• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONTROVERSI HAK KEPEMILIKAN SENJATA API DI AMERIKA SERIKAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONTROVERSI HAK KEPEMILIKAN SENJATA API DI AMERIKA SERIKAT"

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)

KONTROVERSI HAK KEPEMILIKAN SENJATA API

DI AMERIKA SERIKAT

SEBUAH KAJIAN PERUBAHAN SOSIAL

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-2

Disusun oleh:

Sandra Dewi Dahlan 09/291951/PMU/06149

PROGRAM PASCASARJANA PENGKAJIAN AMERIKA FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

(2)

vii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

ABSTRACT ... xii

INTISARI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Tinjauan Pustaka ... 7

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 13

1.6 Landasan Teori ... 14

1.7 Manfaat Penelitian ... 16

1.7.1 Manfaat Teoretis ... 16

1.7.2 Manfaat Praktis ... 16

1.8 Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data ... 17

1.9 Sistematika Penulisan ... 17

BAB II SEJARAH AWAL HAK SENJATA API DI AMERIKA SERIKAT .... 19

2.1 Sejarah dan Budaya Senjata Api di Amerika ... 19

2.2 Regulasi Awal Hak Kepemilikan Senjata Api ... 22

(3)

viii

2.2.2 Amandemen Kedua ... 23

2.3 Paradigma Individualisme di Era Jaksonian ... 28

2.4 Awal Hukum Kontrol Senjata Api di Amerika ... 30

2.5 Hukum Kontrol Senjata Api Federal ... 33

BAB III PENINGKATAN TREN KEJAHATAN SENJATA API ... 35

3.1 Peningkatan Angka Kekerasan Senjata Api ... 35

3.2 Tren Pembunuhan Berdasarkan Jenis Senjata Api ... 39

3.3 Pembunuhan Tokoh Pemimpin Politik Amerika Serikat ... 42

3.3.1 Penembakan Martin Luther King Jr. dan Senator Robert F. Kennedy ... 42

3.3.2 Percobaan Pembunuhan Presiden Ronald Reagan ... 44

3.4 Tragedi Penembakan Massal di Lingkungan Pendidikan ... 47

3.4.1 Pembantaian Sekolah Cleveland ... 47

3.4.2 Tragedi Columbine ... 51

3.4.3 Pembantaian Virginia Tech ... 54

3.4.4 Pembantaian Massal di Sandy Hook Elementary School ... 56

3.5 Peningkatan Kekerasan Senjata Api oleh Pemuda ... 62

3.5.1 Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan Senjata Api oleh Pemuda .... 65

3.5.1.1 Akses Senjata Api ... 66

3.5.1.2 Kekerasan Media ... 67

3.5.1.3 Lingkungan Pergaulan ... 69

3.5.1.4 Keterlibatan Anak Muda dalam Geng ... 70

3.5.1.5 Lingkungan Keluarga ... 70

3.5.1.6 Ras dan Etnisitas ... 72

3.5.1.7 Lingkungan Sekolah ... 72

3.6 Hukum Membawa Senjata Tersembunyi (Concealed Carry) ... 75

(4)

ix

3.7.1 Pendukung Hak Senjata Api: Mempersenjatai Diri Mengurangi

Angka Kejahatan ... 78

3.7.2 Pendukung Kontrol Senjata: Kontrol Senjata Mengurangi Kejahatan ... 83

3.8 Partai Republik versus Partai Demokrat ... 87

3.9 Permasalahan dalam Penegakan Hukum Kontrol Senjata Api ... 90

3.10 Babak Baru Kontroversi Abad XXI: Perubahan Interpretasi Amandemen Kedua ... 97

BAB IV PENURUNAN TREN KEJAHATAN SENJATA API ... 99

4.1 Penurunan Angka Kejahatan Senjata Api ... 99

4.1.1 Penurunan Angka Kejahatan Senjata Api oleh Pemuda ... 100

4.1.2 Penyebab Penurunan Angka Kejahatan ... 101

4.2 Konteks Sosial Isu Kekerasan Senjata Api ... 105

4.2.1 Segregasi, Marginalisasi, dan Rasisme dalam Aturan Hukum Hak Kepemilikan Senjata Api ... 106

4.2.2 Isu Feminisme dalam Kepemilikan Senjata Api ... 115

4.2.3 Kekerasan Senjata Api Bagian dari Masalah Kesehatan Masyarakat ... 118

4.2.4 Perubahan Budaya, Nilai, dan Tradisi Masyarakat Amerika ... 122

4.2.4.1 Pembudayaan Senjata Api Abad Modern ... 126

4.2.4.2 Poling Opini Publik ... 130

BAB V KESIMPULAN ... 135

DAFTAR PUSTAKA ... 141

(5)

x

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Pembunuhan Dibenarkan 1999-2003 ... 37 Tabel 4.1 Karakteristik Pembunuhan Berdasarkan Ukuran Kota

1980-2008 ... 109 Tabel 4.2 Kematian Akibat Bunuh Diri dengan Senjata Api di

Amerika Serikat 1965-2000 ... 121 Tabel 4.3 Opini Publik Terkait Senjata dalam Rumah ... 131

(6)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Statistik Angka Korban Pembunuhan 1950-2010 ... . 35 Gambar 3.2 Statistik Pembunuhan Berdasarkan Jenis Senjata 1980-2008 ... . 39 Gambar 3.3 Jenis Senjata yang Digunakan Adam Lanza ... . 59 Gambar 3.4 Negara Bagian yang Mensyaratkan Pemeriksaan Riwayat

Hidup untuk Semua Penjualan Senapan Genggam Saat

Pameran Senjata ... . 92 Gambar 4.1 Pembunuhan Senjata Api 1993-2011 ... . 99 Gambar 4.2 Tingkat Viktimisasi Pembunuhan Berdasarkan Ras

1980-2008 ... 107 Gambar 4.3 Poling Opini Publik Terkait Kontrol Senjata Api ... 130

(7)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Memasuki awal abad ke-21 masyarakat Amerika Serikat banyak diperhadapkan dengan berbagai kasus pembunuhan yang melibatkan senjata api. Sebagai negara yang memberikan keluasan hak bagi setiap warga sipilnya untuk memiliki dan membawa senjata api, Amerika harus menghadapi berbagai konsekuensi yang diakibatkan oleh kebijakan tersebut. Negara ini tercatat menjadi salah satu negara yang memiliki tingkat kejahatan senjata api tertinggi di dunia dengan jumlah korban yang terus meningkat setiap tahun (Valdez and Ferguson Jr., 2011: 45).

Ironisnya, kejahatan tersebut kini merebak terjadi di lingkungan pendidikan. Pada bulan Desember 2011, terjadi penembakan di kampus Virginia Tech, yang mengakibatkan dua orang meninggal. Insiden itu mengingatkan kembali pada tragedi pembantaian di kampus yang sama di Virginia yang pernah terjadi di tahun 2007 silam—mengakibatkan sedikitnya 32 orang tewas dan 25 lainnya luka-luka. Penembakan secara brutal tersebut dilakukan oleh Seung-Hui Cho, mahasiswa berumur 23 tahun asal Korea Selatan. Pelakunya sendiri kemudian bunuh diri dengan senjatanya. Peristiwa itu disebut sebagai penembakan massal paling buruk dalam sejarah modern Amerika Serikat

(8)

2

(http://news.detik.com/read/2011/12/09/102853/1786793/1148/penembakan-di-virginia-tech-tragedi-yang-berulang).

Tragedi penembakan pada tahun 2011 dan 2007, sebenarnya bukanlah hal baru dalam sejarah kejahatan senjata api yang terjadi di lingkungan pendidikan di Amerika. Sebelumnya juga telah banyak korban yang jatuh. Pada tahun 2006 lima orang siswi menjadi korban meninggal akibat penembakan di Amish Schoolhouse (http://www.msnbc.msn.com/id/15105305/ns/us_news-crime_and_courts/t/th-girl-dies-after-amish-schoolhouse-shooting/), sedangkan tujuh tahun sebelumnya, 12 orang siswa serta 1 guru meninggal dalam tragedi pembantaian di Sekolah Menengah Atas Columbine, Colorado tahun 1999 (Cook and Ludwig, 2000: 3). Lebih dari sekadar data, serangkaian peristiwa tersebut sesungguhnya menjelaskan bahwa kejahatan senjata api begitu mudah terjadi dalam kehidupan kontemporer masyarakat Amerika. Bahkan berdasarkan fakta sejarah, pembantaian massal tersebut hanyalah salah satu dari sekian banyak contoh kasus kejahatan yang terus terjadi secara berulang di Amerika Serikat, sebagai akibat dari penyalahgunaan senjata api.

