• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Teoritis

WISDOM MAXIM IN JAVANESE COMMAND SPEECH

2. Pemikiran Teoritis

Aspek yang akan dikemukakan dalam ke- rangka teori ini mencakup dua hal, yaitu: (1) prinsip tata krama atau kesantunan bahasa, dan (2) faktor-faktor soaial dalam bertutur. Pada hakikatnya kesantunan bahasa berkenaan dengan hubungan antara dua peserta tutur yaitu penutur atau pembicara dan lawan tutur atau pendengar, tetapi penutur juga dapat me- nunjukkan sopan santun kepada pihak ketiga yang hadir atau tidak hadir dalam situasi ujar.

Kesantunan atau sopan santun bahasa Jawa umumnya disebut unggah-ungguh basa. Kaidah sopan santun inilah yang menjadi tolok ukur kehalusan, kehormatan, dan kesopanan suatu tindak bahasa. Apakah tuturan bahasa itu halus atau kasar, hormat atau tidak hormat, sopan atau tak sopan. Penerapan cara mengkomunikasikan kesopanan yang salah dapat mengakibatkan penafsiran yang salah pula mengenai tujuan ko munikasi dan akan mengakibatkan berbagai penilaian, misalnya: seseorang dinilai kasar, agresif, tidak bijaksana, sok akrab, dan lain-lain yang kesemuanya itu merugikan salah satu pe- serta tutur.

Peristiwa tutur (speech event) dan tindak tutur (speech act) seseorang yang ditujukan ke pada pendengar itu bersifat bebas, namun karena menyangkut hubungan pribadi dengan orang lain, maka harus mengikuti aturan pergaulan dalam bentuk sikap dan bentuk bahasa (Band. Adisumarta, 1991: 1).

Sebagai landasan berpikir dalam membica- rakan komunikasi beserta konteksnya digu- nakan pendekatan pragmatis. Seperti dikatakan Tarigan (1986: 26) bahwa pragmatik—yang dise- butnya dengan istilah sosiopragmatik—adalah telaah mengenai kondisi-kondisi ‘setempat’ atau kon disi-kondisi ‘lokal’ yang lebih khusus mengenai bahasa. Oleh Levinson (1991: 9) di - katakan bahwa pendekatan pragmatik merupa- kan pendekatan yang memperhatikan bahasa dan konteksnya. Di samping itu, dikatakan oleh Leech (1993: 11) bahwa pragmatik adalah ilmu tentang komunikasi yang menggunakan bahasa berdasarkan prinsip-prinsip percakapan. Ber- kaian dengan itu, Wijana (1996: 7) menjelaskan bahwa dengan perhatian yang saksama terha- dap proses produksi tuturan, pragmatik dapat menerangkan bentuk-bentuk tuturan yang di- utarakan secara nonkonvensional.

Sehubungan dengan bahasan dalam tulisan ini, perlu dikemukakan beberapa konsep ter- kait yang melandasi yaitu (a) tindakan dan per cakap an, (b) prinsip komunikasi, dan (c) prinsip kesopanan. Salah satu yang dilakukan tuturan adalah membuat proposisi, khususnya membentuk pernyataan dan pertanyaan, walau- pun bentuk-bentuk gramatikalnya lain dari proposisi yang bersangkutan. Namun, perlu di- ketahui pula bahwa penggunaan bahasa dalam percakapan tidak hanya untuk menyampaikan proposisi atau fakta saja, melainkan lebih jauh dari itu. Melalui percakapan atau komu- nikasi lisan itu akan didapat antara lain: (a) terbentuknya hubungan dengan orang lain; (b) jalinan kerja sama atau sebaliknya dengan orang lain, dan (c) usaha mempertahankan hubungan dan jalinan yang lebih jauh.

Suyono (1990: 63) menyebutkan bahwa prinsip-prinsip sopan santun terdiri atas aturan (1) kebijaksanaan; (2) kedermawanan; (3) peng- hargaan; (4) kesederhanaan; (5) permufakatan; dan (6) kesimpatisan. Sama dengan prinsip kesantunan yang dikemukakan di atas, Wijana (1996: 55) mengemukakan dengan istilah yang berbeda. Prinsip kesantunan disebut dengan

istilah prinsip kesopanan (politeness principle) yang memiliki sejumlah maksim, yakni maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (appro- bation maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympaty maxim). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur dan orang ketiga yang dibicarakan penutur dan lawan tutur (band. Gunawan, 1992: 12—13).

Salah satu prinsip penggunaan bahasa adalah situasi tutur. Bahasa memiliki ting katan- tingkatan, dalam penggunaannya harus mem- perhatikan situasi tutur agar dapat mene rapkan tingkat tutur secara tepat. Leech (1993) yang dikutip Wijana (1996: 10--13) mengemukakan sejumlah aspek yang harus selalu dipertimbang- kan dalam rangka studi pragmatik. Aspek-aspek tersebut adalah: (1) penutur dan lawan tutur, aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan lain-lain; (2) konteks tuturan adalah semua latar belakang pengetahuan (back ground knowlegde) yang dipakai bersama oleh penutur dan lawan tutur; (3) tujuan tuturan, bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatar belakangi oleh maksud dan tujuan tertentu; (4) tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, tuturan sebagai entitas yang konkret, jelas penutur dan lawan tuturnya, serta waktu dan tempat pengu- taraannya; dan (5) tuturan sebagai produk tindak verbal, tuturan merupakan bentuk dari tindak verbal karena tuturan yang digunakan di dalam rangka pragmatik merupakan bentuk dari tindak tutur.

