• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN

B. Ahmad Dahlan

1. Riwayat Hidup Ahmad Dahlan

K.H. Ahmad Dahlan secara biologis bukan keturunan kraton (bangsawan) yang ningrat dengan status kasta dan memiliki hierarki sosial politik yang berbeda.39 K.H. Ahmad Dahlan yang pada waktu kecilnya bernama Muhammad Darwis, lahir pada tahun 1868 di Yogyakarta K.H. Abu Bakar dengan Siti Aminah. K.H. Abu Bakar adalah khatib di masjid Agung Kesulthanan Yogyakarta, sedangkan ayah Siti Aminah adalah Penghulu Besar di Yogyakarta.40 Namun ada juga yang mengatakan bahwa Ahmad Dahlan lahir pada tahun 1869 dengan nama Darwisy.41

Mengenai tahun kelahiran Ahmad Dahlan secara pasti banyak perbedaan pendapat, Junus Salam dalam bukunya Riwayat Hidup K.H. Ahmad Dahlan : Amal dan Perjuangannya, hanya menyebut tahun 1868 M atau 1285 H. Haji

Soedja’ dalam Riwayat Hidup K.H. Ahmad Dahlan Pembina Muhammadiyah

hanya menyebut tahun 1869 M berbeda satu tahun dengan pendapat pertama. Sedangkan dalam buku yang berjudul Pembangun Indonesia yang dihimpun oleh Sinar Kaum Muhammadiyah menyebutkan bahwa Ahmad Dahlan lahir pada hari

sabtu 24 Sya’ban tahun 1827 H. Sedangkan menurut Drs. Oman Fathurrahman

ahli falak dari Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah,

menyatakan bahwa Ahmad Dahlan lahir pada hari sabtu tanggal 24 Sya’ban tahun

1827 H bertepatan dengan tanggal 19 November 1870 M. Dan wafat pada tanggal 23 Februari tahun 1923, dalam usia yang relatif muda yakni 55 tahun atau 54 tahun.42

39 Mukhaer Pakkana & Nur Achmad (Eds), Muhammadiyah Menjemput Perubahan, Tafsir Baru Gerakan Sosiak-Ekonomi-Politik, (Jakarta : kerja sama P3SE STIE Ahmad Dahlan Jakarta dan Penerbit Buku Kompas, 2005), h. 43

40 Weinata Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2008), h. 39

41 Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005), h. 98

42 Haedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, (Yogyakarta : Suara Muhammadiyah), h. 110-111.

Silsilah keturunannya adalah sebagai berikut : “Muhammad Darwis putra H. Abu Bakar, putra K.H.M. Sulaiman, Putra Kiai Murtadla, putra Kiai Ilyas, putra Demang Jurang Juru Kapindo, putra Demang Jurang Juru Sapisan, putra Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig, putra Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen), putra

Maulana Ainul Yaqin, putra Maulana Ishaq dan Maulana Ibrahim”.43

Garis keturunan Ahmad Dahlan dari pihak ibu menurut buku Eyang Abdurakhman, Plasakuning, Yogyakarta adalah berasal dari Kyai Muhammad Ali-Kyai Haji Hasan-Haji Ibrahim. Seorang putri (anak perempuan) Haji Ibrahim menikah dengan Kyai Haji Abu Bakar, dan menjadi ibunya Ahmad Dahlan. Kemudian, seorang putra (anak laki-laki) Haji Ibrahim, yaitu Kyai Ahmad Fadhil (Kyai Penghulu), yang berarti saudara dari ibunda Ahmad Dahlan, mempunyai anak perempuan yaitu Siti Walidah yang lalu menikah dengan Ahmad Dahlan. Jadi, Siti Walidah dengan Ahmad Dahlan adalah saudara sepupu.44

Ahmad Dahlan mempunyai 6 orang saudara, beliau merupakan anak ke-4 dari 7 bersaudara tersebut. Secara berurutan nama 7 bersaudara Ahmad Dahlan adalah sebagai berikut :

a. Nyai Khatib Harun

b. Nyai Muchsin, yang juga dikenal dengan Nyai Lurah Achmad Nur c. Nyai Haji Muhammad Shaleh

d. Kyai Haji Ahmad Dahlan e. Nyai Haji Abdurrahman

f. Nyai Haji Muhammad Faqih, dan

g. Muhammad Basir, yang merupakan satu-satunya saudara laki-laki.45

Dari perkawinan dengan Siti Walidah tahun 1889 Ahmad Dahlan dikaruniai enam anak yaitu Djohanah, Siradj, Siti Busyro, Siti Aisyah, Irfan dan Siti