Fenomena kejahatan yang kian meresahkan warga ini memicu debat publik nasional mengenai isu kepemilikan senjata api oleh warga sipil. Banyaknya anak sekolahan khususnya para remaja yang kini terlibat dan menjadi korban kejahatan senjata api menjadi keresahan banyak orang tua dan para guru. Situasi ini mendorong kelompok-kelompok masyarakat turun melakukan protes dan

(9)

3

kampanye untuk menekan reprsentatif mereka yang duduk di Statehouse dan Capitol Hill (Valdez and Ferguson Jr., 2011: 12). Mereka mempermasalahkan keluasan akses senjata api yang tidak diimbangi dengan kontrol yang baik dari pemerintah. Di pihak lain, terdapat kelompok masyarakat yang tidak menghendaki adanya kontrol senjata api dengan berbagai alasan yang melatarbelakangi, terutama melihat pentingnya makna senjata api dalam tradisi masyarakat Amerika. Masing-masing kelompok pro dan kontra saling berdebat, bersikukuh pada pandangan masing-masing sehingga sukar dicapai titik kesepakatan mengenai jalan keluar yang terbaik.

Para pendukung kontrol senjata api berpendapat bahwa kebebasan yang diberikan kepada warga sipil untuk memiliki dan membawa senjata api ke mana saja adalah penyebab utama mudahnya terjadinya kejahatan. Mereka menuntut pembatasan akses senjata api khususnya di ruang-ruang publik seperti sekolah dan tempat ibadah. Selain itu, mereka percaya bahwa banyak nyawa dapat diselamatkan jika pemerintah semakin mempersulit kepemilikan senjata api (Valdez and Ferguson Jr., 2011: 17-18). Tetapi di sisi lainnya, kelompok oposan bersikeras bahwa pemerintah tidak berhak untuk melakukan pembatasan terhadap nilai dan hak individu yang sudah dijamin di dalam Konstitusi Amerika Serikat. Menariknya, para pendukung hak senjata ini mengusulkan bahwa jika semakin banyak orang dipersenjatai, maka seorang penyerang yang bersenjata dapat lebih mudah dihentikan sebelum dia membunuh orang-orang yang tidak bersalah

(10)

4

(Valdez and Ferguson Jr., 2011: 10). Selain itu, adanya penolakan keras dari kelompok penggemar berburu dan olahraga menembak juga semakin menyulitkan pengaturan regulasi kontrol senjata api oleh pemerintah.

Isu ini pun dimanfaatkan oleh partai sebagai alat politik dalam memenangkan pemilu. Partai Demokrat dan partai Republik menjadi dua representatif utama di Amerika yang mengusung aspirasi masyarakat kelompok pendukungnya. Ketika kandidat yang diusung terpilih maka dengan sendirinya ideologi dari partai tersebut pun akan digaungkan yang akan berpengaruh terhadap penyusunan undang-undang negara. Menariknya, kedua partai ini juga merespon isu kepemilikan senjata api secara berbeda. Partai Republik umumnya kuat mendukung hak senjata api sedangkan Demokrat terkenal pro kontrol senjata.

Tidak hanya partai, tetapi negara bagian di Amerika Serikat juga menunjukkan keberpihakan dan dukungan yang berbeda terhadap isu ini. Salah satunya yang pro hak senjata api adalah negara bagian Utah yang secara khusus menambahkan senjata api sebagai simbol negaranya (http://articles.cnn.com/2011-03-18/us/utah.state.firearm_1_wimmer-state-symbols-garyherbert?_s=PM:US). Selain itu, Maine, Luisiana dan Texas merupakan negara bagian dengan hukum kontrol senjata terlemah, sedangkan dua negara yang memiliki aturan kontrol senjata yang paling ketat yaitu Massachusetts dan Hawai (Open Society Institute, 2000: 3). Adanya situasi politik yang juga melatarbelakangi dan kepentingan

(11)

5

masing-masing kubu yang berseberangan menjadikan hak kepemilikan senjata api menjadi isu yang paling kontrovesial di Amerika hingga saat ini.

Kontroversi hak kepemilikan senjata api sendiri sesungguhnya sudah berlangsung sejak lama, yakni sejak awal diregulasikan Amandemen Kedua (The Second Amandment) The Bill of Rights. Amandemen Kedua yang diratifikasi pada pada tanggal 15 Desember 1791 memuat tentang hak membawa senjata api (right to bear arms) (Stephens Jr. and Scheb II, 2008: 2). Pada masa itu kontroversi yang terjadi seputar apakah hak yang dimaksudkan di dalam dokumen tersebut adalah hak individu atau hak kolektif.

Seiring waktu beberapa perubahan terjadi. Dua di antaranya yang menarik yaitu perkembangan pokok masalah yang diperdebatkan dan orientasi masyarakat yang cenderung berubah terkait kepemilikan senjata api. Pertama, pokok isu yang kini diperdebatkan mengenai apakah perlu menambah peraturan kontrol senjata api atau tidak. Kedua, orientasi masyarakat yang cenderung berubah yakni senjata api yang dulunya umum dimanfaatkan sebagai alat berburu kini dipilih sebagai solusi utama perlindungan diri di abad modern, sebagai reaksi masyarakat terhadap rawannya kejahatan dalam kehidupan kontemporer Amerika.

Amerika merupakan negara yang menjunjung tinggi nilai demokrasi dan asas kebebasan individu. Kebijakan memiliki senjata api merupakan bagian dari kebebasan individu bagi setiap warga sipil yang dijamin oleh negara, tetapi pada saat yang sama kepentingan pribadi tersebut bersinggungan dengan kepentingan

(12)

6

keamanan kolektif, sehingga memicu debat publik. Kontroversi yang terus berlangsung sejak awal diregulasikan Amandemen Kedua hingga sekarang, ternyata bukan persoalan yang mudah diselesaikan dengan hanya diundangkan suatu peraturan kontrol senjata api yang baru, oleh karenanya dibutuhkan suatu pendekatan lain dalam upaya memahami persoalan sosial tersebut secara lebih mendalam. Tesis ini bermaksud untuk mengkaji perubahan sosial yang melatarbelakangi terjadinya kontroversi hak kepemilikan senjata api di Amerika Serikat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka pertanyaan penelitian yang ingin dijawab adalah:

1. Kontroversi seperti apa yang berhubungan dengan senjata api dari waktu ke waktu?

2. Apa kaitan terus meningkatnya kontroversi kepemilikan senjata api tersebut dengan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat Amerika Serikat?

1.3 Tujuan Penelitian

a. Mengindentifikasi kontroversi yang muncul yang berhubungan dengan senjata api dari waktu ke waktu;

(13)

7

b. Mendeskripsikan perkembangan dan perubahan yang terjadi sejak awal munculnya kontroversi hak kepemilikan senjata api hingga sekarang ini yang menggambarkan perubahan sosial masyarakat Amerika Serikat.

1.4 Tinjauan Pustaka

Terdapat banyak buku, ulasan, dan penelitian yang membahas perihal hak senjata api di Amerika. Sebagian besar membahas tentang kontrol senjata api, disebabkan isu ini paling aktual dalam perdebatan kontemporer di Amerika. Beberapa buku yang akan dibahas pada bagian ini adalah Gun Control, Second Edition yang ditulis oleh Angela Valdez dan John E. Ferguson Jr., kemudian Firearms and Violence: A Critical Review yang disusun oleh National Research Council, dan terakhir Gun Violence: The Real Costs oleh Philip J. Cook dan Jens Ludwig.1

Di dalam buku Gun Control, Second Edition, Valdez dan Ferguson Jr. (2011) memaparkan tentang pengawasan senjata api di Amerika Serikat. Pembahasan diawali dengan beberapa fakta yang mengguncang dunia terkait kasus penembakan yang menimpa dua tokoh penting, Martin Luther king Jr. dan Senator Robert F. Kennedy pada tahun 1968. Kejadian tersebut, berdasarkan

1 Gun Control, Second Edition adalah buku yang diterbitkan oleh Chelsea House tahun

2011, Firearms and Violence: A Critical Review diterbitkan oleh The National Academies Press tahun 2005, sedangkan buku Gun Violence: The Real Costs diterbitkan oleh Oxford University Press pada tahun 2000.

(14)

8

buku ini telah mengundang perdebatan nasional Amerika Serikat terkait isu kontrol senjata api.

Perdebatan terjadi antara dua kelompok yang bertentangan pendapat. Kelompok pertama berargumen bahwa pemerintah tidak berhak mengatur pelarangan kepemilikan senjata api. Masalahnya karena senjata api memiliki latar belakang penting dalam sejarah Amerika yang mewakili semangat frontier para pendiri Amerika yang secara tangguh mengusir penjajah, sehingga senjata api telah melekat dalam citra superioritas bangsa, simbol patriotisme dan sebagai bagian dari budaya Amerika. Di pihak lain, kelompok penentang mendesak bahwa negara harus bertanggung jawab terhadap keamanan segenap rakyatnya, oleh karena itu kepemilikan senjata api harus dibatasi. Terlebih karena terbukti telah banyak kejadian yang menyebabkan korban luka dan kematian akibat penyalahgunaan senjata api. Kubu ini berargumen bahwa hak kepemilikan senjata api tidak terkait dengan sejarah bangsa (anachronism), sebab pada masa itu warga memang membutuhkan perlindungan yang sifatnya langsung karena harus menghadapi serangan asing.

