyelesaian penulisan Disertasi ini menghadapi berbagai kendala dan tantangan terutama waktu yang harus berbagi dengan tugas sehari-harinya yang hampir-hampir tidak ada luang karena pekerjaan yang cukup padat di Pengadilan Negeri Medan, namun berkat rahmat dan petunjuk Allah SWT dan bantuan, dorongan dari berbagai pihak baik

(9)

langsung maupun tidak langsung maka kendala dan tantangan tersebut dapat diatasi dan pada akhirnya dapat menyelesaikan penulisan hasil penelitian Disertasi ini.

Atas hal-hal tersebut dengan segala kerendahan hati pada kesempatan yang baik ini Penulis menyampaikan penghormatan dan rasa terima kasih kepada : 1. Yang Terhormat Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, Rektor Universitas

Sumatera Utara , atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengadakan penelitian dan menyelesaikan pendidikan Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Yang Terhormat Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus selaku Kopromotor, atas kesempatan dan fasilitas serta bimbingan yang sangat bermanfaat dalam rangka persiapan hingga penyelesaian penulisan disertasi ini;

3. Yang Terhormat Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum, Ketua Program Magister dan Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan, fasilitas dan bimbingan selaku Promotor yang selalu memberikan motivasi, saran-saran yang sangat berharga dalam rangka penelitian dan penulisan Disertasi ini;

4. Yang Terhormat Prof. Dr. H. Tan Kamello, S.H., M.S., Kopromotor, yang banyak membantu, membimbing serta memberikan ide-ide yang sangat bermanfaat dalam rangka penelitian dan penulisan Disertasi ini;

(10)

5. Yang Terhormat Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., Komisi Penguji, atas masukannya yang sangat berharga untuk penyempurnaan penulisan Disertasi ini;

6. Yang Terhormat, Prof. Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum, Komisi Penguji, atas masukannya yang sangat bermanfaat untuk penyempurnaan penulisan Disertasi ini;

7. Yang Terhormat, Prof. Dr. Joni Emirzon, S.H., M.Hum, Komisi Penguji Luar (Universitas Sriwijaya) atas masukannya yang sangat bermanfaat untuk penyempurnaan penulisan Disertasi ini;

8. Yang Terhormat Dr. M. Ekaputra, S.H., M.Hum, Sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan fasilitas dalam rangka penelitian dan penulisan Disertasi ini;

9. Yang Terhormat para Dosen Pengasuh Mata Kuliah Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. M. Solly Lubis, S.H., Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LLM., Ph.D., Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.L.I., dan Prof. Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum yang telah mencurahkan perhatian dan ilmunya yang sangat bermanfaat sehingga memperluas wawawasan penulis untuk melaksanakan penelitian dan penulisan Disertasi ini;

10. Yang saya banggakan para Staff Pegawai Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang banyak membantu penulis dalam memberikan pelayanan administrasi akademik baik ketika kuliah maupun dalam rangka penelitian dan penulisan Disertasi ini;

(11)

11. Yang saya hormati teman-teman peserta Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Khususnya Angkatan 2014/2015 yang selalu berdiskusi pada saat masih kuliah dan tetap berkomunikasi walaupun telah berakhirnya kuliah ketika mempersiapkan penelitian masing-masing;

12. Kedua orangtua Penulis, ayahanda Syamsuddin (Almarhum) dan Ibunda Imas (Almarhumah) yang hanya sempat memberi semangat dan segala kemampuannya yang mengantarkan penulis hingga di Strata 1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

13. Yang Teristimewa dan yang Tercinta isteriku, Nur Asiah, yang selalu setia mendampingi dan memberi semangat kepada Penulis agar dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan Disertasi ini;

14. Yang Tersayang anak-anak Penulis, Abdul Hakim Marpaung dan Nur Hasanah yang selalu menjadi penyemangat Penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan Disertasi ini;

Kepada semua pihak yang telah memberikan saran dan pendapat ilmiah dalam rangka penulisan disertasi ini Penulis ucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya. Kiranya budi baik tersebut mendapatkan limpahan rahmat dan berkah dari Allah SWT.

Akhirnya kepada Allah SWT penulis mengucapkan syukur yang telah menyinari hati Penulis dengan cahaya petunjuk dan semoga menjadikan Penulis tergolong kepada orang mukmin dan berilmu pengetahuan. Semoga para guru

(12)

besar, Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Promotor, para Kopromotor, Komisi Penguji Disertasi dan para hadirin yang telah berkenan hadir dalam acara yang fenomenal ini kiranya mendapat rahmat dan limpahan berkah dari Allah SWT, Amin Ya Rabbal Alamin.

Medan, Januari 2020 Penulis,

FAHREN

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR DIAGRAM ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 48

C. Tujuan Penelitian ... 49

D. Manfaat Penelitian ... 49

E. Keaslian Penelitian ... 50

F. Asumsi ... 52

G. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 53

1. Kerangka Teori ... 53

2. Kerangka Konsepsi ... 59

H. Metode Penelitian ... 63

I. Spesifikasi Penelitian ... 64

1. Jenis Penelitian ... 64

2. Sifat Penelitian ... 65

3. Pendekatan ... 66

4. Sumber Bahan Hukum ... 67

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum... ... 68

a. Studi Kepustakaan... 69

b. Wawancara... 69

6. Analisis Bahan Hukum... ... 70

7. Skema Alur Pikir... ... 72

BAB II RATIO LEGIS PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM HUKUM ACARA KEPAILITAN ... 73

A. Perkembangan Hukum Kepailitan di Indonesia ... 73

1. Perkembangan Melalui Proses Legislasi ... 81

2. Perkembangan Melalui Putusan-putusan Hakim ... 85

B. Ratio Legis Pembuktian Sederhana Dalam Hukum Kepailitan 89 1. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Kepailitan di BHPN ... 90

2. Perppu Nomor 1 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak menegaskan ratio legis pembuktian sederhana ... 91

3. Mempunyai Tenggang Waktunya (time frame) ... 95

4. Aspek Hukum Acara ... ... 96

5. Aspek Hukum Bisnis ... 99

(14)

C. Pembuktian Sederhana dalam Hukum Kepailitan ... 102

1. Dalam Failissements-Verordening, Staatsblad 1905 No. 217 jo. Staatsblad 1906 No. 348 ... 102

2. Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998/Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 ... 103

3. Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 ... 104

4. Pendapat Hakim Niaga pada Pengadilan Negeri Medan ... 110

5. Landasan Filosofis Pembuktian Sederhana dalam Hukum Kepailitan ... 114

D. Perbedaan Pembuktian Gugatan Perdata dan Pembuktian Sederahan Hukum Kepailitan ... 116

1. Pembuktian dalam Gugatan Perdata Umum ... 117

a. Gugatan Permohonan ... 117

b. Gugatan Kontentiosa ... 120

2. Sistem Pembuktian Secara Konvensional... 127

3. Sistem Putusan Sela dengan Beban Pembuktian ... 133

BAB III PENERAPAN NORMA PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM PERKARA-PERKARA KEPAILITAN ... 134

A. Penerapan Norma Pembuktian Sederhana Dalam Perkara- Perkara Kepailitan Sebelum Keluarnya UU Nomor 37 Tahun 2004 ... 136

