• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN

B. Ahmad Dahlan

4. Pemikiran Pendidikan Islam Ahmad Dahlan

Muhammadiyah merupakan organisasi yang didirikan oleh Ahmad Dahlan adalah salah satu organisasi Islam yang menekankan perbaikan hidup beragama dengan menggiatkan amal-amal pendidikan dan sosial. Dengan adanya kegiatan di bidang tersebut, diharapkan akan lahir intelektual ulama (seorang yang pandai dalam ilmu umum dan mengerti soal-soal keagamaan).77

Ada satu hal yang menarik dari Ahmad Dahlan, sungguhpun titik berangkat keprihatinanya adalah penjajahan bangsa barat atas umat Islam, namun Ahmad Dahlan tidak menutup diri untuk mengadopsi sistem pendidikan Barat. Ini menunjukkan bahwa beliau memiliki sikap arif dan jernih dalam melihat dan memilah persoalan. Barat harus dimusushi sebagai penjajah, namun harus dikawani sebagai peradaban.78

Dibawah ini akan dijelaskan secara mendalam tentang pemikiran pendidikan Islam Ahmad Dahlan yang mencaku asas/pondasi, tujuan, materi, pendidik & peserta didik serta evaluasi dalam pendidikan Islam.

a. Asas / Pondasi Pendidikan Islam

Menurut Ahmad Dahlan, pelaksanaan pendidikan hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh yaitu al-Qur’an dan sunnah. Landasan ini merupakan

75 Abuddin Nata, Loc. Cit, h. 99

76 Pradana Boy ZTF dkk (Eds), Era Baru Gerakan Muhamamdiyah, (Malang : UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2008), h. 15

77 Syarifuddin Jurdi, dkk (eds), 1Abad Muhammadiyah, (Jakarta : Kompas, 2010), h. 100 78 Tarmizi Taher, Muhammadiyah sebagai Tenda Bangsa, (Jakarta : Penerbit Grafindo Khazanah Ilmu, 2005), h.78

kerangka filosofis bagi merumuskan konsep dan tujuan ideal konsep pendidikan Islam, baik secara vertikal maupun horizontal.79

Dalam proses kejadiannya, manusia diberikan Allah ruh dan akal. Untuk itu, media yang dapat mengembangkan potensi ruh untuk menalar petunjuk pelaksanaan ketundukan dan kepatuhan manusia kepada khaliqnya. Disini eksistensi akal merupakan potensi dasar bagi peserta didik yang perlu dipelihara dan dikembangkan guna menyusun kerangka teoritis dan metodologis bagaimana menata hubungan yang harmonis secara vertikal maupun horizontal dalam konteks tujuan penciptaannya.80

b. Tujuan Pendidikan Islam

Ahmad Dahlan memiliki pandangan yang sama dengan Ahmad Khan (tokoh pembaru Islam di India) mengenai pentingnya pembentukan kepribadian.81 Menurut Ahmad Dahlan pembentukan kepribadian merupakan target penting dari tujuan-tujuan pendidikan. Ia berpendapat bahwa tak seorangpun dapat mencapai kebesaran di dunia ini dan di akhirat kecuali mereka yang memiliki kepribadian yang baik. Seseorang yang berkepribadian yang baik adalah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran al-Qur’an dan hadis, maka dalam proses pembentukan kepribadian siswa harus dipekerkenalkan pada kehidupan dan ajaran-ajaran Nabi.82

Sebagai seorang Kyai atau ulama yang merupakan tokoh utama yang melahirkan gagasan pembaharuan Islam, yang pada waktu itu ditengah-tengah masyarakat dimana mayoritas taqlid buta, jauh dari kemurnian Islam, terbelakang jauh dari apa yang dinamakan ilmu pengetahuan, oleh salah seorang muridnya ditanya : bagaimana yang di gagaskan tetang jenis pendidikan yang dapat menjadi amal usaha atau media mencapai tujuan muhammadiya? Dijawab dengan kalimat yang sederhana dalam bahasa Jawa : “Dadyo Kyai sing kemajuan, aja kesel

anggonmi nyambut gawe kanggo Muhammadiyah”. Yang artinya adalah : Jadilah

79 Hery Sucipto, Op. Cit, h. 119 80Ibid, h. 120

81 Abuddin Nata. Op. Cit, h. 101 82Ibid, h. 102

seorang ulama yang dapat mengikuti perkembangan zaman, melengkapi dengan ilmu umum, disamping ilmu agama yang dimiliki.83

Menurut Amir Hamzah, “Tujuan umum pendidikn Muhammadiyah menurut

Ahmad Dahlan adalah mencakup : a) Baik budi, alim dalam agama, b) Luas pandangan, alim dalam ilmu-ilmu dunia (umum) dan c) Bersedia berjuang untuk

kemajuan masyarakatnya”.84

Menurut Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Disitu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan untuk menciptakan individu yang shalih, muttaqien dan mendalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agama sama sekali yang mengarah kepada pendangkalan terhadap agama.85

Melihat ketimpangan tersebut Ahmad Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh, menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spiritual serta dunia dan akhirat. Bagi Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum, material-spiritual, dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah.