Dalam buku ini juga tercatat bahwa para pejabat terpilih dari kedua partai besar telah menggunakan isu ini sebagai dukungan untuk melakukan kebijakan kontrol terhadap senjata dan dijadikan sarana untuk memenangkan pemilu. Menurut Center for Responsive Politics, kelompok pendukung hak senjata api (pro-gun rights) berkontribusi sebesar $2.400.000 selama siklus kampanye

(15)

2007-9

2008. Sekitar 90% dari uang tersebut masuk ke kelompok Republik, yang umumnya kuat mendukung hak pengunaan senjata. Sedangkan pendukung opsi kontrol senjata (pro gun control) memberikan hampir $58.000, dengan 97% dari mereka membantu kontribusi Demokrat, yang umumnya pro kebijakan kontrol senjata. Buku ini juga menjelaskan bahwa selain mempromosikan kandidat yang mendukung tujuan politik mereka, isu tersebut telah mempengaruhi undang-undang di Kongres, termasuk dengan menggunakan dana yang dihimpun dari masing-masing pendukung. Berdasarkan pokok perdebatan tersebut itulah buku ini menguraikan mengenai infrastruktur dukungan dari masing-masing pihak.

Pada bab awal, buku ini membahas awal mula penafsiran yang keliru terhadap Amandemen Kedua, kemudian bab berikutnya membahas mengenai peraturan kontrol senjata yang terbukti mengurangi tindak kejahatan, disusul oleh bab yang memaparkan realitas bahwa kebijakan kontrol senjata tidak menjamin pencegahan tindak kriminal. Bab-bab selanjutnya menyajikan kajian mengenai pabrik persenjataan. Perlu dijelaskan di sini mengenai jumlah kematian yang diakibatkan oleh penggunaan senjata api, yakni pada tahun 1999 jumlah korban senjata api sebanyak 28.874 jiwa, sedangkan tahun 2000 tercatat sebanyak 28.663 jiwa. Pada tahun 2005 jumlahnya menjadi lebih banyak yakni 31.000 jiwa yang melayang. Korban yang berjatuhan tersebut menguras dana publik yang dikeluarkan oleh pihak keluarga dan pemerintah. Itulah sebabnya terdapat

(16)

10

argumentasi bahwa pabrik senjata harus ikut bertanggung jawab terhadap penyantunan korban senjata api.

Pada bagian akhir buku disimpulkan bahwa perdebatan tidak juga kunjung selesai. Hasil lobi dan tekanan dari masing-masing kelompok pada kenyataannya semakin meneguhkan perdebatan. Pada tahun 2008 dan 2010 The Supreme Court mengeluarkan keputusan yang kontroversial dan memperumit, bahkan dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Sebagaimana dijelaskan pada tahun 2010 Mahkamah Agung menegaskan kepemilikan senjata api sebagai hak individu yang harus dilindungi oleh pemerintah lokal maupun federal. Dengan demikian kelompok pendukung gun-control dan gun-rights, masing-masing menganggap memiliki legalitasnya masing-masing. Oleh sebab itu, isu kepemilikan senjata api telah menjadi isu yang paling kontroversial di Amerika Serikat.

Adapun buku berikutnya yang berjudul Firearms and Violence: A Critical Review oleh National Research Council (2005) melengkapi kepustakaan mengenai ekses kekerasan yang diakibatkan oleh penggunaan senjata api. Pengantar buku ini memaparkan sebuah kenyataan yang ada bahwa “Large segments of the population express contradictory opinions and assert contradictory facts when they discuss the role of firearms in violence and especially how to reduce violent injuries and deaths that involve firearms (ix)”.

(17)

11

kesimpulan terhadap kontroversi yang bersilangan, melainkan hendak memberikan rekomendasi yang terkait dengan kepentingan untuk merancang kebijakan penggunaan senjata api yang mengarah pada perbaikan kondisi empiris, sehingga perdebatan menjadi lebih baik dan berkembang.

Buku yang membedah ekses penggunaan senjata api dalam peradaban modern Amerika Serikat ini disajikan dengan angka-angka dari data kekerasan yang diakibatkan penggunaan senjata api. Pada bab dua misalkan, pembaca disuguhi data yang mengukur kekerasan senjata api dan data kepemilikan. Kemudian disusul oleh data yang menyangkut bentuk-bentuk kekerasan yang disebabkan oleh kekerasan senjata api. Selain itu, disajikan data yang mengukur penggunaan senjata api sebagai alat yang digunakan untuk mempertahankan diri dari para kriminalis. Di sini digambarkan bahwa memang terdapat manfaat bagi seseorang untuk memiliki senjata api, tetapi dengan resiko yang sangat besar. Melengkapi bab tersebut, bab-bab berikutnya membicarakan tentang bagaimana efek samping kepemilikan senjata api terhadap bentuk prilaku social disorder, seperti bunuh diri. Hal tersebut juga didukung oleh deskripsi kebijakan untuk membawa senjata api bagi warga sipil, yang dibahas pada bab enam. Selain itu, buku ini juga menggunakan dukungan data-data statistik, sejumlah regulasi, beserta evaluasi terhadap dampak kebijakan membawa senjata api.

Adapun buku ketiga berjudul Gun Violence: The Real Costs (Cook and Ludwig, 2000). Buku terbitan universitas Oxford ini melengkapi kajian dari

(18)

12

sudut pandang ekonomi terhadap penggunaan senjata api di Amerika Serikat. Meskipun begitu, buku ini memaparkan sisi-sisi dramatis yang mengharukan dari tragedi yang disebabkan oleh penyalahgunaan senjata api. Itulah sebabnya buku ini menggambarkan aspek-aspek ketakutan, kesakitan, kecacatan (disability) serta kematian dini yang diakibatkan oleh penggunaan senjata api. Berdasarkan fakta yang dijelaskan, ekses penggunaan senjata api perlu diketengahkan secara memadai yang sama pentingnya dengan ancaman menakutkan lain, seperti penyakit kanker, polusi serta kegagalan pendidikan. Masalahnya karena harga yang diakibatkan oleh penggunaan senjata api juga besar. Dalam buku ini disebutkan angka per tahunnya adalah $100 miliar. Suatu angka yang besar dan mungkin juga akan semakin tinggi.

Tujuan dari penulisan buku ini adalah untuk mengurangi kemubaziran anggaran yang dikeluarkan sambil pada saat yang sama mengulas penderitaan yang diakibatkan. Itulah sebabnya buku ini mengawali uraian dengan menyajikan kajian mengenai penggunan senjata dan kehidupan Amerika (Gun Violence and Life in America). Bab ini jelas menerangkan tentang asal mula serta realitas faktual kekerasan yang disebabkan oleh penggunaan senjata api di dalam kehidupan sehari-hari bangsa Amerika. Sebagaimana judulnya, buku ini menyuguhkan kalkulasi sebenarnya dari ekses penggunaan senjata api, kalkulasi korban, pengobatan rumah sakit serta berbagai dampak dari penggunaan senjata

(19)

13

api: penggunaan senjata api yang tidak terkendali telah berdampak pada kerugian yang besar bagi mayarakat dan negara.

Dari ulasan ketiga buku tersebut dapat kita ketahui bahwa masing-masing buku memaparkan fenomena hak senjata api berdasarkan sudut pandang dan fokus penelitiannya masing-masing. Adapun penelitian ini mengambil sudut pandang lain dalam menjelaskan kontroversi hak kepemilikan senjata api melalui pendekatan sosial untuk melihat bagaimana isu ini telah memengaruhi kehidupan sosial, budaya, dan politik masyarakat yang seiring waktu mengalami berbagai perubahan krusial.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam pembahasan masalah penelitian ini dipayungi oleh teori American Studies sebagai kajian interdisipliner, yang di dalamnya mencakup juga pembahasan sejarah, politik dan sosiologi kontroversi hak kepemilikan senjata api. Kerangka waktu yang menjadi fokus penelitian yaitu bermula pada munculnya regulasi Amandemen Kedua pada tahun 1791, kemudian secara khusus melihat perubahan besar yang terjadi sejak tahun 1986 ketika dua tokoh penting di Amerika terbunuh oleh senjata api, yaitu Martin Luther King Jr. dan Robert Kennedy. Kemudian perkembangan mutakhir pada awal abad ke-21 ini yang menjadikan isu kepemilikan senjata api semakin diperdebatkan. Kerangka waktu yang dipilih berfungsi untuk melihat perbedaan dan perkembangan

(20)

14

kontroversi hak kepemilikan senjata api dibandingkan masa awal diregulasikan Amandemen Kedua. Penelitian ini juga dibatasi hanya pada pembahasan aspek perubahan sosial yang melatarbelakangi terjadinya konflik berkepanjangan terkait isu hak kepemilikan senjata api oleh warga sipil Amerika.

1.6 Landasan Teori

Penelitian ini berada di bawah lingkup American Studies yang memiliki kaidah interdisiplin, yakni yang menggabungkan beberapa pendekatan sekaligus seperti pendekatan sosial, ekonomi, politik, sejarah, dan sebagainya dalam menjawab permasalahan penelitian. Meredith menegaskan “American studies is an interdiciplinary discipline which utilizes social sciences, literature, history, politics, social and economic structure, etc (1969: 1)”. Oleh karena itu, penelitian ini juga memanfaatkan pendekatan sejarah, politik dan pendekatan sosiologi dalam menjawab permasalahan penelitian.

