• Tidak ada hasil yang ditemukan

Segregasi, Marginalisasi, dan Rasisme dalam Aturan

BAB IV PENURUNAN TREN KEJAHATAN SENJATA API

4.2 Konteks Sosial Isu Kekerasan Senjata Api

4.2.1 Segregasi, Marginalisasi, dan Rasisme dalam Aturan

Dalam kemajemukan masyarakat Amerika, terdapat perbedaan mencolok secara demografis, antara karakteristik pelaku dan korban pembunuhan dengan karakteristik umum populasi keseluruhan. Berdasarkan data yang dikumpulkan pemerintah (BJS, 2011) yang tersedia dari tahun 1980 sampai 2008 diketahui bahwa pola kriminalisasi dan viktimisasi paling banyak terjadi di antara anak muda laki-laki kulit hitam. Hal ini terjadi karena berbagai faktor kompleks yang

107

memengaruhi, seperti lingkungan tempat tinggal dan aktivitas berbahaya dimana kelompok ini paling banyak terlibat. Aspek yang kemudian menjadi kekhawatiran besar di Amerika yaitu angka kejahatan kalangan anak muda, keterlibatan dalam geng, narkotika dan alkohol—yang umumnya merupakan ciri kekerasan di kota-kota besar. Aktivitas kekerasan dan kejahatan tersebut sangat umum diikuti dengan penggunaan senjata api. Oleh sebab itu, untuk lebih memahami sejumlah kondisi tersebut, berikut uraian data tren pembunuhan berdasarkan ras; ukuran kota; dan keterlibatan geng, narkoba dan alkohol.

a. Tingkat Viktimisasi Pembunuhan Berdasarkan Ras

Gambar 4.2 Tingkat Viktimisasi Pembunuhan Berdasarkan Ras 1980-2008 Sumber: BJS (2011: 11)

Berdasarkan data BJS, ras kulit hitam secara mencolok merepresentasi baik sebagai korban maupun pelaku pembunuhan. Tingkat viktimisasi untuk orang kulit hitam (27,8 per 100.000) adalah 6 kali lebih tinggi daripada tingkat ras kulit

108

putih (4,5 per 100.000). Tingkat pelaku pembunuhan untuk kulit hitam (34,4 per 100.000) hampir 8 kali lebih tinggi dari tingkat untuk kulit putih (4,5 per 100.000) (2011: 3). Pola tersebut memuncak pada awal 1990-an pada angka 51,1 pelaku per 100.000 pada tahun 1991 (BJS, 2011: 11). Meskipun terlihat bahwa angka kejahatan secara keseluruhan menurun drastis pascapuncaknya, akan tetapi untuk tingkat pelaku untuk kulit hitam pada tahun 2008 (24,7 pelaku per 100.000) masih 7 kali lebih tinggi dari tingkat untuk kulit putih (3,4 pelaku per 100.000). Meskipun begitu, sebagian besar kasus pembunuhan tersebut bersifat intrarasial yakni dari tahun 1980 sampai 2008, diketahui 93% korban kulit hitam dibunuh oleh pelaku kulit hitam, dan 84% dari korban kulit putih dibunuh oleh pelaku kulit putih (BJS, 2011: 13).

109

Tabel 4.1 Karakteristik Pembunuhan Berdasarkan Ukuran Kota 1980-2008 Sumber: BJS (2011: 30).

Kota-kota besar paling rawan mengalami kejahatan, dimana pembunuhan dengan senjata mendominasi angka 59,6%, sedangkan mayoritas dari semua pembunuhan terkait narkoba 67,4%, dan geng 69,6% juga paling banyak terjadi di kota-kota besar.

c. Keterlibatan Geng, Narkoba dan Alkohol

Berdasarkan OJJDP (1999), geng telah menjamur dengan cepat sejak tahun 1980 yang dulu terdapat sekitar 2.000 geng dengan 100.000 anggota di 286

110

kota, menjadi bertambah drastis 31.000 geng dengan 846.000 anggota di 4.800 kota di tahun 1996. Selain itu, data BJS dari tahun 1980 sampai 2008 menunjukkan bahwa pembunuhan melibatkan orang dewasa atau kekerasan geng remaja meningkat dari sekitar 220 kasus pembunuhan di 1980 menjadi 960 kasus pembunuhan pada tahun 2008 (2011: 26). Kemudian data dari National Institute of Justice (NIJ) pembunuhan terkait senjata api paling umum terjadi di kalangan geng dan selama tindak pelaksanaan kejahatan, dan persentasi tersebut meningkat dari tahun 1980 sampai 2005. Sementara itu, kasus pembunuhan ras kulit hitam yang melibatkan narkoba 62,1%, sedangkan kulit putih 36,9% dan 1% dari ras lain. Dua pertiga dari kasus pembunuhan terkait narkoba dilakukan oleh pelaku kulit hitam (65,6%) (BJS, 2011: 12). Data dari Centers For Disease Control And Prevention (CDC) menunjukkan bahwa pada tahun 1998, kematian akibat alkohol untuk laki-laki adalah 3,5 kali dari angka perempuan, dan tingkat bagi kulit hitam 1,5 kali dari kulit putih (2000: 11).