Status sosial dan keakraban merupakan aspek penutur dan lawan tutur. Aspek ini harus diperhatikan oleh penutur dan lawan tutur. Kata status berarti keadaan atau kedudukan dalam masyarakat dan kedekatan pergaulannya satu sama lain sehingga kedua belah pihak merasa

dihargai dan diperlakukan secara wajar (band. Sugono, 2008: 1338).

Seperti pernah dikemukakan Leech bahwa situasi-situasi yang berbeda menuntut ada- nya jenis-jenis dan derajat sopan santun yang berbeda juga. Selanjutnya Brown & Levinson, 1978 (dalam Wijana, 1996: 64--66) menun- jukkan secara meyakinkan bahwa penutur mempergunakan strategi linguistik yang berbeda-beda di dalam memperlakukan secara wajar lawan tuturnya. Dalam hal ini mereka meng identifikasikan empat strategi dasar, yakni strategi kurang sopan, strategi agak sopan, strategi sopan, dan strategi paling sopan. Keempat strategi ini harus dikaitkan dengan tiga parameter pragmatik, yaitu: (1) tingkat jarak sosial (distance rating) antara penutur dan lawan tutur yang ditentukan berdasarkan parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar sosiokultural; (2) tingkat status sosial (power rating) yang didasarkan atas kedudukan yang asimetrik antara penutur dan lawan tutur di dalam konteks penuturan; dan (3) tingkat peringkat tindak tutur yang didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lain

Seperti yang telah dikemukakan terdahulu, dalam interaksi sosiolinguistik perlu kemam- puan berbahasa di luar kemampuan linguistik (tata bahasa dan kosakata), yaitu kemampuan komunikatif yang berarti tahu mempergunakan unsur kebahasaan sesuai dengan norma-norma berbicara, dalam keadaan yang sesuai dan tidak, dan aturan berbicara yang berbeda-beda antara kelompok-kelompok budaya yang berlainan. 3. Hasil Analisis Penerapan Maksim

Kebijaksanaan

Percakapan merupakan bentuk dari tindak verbal atau bentuk tindakan berbahasa. Dalam percakapan, penutur yang baik akan mem- perhatikan seperangkat aturan agar dapat men - capai hasil yang baik. Menurut Suyono (1990: 14--15) seperangkat aturan percakapan (maxims of conversation) itu di antaranya apa yang disebut

de-ngan prinsip sopan-santun (politeness prin- ciple). Dengan memperhatikan aturan-aturan yang ada dalam prinsip sopan-santun (ke- santunan), pemakai bahasa dapat menerapkan penggunaan bahasa yang baik, dalam arti sopan. Ketepatan tindak tutur yang disesuaikan dengan situasi akan menjamin pemenuhan prinsip kesantunan dan prinsip-prinsip kesan- tunan menentukan kelancaran percakapan atau tindak tutur berbahasa.

Seseorang dalam berkomunikasi selalu menggunakan bahasa apa yang dimiliki. Se- bagai contoh orang Jawa di dalam memerintah kepada orang lain tentunya juga menggunakan bahasa Jawa. Bahasa yang digunakan itu akan terpengaruh oleh faktor lingkungan yang ada. Akibatnya bentuk bahasa yang digunakan itu merupakan cerminan dari masyarakat tutur Jawa. Dari sejumlah sumber data tindak tutur perintah dalam bahasa Jawa yang berhasil di himpun dalam penelitian ini, terkumpul data-data berupa tuturan-tuturan yang dapat dianalisis menurut pemakaiannya berdasarkan prinsip kesantunan berbahasa. Penentuan santun-tidaknya bentuk tuturan dimaksud, bergantung kepada kesesuaian terhadap maksim yang ada dalam prinsip kesantunan se bagai - mana yang telah diuraikan dalam kerangka teori. Jika sesuai dengan maksim yang ada dalam prinsip kesantunan, bentuk tuturan tersebut dianggap santun dan jika tidak sesuai atau tidak memenuhi maksim yang ada dalam prinsip kesantunan. Bentuk tuturan tersebut dianggap tidak santun karena melanggar kesantunan berbahasa. Peserta tutur berusaha berbuat baik kepada orang lain, membuat keuntungan mitra tutur semaksimal mungkin. Bentuk tuturan yang menggunakan maksim kebijaksanaan, salah satunya, adalah tindak tutur direktif, se- perti: menawarkan jasa, menolak, dan meme- rintah.

Sebagaimana diketahui, ada salah satu maksim dalam prinsip kesantunan (politeness principle) yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur, yakni maksim kebijaksanaan. Kepatuhan

dan pelanggaran bentuk tuturan berbahasa yang menjadi data penelitian terhadap maksim tersebut dalam prinsip kesantunan berbahasa dapat dilihat dalam pembahasan berikut ini.

1) Mematuhi Maksim Kebijaksanaan