Pendekatan sejarah dimanfaatkan dengan tujuan untuk mendeskripsikan keadaan masyarakat Amerika pada masa awal pembentukan negara dan saat ini terkait hak senjata api, selain itu untuk mengamati apakah kejadian masa lalu tersebut masih signifikan atau masih dapat berlaku bagi situasi dan kondisi masa kini. Hal ini penting dicermati mengingat bahwa Amerika Serikat memiliki sejarah panjang dalam penggunaan senjata api yang ikut membentuk karakter bangsanya. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip reconciliation of time yang

(21)

15

diperkenalkan oleh Mc Dowell (1948) yang menekankan pemahaman past-present-future. “The American Studies move toward the reconciliation of the time, the reconciliation of disciplines and a third long-range goal, namely, a reconciliation of region, nation, and world.” Hal ini tidak terlepas dari sifat American Studies sebagai sebuah disiplin ilmu yang fleksibel untuk mencapai tujuan besarnya, yaitu mendapatkan pemahaman secara komprehensif dalam membahas permasalahan penelitian.

Sementara itu, pendekatan politik digunakan untuk menjelaskan bagaimana isu hak senjata api telah berkembang menjadi isu politik di kalangan elit politik organisasi pro-kontra dan juga dimanfaatkan oleh kedua partai Republik dan Demokrat yang terus bersaing. Sedangkan hukum kontrol senjata api yang terus berkembang juga menjadi bagian krusial yang memberi dampak langsung bagi kehidupan masyarakat Amerika, dan bahkan menjadi unsur yang mempertajam kontroversi antar-masyarakat.

Adapun pendekatan sosiologi melengkapi keutuhan pembahasan, khususnya dalam menganalisa fenomena kekerasan yang berkembang dalam masyarakat yang dari waktu ke waktu mengalami perubahan signifikan sebagai akibat hak senjata api oleh warga sipil. Dengan begitu, akan didapatkan pemahaman yang komprehensif terkait bagaimana kontroversi hak senjata api berkembang dari waktu ke waktu dan berpengaruh terhadap kehidupan sosial

(22)

16

politik masyarakat Amerika itu sendiri, khususnya yang menggambarkan suatu perubahan sosial masyarakatnya.

1.7 Manfaat Penelitian 1.7.1 Manfaat Teoretis

Melalui penelitian ini diharapkan pembaca mampu mendapatkan pemahaman tentang latar belakang penyebab munculnya kontroversi hak kepemilikan senjata api, yang secara umum orang mengetahui tradisi senjata api melalui pencitraan koboi, gengster, ataupun tokoh heroik lewat berbagai media khususnya televisi. Akan tetapi, dibalik itu senjata api bagi sebagian masyarakat Amerika dipercaya mewakili makna penting sebagai bagian dari warisan budaya dan tradisi masa lampau serta menjadi simbol yang mengusung nilai patriotisme dalam sejarah pendirian bangsa Amerika.

1.7.2 Manfaat Praktis

Adapun secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan acuan dalam memahami perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat Amerika sebagai akibat munculnya kontroversi hak kepemilikan senjata api. Selain itu, diharapkan dapat menjadi bahan studi kasus bagi Indonesia yang beberapa kali mengalami kasus kejahatan senjata api yang cukup serius.

(23)

17

1.8 Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data

Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari perilaku yang dapat diamati (Maleong, 1989: 3). Penelitian ini bertujuan untuk membuat deskripsi, penjelasan, atau penggambaran keadaan secara sistematis tentang peristiwa yang teramati melalui teks buku ataupun dokumentasi sejarah.

Selain itu, penelitian ini juga menggunakan studi kepustakaan (library research), yakni data-data yang dibutuhkan dikumpulkan dari kepustakaan. Sumber data berupa buku-buku, baik buku elektronik (ebook) ataupun buku cetak, koran elektronik, jurnal, hasil penelitian, juga data dari internet yang relevan dengan kajian penelitian. Data-data tersebut dipilah dan dikelompokkan terlebih dahulu berdasarkan fungsi dan kebutuhan, kemudian dianalisis untuk menjawab pertanyaan penelitian. Analisis dan interpretasi data didasarkan pada teori American Studies yang mencakup kajian interdisipliner.

1.9 Sistematika Penulisan

Tesis ini terdiri dari lima bab. Bab pertama memuat tentang pengantar tema penelitian yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, ruang lingkup penelitian, landasan teori, manfaat penelitian, serta metode penelitian dan teknik pengumpulan data.

(24)

18

Bab kedua memaparkan ihwal sejarah dan budaya awal penggunaan senjata api di Amerika Serikat, hak sipil dalam Amandemen Kedua, munculnya paham individualisme era Jaksonian dan hukum kontrol senjata api pertama di Amerika.

Bab ketiga membahas tentang peningkatan tren kejahatan senjata api di Amerika termasuk pembahasan sejumlah kasus penembakan tokoh politik dan tragedi penembakan massal di lingkungan pendidikan yang mendorong memperketat hukum kontrol senjata api. Selain itu, membahas peningkatan kekerasan senjata oleh pemuda beserta faktor penyebabnya, pro-kontra hak senjata api, partai Republik versus partai Demokrat, permasalahan dalam penegakan hukum kontrol senjata api serta perubahan interpretasi terhadap Amandemen Kedua.

Bab keempat membahas tentang penurunan tren kejahatan senjata api yang dipengaruhi oleh penurunan angka kejahatan oleh pemuda, kemudian menganalisa tentang konteks sosial isu kekerasan senjata yang melatarbelakangi yaitu terkait segregasi dan rasisme, isu feminisme, perubahan budaya, nilai dan tradisi masyarakat yang memengaruhi perubahan tren kejahatan senjata api masa kini serta perubahan sikap dan pandangan masyarakat terkait hak kepemilikan senjata.

(25)

19 BAB II

SEJARAH AWAL HAK SENJATA API DI AMERIKA SERIKAT

2.1 Sejarah dan Budaya Senjata Api di Amerika

Sejak awal pendirian negara, senjata api telah memainkan peranan penting dalam membentuk karakter bangsa Amerika. Adanya tradisi berburu, pembentukan milisi, gerakan Westward Expansion dengan semangat frontiership hingga terjadinya perang revolusi merupakan proses-proses penting pembentukan negara yang tidak terlepas dari penggunaan senjata api. Untuk memahami eksistensi senjata api di Amerika yang telah mengakar kuat dalam citra diri bangsa, maka kita perlu memahami latar belakang sejarah dan budaya yang membuat bangsa ini sangat dekat dengan penggunaan senjata api.

Adapun dulunya, Amerika atau yang awal dikenal dengan sebutan The New World merupakan wilayah baru tanpa tatanan hukum dan pemerintahan. Penghuni pertamanya (first settlers) merupakan penduduk Eropa yang mulai berimigrasi pada abad ke-17 untuk mencari lahan baru. Ketika itu mereka harus berhadapan dengan wilderness, kebuasan daerah baru untuk ditaklukkan, ancaman dari suku natif Indian yang ganas serta serangan binatang buas. Proses kependudukan ini tidak terlepas dari penggunaan senjata api sebagai alat pertahanan diri dari segenap ancaman tersebut. Kemudian pada masa agraris, senjata api menjadi alat untuk berburu sebagai cara utama mendapatkan makanan.

(26)

20

Kegiatan berburu merupakan sebuah tradisi yang ikut membentuk karakter budaya senjata di Amerika. Tradisi ini berkembang secara turun temurun sebagai warisan yang diturunkan oleh kakek kepada cucunya atau ayah kepada putranya yang diikuti dengan kegiatan berburu bersama. Kegiatan ini tidak saja menjadi simbol maskulinitas tetapi juga dimaknai secara spiritual.

Beralih pada abad ke-18 rakyat sipil diberikan hak untuk membawa senjata api, alasannya karena pada masa itu pembentukan tentara khusus dianggap hanya akan menjadi ancaman bagi hak-hak warga sipil. Warga kemudian diberikan mandat untuk mengangkat senjata sebagai pasukan milisi untuk melindungi diri dan daerah komunalnya dari segala ancaman bahaya musuh, penduduk natif, maupun tentara luar. Milisi beranggotakan para pria di usia produktif dengan menyiapkan sendiri senjata api beserta pelurunya. Senjata api kemudian menjadi epitom kekuatan bangsa ketika pada puncaknya rakyat Amerika mengangkat senjata melawan pemerintahan Inggris yang tiran melalui perang revolusi. Valdez dan Ferguson Jr. menyatakan ―1776, the colonies declared independence and went to war with Great Britain. The American Revolution, which ended in 1783, would not have been possible without firearms” (2011: 30-31).

Sebagai bangsa yang baru terbentuk, para pendiri Amerika bertekad untuk memperluas wilayah kependudukan. Dimulai pada abad ke-19, dengan semangat frontiership para pionir melakukan ekspansi ke barat yang disebut dengan gerakan Westward Expansion. Gerakan ini berupa penjelajahan dan penguasaan wilayah

(27)

21

barat benua Amerika dengan tujuan untuk membangun koloni-koloni. Hasil dari penerapan konsep tersebut adalah takluknya daerah-daerah yang sekarang dikenal dengan Texas, Mexico, dan Massachusetts.