Dari serangkaian data tersebut terlihat dengan jelas bahwa kejahatan senjata api secara mencolok terjadi di antara warga kulit hitam dibandingkan dengan warga kulit putih, lebih banyak terjadi di kota-kota besar dengan keterlibatan anggota geng, narkoba dan alkohol yang tinggi dan dominan diikuti dengan penggunaan senjata api. Kenyataan ini tidak terlepas dari kondisi yang melatarbelakangi hal tersebut, yaitu perbedaan lingkungan tempat tinggal dimana kebanyakan kejahatan terkonsentrasi di wilayah tempat tinggal yang kumuh, di

111

lingkungan pusat perkotaan dan pinggiran kota yang secara sosial termarjinalkan, sebagai akibat dari adanya segregasi. Mirisnya, wilayah terabaikan tersebut sebagian besar dihuni oleh warga kulit hitam.

John R. Logan dari Brown University di tahun 2014 mengungkap hasil penelitiannya yang menyoroti tentang ―Separate and Unequal in Suburbia‖. Logan mencermati bertumbuhnya keragaman etnis dan ras dalam kehidupan daerah pinggiran kota masa kini, yang dulunya pada tahun 1980 hampir 90% kulit putih kini menjadi jauh beragam. Akan tetapi menurut Logan tingkat ketimpangan masih tinggi meskipun terdapat moderasi segregasi perumahan di rata-rata daerah pinggiran kota. Kelompok yang berbeda hidup terbagi oleh batasan ras dan etnis.

As is true in cities, blacks and Hispanics live in the least desirable neighborhoods, even when they can afford better. And their children attend the lowest performing schools. This is a familiar story in older central cities. Because moving to the suburbs was once believed to mean making it into the mainstream, these disparities are especially poignant, and they puncture the image of a post racial America (http://www.s4.brown.edu/us2010).

Logan mengevaluasi akibat lain dari segregasi yaitu lingkungan kelompok-kelompok tersebut tidak setara. Sama seperti laporan untuk daerah metropolitan, warga kulit putih dan Asia pinggiran kota tinggal di lingkungan yang lebih baik (yaitu dengan kemiskinan yang lebih rendah) dibandingkan warga kulit hitam dan Hispanik, meskipun mereka memiliki pendapatan yang tinggi. Ketidaksetaraan juga terjadi dalam berbagai pelayanan publik, termasuk fasilitas sekolah yang jauh berbeda. Selain itu, New York Times juga melansir berita analisis pembunuhan dan sensus data di Chicago yang membandingkan daerah rawan pembunuhan dengan

112

yang tidak. ―Residents living near homicides in the last 12 years were much more likely to be black, earn less money and lack a college degree.‖ (http://www.nytimes.com/interactive/2013/01/02/us/chicago-killings.html?_r=0).

Sementara Jason Silverstein dalam tulisannya mengkritisi segregasi rasial pemukiman seperti yang terjadi di kota Chicago, dimana kota ini menjadi salah satu kota yang paling tersegregasi di Amerika yang bisa dilihat dari perbedaan mencolok harapan hidup antara lingkungan mayoritas kulit putih dan lingkungan mayoritas kulit hitam. Pendapat ini sejalan dengan pengamatan sosiolog William J. Wilson yang menyatakan bahwa segregasi menyebabkan sejumlah akumulasi kerugian.

Segregate a population and they get decreased access to resources, increased poverty and joblessness, and more constraints on their life chances. Concentrated poverty creates an environment for violence. But violence, also, creates more poverty: fewer businesses want to invest in an area, which depresses property values and decreases civil services, and keeps people disconnected from job networks. Gun violence is a public health problem that causes more public health problems. (http://blogs.plos.org/publichealth/2013/07/25/the-gun-violence-epidemic/). Melengkapi itu, Short (1996) juga berpendapat bahwa dengan berubahnya ekonomi politik kota-kota di Amerika dan marginalisasi sejumlah besar penduduk dalam kota dari arus utama aktivitas ekonomi telah menimbulkan aktivitas perdagangan narkoba terselubung dengan tingkat kepemilikan senjata api yang tinggi dan keanggotaan geng. Sedangkan menurut Huff (1996b) sebagian besar anggota geng tersebut memiliki akses terhadap senjata yang bersifat mematikan dan lebih canggih daripada senjata standar yang dikeluarkan untuk aparat penegak