1. Masa Faillissements-Verordening, Staatsblad 1905 No 217 jo. Staatsblad 1906 No. 348... 136

a. Masa Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia ... 136

b. Masa Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia ... 140

2. Masa Perppu Nomor 1 Tahun 1998 ... 144

3. Masa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998... 147

1) Putusan Pengadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat antara Antara Paul Sukran, SH Vs PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia No. 10/Pailit/2002/PN.Niaga/ Jkt.Pst tanggal 13 Juni 2002 (Pembuktian Utang dalam hal Deviden) ... 154

a. Duduk Perkara/Peristiwa Konkret (het concreet feit) 154

b. Pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga (legal reasoning) ... 156

c. Putusan Hakim Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 10/Pailit/2002/PN.Niaga/ Jkt.Pst tanggal 13 Juni 2002 Antara Paul Sukran, SH vs PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia ... 160

d. Pertimbangan Mahkamah Agung RI ... 163

e. Putusan Mahkamah Agung Nomor 021 K/N/2002 tanggal 5 Juli 2002 ... 163

f. Analisis Hukum ... 163

(15)

2) Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Pusat Jakarta Pusat Nomor 13/Pailit/2004/PN.Niaga/

Jkt.Pst tanggal 23 April 2004 antara Lee Boon Siong

Melawan PT. Prudential Life Assurance ... 198 a. Duduk Perkara atau Peristiwa Konkret (het conkcete

fait ) ... 198 b. Pertimbangan Hakim / Legal Reasoning Pengadilan

Niaga ... 201 c. Putusan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat Nomor 13/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 23 Juni 2004 ... 202 d. Pertimbangan Mahkamah Agung RI ... 203 e. Putusan Mahkamah Agung Nomor 08 K/N/2004

tanggal 7 Juni 2004 ... 205 f. Analisis Hukum ... 206 3) Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat Nomor 70/Pailit/1999/PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 1 November 1999 antara PT. Bank Ekonomi

Raharja Melawan Jasip Ngakiwan ... 217 a. Duduk Perkara/peristiwa konkret (het concreet feit) 217 b. Pertimbangan Hakim/ Legal Reasoning Pengadilan

Niaga ... 220 c. Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat Nomor 70/Pailit/1999/PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 1 November 1999 ... 222 d. Pertimbangan Hakim/Legal Reasoning/Ratio

Decidendi Mahkamah Agung ... 222 e. Putusan Mahkamah Agung Nomor 44 K/N/1999

tanggal 14 Desember 1999 ... 223 f. Pertimbangan Majelis PK Mahkamah Agung ... 224 g. Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung

Nomor 02 PK/N/2000 tanggal 3 Februari 2000 ... 225 h. Analisis Hukum ... 225 4) Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat dalam Perkara No. 68/Pailit/1999/PN.Niaga/

Jkt..Pst tanggal 28 Oktober 1999 antara PT. Bank Artha Graha dan PT. Bank Pan Indonesia Tbk. (PT. Bank Panin Tbk.) Melawan: 1. Cheng Basuki dan 2. Afen Siswoyo (Tiap Peserta Kredit Sindikasi Berwenang Mengajukan

Permohonan Pailit) ... 231 a. Duduk Perkara / Peristiwa konkret (het concreet feit) 231 b. Pertimbangan Hakim / Legal Reasoning Pengadilan

Niaga ... 236 c. Putusan Pengadilan Niaga No. 68/Pailit/1999/

PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 28 Oktober 1999 ... 236 d. Pertimbangan Mahkamah Agung ... 237

(16)

e. Putusan Mahkamah Agung No. 43 K/N/1999 tanggal 3 Desember 1999 ... 237 f. Pertimbangan Majelis Hakim PK Mahkamah Agung 238 g. Putusan Majelis PK Mahkamah Agung No. 01 PK/N/

2000 tanggal 3 Februari 2000 ... 239 h. Analisis Hukum ... 240 5) Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat Nomor 06/Pailit/1999/PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 15 Februari 1999 antara PT. Bank Yamma

Melawan PT. Nassau Sports Indonesia ... 246 a. Duduk Perkara/Peristiwa Konkret (Het concreet feit) 246 b. Legal Reasoning atau Pertimbangan Pengadilan

Niaga Jakarta Pusat ... 248 c. Putusan Pengadilan Niaga No.06/Pailit/PN.Niaga/

Jkt.Pst tanggal 15 Februari 1999 ... 249 d. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung RI ... 249 e. Putusan Mahkamah Agung Nomor 07 K/N/1999

tanggal 5 Mei 1999 menolak permohonan kasasi

PT. Bank Yakin Makmur (PT. Bank Yamma)... 250 f. Pertimbangan Majelis Hakim PK Mahkamah Agung 250 g. Putusan Mahkamah Agung dalam Pemeriksaan

Peninjauan Kembali Nomor 11 PK/1999 tanggal

5 Mei 1999 ... 251 h. Analisis Hukum ... 252 6) Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat Nomor 71/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt. Pst, Tanggal 21 Oktober 2000 antara Badan Penyehatan Perbankan Nasional Melawan PT. Muara Alas Prima

(Termohon Pailit PT dalam Likuidasi) ... 257 a. Duduk Perkara/Peristiwa Konkret/Het concreet feit .. 257 b. Legal Reasoning / Pertimbangan Hakim Pengadilan

Niaga ... 260 c. Putusan Pengadilan Niaga Nomor 71/Pailit/2000/

PN. Niaga/Jkt. Pst tanggal 21 Oktober 2000 ... 262 d. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung ... 262 e. Putusan Mahkamah Agung Nomor 34 K/N/2000

tanggal 1 Desember 2000 mengabulkan Permohonan Pailit BPPN ... 263 f. Pertimbangan Majelis Hakim PK Mahkamah Agung 264 g. Putusan Mahkamah Agung dalam Pemeriksaan

Peninjauan Kembali Nomor 01 PK/N/2001, tanggal 2 Februari 2001 ... 266 h. Analisis Hukum ... 267 7) Putusan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat Perkara Nomor 14/Pailit/1999/PN.Niaga/

(17)

Jkt.Pst, Tanggal 31 Maret 1999 antara PT. Environmental Network Indonesia (PT. Enindo/ Pemohon) dan Kelompok Tani Tambak FSSP Masserrocinae (Kreditor Lain) Lawan PT. Putra Putri Fortuna Windu dan PPF. International Corporation (Dalam perjanjian terdapat Klausula

Arbitrase) ... 275 a. Duduk Perkara/Peristiwa Konkret/Het concreet feit .. 275 b. Legal Reasoning/Pertimbangan Hakim Pengadilan

Niaga Jakarta Pusat ... 277 c. Putusan Pengadilan Niaga Nomor 14/Pailit/1999/PN.