Zuharah. Siradj Dahlan pernah menjadi Direktur Madrasah Mu’allimin

43 weinata Sairin, Loc. Cit, h. 39

44 Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, (Jakarta : Balai Pustaka, 1998), h. 41

45 Abdul Munir Mulkhan, Warisan Intelektual KH. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah,

Muhammadiyah Yogyakarta, sedangkan Irfan Dahlan bermukim di Bangkok Thailand.46

Selain Nyai Walidah, Ahmad Dahlan juga pernah memperistri beberapa wanita, yang semuanya janda dan tidak dikawini dalam waktu yang bersamaan, yaitu :

a. Janda Haji Abdullah dan memperoleh seorang anak yang bernama R. Duri. b. Janda Nyai Rum, memperoleh seorang anak yang meninggal semasa bayi. c. Dengan janda Nyai Aisyah memperoleh seorang anak yang diberi nama

Dandanah.

d. Terakhir beliau menikah dengan janda Nyai Sholihah, namun tanpa dikarunia seorang anakpun.47

Sewaktu kecil, Ahmad Dahlan tidak sempat menikmati pendidikan Barat untuk anak-anak kaum ningrat yang lulusannya biasanya disebut kapir landa. Malahan ia mendapatkan pendidikan tradisional di Kauman, Yogyakarta, dimana ayahnya sendiri K.H. Abu Bakar menjadi guru utamanya yang mengajarakan pelajaran-pelajaran dasar mengenai agama Islam. Seperti juga anak-anak kecil lain ketika itu, Ahmad Dahlan dikirim ke pesantren di Yogyakarta dan pesantren-pesantren lain dibeberapa tempat di Jawa. Dilembaga-lembaga pendidikan inilah,

ia belajar pelajaran qira’ah, tafsir, fiqih, dan bahasa Arab.48

Ahmad dahlan dilahirkan disebuah kampung yang bernama Kauman. Kampung Kauman merupakan lingkungan keagamaan yang sangat kuat, yang berpengaruh besar dalam perjalanan hidup Ahmad Dahlan dikemudian hari. Kauman kemudian secara populer menjadi nama dari setiap daerah yang berdekatan letaknya dengan masjid.49

Bahkan dalam catatan sejarah, setelah Masjid Agung Kraton Yogyakarta Hadiningrat selesai dibangun, beberapa kerabat keraton yang ahli dalam maslah

46 Haidar Nashir, Op. Cit, h. 113

47 Abdul Munir Mulkhan, Loc. Cit, h. 62 48 Abuddin Nata, Op. Cit, h. 99

Islam diminta untuk tinggal disekitar masjid dan diserahi tugas untuk memelihara dan memakmurkannya. Dari mereka inilah disebut-sebut sebagai cikal bakal penduduk asli Kampung Kauman. Maka, sangat wajar jika Ahmad Dahlan tumbuh menjadi seorang yang ahli agama, karena sejak kecil ia hidup dalam lingkungan yang didasari agama yang sangat kuat.50

Selain itu, kehidupan ekonomi sehari-hari di lingkungan Kauman juga disibukkan dengan bakulan yang pada umumnya berdagang kain batik. Oleh sebab itu, jalinan hubungan dagang antarsaudagar kain batik dari berbagai kota sudah lama terbentuk di kalangan mereka. Sejalan dengan itu, di bidang keagamaan yang mereka tekuni pun turut membentuk terciptanya jaraingan ulama, kiai di kota-kota Jawa dan bahkan sampai ke luar Jawa. Begitulah suasana kehidupan masyarakat kampung Kauman yang religius, giat usaha, militan dalam agama, percaya diri dan penuh keramahan yang berlandaskan akhlak mulia, menjadi lahan yang subur untuk tumbuh dan berkembangnya jiwa kepribadian Muhammad Daswisy.51

Menjelang dewasa Ahmad Dahlan mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu. Diantaranya K.H. Muhammad Saleh (ilmu fiqih), K.H. Muhsin (Ilmu Nahwu), K.H.R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri

(Qira’at Qur’an), serta beberapa guru lainnya. Dalam usia relatif muda, ia telah

mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Ketajaman intelektualitasnya yang tinggi membuatnya selalu merasa tidak puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan terus berupaya untuk lebih mendalaminya.52

Setelah menyelasaikan pendidikan dasarnya di madarsah dan pesantren di Yogyakarta dan sekitarnya, ia berangkat ke Mekkah untuk pertama kali pada

50 Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah,

(Jakarta : Best Media Utama, 2010), h.50

51 M. Yunan Yasin, dkk (eds), Ensiklopedia Muhammadiyah, (Jakarta : Kharisma Putra Utama Offset, 2005), h. 74

52 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), h. 101

1890,selama setahun ia belajar disana. Salah satu gurunya adalah Syaikh Ahmad Khatib, seorang pembaharu dari Minangkabau, Sumatra Barat.

Selama belajar di Mekkah, tampaknya Tafsir Al-Manar yang dikarang oleh Muhammad Abduh, mendapat perhatian serius dan yang paling digemarinya. Tafsir ini memberikan cahaya terang dalam hatinya serta membuka akalnya untuk berpikir jauh ke depan tentang eksisitensi Islam di Indonesia, yang pada waktu itu masih sangat tertekan dari penjajahan Belanda. Ketika masih belajar di Mekkah itulah ia juga berkesempatan untuk dapat bertukar pikiran langsung dengan Rasyid Ridha yang dikenal sebagai seorang pembaharu Islam. Pengalamannya inilah yang mendorong ia tertantang untuk mengadakan perubahan-perubahan yang berarti dalam kehidupan keagamaan kaum muslimin di tanah airnya Indonesia.53

Sekitar tiga tahun kemudian, 1903, untuk kedua kalinya ia berkunjung ke Mekkah. Kali ini ia menetap lebih lama, yakni selama dua tahun. Diyakini bahwa selama ia tinggal di kota suci Mekkah, ia bertemu dengan ide-ide pembaruan Islam yang dipelpori Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.54 Melalui kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, telah membuka wawasannya tentang universalitas Islam. Ide-ide tentang reintrepretasi Islam dengan gagasan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah mendapat perhatian

khusus Ahmad Dahlan ketika itu.55

Sepulang dari Mekkah, pada tahun 1889 M, saat itu ia berusia 24 tahun, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri anak Kiai penghulu Haji Fadhil, yang dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang pahlawan Nasional dan Pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu : Siti Johannah (lahir 1890), Siraj Dahlan (lahir 1898), Siti Busyro (lahir 1903), Irfan Dahlan dan Siti Aisyah (lahir kembar, tahun 1905) dan Siti Zuharoh (lahir tahun 1908). Disamping itu Ahmad Dahlan pernah

53 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1996), h. 115

54 Abuddin Nata, Loc. Cit, h. 99 55 Samsul Nizar, Loc. Cit, h. 101

pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kiai Munawwir Krapyak. Ia juga mempunyai putra dari perkawinan dengan Ibu Nyai Aisyah (Adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengann Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.56

Sebagai seorang ulama’, Ahmad Dahlan tidak melalaikan fungsinya selaku

kepala keluarga. Untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, Ahmad Dahlan diberi modal oleh ayahnya untuk berdagang batik. Usaha batiknya ternyata mengalami kemajuan yang sangat pesat sehingga jangkauan pemasarannya mampu menembus daerah-daerah Jawa Barat, Jwa Timur bahkan Sumatra Utara. Bersamaan dengan perdgangan batik inilah Ahmad Dahlan menyebar luaskan gagasan-gasannya melalui perjumpaan serta dialog dengan berbagai tokoh Islam didaerah-daerah yang ia kunjungi.57 Ahmad Dahlan bukan seorang penulis. Oleh karena itu, gagasan-gagasan pemikirannya ia sampaikan secara lisan dan karya nyata. Untuk itulah ia lebih dikenal sebagai pelaku dibandingkan sebagai pemikir.58

Selain berdagang, pada hari-hari tertentu Ahmad Dahlan memberikan pengajian kepada beberapa kelompok orang, terutama pada sekelompok murid pendidikan guru pribumi di Yogyakarta. Dia juga pernah mencoba mendirikan madrasah dengan memakai bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam lingkungan kraton Yogyakarta, namun usaha ini gagal. Selanjutnya pada tanggal 1 desember 1911 Ahmad Dahlan mendirikan sebuah sekolah dasar dalam lingkungan keraton Yogyakarta. Disekolah ini pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini dapat dikatakan sebagai sekolah Islam swasta pertama yang memenuhi