113

hukum (Squires, 2000: 87-88). Kondisi ini diperparah dengan kecenderungan hukum yang rasis dan ketersediaan aparat keamanan yang tidak mengimbangi kejahatan yang ada di jalanan. ―Worse, the residents of entire neighbourhoods are written off or further alienated by aggressive, or operationally racist, policing initiatives which fail to distinguish between victims and violators (Squires, 2000: 23).‖

Ketidakberpihakan pada kelompok marginal tersebut menciptakan ketimpangan sosial yang besar dalam masyarakat, yang berdampak pada mencoloknya tingkat kriminalitas di wilayah tersebut, sedangkan wilayah ini juga jauh dari berbagai fasilitas memadai yang menjamin kesejahteraan warganya, baik dari segi layanan publik seperti sekolah, kesehatan, bahkan jaminan keamanan. Itulah sebabnya kejahatan dan keterpurukan dari berbagai sisi kehidupan tumbuh subur di daerah tersebut yang mayoritas penghuninya merupakan warga kulit hitam. Bahkan beberapa hukum kontrol senjata api pun sering dianggap bersifat rasis.

The Sullivan Law yang disahkan pada tahun 1991 disebut-sebut sebagai contoh dari hukum kontrol senjata api yang membatasi kepemilikan berdasarkan ras. Dijelaskan oleh Legault bahwa The Sullivan Law sebagai sebuah reaksi diskriminasi terhadap besarnya imigran Eropa Timur yang masuk dan bersama mereka unsur anarkisme, sosialisme dan kerusuhan (2008: 31), ―In this case, gun control was only intended to disarm minority groups consisting of blacks,

114

immigrants, or other ‗undesirable‘ classes such as the Irish, Italians, or Jews by the discretionary nature of the issuance of police permits for the possession and concealed carry of firearms (Tonso, 1982: 256-257; Kopel, 1992: 342-343)‖. Sedangkan Cottrol dan Diamond (1995) dalam Squires (2000: 80) mengatakan ―The typically discretionary character of such early efforts at citizen disarmament

serves to reinforce arguments about the racist nature of many gun control initiatives and, relatedly, the rather selective interpretation of the Second Amendment‖. Menurut Legault stratifikasi sosial menjadi tema sentral dalam

kepemilikan senjata api dalam masyarakat yang mengalami pemberontakan masa awal industrial Amerika (2008: 31).

Di satu sisi, Republikan dan NRA sebagaimana diketahui juga sangat menekankan hak membawa senjata jenis apapun sebagai bagian dari hak warga sipil, akan tetapi mencegah kepemilikan senjata tersebut jatuh ke tangan yang salah. Sedangkan warga kulit hitam harus hidup menanggung stereotip yang cenderung negatif di antara kalangan masyarakat Amerika sehingga sering menyulitkan kelompok ini untuk mendapatkan hak-haknya termasuk keluasan akses selayaknya warga kulit putih. Squires menyimpulkan:

In particular, the alleged relationships between firearms, race and class and the idea of the violent ghettos, fuel an especially hard-edged cocktail of racist and reactionary values linking the break-down of family and community, with drug-dealing, rampant criminality, benefit dependency and firearms (2000: 95-96). Di pihak lain, politik kontrol senjata api menjadi alat dalam memarginalisasi kelompok tertentu dari hak kepemilikan senjata. Oleh sebab itu,

115

berdasarkan demografi data kepemilikan senjata api selama ini didominasi oleh warga kulit putih yang dianggap memiliki legalitas dalam aturan umum kepemilikan senjata. Adapun karakteristik tersebut disebutkan oleh beberapa peneliti yang dikutip oleh Legault (2008: 40) sebagai berikut:

According to most descriptive accounts of gun owners in the U.S., we know that members of the gun culture tend to be white, male, rural, Protestant, and middle class (Bordua & Lizotte, 1979:171; Wright et al., 1983:122; Kleck, 1997:70). In addition, gun ownership tends to be more heavily concentrated in the South and South-Western regions of the country (Wright et al., 1983:122; Kleck, 1997:70). Gun owners were often socialized to become part of the gun culture by their parents who owned guns (Lizotte & Bordua, 1980:236-239; Lizotte et al., 1981 502; Wright et al., 1983:122).

Karakteristik tersebut hingga saat ini masih serupa sebagaimana sejumlah poling yang dilakukan belum lama ini. Salah satunya oleh Gallup dan Harris di tahun 2001, ―Throughout any of the years that the survey has been conducted gun owners remain chiefly rural, Southern, Protestant, Republican, middle-aged, white, and male (Pastore & Maguire, 2001:148)‖ (Legault, 2008: 53). Penjelasan

karakteristik tersebut menunjukkan kuatnya dominasi warga kulit putih terhadap hak kepemilikan senjata api sejak dulu hingga sekarang. Warga kulit hitam belum sepenuhnya mendapat privilese yang sama selayaknya warga kulit putih dalam berbagai aspek kehidupan.