Niaga/Jkt.Pst, tanggal 31 Maret 1999 ... 279 d. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung ... 279 e. Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 K/N/1999,

tanggal 25 Mei 1999 ... 280 f. Pertimbangan Majelis PK Mahkamah Agung ... 281 g. Putusan Mahkamah Agung dalam Pemeriksaan

Peninjauan Kembali Nomor 13 PK/N/1999, tanggal 2 Agustus 1999 ... 282 h. Analisis Hukum ... 283 8) Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat Nomor 05/Pailit/1998/ PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 29 September 1998 antara American Express Bank Ltd, Songapore Branch, dkk Melawan PT.

Ometraco Corporation, Tbk ... 290 a. Duduk Perkara/Peristiwa Konkret/Het Concreet feit . 290 b. Legal Reasoning/ Pertimbangan Pengadilan Niaga ... 294 c. Putusan Pengadilan Niaga Nomor 05/Pailit/1998/PN.

Niaga/Jkt.Pst, tanggal 29 September 1998 ... 295 d. Pertimbangan Mahkamah Agung ... 295 e. Putusan Mahkamah Agung No.01 K/N/1998 tanggal

19 November 1998 ... 297 f. Analisis Hukum ... 297 B. Penerapan Norma Pembuktian Sederhana Dalam Perkara-

Perkara Kepailitan Setelah Berlakunya UU No. 37 Tahun 2004 303 1. Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat Nomor 48/Pailit/2012/PN Niaga,Jkt.Pst tanggal 14 September 2012 antara PT. Prima Jaya Informatika melawan PT. Telekomunikasi Selular (Suatu prestasi

disamakan dengan utang)... 304 a. Duduk Perkara/Peristiwa Konkret/Het concreet feit ... 304 b. Legal Reasoning/Pertimbangan Hakim Pengadilan

Niaga Jakarta Pusat ... 309 c. Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat Nomor 48/Pailit/2012/PN Niaga.Jkt.Pst

tanggal 14 September 2012 ... 312 d. Pertimbangan Mahkamah Agung RI ... 313

(18)

e. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 704 K/Pdt.Sus

2012 tanggal 21 November 2012 ... 316

f. Pertimbangan Majelis PK tentang Free Kurator ... 316

g. Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No. 43 PK/Pdt.Sus-Pailit/2013 tanggal 26 Juni 2013 ... 318

h. Analisis Hukum... 319

2. Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 52/Pailit/2009/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 14 Oktober 2009 antara Crown Capital Global Limited Lawan PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia ... 327

a. Duduk Perkara/Peristiwa konkret (het concreet feit) ... 327

b. Pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat ... 332

c. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 52/Pailit/ 2009/ PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 14 Oktober 2009 ... 333

d. Pertimbangan Mahkamah Agung RI ... 334

e. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 834 K/Pdt.Sus/ 2009 tanggal 15 Desember 2009 ... 334

f. Analisis Hukum... 335

C. Kepastian Hukum dan Keadilan Hukum ... 340

D. Penafsiran Hakim Dalam Pembuktian Sederhana... ... 344

E. Perbedaan Tafsir dalam Pengadilan Niaga... ... 347

F. Kebebasan Hakim dalam Memutuskan Perkara.... ... 351

G. Putusan-putusan yang Konsisten dan Tidak Konsisten.... ... 356

1. Putusan –putusan yang konsisten... ... 356

2. Putusan-putusan yang Tidak Konsisten... ... 363

BAB IV PERUMUSAN NORMA PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM HUKUM KEPAILITAN PADA MASA YANG AKAN DATANG ... 374

A. Dilema Pembuktian Sederhana dalam Hukum Kepailitan ... 374

B. Pembuktian Sederhana Dalam Undang-Undang Kepailitan di Negara-Negera Anglo-Saxon dan Eropa Kontinental ... 376

a. Amerika Serikat ... 376

b. Malaysia ... 380

c. Singapura ... 381

d. Inggris ... 384

C. Eropa Kontinental atau Civil Law System ... 387

a. Belanda ... 387

b. Jerman ... 389

D. Diperlukan Perumusan Asas Hukum dalam Peraturan Hukum yang Jelas ... 390

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 398

A. Kesimpulan ... 398

B. Saran ... 400

(19)

DAFTAR PUSTAKA ... 402 LAMPIRAN HASIL WAWANCARA ... 417 CURICULUM VITAE ... 437

(20)

DAFTAR DIAGRAM

1. Skema Alur Pikir Penelitian Disertasi Penulis. ... 72 2. Perjalanan Peraturan Kepailitan Indonesia ... 89

(21)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Prinsip Pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan di pengadilan telah semakin mendapat perhatian di kalangan masyarakat khususnya para praktisi dan akademisi sejak keluarnya peraturan baru tentang kepailitan.

Peraturan dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 (disingkat Perpu No. 1 Tahun 1998). Perpu ini diundangkan pada tanggal 22 April 1998 pada masa akhir-akhir orde baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto.1 Perpu ini berlaku pada 120 (seratus dua puluh ) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.2

Perpu Nomor 1 Tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tonggak keberlanjutan (estafette) dari peraturan kepailitan sebelumnya dan dilanjutkan dengan peraturan-peraturan atau undang-undang kepailitan berikutnya. Peraturan kepailitan sebelumnya adalah Faillissements-Verordening (disingkat FV) yang termuat dalam Staatsblad tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Nomor 348 Tahun 1906.3 Setelah Perpu Nomor 1 Tahun 1998 maka undang-undang kepailitan

1Presiden Seharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 dengan pidato pengunduran diri di Istana Negara (Diakses pada hari Sabtu, 25 Juni 2016, Pukul 12.55 WIB dari http//1d.m.wikipedia.org).

2Pasal II Perppu Nomor 1 Tahun 1998 berbunyi: “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini mulai berlaku setelah 120 (seratus dua puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.

3 Sebelum FV diberlakukan ketentuan kepailitan bersifat dualistis karena diberlakukan dua peraturan yang berbeda antara pedagang dan bukan pedagang. Bagi para pedagang diberlakukan Wetboek van Koophandel (WvK) Buku III berjudul Van de Voorzieningen in geval van onvermogen van kooplieden (peraturan ketidakmampuan pedagang) Termuat dalam Pasal 749 sampai Pasal 910 WvK. Bagi yang bukan pedagang diberlakukan BRV semacam hukum acara perdata yang termuat dalam Staatsblad 1847 Nomor 52 jo. 1849 Nomor 63, buku III, Bab ke-7

1

(22)

berikutnya adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 19984 dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.5 Rangkaian peraturan kepailitan tersebut sambung- menyambung sejak masa kolonial hingga dewasa ini. Prinsip pembuktian kepailitan tersebut berbeda dengan prinsip pembuktian gugatan perdata pada umumnya. Prinsip atau asas pembuktian dalam hukum kepailitan dikenal dengan prinsip pembuktian secara sederhana atau summierlijk.