56 Hery Sucipto, Op. Cit, h. 52 57 Weinata Sairin, Op. Cit, h. 44 58 Abuddin Nata, Loc. Cit, h. 99

persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah dan kemudian mendapat subsidi tersebut.59

Pada tahun 1896 sang ayah K.H. Abu Bakar yang dicintainya berpulang berpulang ke Rahmatullah.60 Sesudah ayahnya meninggal, tahun 1890, maka Ahmad Dahlan ditetapkan sebagai pengganti kedudukan ayahnya, yaitu sebagai Khatib di Masjid Agung Kauman Yogyakarta. Semasa menjabat sebagai khatib, Ahmad Dahlan berusaha menerangkan arah kiblat sholat sebenarnya. Usaha-usaha untuk menyebarkan informasi tersebut dilakukannya dengan mengundang 17 ulama untuk menyepakati persoalan kiblat sholat di surau Khatib Amin. Meskipun pada akhirnya tidak memperoleh kesepakatan, namun sudah dianggap mendapat kemajuan positif dalam menjalankan musyawarah yang sopan dan tidak menimbulkan pertikaian. Persoalan arah kiblat ini menunjukkan sikap Ahmad Dahlan dalam memahami ajaran Islam. Beliau mencoba meluruskan cara-cara beribadah menurut contoh ataupun yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW. Paham Ahmad Dahlan yang melaksanakan ibadah beradasarkan kesadaran yag tumbuh dari dalam pribadinya.61

Djarnawi Hadikusuma dalam bukunya Matahari-matahari Muhammadiyah

melukiskan sosok Ahmad Dahlan sebagai berikut :

Orangnya kurus dan agak tinggi, raut mukanya bulat telur dan kulitnya hitam manis. Hidungnya mancung dengan bibir elok bentuknya, kumis dan janggutnya rapih. Kacamata selalu melekat di depan matanya yang tenang dan dalam. Pandangan matanya lunak dan tenang tetapi menembus hati siapa yang dipandangnya. Cahaya matanya memancarkan kasih mesra dan keikhlasan yang tiada taranya, dan sinar yang tenang menandakan kedalaman ilmunya, terutama dalam bidang tasawuf. Gerak-geriknya lamban tetapi pasti dan terarah. Seolah-seolah setiap gerak telah dipikirkan masak-masak. Dari gelembung dibawah kedua matanya dapat ditandai bahwa dia kurang tidur malam, asyik membaca atau berpikir serta bedzikir kepada Allah. Dalam hal berpakaian sangat sederhana namun bersih. Bersarung palikat yang dililitkan tinggi dari atas mata kaki, mengenakan baju jas tutup bewarna putih, kepalanya berlilitkan sorban yang pantas letaknya. Kesemuanya itu menggambarkan

59 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001), h.204 60 Hery Sucipto, Loc. Cit, h. 52

pribadinya sebagai manusia takwa kepada Allah, serba teliti dan hati-hati dalam setiap perkataan dan perbuatan.62

Ketika berusia 40 tahun, yakni pada tahun 1909 Ahmad Dahlan telah membuat terobosan dan strategi dakwah, ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui perkumpulan ini, Ahmad Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya. Lebih dari itu, karena anggota-anggota Budi Utomo pada umumnya bekerja disekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah, Ahmad Dahlan berharap dapat mengajarkan pelajaran agama disekolah-sekolah pemerintah. Rupanya, pelajaran dan cara mengajar agama yang diberikan Ahmad Dahlan dapat diterima baik oleh anggota-anggota Budi Utomo. Terbukti, mereka menyarankan Ahmad Dahlan membuka sendiri sekolah secara terpisah.63

Ahmad Dahlan melihat bahwa organisasi Jamiatul Khair yang didirikan di Jakarta 17 Juli 1905, memiliki hubungan dengan Timur Tengah, maka ia yang haus akan informasi serta perintisan hubungan dengan Timur Tengah, memasuki organisasi itu. Ahmad Dahlan berhasil berkenalan dengan Syeikh Ahmad Surkati, yang didatangkan oleh Jamiatul Khair dari Mesir tahun 1911. Keduanya saling berjanji untuk mendirikan organisasi kader dalam upaya mendukung cita-cita kemajuan Islam. Ahmad Dahlan juga memasuki organisasi Sarekat Islam, ketika organisasi itu didirikan tahun 1911 di Sala dan pernah menjadi anggota Panitia Tentara Pembela Kanjeng Nabi Muhammad, sebuah organisasi yang di dirikan di Sala untuk menghadapi golongan yang menghina Nabi Muhammad SAW.64