Walaupun Muhammadiyah sejak tahun 1912 telah menggarap dunia pendidikan (Islam) namun perumusan mengenai Dasar dan Tujuan Perguruan Muhammadiyah mulai di susun pertama kali pada tahun 1936. Inti rumusan

tersebut adalah “Menggiring anak Indonesia menjadi orang Islam yang

83 Darwis Abdullah, Muhammadiyah : dulu, seakarang dan masa depan, (Jakarta : Midada Rahma Press, 2008), h. 33

84 Hery Sucipto, Op. Cit, h. 123, lihat pula di Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam,

(Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2011), h. 308, lihat pula di Muhammad Yunan Yusuf, dkk, Cita dan Citra Muhammadiyah, (Jakarta : Penerbit Pusaka Panjimas, 1985), h. 87

85 Ridjaluddin F.N, Muhammadiyah dalam Tinjauan Filsafat, (Jakarta : Pusat Kajian Islam Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka, 2011), h. 172

bersemangat, khusyuk, cerdas, sehat, cakap dan terampil serta berguna bagi

masyarakat”.86

Dengan demikian, sebagai seorang pemikir pendidikan Ahmad Dahlan menekankan pentingnya pengelolaan pendidikan Islam yang dilakukan secara modern dan profesional. Sehingga diharapkan lembaga pendidikan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik menghadapi dinamika zamannya. Untuk itu, pendidikan Islam perlu membuka diri, inovasi dan progresif.

c. Materi Pendidikan Islam

Sesuai dengan asas dan tujuab pendidikan Islam, maka materi dalam pendidikan Islam menurut Ahmad Dahlan adalah pengajaran al-Qur’an dan al -Hadis, membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi dan menggambar. Materi

al-Qur’an dan Hadis meliputi : ibadah, persamaan derajat, fungsi perbuatan manusia

dalam menentukan nasibnya, musyawarah, pembuktian kebenaran al-Qur’an dan

Hadis menurut akal, kerjasama antara agama-kebudayaan-kemajuan peradaban, hukum kausalitas perubabahan, nafsu dan kehendak, demokratisasi dan liberalisasi, kemerdekaan berpikir, dinamika kehidupan dan peranan manusia didalamnya dan akhlak (budi pekerti).

Oleh karena itu, muatan kurikulum dalam sekolah Muhammadiyah lebih memberikam muatan yang besar kepada ilmu-ilmu umum, sedangkan dalam aspek keagamaan minimal alumni sekolah Muhammadiyah dapat melaksanakan ibadah sholat lima waktu, shola-sholat sunah, membaca kitab suci al-Qur’an dan

menulis huruf Arab (al-Qur’an) mengetahui prinsip-prinsip akidah dan dapat

membedakan bid’ah, khurafat, syirik dan muslim yang muttabi’ (pengikut) dalam

pelaksanaan ibadah.87

Mengingat fungsi pendidikan Islam yakni mencetak kader-kader penerus

cita-cita Islam dan sikap mengemban amanat Allah sebagai “Khalifah Allah” di muka

bumi, yang tugas utamanya adalah menguapayakan terciptanya perdamaian

86 Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial, (Jakarta : Bumi Aksara, 1990), h. 113

sesama umat manusia, serta mengupayakan terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran hidup umat manusia. Maka ada satu kekurangan yang dirasa oleh Ahmad Dahlan yang harus segera disempurnakan, kalau pada awalnya sistem pondok pesantren hanya membekali kepada para santri ilmu-ilmu pengetahuan agama semata-mata, maka untuk penyempurnaannya mereka harus diberikan juga ilmu-ilmu pengetahuan umum sehingga dengan demikian akan lahirlah dari lembaga pendidikan ini manusia yang taqwa kepada Allah, cerdas lagi terampil , yang dalam terminologi al-Qur’an disebut sebagai Ulul Albab.88