It took American colonists a century and a half to expand as far west as the Appalachian Mounts, a few hundred miles from the Atlantic coast. It took another fifty years to push the frontier to the Mississippi River. Seeking cheap land and inspired by the notion that Americans had a ―manifest destiny‖ to stretch across the continent, pioneers by 1850 pushed the edge of settlement to Texas, the Southwest, and the Pacific Northwest. (www.digitalhistory.uh.edu/teachers/ modules/westward).

Ekspansi ini terutama diilhami dari naskah ―Manifest Destiny‖ karya John O’Sullivan (1839) yang berisi pemikiran dan keyakinan bahwa Amerika merupakan bangsa yang memiliki nilai-nilai agung yang bersifat universal sehingga menjadi bangsa yang ditakdirkan Tuhan untuk menjalankan misi kemanusiaan, menyebarkan nilai dan asas kebangsaan Amerika di dunia, termasuk untuk memperluas daerah kekuasaan. Doktrin inilah yang digaungkan oleh para pelopor bangsa Amerika dalam menjalankan misinya. Proses ekspansi ke barat yang memakan waktu panjang ini juga merupakan bagian penting dalam pengukuhan makna senjata api sebagai simbol kekuatan bangsa—menjadi alat yang mengawal penaklukan wilayah baru, meskipun harus dilakukan dengan gencatan senjata api melalui sejumlah peperangan.

Sejarah panjang pembentukan negara Amerika Serikat yang sangat dekat dengan penggunaan senjata api inilah yang membentuk tradisi dan budaya senjata api di negara ini. Senjata api telah dianggap mewakili simbol-simbol masa

(28)

22

lampau: mewakili liberty dengan keberhasilan membebaskan diri dari tirani, power mewakili kejayaan masa ekspansionisme, masculinity and manhood melalui tradisi berburu.

Romantisme kejayaan masa lalu menjadi tonggak argumen para pendukung hak senjata dalam memperjuangkan misinya, karena senjata api tidak hanya dilihat sebagai alat mempertahankan diri tetapi juga diyakini mengusung nilai dan simbol agung masa lampau yang harus terus dilestarikan. Akan tetapi di pihak yang lain, kelompok pendukung kontrol senjata api menyoroti bahaya akut lain yang diakibatkan oleh hak kepemilikan senjata api tersebut.

2.2 Regulasi Awal Hak Kepemilikan Senjata Api 2.2.1 Hak Sipil

Setiap manusia terlahir dengan seperangkat hak yang melekat pada dirinya yang membuat dia setara dengan manusia lain, sementara tugas negara adalah menjunjung tinggi dan melindungi hak-hak tersebut melalui perangkat undang-undang. Adapun hak tersebut dibedakan antara hak sipil (civil rights) dengan kebebasan sipil (civil liberties). Berikut penjelasannya di dalam dokumen Department of Justice.

The term civil rights is used to imply that the state has a role in ensuring all citizens have equal protection under the law and equal opportunity to exercise the privileges of citizenship regardless of race, religion, sex, or other characteristics unrelated to the worth of the individual. Civil rights are, therefore, obligations imposed upon government to promote equality. More specifically, they are the rights to personal liberty guaranteed to all United States

(29)

23

citizens by the Thirteenth and Fourteenth Amendments and by acts of Congress. Generally, the term civil rights involves positive (or affirmative) government action, while the term civil liberties involves restrictions on government. (NCISP, pp. 5–6, emphasis added.). (DOJ, 2008: 2-3).

Sedangkan pengertian kebebasan sipil:

The term civil liberties refers to fundamental individual rights such as freedom of speech, press, or religion; due process of law; and other limitations on the power of the government to restrain or dictate the actions of individuals. They are the freedoms that are guaranteed by the Bill of Rights—the first ten Amendments—to the Constitution of the United States. Civil liberties offer protection to in dividuals from improper government action and arbitrary governmental interference . . . .(NCISP, p. 5, emphasis added.). (DOJ, 2008: 3).

Jadi, kebebasan sipil adalah hak hakiki individu yang tidak bisa diganggu-gugat oleh pemerintah, sedangkan hak sipil menyangkut sikap afirmatif pemerintah dalam memberikan perlindungan dan jaminan terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut. Berikut ini akan dipaparkan salah satu hak sipil yang tertuang dalam Konstitusi Amerika Serikat yang kemudian menjadi sumber pemicu kontroversi.

2.2.2 Amandemen Kedua

Konstitusi sebagai dasar hukum negara mengatur tentang pembatasan antara hak negara dan hak warga sipil. Salah satunya di dalam Amandemen Kedua (The Second Amandment The Bill of Rights) terkandung hak untuk menyimpan dan membawa senjata api, yang berbunyi ―A well-regulated Militia, being necessary to the security of a free State, the right of the people to keep and bear Arms, shall not be infringed‖ (Stephens Jr. and Scheb II, 2008: 2).

(30)

24

diadopsi oleh negara-negara bagian dengan bahasa yang tidak jauh berbeda dengan aslinya. Akan tetapi, ambiguitas bahasa dalam regulasi tersebut memunculkan dua interpretasi yang berbeda terkait hak kepemilikan senjata api.

Sebagian orang percaya bahwa undang-undang tersebut memberikan hak kepada individu untuk memiliki senjata, sedangkan yang lainnya meyakini hak tersebut hanya diperuntukkan bagi negara bagian untuk mempertahankan milisinya sendiri. Perbedaan inilah yang menjadi pemicu awal munculnya kontroversi hak kepemilikan senjata api di Amerika Serikat. Hal ini terjadi karena tidak terdapat penjelasan yang komprehensif mengenai bagaimana hak senjata api yang dimaksudkan dalam Amandemen Kedua tersebut sehingga perang klaim antara kedua kubu yang berseberangan pun terjadi.

Partisan hak senjata api berpendapat bahwa Amandemen Kedua melindungi hak individu untuk menyimpan dan membawa senjata api untuk pertahanan diri, rekreasi, dan jika perlu mengangkat senjata untuk melawan pemerintah. Sedangkan pendukung kontrol senjata api juga mengklaim memiliki sejarahnya sendiri dan secara teguh berpendapat bahwa Amandemen Kedua semata-mata melindungi hak kolektif negara-negara bagian. Saul Cornell yang meniliti secara mendalam tentang sejarah Amandemen Kedua dan kontrol senjata api di Amerika menjelaskan bahwa kedua pendapat tersebut salah berdasarkan sejarah. ―The original understanding of the Second Amendment was neither an individual right of self-defense nor a collective right of the states, but rather a

(31)

25

civic right that guaranteed that citizens would be able to keep and bear those arms needed to meet their legal obligation to participate in a well-regulated militia‖ (Cornell, 2006: 2).

Arti yang sesungguhnya dimaksudkan dalam Konstitusi tersebut yakni tanggung jawab warga negara sebagai milisi. Warga memiliki kewajiban hukum untuk mempersenjatai diri mereka serta harus senantiasa siaga ketika dibutuhkan untuk melindungi lingkungan komunalnya, negara bagian bahkan negaranya sebagai satu kesatuan. Tujuan pembentukan milisi berakar dari kekhawatiran akan pemerintahan yang tiran. Salah satu contoh kasus yang terjadi yaitu peristiwa pemberontakan Wiski yang dipicu oleh kenaikan pajak wiski oleh pemerintah. Para petani, khususnya di daerah Pennsylvania Barat melakukan aksi protes dengan menggunakan senjata api terhadap kebijakan pemerintah yang ambisius tersebut. Oleh karena itu, maksud pembentukan milisia yaitu:

A well-regulated militia was the only form of defense compatible with liberty. Only when the role of citizen and soldier were united could freedom be preserved. The militia not only protected Americans from external threats such as hostile Indians and rival European powers, but in an era before organized police forces it also provided the only means to protect communities from civil unrest (Cornell, 2006: 3).

Hal yang perlu dipahami, tegas Cornel, bahwa peneguhan hak senjata api di dalam Konsitusi pertama negara dilakukan oleh generasi yang pada masa itu mengalami ketakutan dilucuti senjata oleh para tentara Inggris, yang datang menggeledah setiap rumah warga untuk menyita senjata api milik para milisi. Dengan demikian, Konstitusi pertama negara Amerika Serikat secara eksplisit

(32)

26

disusun untuk melindungi hak warga negara untuk menyimpan dan memopong senjata api dalam kerangka memenuhi kewajiban mereka sebagai milisi, dan bukan untuk pertahanan individual. Sebagaimana Cornel (2006: 4) menekankan “The first statements of the right to bear arms in American constitutional law were clearly aimed at protecting the militia against the danger of being disarmed by the government, not at protecting individual citizens‘ right of personal self-defense‖.