Ide pembaharuannya yang berhembus dari Timur Tengah sangat menggelitik hatinya, terutama bila melihat kondisi dinamika umat Islam Indonesia yang cukup stagnan. Untuk itu, atas saran beberapa murid Boedi Oetomo, maka dia merasa perlu untuk merealisasikan ide pembaharuannya melalui sebuah organisasi keagamaan yang permanen. Untuk itu ia mendirikan organisasi Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta. Tujuan organisasi ini adalah

62 Djarnawi Hadikusuma, Matahari-matahari Muhammadiyah, (Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2010), h. 3-4

63 Abuddin Nata, Op. Cit, h. 100 64 Weinata Sairin, Op. Cit, h. 45

“menyebarkan pengajaran Rasulullah kepada penduduk bumiputera dan

memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya”. Untuk mencapai

maksud ini, Muhammadiyah mendirikan lembaga pendidikan (tingkat dasar sampai pergutuan tinggi), mengadakan rapat-rapat dan tabligh, mendirikan badan wakaf dan masjid, serta menerbitkan buku-buku, brosur, surat kabar dan majalah.

Untuk menjaga tekad dan semangatnya yang tidak kunjung padam dan untuk menjaga agar tidak gentar menghadapi segala tentangan, beliau antara lain

menulis hadist Nabi ditembok rumahnya, yang artinya : “Niscaya orang yang

berpegang teguh pada sunnahku ketika umatku telah rusak, ibarat seorang yang menggenggam bara api”, dan dibawahnya diberi komentar sebagai berikut : “Karena tidak ada orang yang mendukung dan menyetujuinya”. Begirulah

kerasnya semangat dan keyakinan dalam berjuang menegakkan dan menyiarkan Islam, hingga akhirnya berhasil menanamkan jiwa dan amalan agama yang bersih dan lurus sebagaimana yang ditentukan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah.65

Ahmad Dahlan meninggal pada tanggal 23 Februari 1923 di Kauman-Yogyakarta, sesudah menderita sakit beberapa waktu lamanya. Hingga akhir hayatnya, semangat serta dinamikanya dalam membangun umat sangat berapi-api, sehingga ia melupakan kesehatannya sendiri. Jasanya yang besar diberbagai bidang diakui oleh pemerintah ketika Presiden Soekarno dalam Surat Keputusan No. 675 tahun 1961, tanggal 27 Desember, menetapkan Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional.

Konteks sosial di mana Ahmad Dahlan hidup mencerminkan tiga hal, yaitu modernisme, tradisionalisme, dan Jawaisme. Menghadapi modernisme, Ahmad Dahlan menyikapinya dengan mendirikan sekolah-sekolah model Barat. Tradisionalisme disikapi Ahmad Dahlan dengan metode tabligh, yaitu mengunjungi murid-muridya untuk melakukan pengajian. Pada masa itu, guru mencari murid merupakan aib sosial-budaya, tetapi Ahmad Dahlan melakukannya sebagai perbuatan yang luar biasa. Dari tabligh semacam ini, paling tidak

65 Musthafa Kamal Pasha, dkk, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Tajdid, (Yogyakarta : Citra Karsa Mandiri, 2003), h. 59

memiliki implikasi sebagai perlawanan terhadap paham pemujaan tokoh (idolatry) dan perlawanan terhadap mistifikasi agama. Sedangkan menghadapi Jawaisme, disikapi Ahmad Dahlan dengan metode positive action yang mengedepankan amar ma’ruf nahi munkar. Ahmad Dahlan dengan metode ini menekankan bahwa keberuntungan hidup semata-mata merupakan kehendak Tuhan yang diperoleh manusia melalui sholat, bukan melalui jimat, pengkeramatan kuburan atau memelihara takhayul. Ketiga sikap dan respons Ahmad Dahlan terhadap konteks sosial masa itu dilakukan Ahmad Dahlan sebagai wujud dari keinginannya untuk melakukan pembaruan.66

Dokumen terkait