Prinsip atau asas pembuktian sederhana dalam hukum acara kepailitan telah dinormakan atau ditetapkan sebagai norma hukum (a legal norm) dalam undang-undang atau peraturan kepailitan yang pernah berlaku di Indonesia (dahulu Nederlands Indie) , yaitu dalam:

1. Pasal 6 ayat (5) Faillissements-Verordening, Staatsblad 1905 Nomor 217 jo.Staatsblad 1906 Nomor 348 yang berbunyi: “Pernyataan pailit dilakukan, bila secara mudah dapat disimpulkan bahwa dari peristiwa dan keadaan ternyata debitor tidak mampu membayar utang-utangnya dan adanya permohonan pailit dari pihak kreditor serta adanya penagihan utang yang diajukan oleh pihak kreditor yang bersangkutan.”

2. Pasal 6 ayat (3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 berbunyi: “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang

berjudul van den Staat van kennelijk Onvermogen atau Keadaan Nyata-nyata Tidak mampu ( Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Memahami UU No.37 Tahun 2004), Prenadamedia Group, Jakarta, 2016, hlm. 80)

4Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 135) adalah Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 menjadi Undang-Undang.

5Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 131) berlaku sejak diundangkan pada tanggal 18 November 2004.

(23)

terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) telah terpenuhi.”

3. Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang UUK-PKPU berbunyi: “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) telah terpenuhi.”

Uraian pembuktian sederhana secara detail diuraikan dalam BAB IIIl disertasi ini.

Pengadilan Negeri dalam era FV dan Pengadilan Niaga dalam era Perpu Nomor 1 Tahun 1998/Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 maupun Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 dalam penerapan norma pembuktian secara sumir atau sederhana tersebut dapat dijumpai penafsiran yang berbeda-beda, misalnya pengertian “utang” dalam perkara Rumah Susun Gold Modern antara Husein Sani dan Djohan Subekti. Pengadilan Niaga pada Negeri Jakarta Pusat menafsirkan

‘utang” dalam arti luas sebagaimana dalam putusannya Nomor 07/Pailit/1998/PN/Niaga/Jkt.Pst tanggal 12 Oktober 1998 sementara MA mengartikan “utang” dalam arti sempit sebagaimana dalam Putusannya Nomor 03K/N/1998 tanggal 12 Desember 1998. Faillissements-Verordening, Staatsbalad Nomor 217 Tahun 1905 diberlakukan berdasarkan asas persamaan atau konkordansi (concordantie beginsel) pada masa penjajahan Belanda. Perppu Nomor 1 Tahun 1998/UU Nomor 4 Tahun 1998 lahir dalam suasana perekonomian Indonesia yang terdampak krisis moneter tahun 1997. Nilai tukar rupiah pada saat itu terpuruk terhadap mata uang asing terutama mata uang dolar

(24)

Amerika Serikat. Hal ini ditandai dengan adanya gejolak moneter dan desakan IMF agar Indonesia mereformasi peraturan hukumnya.6 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dibuat sebagai penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 ketika kondisi perekonomian Indonesia sudah mulai membaik.7

Norma hukum pembuktian yang terdapat dalam Pasal 8 ayat (4) UUK- PKPU8 adalah tiruan dari norma pembuktian sederhana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998. Norma hukum pembuktian yang terdapat Perpu ini adalah penyempurnaan dari ketentuan Pasal 6 ayat (5) Faillissements-Verordening, Staatsblad 1905 Nomor 217 jo. Staatsblad 1906 Nomor 348, yang telah disempurnakan atau disederhanakan lagi. Pernyataan pailit dibuktikan secara sederhana asalkan telah terpenuhi syarat-syarat kepailoitan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 1998. Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditor.

Istilah yang digunakan oleh peraturan atau undang-undang kepailitan dalam hal penyebutan frase hukum pembuktian ini adalah berbeda walaupun

6Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan (Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan), PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2010, hlm. 23.

7Menurut Mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie menyatakan kondisi perekonomian Indonesia sudah mengalami perbaikan sejak kuartal ke-3 tahun 2004. Indikasinya adalah nilai investasi dan import bahan baku serta mesin yang mengalami kenaikan. (Dikutip dari perpustakaan. bappenas.go.id, pada hari Senin, 1 Agustus 2016, Pukul 22.55 WIB).

8 Pasal 8 ayat (4) UU omor 37 Tahun 2004 berbunyi : “ Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbuti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) telah terpenuhi”.

(25)

terkandung maksud dan tujuan yang hampir sama yaitu agar Termohon pailit membayar utang-utangnya, sehingga harta pailit dapat dibagi-bagikan kepada para kreditornya. Faillissements-Verordening termuat dalam Staatsblad Nomor 217 Tahun 1905 menggunakan terminologi “Pembuktian secara sumir”, dan Perpu Nomor 1 Tahun 1998/Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1998 (UUK) menggunakan terminologi “Pembuktian Sederhana”, demikian juga Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 (UUK-PKPU) menggunakan terminologi

“Pembuktian Sederhana”.

“Prinsip Pembuktian Sederhana” terdiri atas tiga kata yaitu “prinsip” atau asas, “pembuktian” dan “sederhana”. Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa prinsip atau asas hukum tidak hanya mempengaruhi hukum positif, tetapi dalam banyak hal juga menciptakan satu sistem. Suatu sistem tidak akan ada tanpa asas itu.9 Suatu asas mempengaruhi hukum positif berarti asas itu digunakan sebagai pembentuk norma hukum. Selanjutnya norma yang berasal dari asas itu digunakan sebagai metode atau cara untuk mengatur jalannya persidangan dan sekaligus sebagai asas rujukan atau tempat pijakan hakim dalam memutus perkara. Metode dalam menyelesaikan perkara kepailitan berbeda dengan metode dalam perkara gugatan perdata pada umumnya.

Shorde dan Volch berpendapat bahwa sistem mempunyai dua pengertian.

Pengertian pertama tentang sistem diartikan sebagai jenis satuan, yang mempunyai tatanan tertentu. Tatanan ini mempunyai struktur tersusun atas bagian-bagian.

Kedua, sistem diartikan sebagai suatu rencana, metoda atau prosedur untuk

9Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2014, hlm. 8.