Adapun dalam prosesnya, makna undang-undang Amandemen Kedua diuji dalam beberapa kasus yang terjadi. Dalam kasus United States v. Cruikshank (1875) diputuskan “The Supreme Court held that the Second Amendment guaranteed states the right to maintain militias but did not guarantee to individuals the right to possess guns‖. Kemudian kasus lain yang menonjol adalah

United States v. Miller. Jack Miller adalah anggota geng Irlandia O’Malley yang terlibat dalam perampokan beberapa bank. Pada 18 April 1938, Miller and Frank Layton didakwa karena membawa sebuah senjata api yang tidak terregistrasi dalam perjalanan mereka dari Oklahoma ke Arkansas tanpa izin melintasi batas negara bagian yang merupakan sebuah pelanggaran hukum dalam The National Firearms Act of 1934 (Valdez and Ferguson Jr., 2011: 15). Dalam pembelaan mereka, Miller and Layton menyatakan bahwa undang-undang tersebut telah melanggar Amandemen Kedua. Pemerintah kemudian mengajukan banding terhadap putusan pengadilan distrik yang memenangkan terdakwa, dan pada

(33)

27

akhirnya putusan Mahkamah Agung yang dikeluarkan di tahun 1939 menyatakan bahwa ―The Supreme Court held that the ‗obvious purpose‘ of the Second Amendment was ‗to assure the continuation and render possible the effectiveness‘

of state militias. The Court added, 'It must be interpreted and applied with that end in view.‖ (Valdez and Ferguson Jr., 2011: 15). Keputusan tersebut

membatalkan putusan sebelumnya dan mendakwa Miller dan Layton.

Selanjutnya dalam kasus Lewis v. United States (1980), pengadilan mengafirmasi kembali preseden Miller:

These legislative restrictions on the use of firearms are neither based on constitutionally suspect criteria, nor do they trench upon any constitutionally protected liberties. . . .

The Second Amendment guarantees no right to keep and bear a firearm that does not have ―some reasonable relationship to the preservation or efficiency of a well regulated militia.‖ (Stephens and Scheb II, 2008: 2).

Dalam perkembangan selanjutnya, regulasi senjata api mengalami perubahan besar yang terjadi di awal abad ke-19 ketika banyak terjadi persebarluasan senapan genggam dan jenis pisau bowie1 yang menjadi ancaman bagi stabilitas nasional. Pemerintah kemudian mengeluarkan undang-undang pertama yang melarang membawa senapan genggam dan senjata tersembunyi (concealed weapons) lainnya. Akan tetapi hukum ini menghadapi tantangan dengan munculnya ideologi individualisme dalam masyarakat—hukum baru yang

1 Pisau bowie adalah jenis pisau bermata tunggal, salah satu senjata yang sangat ditakutkan zaman

(34)

28

didasarkan pada gagasan hak konstitusional—membawa senjata bagi individu untuk perlindungan diri (Cornell, 2006: 4).

2.3 Paradigma Individualisme di Era Jaksonian

Hak senjata api semakin kokoh posisinya di masa individualisme baru Amerika. Di dalam bukunya, Cornel (2006: 138) membahas secara runut era individualisme baru di Amerika ―American society in the decades after the War of 1812 was more democratic, more aggressive, and more fragmented than the eighteenth-century world the Founding generation had inhabited‖. Di tahun 1830-an pada era Jaksonian kebebasan individu sangat diagungkan. Hal ini di satu sisi memberi dampak pada penginterpretasian hak senjata api yang semakin menguatkan hak tersebut sebagai hak warga sipil, dengan berbagai alasan untuk perlindungan diri, kegemaran berburu yang kemudian berkembang menjadi aktivitas olahraga. Padangan ini terutama dipicu oleh naskah ―Democracy in America‖ yang dipublikasikan oleh Alexis de Tocqueville sebagai hasil pengamatannya terhadap kehidupan masyarakat Amerika. ―According to Tocqueville, a distinguishing characteristic of American society in the 1830s, the era of Jacksonian democracy, was a pervasive spirit of individualism‖ (Cornell, 2006: 138).

Amerika berada dalam transisi, dimana terdapat pergulatan tantangan antara nilai tradisional Republikan dan kultur baru individualisme yang

(35)

29

berdampak pada pandangan hukum terkait hak membawa senjata, milisia, dan ide pertahanan diri. Menurut pengamat asal Perancis tersebut, hal ini tampak pada praktek bepergian dengan mempersenjatai diri dengan senjata tersembunyi (concealed weapons) sebagai salah satu contoh paling dramatik “individualisme” baru. Beberapa pengamat sosial mengidentifikasikan awal mula praktek ini dengan kecenderungan kekerasan pada budaya daerah selatan, sebagaimana jurnalis dan sejarawan Richard Hildreth mengatakan bahwa senjata biasanya dibawa untuk dua alasan: ―as a protection against slaves‖ dan ―in quarrels between freemen‖. Para pengamat mencermati masalah senjata rahasia ini sebagai

manifestasi masalah yang lebih besar di era Jacksonian Amerika. Jurnalis Whig Joseph Gales menuding bahwa perkembangan baru masyarakat dan hukum Amerika ini merupakan ―perversion of our political doctrines‖, ketika ide baru tersebut digembar-gemborkan secara luar biasa dengan gagasan ―personal rights and personal independence.‖ Cornel juga menambahkan:

The aggressive theory of self-defense that had taken hold in America was the most dangerous expression of this ideology, turning ‗every man into an avenger, not only of wrongs actually committed against his personal peace and safety, but renders him swift to shed blood in the very apprehension of danger or insult (2006: 139-140).

Penyebaran pistol dan pisau pada masa ini menyebabkan peningkatan dalam jumlah kekerasan kolektif, ketika beberapa kelompok menjadi sasaran utamanya karena dianggap sebagai kelompok luar masyarakat Amerika yaitu kelompok Afrika-Amerika, para budak, mormon dan penganut Katolik. Senjata

(36)

30

api memainkan peran utama dalam pembunuhan massal di era ini. Dengan berkembangnya level kekerasan antarorang, mendorong gerakan untuk meregulasi kebijakan kontrol senjata secara lebih komprehensif, akan tetapi di satu sisi gerakan ini memicu kesadaran publik akan ideologi hak senjata api secara konstitusional—sebagai hak individu untuk perlindungan diri.

The enactment of these early gun control statutes prompted a back-lash that produced the first systematic defense of an individual right to bear arms in self-defense. America‘s first gun violence problem not only occasioned the first efforts at gun control, it also helped crystallize a new gun rights ideology (Cornell, 2006: 138).

Berdasarkan pemikiran yang muncul pada era Jacksonian tersebut selanjutnya memperkuat interpretasi hak kepemilikan senjata api dalam Amandemen Kedua sebagai hak individu. Meski\pun begitu, ideologi tersebut tidak semerta diterima oleh kelompok oposan. Bentrokan pendapat kedua kubu yang bertentangan terus terjadi dengan mengandalkan kekuatan lobi dan argumen yang ajek sehingga ikut menentukan perkembangan regulasi kontrol senjata api selanjutnya.

2.4 Awal Hukum Kontrol Senjata Api di Amerika

Kentucky meloloskan undang-undang pertama yang disusun untuk mengendalikan praktek membawa senjata tersembunyi di tahun 1813 (Cornell, 2006: 141). Pada tahun yang sama, tambah Cornell, Louisiana mengeluarkan undang-undang yang lebih komprehensif melarang senjata tersembunyi untuk

(37)

31

membendung kasus-kasus pembunuhan yang belakangan sering terjadi. Masalah senjata tersembunyi merupakan masalah yang akut terjadi di daerah selatan. Di berbagai daerah lain, para politisi dan komentator bereaksi dengan cara yang berbeda-beda, seperti Gubernur New York De Witt Clinton mengatakan ―our present criminal code does not sufficiently provide against the consequences which may result from carrying secret arms and weapons‖. Hak membawa

senjata tersembunyi bagi Clinton bukan sebagai kebebasan fundamental atau hak Konstitusi. Clinton menganggap praktek tersebut sebagai ancaman bagi kebebasan publik yang merupakan hak fundamental yang perlu dilindungi oleh pemerintah karena sudah menjadi hak warga untuk menikmati kebebasannya tanpa rasa takut yang diciptakan oleh senjata tersembunyi. Pada dekade-dekade berikutnya, Indiana, Georgia, Virginia, Alabama, dan Ohio ikut mengadopsi hukum tersebut.

Hukum pelarangan senjata tersembunyi pertama terjadi dalam periode antara tahun 1813 dan 1859 yang secara mendasar mencakup pembatasan waktu, tempat dan perilaku. Selanjutnya pada gelombang kedua hukum yang diciptakan lebih keras mengatur pelarangan penjualan dan pemilikan jenis senjata tertentu. Tahun 1837 Alabama melarang penggunaan pisau bowie, Georgia dan Tennessee mengikuti dengan hukum yang lebih luas melarang penjualan pistol, pisau belati, dan tongkat pedang (pistols, dirks, and sword canes). Akan tetapi, pada saat negara bagian lain berusaha memperketat regulasi senjata api, di saat yang sama juga negara bagian lainnya semakin mempertegas Konstitusi mereka dengan

(38)

32

menyatakan bahwa hak membawa senjata adalah hak individu untuk perlindungan diri. “Rather than follow the eighteenth-century model that affirmed ‗the right of the people to bear arms in defense of themselves and the state,‘ Mississippi (1819)

paved the way with individualistic language that proclaimed that each citizen had a right ―to bear arms in defense of himself and the state‖ (Cornell, 2006: 142).

