• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembunuhan Tokoh Pemimpin Politik Amerika Serikat

BAB III PENINGKATAN TREN KEJAHATAN SENJATA API

3.3 Pembunuhan Tokoh Pemimpin Politik Amerika Serikat

3.3.1 Penembakan Martin Luther King Jr. dan Senator Robert F. Kennedy

Hak kepemilikan senjata api di Amerika Serikat mendapat sorotan tajam khususnya pada tahun 1968 setelah dua tokoh penganjur perdamaian dan perubahan sosial, Martin Luther king Jr. dan Senator Robert F. Kennedy terbunuh dalam peristiwa penembakan (Valdez dan Ferguson Jr, 2011: 11). Robert Kennedy adalah kandidat presiden dan saudara kandung Presiden John F. Kennedy, yang juga terbunuh oleh sejata api pada tahun 1963. Pembunuhan presiden dan tokoh-tokoh terkemuka negara tersebut memberi dampak yang besar bagi perubahan kehidupan sosial politik Amerika secara luas sehingga memicu debat nasional terkait kekerasan senjata api. Masyarakat mempertanyakan kembali fungsi dan bahaya senjata api yang beredar luas di kalangan masyarakat. Isu kontrol senjata pun mengemuka dalam dunia politik Amerika memecah kebuntuan politik setelah perdebatan panjang antara kedua kubu pro-kontra hak senjata api. Akan tetapi, pada masa ini hukum kontrol senjata api menjadi sebuah keniscayaan.

The Gun Control Act of 1968 (GCA) menjadi legislasi kontrol senjata api negara yang paling ekstensif yang disusun pascapenembakan Luther dan Kennedy.

The prohibited groups include convicted felons, fugitives from justice, illegal-drug users or addicts, minors, anyone adjudicated mentally defective or having

43

been committed to a mental institution, anyone dishonorably discharged from the military, illegal immigrants, and anyone having renounced U.S. citizenship. The law also established a system for licensing dealers, manufacturers, and distributors (Valdez and Ferguson Jr, 2011: 64).

Secara esensi peraturan ini menetapkan lisensi yang lebih ketat dan kontrol yang kuat terhadap perdagangan senjata api. Squires menjelaskan bahwa pada tahun 1974, dua kelompok penekan hak senjata api yang baru terbentuk The National Coalition to Ban the Handgun dan Handgun Control Inc. (dulu dikenal The National Council to Control Handguns hingga 1978) melobi untuk perundangan federal memperluas kontrol senapan genggam yang terdapat dalam GCA. “The Act had banned mail order sales of firearms and the importation of foreign-made, cheap, low-quality handguns – the so-called ‗Saturday Night Specials‘ – although such weapons could still be manufactured in the USA

(Squires, 2000: 64).‖ Carter (1997) dalam Squires (2000: 64) mengatakan banyak keinginan dari para pendukung kontrol senjata untuk mendorong pelarangan penjualan pistol kepada warga sipil terutama mengakhiri produksi Saturday Night Specials1, akan tetapi organisasi Handgun Control Inc. kemudian menyadari bahwa hal ini secara politik susah dimenangkan sehingga mengganti dengan mendorong kontrol lebih ketat dalam penjualan senapan genggam, registrasi dan periode menunggu.

Berkembangnya kontrol senjata api membuat kelompok hak senjata tidak tinggal diam. Mereka menentang perundangan tersebut dengan berbagai alasan,

1

44

terutama ukuran dari “senjata murah” Saturday Night Specials itu sendiri susah didefinisikan, seberapa murah atau seberapa kecil senjata yang dimaksud. Oposan kontrol sejata terus melakukan mobilisasi untuk menekan berbagai peraturan kontrol yang diajukan oleh kelompok tandingannya melalui berbagai kampanye, lobi, terutama terus menegaskan hak dalam Amandemen Kedua. Motor penggeraknya adalah NRA (National Rifle Association) yang telah menjadi representatif utama kelompok pro senjata api. NRA yang terbentuk sejak awal 1870-an menjadi organisasi pelobi politik yang kuat dan agresif dalam menyuarakan ―the right to bear arms‖ terlebih dengan keanggotaan dan aktivitas yang kini semakin meluas. Di bawah kepemerintahan Ronald Reagan, mobilisasi kelompok ini akhirnya membuahkan hasil dengan pengesahan The Firearm Owners‘ Protection Act pada tahun 1986. Reagan yang menjabat sebagai presiden

sejak 1981-1988 merupakan anggota NRA dan juga berasal dari partai Republik (Ludwig and Cook, Ed., 2003: 360) yang terkenal selalu memberikan dukungan kuat terhadap hak senjata api. Undang-undang 1986 tersebut pada intinya memperlemah kontrol senjata tahun 1968.