Ahmad Dahlan telah menciptakan lembaga pendidikan Muhammadiyah sebagai lembaga yang mengajarkan pendidikan agama sebagai mata pelajaran wajib. Ilmu bahasa dan ilmu pasti disampaikan dalam Muhammadiyah sebagai mata pelajaran yang mengimbangi mata pelajaran agama (akidah, al-Qur’an,

tarikh dan akhlak). Dengan ini, sistem Muhammadiyah mempertahankan dimensi Islam yang kuat, namun dalam bentuk yang berbeda dengan sistem tradisional. Dari sini dapat dikatakan bahwa Ahmad Dahlan telah berhasil melakukan modernisasi sekolah keagamaan tradisional.89

d. Metode Pendidikan Islam

Pendidikan Islam dalam pelaksanaannya memerlukan metode yang tepat untuk mengantarkan proses pendidikan menuju tujuan yang telah dicitakan. Bagaimanapun baik dan sempurnanya sebuah kurikulum pendidikan Islam, tidak akan berarti apa-apa jika tidak memiliki metode atau cara yang tepat untuk mentransformasikannya kepada peserta didik. Ketidaktepatan dalam penerapan metode secara praktis akan menghambat proses belajar mengajar, yang pada gilirannya berakibat pada terbuangnya waktu dan tenaga secara percuma. Oleh karena itu, metode merupakan komponen pendidikan Islam yang dapat menciptakan aktivitas pendidikan menjadi lebih efektif dan efisisen.90

88 Musthafa Kamil Pasha & Ahmad Adabi Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam,

(Yogyakarta : Penerbit Citra Karsa Mandiri, 2005), h.103 89 Toto Suharto, Op. Cit, h. 310

Dalam mengajarkan pengetahuan agama Islam secara umum maupun membaca al-Qur’an. Ahmad Dahlan menerapkan metode pengajaran yang

disesuaikan dengan kemampuan siswa sehingga mampu menarik perhatian para siswa untuk menekuninya. Tentu saja sebagian siswa merasa bahwa waktu pengajaran agama Islam pada hari sabtu sore itu belum cukup. Oleh sebab itu, beberapa orang siswa, termasuk mereka yang belum beragama Islam sering datang kerumah Ahmad Dahlan di Kauman pada hari ahad untuk bertanya maupun melakukan diskusi lebih lanjut tentang berbagai persoalan yang berhubungan dengan agama Islam.91

Didalam menyampaikan pelajaran agama Ahmad Dahlan tidak menggunakan pendekatan yang tekstual tetapi kontekstual. Karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi.92 Dibawah ini akan penulis sajikan sebuah tabel yang menunjukkan empat pokok model pembaharuan pendidikan di pondok muhammadiyah, antara lain :93

Tabel 4.1

Perbedaan antara Sistem Pendidikan Lama & Muhammadiyah

Sistem Pendidikan Lama Pondok Muhammadiyah

Sistem belajar mengajar Wetonan-Sorogan.

Sistem klasikal dengan cara-cara Barat.

Bahan pelajaran semata-mata agama, kitab-kitab karangan ulama, pembaharuan tidak dipergunakan.

Bahan pelajaran tetap, ditambah ilmu pengetahuan umum, kitab-kitab agama dipergunakan secara luas, baik klasik maupun kontemporer. Belum ada rencana pembelajaran

yang teratur dan integral

Sudah diatur dengan rencana pembelajaran.

Hubungan guru dan bersifat murid bersifat otoriter dan kurang demokratis.

Diusahakan suasana hubungan guru dan murid lebih akrab, bebas dan demokratis.

91 Hery Sucipto, Op. Cit,, h. 124 92 Ridjaluddin, Loc. Cit, h. 172 93Ibid, h.177

Pembaharuan sistem pendidikan Islam yang dilakukan Ahmad Dahlan terlihat dari “pengembangan bentuk pendidikan dari model pondok pesantren dengan menggunakan metode sorogan, bandongan dan wetonan menjadi bentuk madrasah atau sekolah dengan menerapkan metode belajar secara klasikal”.94 Dengan sistem pendidikan seperti itu Muhammadiyah telah mengenal rencana pelajaran yang teratur dan integral, sehingga hasil belajar lebih dapat di evaluasi. Hubungan guru dan murid didalam lembaga pendidikan Muhammadiyah kiranya lebih akrab, bebas dan demokratis, yang berbeda dengan lembaga pendidikan tradisional yang mengesankan guru bersifat otoriter dengan keilmuannya. Pendirian lembaga Muhammadiyah dengan model pendidikan seperti itu merupakan kepedulian utama Ahmad Dahlan mengimbangi dan menandingi sekolah pemerintah Belanda. Dia merasa terkesan dengan kerja para misionaris Kristen yang mendirikan sekolah dengan fasilitas yang lengkap.95