Berikut adalah bunyi undang-undang Mississippi yang menekankan hak warga menyimpan senjata api.

Mississippi Constitution Article III, Section 12

The right of every citizen to keep and bear arms in defense of his home, person, or property, or in aid of the civil power when there to legally summoned, shall not be called in question, but the legislature may regulate or forbid carrying concealed weapons. (1817) (Spitzer, 2009: 299).

Satu tahun kemudian Connecticut menggunakan Mississippi sebagai model dalam klausa barunya terkait hak membawa senjata api. Sedangkan Konstitusi Utah mencakup tujuan yang lebih luas terkait hak senjata api, tidak saja hanya untuk perlindungan diri dan keluarga tetapi juga tanggung jawab bela negara.

Utah Constitution Article I, Section 6

The individual right of the people to keep and bear arms for security and defense of self, family, others, property, or the state, as well as for other lawful purposes shall not be infringed; but nothing herein shall prevent the Legislature from defining the lawful use of arms. (1896) (Spitzer, 2009: 301).

Spitzer juga menjelaskan bahwa terdapat 34 klausa negara bagian merujuk pada hak kolektif atau didasarkan hak milisia yang mengacu pada pertahanan negara, sedangkan 28 negara bagian merujuk pada hak personal atau individual

(39)

33

(lebih dari setengah dari klausa negara bagian ini merujuk baik hak personal maupun kolektif). Di antaranya, juga terdapat 6 negara bagian yang memasukkan perlindungan untuk berburu dan aktivitas rekreasi (Spitzer, 2009: 302-303). Dengan demikian setiap negara bagian memiliki pandangannya sendiri terkait hak senjata api yang dikukuhkan lewat konstitusinya masing-masing.

2.5 Hukum Kontrol Senjata Api Federal

Sebuah hukum larangan federal diperkenalkan pada tahun 1920-an untuk jenis pembelian senjata api melalui pesanan pos. Kemudian merebaknya tindakan kekerasan oleh gengster selama tahun-tahun pelarangan alkohol memicu penyusunan hukum federal The National Firearms Act tahun 1934 dan The Federal Firearms Act tahun 1938 yang melarang kepemilikan pribadi senjata api mesin dan regulasi transfer senjata api antarnegara bagian (Squires, 2000: 75-76). Regulasi federal ini kemudian diikuti dengan aktivitas kontrol senjata api di negara bagian dan lokal sebagai reaksi terhadap angka kejahatan senjata pada masa itu.

The first major federal firearms legislation in the United States—the National Firearms Act of 1934, or NFA—singled out what were considered the most dangerous guns of the time: machine guns and sawed-off shotguns. The Prohibition era saw the rise of organized criminal networks that were often armed with firearms such as the ―Tommy gun‖—the fully automatic Thompson submachine gun (Gerney and Parsons, 2014a: 3).

Tidak terdapat peraturan baru selama beberapa dekade hingga terjadinya pembunuhan Presiden Kennedy pada tahun 1963 mendesak pengajuan beberapa

(40)

34

undang-undang kontrol senjata api kepada Kongres. Perdebatan terus berlanjut antara kelompok lobi pro dan kontra senjata api yang menuntun pada kebuntuan politik.

(41)

35 BAB III

PENINGKATAN TREN KEJAHATAN SENJATA API

3.1 Peningkatan Angka Kekerasan Senjata Api

Pada abad ke-20 terjadi lonjakan tinggi dalam angka kekerasan senjata api yang berimbas pada tingginya angka korban kematian. Berdasarkan data dari berbagai statistik yang dikumpulkan oleh pemerintah Amerika Serikat, korban pembunuhan meningkat tajam khususnya tahun 1980-an hingga mencapai puncak segala masa di awal tahun 1990-an.

Gambar 3.1 Statistik Angka Korban Pembunuhan 1950-2010 Sumber: Bureau of Justice Statistics (2011: 2)

Dari statistik terlihat bahwa tingkat pembunuhan dua kali lipat sejak awal 1960-an hingga akhir 1970-an, kemudian meningkat kembali di akhir 1980-an dan

(42)

36

awal 1990-an, selanjutnya mencapai puncak pada tahun 1991 yaitu terjadi 24.703 kasus pembunuhan (BJS, 2011: 2). Korban pembunuhan dengan senjata api berkontribusi sebesar 14.373 pada tahun tersebut (FBI, 1996: 18). Berdasarkan data dari Bureau of Justice Statistics (BJS) angka pembunuhan dengan senjata api mencapai puncak terbanyak sepanjang masa di tahun 1993 yaitu sebanyak 18.253 orang. Awal tahun 1990-an menjadi tahun-tahun terparah kekerasan menggunakan senjata api. Diketahui kematian akibat luka senjata api mencapai puncak di tahun 1993 pada angka 39.595 kematian, sedangkan angka total kekerasan senjata api fatal dan nonfatal mencapai puncak di tahun 1994 dengan jumlah 1.585.700 kasus kekerasan (2013: 1-2).

Adapun pada tahun 1998, data dari National Center for Health Statistics menunjukkan bahwa dengan total 30.708 orang tewas akibat luka senjata api di Amerika diakibatkan oleh dua komponen utama yaitu bunuh diri dan pembunuhan dengan senjata api, dengan tingkat masing-masing 56,7% dan 39,4% (2000: 9-10). Ironisnya terdapat lebih banyak kasus bunuh diri dengan senjata api dibandingkan kasus pembunuhan senjata api, sedangkan senjata api dalam berbagai kasus kecelakaan juga banyak mengakibatkan luka serius. Tidak hanya itu, beberapa proporsi angka penembakan senjata api tersebut termasuk penggunaan defensif oleh warga sipil, polisi maupun personil keamanan lainnya. Hal ini dapat menjadi masalah serius lain ketika kepemilikan senjata api berdampak pada perilaku yang

(43)

37

reaktif bahkan agresif para penggunanya. Seringkali perilaku tersebut menjadi pembenaran dalam aksi bela diri sang pemilik yang kemudian berakibat fatal.

Kleck dan Bordua (1983) dalam Squires (2000: 86) menunjukkan statistik California pada tahun 1981 bahwa warga yang bersenjata bertanggung jawab atas dua kali lebih banyak ―justified shootings‖ kepada penjahat daripada oleh polisi, sedangkan di Chicago dan Cleveland ―justified shootings‖ warga tiga kali lebih banyak daripada polisi. Angka pembunuhan yang dibenarkan ini juga menunjukkan peningkatan setiap tahunnya, sebagaimana data yang dilaporkan oleh FBI dalam Crime in the United States (CIUS) tahun 2003 (2004: 24) pada Tabel 3.1 berikut.

Tabel 3.1 Pembunuhan Dibenarkan 1999-2003

(44)

38

Berdasarkan tabel, diketahui bahwa antara tahun 1999 hingga 2003 angka pembunuhan yang dibenarkan terus menunjukkan peningkatan secara signifikan. Kondisi ini terus berlanjut hingga tahun 2012, yaitu terdapat 720 kasus pembunuhan dibenarkan yang dilaporkan oleh penegak hukum. ―Of those, law enforcement officers justifiably killed 410 felons, and private citizens justifiably killed 310 people during the commission of crimes‖ (http://www.fbi.gov/about- us/cjis/ucr/crime-in-the-u.s/2012/crime-in-the-u.s.-2012/offenses-known-to-law-enforcement/expanded-homicide). Pembunuhan yang dapat dibenarkan (justifiable homicides) didefinisikan sebagai pembunuhan penjahat oleh aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas atau pembunuhan penjahat selama tindak kejahatan oleh warga sipil (BJS, 2011: 32).

Penggunaan senjata api diketahui sangat dominan dalam tindak aksi kejahatan. Di tahun 2011 misalnya, tercatat senjata secara nasional digunakan dalam 68% pembunuhan, 41% serangan perampokan, dan 21% serangan keji (http://nij.gov/topics/crime/gun-violence/Pages/welcome.aspx). Oleh karena itu Zimring dan Hawkins menyimpulkan bahwa senjata api, meskipun bukan sumber tunggal kekerasan tetapi memainkan peranan besar di dalamnya (National Research Council, 2005: 12). Sedangkan Morris dan Hawkins (1970) menyimpulkan review mereka berdasarkan hasil statistik yang suram:

Since the beginning of this century, some three-quarters of a million people have been killed in the United States by privately owned guns, 30 percent more than in all the wars in which this country has been involved in its entire history. In sum

(45)

39

and in short, the populace is armed with a dangerous weapon (Squires, 2000: 59).