(26)

mengerjakan sesuatu.10 Berdasarkan pendapat para ahli tentang pengertian sistem tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem itu dapat berupa entity atau kesatuan dan dapat pula berupa method atau cara. Kesatuan berarti sistem terdiri dari sub-sub elemen yang menyatu, sedangkan sebagai method berarti sistem itu sebagai cara atau acara yang dalam hal ini adalah hukum acara kepailitan dalam konteks pembuktian sederhana. Suatu sistem selain berhubungan dengan substansi hukum dapat pula berkaitan dengan struktur dan budaya seperti yang diajarkan oleh Lawrence M. Friedman.11

Pembuktian sederhana adalah bagian daripada hukum acara perdata khusus kepailitan yang tidak terlepas dari sistem hukum yang terdiri dari struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum itu sendiri. Pandangan dari segi legal structure dengan pendekatan sistem dapat dikatakan bahwa telah terdapat perkembangan hukum kepailitan dalam konteks lembaga yang memeriksa dan mengadili perkara telah terjadi perubahan yang signifikan sejak keluarnya Perpu Nomor 1 Tahun 1998. Pengadilan yang mengadili perkara kepailitan pada masa Faillissements-Verordening masih pada pengadilan umum atau pengadilan negeri.

Hakim yang memeriksa atau mengadilinya adalah para hakim umum yang juga menyidangkan perkara-perkara perdata akan tetapi sejak Perppu Nomor 1 Tahun 1998 berlaku telah dibentuk pengadilan khusus yang menangani perkara kepailitan, yaitu Pengadilan Niaga.12Lembaga yang menangani perkara kepailitan ini diteruskan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dan diperluas

10 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Adytia Bakti, Bandung, 2000, hlm. 48.

11Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, (Civil Law, Common Law, Hukum Islam), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm.11.

12Pasal 280 Perpu Nomor 1 Tahun 1998 berbunyi: ”Permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sebagaimana dimaksud dalam Bab Pertama dan Bab Kedua, diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan Peradilan Umum”.

(27)

wewenangnya yaitu selain mengadili perkara-perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang juga berwenang mengadili perkara-perkara di bidang perniagaan seperti Hak Atas Kekayaan Intelektual.13

Menurut ketentuan Pasal 281 Perpu Nomor 1 Tahun 1998/UU Nomor 4 Tahun 1998 untuk pertama kalinya dengan peraturan kepailitan ini, Pengadilan Niaga dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jadi pembentukan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dibentuk berdasarkan Perpu/Undang- Undang yang terdapat dalam Perppu Nomor 1 Tahun 1998/UU Nomor 4 Tahun 1998 pada Pasal 281 ayat (1) tersebut selebihnya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia.

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan sistem (system approach) yang melihat pembuktian sederhana itu sebagai suatu sub-sistem yang berbeda dengan hukum acara perdata pada umumnya di mana hukum acara kepailitan itu mempunyai karakter tersendiri yang berbeda daripada hukum acara perdata pada umumnya namun tetap dalam kerangka sistem hukum acara perdata.

Perbedaan dengan hukum acara perdata umum dapat dilihat antara lain bahwa dalam hukum acara kepailitan dan PKPU tidak mengenal adanya gugat

13Pasal 300 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 ayat (1) berbunyi: ”Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, selain memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang”

dan ayat (2) Pasal 300 UU Nomor 37 Tahun 2004 tersebut berbunyi: ”Pembentukan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden, dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang diperlukan”. Keputusan Presiden yang dimaksud adalah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 97 Tahun 1999 tanggal 18 Agustus 1999 yang membentuk 4 (empat) pengadilan niaga selain Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan-pengadilan niaga tersebut adalah Pengadilan Niaga Medan, Pengadilan Niaga Semarang, Pengadilan Niaga Surabaya dan Pengadilan Niaga Ujung Pandang.

(28)

rekonvensi14, verstek15 dan ne bis in idem.16 Dapat dikatakan lembaga-lembaga gugat rekonvensi, verstek dan asas ne bis in idem bersifat negatif terhadap hukum acara kepailitan dalam artian tidak berlaku bagi hukum acara kepailitan. Di sini berlaku asas Lex Specialis Derogat Generali.17

Kebalikan dari sifat di atas adalah bersifat positif dalam artian tidak perlu tindakan hukum karena terjadi demi undang-undang kepailitan itu sendiri (automatically) sehingga tidak perlu dimohonkan. Sifat positif yang dimaksud adalah setiap putusan pailit senantiasa bersifat serta merta (uitvoerbaar bij vorraad).18

14Gugatan Rekonvensi (gugat balas) diatur dalam Pasal 157 RBg/Pasal 132 a HIR yang berbunyi:

1. Tergugat dapat mengajukan gugat balas dalam segala hal, kecuali :

a. Semula dalam perkara itu bukan bertindak untuk dirinya, sedang gugat-balasan ditujukan kepada dirinya sendiri.

b. Apabila Pengadilan Negeri tidak mempunyai wewenang mutlak (Absolute Competentie) c. Dalam hal perselisihan tentang pelaksanaan putusan hakim.

2. Jika dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak diajukan gugatan balas, maka dalam tingkat banding tidak dapat diajukan lagi.

15Verstek atau keadaan Tergugat tidak hadir diatur dalam Pasal 149 RBg/Pasal 125 HIR berbunyi:

1. Apabila pada hari yang ditentukan, Tergugat tidak hadir dan tidak pula menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya, padahal ia telah dipanggil dengan patutmaka gugatan itu diterima dengan putusan tak hadir (verstek), kecuali kalau ternyata bagi Pengadilan Negeri bahwa gugatan itu melawan hak atau tidak beralasan.

2. Tetapi jika tergugat dalam surat jawabannya dalam ayat (2) Pasal 145 RBg/Pasal 121 HIR mengajukan tangkisan (eksepsi) bahwa Pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya, maka meskipun ia sendiri atau wakilnya tidak hadir , Pengadilan wajib memberi putusan atas tangkisan itu tidak dibenarkan maka Pengadilan baru akan memutus mengenai pokok perkara itu.

3. Jika gugatan itu diterima, maka atas perintah Ketua Majelis diberitahukan putusan itu kepada pihak yang dikalahkan, serta diterangkan kepadanya, bahwa ia berhak mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan tak hadir itu kepada Pengadilan Negeri itu, dalam tempo dan dengan cara seperti ditentukan dalam Pasal 153 RBg/Pasal 129 HIR.

4. Panitera mencatatkan di bawah putusan tak hadir itu siapa yang diperintahkan untuk menjalankan pekerjaan itu bauk dengan surat maupun dengan lisan.

16Asas Ne Bis In Idem diatur dalam Pasal 1917 KUH Perdata yang berbunyi: “Kekuatan suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) hanya mengenai pokok perkara yang bersangkutan. Untuk dapat menggunakan kekuatan itu, maka soal yang digugat harus sama dan gugatan harus didasarkan atas alasan yang sama; dan harus diajukan oleh pihak yang sama terhadap pihak yang sama dalam hubungan yang sama pula.”

17Di sini “asas” memperlihatkan salah satu fungsinya yaitu menyelesaikan konfliks hukum dengan memberlakukan ketentuan yang khusus atas ketentuan yang bersifat umum.