e. Pendidik dan Peserta Didik

Pendidik dan peserta didik adalah dua hal yang tidak mungkin dipisahkan apabila kita berbicara mengenai pendidikan, dalam hal ini pendidikan Islam tentunya. Menurut Ahmad Dahlan etos kerja dan nalar pendidikan bisa dikaji dari

doktrin pendidikan yang dikembangkannya dalam kalimat pendek “jadilah guru

sekaligus murid” yang merupakan konsep dasar pembelajaran yang bersumber

dari pemahaman terhadap Islam.96

Menjadi guru bagi Ahmad Dahlan berarti memiliki semangat atau etos penyebaran ilmu dan nilai kepada orang lain, sedang menjadi murid berarti memiliki semangat dan etos belajar kepada siapa saja dan kapan saja. Doktrin demikian sekaligus merupakan prinsip belajar sepanjang hayat selain prinsip

ballighuhu ‘anni walau aayat”. Namun etos belajar tersebut memerlukan sistem

94 Hery Sucipto, Loc. Cit, h.119 95 Toto Suharto, Loc. Cit, h. 309

96 Mukhaer Pakkana & Nur Achmad (Eds), Op. Cit, h. 11, lihat pula di Abdul Munir Mulkhan,

nilai epistomologis tentang ketaktuntasan ilmu dan keterbukaan belajar bahkan kepada musuh sekalipun seperti berkali-kali diwasiatkan Ahmad Dahlan.97

Guru merupakan salah satu unsur utama dalam sistem pendidikan yang menjadi penentu keberhasilan proses pendidikan, termasuk dilingkungan perguruan Muhammadiyah. Namun, agak berbeda dengan posisi guru atau kyai

dalam sistem pendidikan Islam tradisional dilingkungan Nahdhatul Ulama’ yang

memiliki posisi dan peran kunci di lembaga pendidikan pesantren, posisi guru dilingkungan perguruan Muhammadiyah sama seperti halnya posisi guru di sekolah-sekolah swasta umum lainnya. Di lingkungan perguruan Muhammadiyah penentu kebijakan pendidikan adalah keputusan Majelis Pendidikan dan Pengajaran atau ketentuan organisasi lainnya. Karena itu, kedudukan dan peran guru di sekolah Muhammadiyah lebih sebagai pelaksana kebijakan pendidikan yang ditetapkan oleh Majelis Pendidikan dan Pengajaran. Hubungan guru-murid di perguruan Muhammadiyah berdasarkan norma bahwa murid harus berlaku hormat pada guru sebagai wujud dari budi akhlak Islam.98

Implementasi doktrin pendidikan dan belajar “jadi guru dan murid” dalam

praktik pendidikan lebih mudah dipahami dari gagasan dasar Paulo Preire yang lahir bersamaan dengan gerakan Muhammadiyah resmi berdiri pada tahun 1912. Doktrin ini mewarnai hampir seluruh kegiatan Muhammadiyah pada awal kelahirannya, terutama ketika gerakan ini berada dalam kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan hingga beliau wafat.99

Beberapa persyaratan kompetensi guru dalam Muhammadiyah mengacu pada kriteria seorang pendidik, seperti:

1) Menguasai materi, 2) Program pengajaran 3) Pengelolaan kelas

97Ibid, h. 12

98 Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pascakemerdekaan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 100-101

4) Menguasai landasan kependidikan 5) Strategi pembelajaran

6) Evaluasi pembelajaran, dan

7) Menguasai administrasi sekolah.100

f. Evaluasi Pendidikan Islam

Mengenai evaluasi pendidikan Islam menurut Ahmad Dahlan penulis sendiri belum menemukannya secara rinci dari beberapa literatur yang telah penulis baca yang berkiatan dengan Ahmad Dahlan, Muhammadiyah dan pemikiran pendidikannya. Disana hanya dijelaskan bahwa pembaharuan sistem pendidikan

Islam yang dilakukan Ahmad Dahlan terlihat dari “pengembangan bentuk

pendidikan dari model pondok pesantren dengan menggunakan metode sorogan, bandongan dan wetonan menjadi bentuk madrasah atau sekolah dengan

menerapkan metode belajar secara klasikal”. Dengan sistem pendidikan seperti itu

Muhammadiyah telah mengenal rencana pelajaran yang teratur dan integral, sehingga hasil belajar lebih dapat di evaluasi.101

Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa evaluasi yang di maksud Ahmad Dahlan adalah evaluasi dalam pembelajaran yang relevan dan sesuai rencana pembelajaran yang integral, mengenai bentuk evaluasinya secara pasti penulis belum menemukan. Yang pasti evaluasi itu harus dapat mengukur hasil belajar yang sudah dilakukan oleh siswa.

C.Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Hasan al-Banna dan Ahmad

Dokumen terkait