3.2 Tren Pembunuhan Berdasarkan Jenis Senjata Api

Berdasarkan data statistik, sebagian besar pembunuhan di Amerika dilakukan dengan pistol. Insiden menggunakan pistol meningkat tajam pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, kemudian jatuh rendah pada tahun 2008 (BJS, 2011: 27). Berikut gambaran statistiknya pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2 Statistik Pembunuhan Berdasarkan Jenis Senjata 1980-2008 Sumber: BJS

Dari statistik tersebut terlihat bahwa penggunaan senapan genggam dalam kasus pembunuhan secara mencolok jauh lebih tinggi dibandingkan jenis senjata lainnya. Data statistik Departement of Justice pada tahun 1992 menunjukkan bahwa kejahatan kekerasan melibatkan pistol memecahkan semua rekor

(46)

40

sebelumnya yakni naik hampir 50% di atas rata-rata lima tahun terakhir. Pistol telah digunakan dalam total keseluruhan 931.000 pembunuhan, pemerkosaan, perampokan dan serangan pada tahun 1992 (Squires, 2000: 59). Tren penggunaan pistol ini terus berlanjut hingga mencapai puncaknya pada tahun 1993 ketika 13.212 kematian merupakan penembakan dengan pistol (FBI, 1996: 18). Kemudian di tahun 2002 diketahui 71,1% insiden pembunuhan menggunakan senjata api; 76,6% menggunakan pistol sementara 5,1% rifles; 5,1% dengan shotguns; dan 13,2% jenis senjata lain atau tidak diketahui (FBI, 2003: 22). Sedangkan pembunuhan dengan senjata api selain pistol jatuh pada level bawah di tahun 1999, tapi kemudian meningkat sejak itu (BJS, 2011: 27).

Jenis senapan laras panjang selama ini kurang menjadi sorotan hukum karena regulasi yang ada dititiberatkan pada kontrol jenis pistol, sehingga aturan senapan laras panjang jauh lebih longgar. Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir terindikasi bahwa jenis senjata ini mulai menjadi pilihan dalam aksi ilegal dan kriminal. Sebagai bandingan, berdasarkan data FBI pembunuhan senjata api pada tahun 1994 diketahui 83% melibatkan pistol dan hanya 17% melibatkan senapan laras panjang, rifles atau shotguns. Tetapi pada 2011 angka ini berubah signifikan, meskipun pistol tetap menjadi instrumen utama dalam aksi pembunuhan dengan senjata tetapi pembagian pembunuhan menggunakan senapan laras panjang meningkat: secara nasional 73% pembunuhan dengan pistol

(47)

41

sementara rifles dan shotguns sebanyak 27% digunakan oleh para pembunuh (Gerney and Parsons, 2014).

Dengan demikian, meskipun jenis senapan laras panjang ini umumnya diperuntukkan untuk tujuan berburu dan olahraga, bukan berarti terlepas dari bahaya penyalahgunaan dalam tindak kejahatan sehingga jenis ini juga perlu mendapatkan perhatian dan regulasi yang memperketat aturan kepemilikannya. Diaz yang dikutip oleh Squires (2000: 60) juga meneliti bahwa meningkatnya senjata letal semi otomatis berkapasitas tinggi yang marak dipasarkan oleh industri senjata api sejak pertengahan 1980-an juga bertanggung jawab atas lonjakan kekerasan senjata api di jalanan.

In short … pistols began killing more people than revolvers had, and their enhanced firepower (especially more rounds) was directly reflected in more lethal injuries on US streets. The number of pistols manufacturers made increased by 92 percent from 1985 to 1992, and deaths by handguns increased by 48 percent, from 8,902 to 13,220. The number of juveniles arrested for weapons violations more than doubled between 1985 and 1993 (Diaz, 1999: 103–104). (Squires, 2000: 60).

Dari sini terlihat besarnya andil pabrik senjata dalam menyokong “kebutuhan” senjata bagi masyarakat maupun para penegak hukum, yang diprovokasi lewat berbagai iklan dan imej yang ditampilkan di media massa.

Adapun perubahan serius terkait hukum kontrol senjata api terjadi mulai tahun 1968 yang dipicu oleh kasus penembakan tokoh pemimpin politik Amerika dan sejumlah kasus penembakan massal di lingkungan pendidikan.

(48)

42

3.3 Pembunuhan Tokoh Pemimpin Politik Amerika Serikat

3.3.1 Penembakan Martin Luther King Jr. dan Senator Robert F. Kennedy

Hak kepemilikan senjata api di Amerika Serikat mendapat sorotan tajam khususnya pada tahun 1968 setelah dua tokoh penganjur perdamaian dan perubahan sosial, Martin Luther king Jr. dan Senator Robert F. Kennedy terbunuh dalam peristiwa penembakan (Valdez dan Ferguson Jr, 2011: 11). Robert Kennedy adalah kandidat presiden dan saudara kandung Presiden John F. Kennedy, yang juga terbunuh oleh sejata api pada tahun 1963. Pembunuhan presiden dan tokoh-tokoh terkemuka negara tersebut memberi dampak yang besar bagi perubahan kehidupan sosial politik Amerika secara luas sehingga memicu debat nasional terkait kekerasan senjata api. Masyarakat mempertanyakan kembali fungsi dan bahaya senjata api yang beredar luas di kalangan masyarakat. Isu kontrol senjata pun mengemuka dalam dunia politik Amerika memecah kebuntuan politik setelah perdebatan panjang antara kedua kubu pro-kontra hak senjata api. Akan tetapi, pada masa ini hukum kontrol senjata api menjadi sebuah keniscayaan.

The Gun Control Act of 1968 (GCA) menjadi legislasi kontrol senjata api negara yang paling ekstensif yang disusun pascapenembakan Luther dan Kennedy.

The prohibited groups include convicted felons, fugitives from justice, illegal-drug users or addicts, minors, anyone adjudicated mentally defective or having

(49)

43

been committed to a mental institution, anyone dishonorably discharged from the military, illegal immigrants, and anyone having renounced U.S. citizenship. The law also established a system for licensing dealers, manufacturers, and distributors (Valdez and Ferguson Jr, 2011: 64).

Secara esensi peraturan ini menetapkan lisensi yang lebih ketat dan kontrol yang kuat terhadap perdagangan senjata api. Squires menjelaskan bahwa pada tahun 1974, dua kelompok penekan hak senjata api yang baru terbentuk The National Coalition to Ban the Handgun dan Handgun Control Inc. (dulu dikenal The National Council to Control Handguns hingga 1978) melobi untuk perundangan federal memperluas kontrol senapan genggam yang terdapat dalam GCA. “The Act had banned mail order sales of firearms and the importation of foreign-made, cheap, low-quality handguns – the so-called ‗Saturday Night Specials‘ – although such weapons could still be manufactured in the USA

(Squires, 2000: 64).‖ Carter (1997) dalam Squires (2000: 64) mengatakan banyak keinginan dari para pendukung kontrol senjata untuk mendorong pelarangan penjualan pistol kepada warga sipil terutama mengakhiri produksi Saturday Night Specials1, akan tetapi organisasi Handgun Control Inc. kemudian menyadari bahwa hal ini secara politik susah dimenangkan sehingga mengganti dengan mendorong kontrol lebih ketat dalam penjualan senapan genggam, registrasi dan periode menunggu.

Berkembangnya kontrol senjata api membuat kelompok hak senjata tidak tinggal diam. Mereka menentang perundangan tersebut dengan berbagai alasan,

1

Gambar

Gambar 3.1 Statistik Angka Korban Pembunuhan 1950-2010  Sumber: Bureau of Justice Statistics (2011: 2)
Tabel 3.1 Pembunuhan Dibenarkan 1999-2003
Gambar 3.2 Statistik Pembunuhan Berdasarkan Jenis Senjata 1980-2008  Sumber: BJS
Gambar 3.3 Jenis Senjata yang Digunakan Adam Lanza
+7

Referensi

Dokumen terkait

Henry Saragih Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) menyampaikan, karena bencana kekeringan ini sudah (dan akan) memiliki dampak yang luas, termasuk dalam upaya

Kadar Kemungkiran Jika berlaku hal kemungkiran (tiada pembayaran) dalam (3) kali pembayaran keuntungan sementara menunggu pembayaran ansuran atau pembayaran ansuran

Pada setiap sesinya memiliki fokus yang berbeda dan mengacu pada pelaku bullying yang akan dikembangkan, meliputi: (1) Meningkatkan kemampuan pengendalian diri

Tujuan dari proyek akhir ini adalah memanfaatkan Dialogic D/4PCIU yang merupakan teknologi Computer Telephony Integration (CTI) sebagai interface dengan personal komputer,

Kemampuan pemahaman matematis merupakan salah satu tujuan penting dalam pembelajaran, memberikan pengertian bahwa materi-materi yang diajarkan kepada siswa bukan hanya

Tujuan penelitian ini untuk meningkatkan aktivitas pembelajaran dan hasil belajar visual merchandising melalui metode penyelesaian masalah.Penelitian ini menggunakan peneli-

Dalam pengumpulan data tersebut, data tersebut akan digunakan untuk menentukan tema, sinematografi, tone warna, gaya visual dan lain – lainnya yang dianggap perlu

Abbrevi- ations: ga: galena, cp: chalcopyrite, sph: sphalerite, fah I: freibergite- tetrahedritess, fah II: secondary tetrahedrite, py: pyrite, plb: polybasite, ac: acanthite,