18Putusan pernyataan pailit bersifat serta merta diatur dalam Pasal 16 UUK-PKPU yang berbunyi:

1. Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.

2. Dalam hal putusan pernyataan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya kasasi atau peninjauan kembali, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh Kurator sebelum atau pada tanggal

(29)

Hal ini juga merupakan sifat karakteristik atau ciri khas putusan pailit.

Putusan pailit sudah dapat dijalankan,meskipun ada upaya hukum dari pihak yang dikalahkan sedangkan dalam putusan perdata umum sifat serta merta putusan harus dimohonkan oleh Penggugat dan dalam praktik jarang sekali dikabulkan karena sulit memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan secara ketat.19

Kata Pembuktian merupakan kata benda (noun) yang berasal dari kata membuktikan (kata kerja/verb). Menurut Sudikno Mertokusumo kata membuktikan mengandung beberapa pengertian yaitu: Pertama, membuktikan dalam arti logis, Kedua, membuktikan dalam arti konvensional, dan Ketiga, membuktikan dalam arti yuridis. Dalam penelitian ini difokuskan kepada pengertian jenis kedua dan ketiga yaitu pembuktian dalam arti konvensional dan pembuktian dalam arti yuridis.20

Prinsip Pembuktian Sederhana atau sumir sudah dipraktikkan sejak masa FV dan dilanjutkan pada masa Perpu Nomor 1 Tahun 1998/Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2005. Dewasa ini sudah banyak putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dapat dijadikan sebagai bahan kajian dalam rangka pengembangan hukum kepailitan dikemudian hari. Kenyataan di

Kurator menerima pemberitahuan tentang putusan, pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 tetap sah dan mengikat Debitor.

19Putusan serta merta (uitvorbaar bij voorraad) dalam gugatan perdata diatur dalam Pasal 191 RBg/Pasal 180 HIR/Pasal 55 RVyang berbunyi:

1. Pengadilan Negeri dapat memerintahkan supaya putusan dijalankan lebih dahulu walaupun ada perlawanan atau banding, jika ada surat yang sah atau sehelai tulisan yang menurut aturan tentang hal itu berkekuatan sebagai alat bukti, atau jika ada hukuman yang lebih dahulu dengan suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde zaak), demikian juga jika dikabulkan gugatan yang didahulukan, lagi pula di dalam perselisihan tentang hak milik.

2. Tetapi dalam menjalankan putusan lebih dahulu itu, sama sekali tidak dapat menyebabkan orang disanderakan.

20Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal.

103.

(30)

masyarakat bahwa sebagian dari putusan-putusan rezim Perppu Nomor 1 Tahun 1998 tersebut telah diperdebatkan publik . Bahkan menurut Sutan Remy Sjahdeini hal tersebut telah mendapat perhatian dari luar negeri, di antaranya Menteri Luar Negeri dan Duta Besar Kanada untuk Indonesia. Menteri Luar Negeri Kanada Bill Graham mengatakan bahwa Pemerintah Kanada akan mempertimbangkan untuk melancarkan aksi retaliasi (pembalasan) terhadap Republik Indonesia, karena dinilai tidak menunjukkan respons yang memadai berkaitan dengan kasus pailitnya PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia. Demikian juga Ferry de KerckhoveDuta Besar Negara Kanada tersebut menuding Pemerintah Republik Indonesia tidak berbuat apa-apa untuk memecahkan kasus antara Manulife Financial Corporation dengan mitra lokalnya Dharmala Group.21 Suatu perusahaan yang solven tetapi dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga.

Putusan-putusan yang sejenis juga mendapat perhatian dari masyarakat di antaranya Putusan-putusan PT. Telkomsel, PT. Prudetial Assurance, Putusan PT.

Cipta TPI, dan lain-lain karena putusan-putusan tersebut dinilai oleh masyarakat sebagai putusan-putusan yang kontroversial sebab perusahaan yang masih solven dinyatakan pailit oleh pengadilan. Putusan-putusan tersebut menjadi bahan kajian dalam penelitian ini.

Hakim dalam memimpin persidangan telah menerapkan pembuktian yang bersifat yuridis dan konvensional bukan pembuktian logis. Suatu pembuktian logis bertujuan untuk memberikan kepastian mutlak yang berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan (tegen bewijs). Misalnya Axioma yang

21Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit. hlm. 65.

(31)

menyatakan dua garis sejajar tidak akan pernah bertemu di suatu titik yang sama.

Sedangkan pembuktian konvensional dapat dikatakan sebagai lawan pembuktian logis yang bertujuan mencari suatu kepastian, namun sifatnya adalah relatif.

Selajutnya pembuktian konvensional dibedakan atas pembuktian yang didasarkan atas perasaan dan pembuktian yang didasarkan atas pertimbangan akal pikiran.

Pembuktian konvensional yang didasarkan kepada perasaan atau intuitif disebut pembuktian dengan Conviction Intime dan pembuktian yang didasarkan atas pertimbangan akal pikiran atau rasio disebut pembuktian dengan Conviction Raisonnee.22 Pembuktian secara yuridis adalah memberi atau meletakkan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran suatu peristiwa yang diajukan di depan persidangan.23

Sejalan dengan pendapat di atas Subekti memberikan arti atau fungsi dari

“membuktikan” adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.24 Pembuktian itu hanya diperlukan dalam suatu persengketaan atau “perkara” di muka hakim atau pengadilan.

Jika tidak ada orang atau pihak yang menyangkal hak orang lain maka tidak perlu dibuktikan.25 Orang yang harus membuktikan adalah pihak yang mengemukakan

22Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm. 103.

23Ibid, hlm. 104.

24Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1982, hlm. 78.

25Ibid

(32)

suatu hal sedangkan yang menilai sesuatu peristiwa itu terbukti atau tidak adalah hakim.26

Secara umum dapat dikatakan bahwa hanya ada 2 (dua) metode atau cara untuk mempertahankan hak di pengadilan yaitu melalui gugatan permohonan (gugatan volunter) yaitu bersifat sepihak atau ex-parte dan gugatan kontensiosa (contentiosa rechtspraak).27 Hal ini perlu diketahui untuk menempatkan di mana kedudukan permohonan pailit dalam sistem hukum acara perdata Indonesia.

Dalam gugatan permohonan hanya terdapat satu pihak yaitu pemohon tetapi dalam gugatan kontentiosa terdapat paling sedikit dua pihak yaitu pihak penggugat dan pihak tergugat atau tergugat-tergugat dan turut tergugat.

Namun dalam perkara kepailitan dan PKPU ada pihak yang mengajukan permohonan dan pihak termohon. Hal ini juga telah menambah sifat karakteristik dari hukum acara kepailitan yang berbeda antara perkara permohonan dan perkara gugatan yang mengandung sengketa.