In particular, the rules on interstate sales of guns and upon certain categories of lawful owners were relaxed. In addition the Act sought to facilitate the purchase of ammunition, ease the record-keeping requirements facing firearm dealers and curtail the inspection powers of the ATF (the Bureau of Alcohol, Tobacco and Firearms) (Squires, 2000: 77).

45

Kondisi keamanan di Amerika Serikat tahun 1980-an kian bergejolak. Angka kejahatan meningkat pesat di masa ini sehingga mendorong upaya untuk melakukan pembatasan senjata api terutama setelah adanya percobaan pembunuhan terhadap Presiden Ronald Reagan pada tanggal 30 Maret 1981. Pelaku penembakan John Hinckley adalah seorang pria berumur 25 tahun yang memiliki gangguan mental. Hinckley menggunakan revolver kaliber-22 dan peluru yang ditembakkan mengenai Presiden Reagan, Sekretaris Pers James S. Brady serta dua orang penegak hukum lainnya. Brady terluka parah dengan luka tembakan di kepala yang membuatnya kemudian harus bergantung pada kursi roda. Insiden tersebut membangkitkan semangat istri Brady, Sarah, untuk aktif dalam gerakan kontrol senjata (Valdez and Ferguson Jr, 2011: 47).

Berbarengan dengan itu, sejumlah kelompok advokasi nasional bermunculan dengan fokus mengurangi kejahatan senjata api, salah satu yang menonjol adalah The Brady Campaign to Prevent Gun Violence yang dulunya bernama Handgun Control, Inc. Sarah Brady menjadi salah satu motor penggerak organisasi ini. Kelompok ini secara persisten mendorong lobi legislatif untuk memperpanjang jangka waktu pemeriksaan yang lebih lama terhadap riwayat hidup orang yang ingin membeli senjata api. Undang-undang Brady awalnya diperkenalkan pada tahun 1987, akan tetapi belum membuahkan hasil hingga akhirnya baru disahkan pada tanggal 30 November 1993 setelah Presiden Bill Clinton menjabat. Spitzer (2009: 308) mengungkapkan “Bob Dole, Newt

46

Gingrich, and George Bush were able to hold the Brady Bill hostage for the gun lobby until Bill Clinton became President”.

Valdes dan Ferguson Jr. (2011: 47) menjelaskan, ―The law, which took effect on February 28, 1994, required a five-day waiting period and background check on all handgun purchases through licensed dealers. Today the background check is conducted as part of all retail gun purchases‖. Meskipun begitu, ketika

hukum tersebut diloloskan 32 negara bagian tidak memiliki sistem pemeriksaan riwayat hidup sehingga di negara-negara bagian tersebut penjahat dapat membeli senjata api dengan hanya menandatangani pernyataan berisi sumpah tidak pernah terkait pidana kejahatan (Valdes and Ferguson Jr., 2011: 47-49). Dengan demikian, hal ini masih memungkinkan bagi para penjahat untuk mendapatkan senjata api dengan hanya memberi keterangan palsu.

Menurut Jacobs, The Brady Law dalam tahapannya menuju Kongres menjadi legislasi kontrol senjata yang paling diperdebatkan secara politik dalam sejarah Amerika. ―It was a hot button issue in two sets of presidential debates and in four congressional elections‖ (2002: x). Jelasnya lagi, penduduk berkali-kali

dipoling dan berulang kali juga memberikan dukungan. Undang-undang ini merupakan legislasi federal pertama yang penting terkait kontrol senjata api dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Sebagian besar tahun 1990-an merupakan periode administrasi Demokrat yang menduduki Gedung Putih yaitu oleh Presiden Bill Clinton. Vernick dan Hepburn mengatakan bahwa pemerintahan Demokrat

47

dikenal lebih mendorong pada atmosfir secara nasional dan dialog konstruktif untuk penyusunan undang-undang kontrol senjata di negara-negara bagian (Ludwig and Cook, Ed., 2003: 360).

Hal ini kembali membuktikan bagaimana kepemimpinan sebuah partai politik dapat memberi pengaruh besar terhadap kebijakan yang dikeluarkan sesuai dengan ideologi, visi dan misi yang diusung partai tersebut. Sebagaimana Vernick dan Hepburn yang dikutip oleh Ludwig dan Cook (2003: 360), berpendapat ―Of course, the political party of the president in power may also be a proxy for many other political, social, or economic factors likely to influence the enactment of state and federal gun laws.‖