Sifat sederhana dari hukum acara kepailitan yang juga memberi sifat karekteristik yaitu tidak adanya forum mediasi yang harus dilaksanakan sebagaimana yang wajib dilakukan dalam perkara kontensiosa. Hal ini mengacu kepada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 yang berlaku sejak tanggal 31 Juli 2008 dan diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang berlaku sejak tanggal 4 Februari 2016.

26Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Hukum, Liberty,Yogyakarta, 2010, hlm. 124.

27M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian,dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 46.

(33)

Hukum pembuktian sebagai subsistem hukum acara harus benar-benar dikuasai oleh hakim ketika menyidangkan suatu perkara. Tidak berarti hakim dapat mengabaikan hukum materil. Refleksi hukum acara selalu tampak ketika sidang berlangsung. Hukum pembuktian sebagai bagian dari hukum acara akan selalu kelihatan ketika sidang sedang berlangsung. Hukum materilnya seolah-olah diam dan dapat saja dipelajari sebelum sidang berlangsung.Hukum materil tersebut baru akan muncul ketika proses musyawarah hakim berlangsung dan ketika putusan dibacakan sebagai puncak dari proses pemeriksaan dan persidangan suatu perkara di pengadilan.

M. Yahya Harahap menyatakan bahwa hukum pembuktian (law of evidence) merupakan bagian yang sangat kompleks dalam proses litigasi. Alasan M. Yahya Harahap dalam menyatakan pendapatnya tersebut karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu (past event) sebagai suatu kebenaran. Meskipun kebenaran yang akan dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan perdata itu adalah kebenaran relatif atau bahkan cukup bersifat kemungkinan (probable) dan bukan kebenaran absolute (ultimate truth).28 Berbeda dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materil atau sekurang-kurangnya mendekati kepada kebenaran materil (at least approaching to the material truth).

Kata “sederhana” dalam kata majemuk (compositum) “pembuktian sederhana” merujuk kepada Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU. Pasal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang

28M. Yahya Harahap, Op.Cit. hlm. 496.

(34)

Kekuasaan Kehakiman yang terkandung asas penyelenggaraan peradilan yaitu asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Menurut Penjelasan Pasal 4 ayat (2) tersebut bahwa yang dimaksud dengan “sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif oleh karenanya terkandung suatu metode atau cara penyelesaian sengketa. Sisi lain dari “pembuktian sederhana” adalah suatu asas atau prinsip yang terkandung di dalamnya, yaitu suatu asas yang merupakan meta kaidah yang menjadi dasar pembentukan norma hukum positif.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Pembuktian sederhana dalam hukum acara kepailitan mengandung dua aspek yaitu sebagai asas, principle29, beginsel30, dan sebagai suatu cara atau metode.31 Pembuktian sederhana sebagai suatu prinsip atau asas berarti mendasari pembentukan norma hukum positif.

Eikema Hommes telah menegaskan bahwa asas tersebut bukan sebagai norma hukum konkrit tetapi merupakan dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.32 Pendapat lain tentang asas juga dikemukakan oleh Paul Scholten sebagaimana yang dikutip oleh JJ. Bruggink. Paul Scholten mengartikan asas hukum sebagai berikut:

29Principle secara etimologis berasal dari bahasa Inggris yang berarti suatu peraturan dasar(a basic rule), hukum (law) atau doktrin (doctrine). Lihat Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, St.

Paul, the UnitedState of America, 2004, hlm. 1231.

30Beginsel (Belanda) secara leksikologis berarti asas, prinsip. Lihat, Susi Moeimam-Hein Steinhauer, Kamus Belanda-Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hlm. 93.

31Metode adalah cara atau jalan atau cara kerja untuk dapat memahami atas obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Lihat M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, PT. Sofmedia, Medan, 2013, hlm. 21.

32Agus Sudaryanto, Pengantar Ilmu Hukum, Pegertian dan Perkembangannya di Indonesia, Setara Press, Malang, 2005, hlm. 101.

(35)

“Asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim yangberkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan- keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.33

Menurut G.W. Paton bahwa asas hukum merupakan jantungnya peraturan hukum. Asas hukum itu alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau ratio legis dari peraturan hukum.34 Manakala norma atau kaidah hukum adalah pedoman tentang bagaimana seyogyanya manusia bertingkah laku di dalam masyarakat.

Kaidah hukum itu merupakan ketentuan tentang perilaku. Pada hakikatnya kaidah hukum itu adalah nilai,35 sedangkan peraturan hukum konkritnya dapat dilihat dalam bentuk kalimat-kalimat. Kaidah hukum dapat berubah sementara undang-undangnya (peraturan konkretnya) tetap.36 Kedudukan asas dalam sistem hukum adalah sebagai meta-kaidah berkenaan dengan kaidah hukum dalam bentuk kaidah perilaku.37

Berdasarkan pendapat para ahli hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa asas hukum itu adalah sesuatu petunjuk yang harus ada untuk membentuk norma hukum positif baik ketika membentuk undang-undang maupun keputusan-keputusan hakim dan asas hukum itu sekaligus mempunyai fungsi tertentu sesuai dengan

“tugas” yang diembannya. Misalnya fungsi asas yang menyelesaikan konflik yaitu

“Asas Lex Specialis Derogat Generali” yang terdapat dalam Pasal 1 Kitab

33JJ.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Pengertian-pengertian Dasar Dalam Teori Hukum, (Alih Bahasa: B. Arief Sidarta), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2015, hlm. 120.

34Satjipto Rahardjo, Op.Cit.hlm.45.

35Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2010, hlm. 41.

36Ibid, hlm. 42.

37JJ.H. Bruggink, Loc.Cit.

(36)

Undang-Undang Hukum Dagang,38 sedangkan pembuktian sederhana sebagai metode adalah cara pembuktian yang dipraktikkan dalam hukum acara kepailitan di pengadilan niaga untuk menentukan apakah seorang debitor dapat dinyatakan pailit tanpa memerlukan pembuktian yang berbelit-belit seperti dalam pembuktian perkara perdata biasa. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.39 Menurut UUK-PKPU bahwa yang dimaksud dengan fakta atau keadaan terbukti secara sederhana adalah fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar, sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.40

Pada rezim Faillissements-Verordening, Staatsblad Nomor 217 Tahun 1905 jika terjadi perbedaan penafsiran atas pembuktian sumir tidak menimbulkan

“kehebohan”, furore di tengah masyarakat. Hal ini disebabkan pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara kepailitan dan penundaan pembayaran utang (surseance van betaling) dan perkara gugatan perdata umum berada dalam satu kompetensi pengadilan yang sama, yaitu pengadilan negeri. Tidak ada perbedaan kompetensi pengadilan karena baik perkara gugatan maupun permohonan pernyataan pailit diperiksa dan diadili oleh pengadilan negeri. Lain daripada itu pada Faillissements-Verordening ini masalah kepailitan belum mendapat

38Pasal 1 KUH Dagang berbunyi: “KUH Perdata, seberapa jauh daripadanya dalam Kitab ini tidak khusus diadakan penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam Kitab ini.”

39Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (disingkat UUK-PKPU).

40Penjelasan dari Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU.

(37)

perhatian yang cukup dari para ahli hukum di Indonesia. Perkara-perkara yang diperiksa oloeh pengadilan masih tergolong perkara-perkara yang melibatkan perusahaan-perusahaan kecil. Berbeda dengan dewasa ini perkara-perkara yang disidangkan melibatkan perusahaan-perusahaan skala besar baik nasional maupun internasional dengan problema hukum (legal problem) yang lebih kompleks.

Selain dari pada berada dalam satu kompetensi badan pengadilan bahwa pada masa berlakunya FV jumlah dan sifat perkara kepailitan masih sedikit dan

“sederhana’ jika dibandingkan ketika berlakunya UUK (UU Nomor 4 Tahun 1998) dan UUK-PKPU (UU Nomor 37 Tahun 2004). Lebih-lebih pada masa awal berlakunya FV hingga masa pendudukan Jepang bahwa Hindia Belanda yang diwakili oleh 5 (lima) wilayah pengadilan, yaitu Batavia (Jakarta), Semarang, Surabaya, Medan dan Ujung Pandang(Makasar) jumlah perkara kepailitan yang masuk ke pengadilan-pengadilan baru sedikit yaitu hanya berjumlah 147 perkara.41 Tidak dijumpai secara lengkap data tentang pembuktian sederhana dari perkara sebanyak 147 tersebut. Penulis akan membahas secara detail tentang pembuktian sederhana dalam beberapa perkara kepailitan pada Bab III Disertasi ini.

Pembuktian sederhana (simple proof, summierlijke bewijs) yang diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Perpu Nomor 1 Tahun 1998/UU Nomor 4 Tahun 1998 dalam aplikasinya di pengadilan menunjukkan fakta yang berbeda-beda.

Penerapan norma hukum ini diteruskan pada rezim UUK-PKPU yang terdapat dalam Pasal 8 ayat (4) tersebut, sehingga hal ini memberikan peluang untuk

41Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia (A Critical Review OnBankruptcy Law Towards The Bankruptcy Laws That Protect Creditor and Debtor Interest), PT. Sofmedia, Jakarta, 2010, hlm. 74.

(38)

diskresi hakim yang cukup luas. Hal ini terjadi karena pembuktian sederhana memang diatur secara sederhana atau secara sumir. Konsekuensi hukum dari sederhana tidaknya suatu pembuktian di persidangan adalah cukup sifnifikan.

Sebab perkara dengan sifat pembuktiannya sederhana menjadi wewenang atau kompetensi absolut pengadilan niaga sedangkan jika dapat mengkualifikasi suatu pembuktian adalah biasa maka termasuk kompetensi pengadilan negeri.

Dengan meneliti beberapa kasus kepailitan dan PKPU bahwa dalam penerapannya sebagian hakim terutama di pengadilan niaga pada umumnya menerapkan secara lugas seperti yang termuat dalam pasal undang-undang. Di sisi lain para hakim niaga tidak saja berpegang kepada bunyi pasal undang-undang secara letterlijk42atau textual tetapi telah menafsirkannya sehingga dapat memperluas atau mempersempit arti yang terdapat dalam pengertian perundang-undangan.

Penafsiran sebagai suatu cara menemukan hukum merupakan hal yang lazim dalam bidang hukum perdata dan telah lama dipraktikkan dalam dunia peradilan Indonesia. Menurut Bismar Nasution bahwa penafsiran tersebut seharusnya menggunakan metode ilmiah (scientific method) sehingga hukum dapat digunakan sebagai landasan pembangunan ekonomi Indonesia.43 Penafsiran terhadap ketentuan undang-undang haruslah mempunyai metode tertentu sehingga dapat dipertangungjawabkan secara ilmiah dan memberikan rasa adil bagi

42Pemahaman terhadap suatu teks terpaku pada apa yang dituliskan terks tersebut (http://

kamushukum.web.id), diakses pada hari Sabtu, 11 November 2017, Pukul 15.45 WIB.

43Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Sabtu, 17 April 2004, hlm. 14.

(39)

pencari keadilan (justiciabelen) ketika seorang hakim dihadapkan pada suasana hukum konkret.

Menurut Herlien Budiono dalam hal penafsiran asas hukum dapat berfungsi sebagai pedoman ketika menghadapi kasus-kasus sulit. Selain itu asas hukum berfungsi mengkonkretisasikan tata nilai, norma dan ideologi berkenaan dengan hukum dengan cara menstimulasi dan mengaktifkan aturan-aturan dan putusan-putusan hukum yang positif mengikat.44

Mahadi dalam bukunya Falsafah Hukum Suatu Pengantar45 telah membahas pengertiaan asas-asas hukum dan Mariam Darus dalam bukunya Mencari Sistem Hukum Benda Nasional46 mengkaitkan masalah asas dengan sistem dan tidak secara tegas mangkaji fungsi asas hukum akan tetapi dari buah pikiran Mahadi yang sependapat dengan G.W. Paton dapat diketahui bahwa fungsi asas hukum itu sebagai dasar dari penentuan norma hukum, sedangkan Mariam Darus telah mengkaji asas secara komprehensif dengan mendudukkan asas-asas hukum perdata yang merupakan proyeksi dari asas-asas yang terdapat dalam UUD 1945. Mariam Darus menerangkan sebagai berikut:47

“Jikalau mengkaji UUD 1945 dengan maksud untuk menemukan asas-asas yang relevan dengan hukum Perdata maka ditemukan asas-asas hukum sebagai berikut: Asas kesatuan, asas Negara hukum, asas persamaan, asas keadilan, asas kerakyatan, asas

44Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-asas Wigati Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2015, hlm. 83.

45Mahadi, Falsafah Hukum Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, 1991, hlm.122.

46Mariam Darus, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 16.

47Ibid, hlm. 21.

Gambar

Diagram 1: Perjalanan Peraturan Kepailitan Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Pembuktian secara sederhana dalam perkara kepailitan PT Dwimas Andalan Bali yang diajukan oleh PT Karsa Industama Mandiri perlu untuk diperhatikan ketika debitor mengajukan

Melihat pentingnya saksi dalam perkara perdata, maka di dalam hukum acara perdata secara khusus mengatur tentang pembuktian dengan alat bukti saksi berdasarkan dengan

Yulianny, Nenny, “Kajian Penyelesaian Perkara Utang Piutang Putusan Pengadilan Niaga dalam Hubungannya dengan Pengertian Sumir Berdasarkan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1998

Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya di dalam penulisan tesis ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:.. Maksud dari sederhana menurut pandangan

Peraturan dalam Undang-undang kekuasaan kehakiman terkait persidangan murah, sederhana dan cepat walaupun tidak secara terperinci dijelaskan tetapi mampu ditafsirkan oleh para Hakim