• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

104 Jimly Asshiddiqie III, hal. 276

E. Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pada subbab sebelumnya telah dipaparkan beberapa pertimbangan hukum atau penafsiran hakim konstitusi dalam putusan pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dan dalam putusan pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Dari kedua putusan tersebut dapat dilakukan perbandingan penafsiran hakim dalam menguji undang-undang terhadap pasal 33 Undang Undang Dasar 1945.

Sebelum membandingkan penafsiran hakim terhadap pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, akan ditarik dulu beberapa persamaan antara dalil-dalil permohonan dalam kedua pengujian undang undang tersebut. Persamaan yang paling menonjol dalam kedua pengujian undang-undang tersebut adalah tentang “penguasaan negara” atas cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam (bumi, air, dan ruang angkasa) yang dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hal ini

dikaitkan dengan persoalan privatisasi, swastanisasi, dan komersialisasi atas Ketenagalistrikan dan Sumber Daya Air.

Untuk itu, pembahasan selanjutnya akan beranjak dari persoalan “penguasaan negara” atas cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam (bumi,air, dan ruang angkasa) dilihat dari penafsiran hakim terhadap pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, penafsiran hakim dalam pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, dan penafsiran hakim dalam pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

1. Penafsiran terhadap Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945

Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 yang dijadikan dasar utama pengujian kedua undang-undang tersebut adalah ayat (2) dan ayat (3). Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) berbunyi:

Ayat (2): Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat

hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Ayat (3): Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Di dalam putusan Pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang merupakan pengujian undang-undang yang pertama kali diajukan kepada Mahkamah Konstitusi dan merupakan putusan pertama Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian undang-undang yang mendalilkan persoalan penguasaan negara atas sumber daya ekonomi, dari situ dapat dilihat tafsir penting Mahkamah Konstitusi dalam menjelaskan kedudukan negara berdasarkan frasa “dikuasai oleh negara” yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) tersebut. Hal itu adalah:

a. Dalam konsepsi kepemilikan perdata, “dikuasai oleh negara” dipahami sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan alam.

b. Pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945

mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata, karena kepemilikan tersebut lahir

dari konstruksi kedaulatan rakyat yang dinyatakan dalam hukum tertinggi, yaitu Undang Undang Dasar 1945.

c. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh Undang Undang Dasar 1945 memberikan mandat kepada negara untuk:

1) Mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan

(bestuursdaad) yang dilakukan oleh negara c.q pemerintah dengan

kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan

(vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie).

2) Pengaturan (regelendaad), dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh

DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). 3) Pengelolaan (beheersdaad), dilakukan melalui mekanisme pemilikan

saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

4) Pengawasan (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q.

kekayaan itu benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.

d. Pengertian “dikuasai oleh negara” tidak dapat diartikan hanya sebatas

sebagai hak untuk mengatur, karena hal dimaksud sudah dengan sendirinya

melekat dalam fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut secara khusus dalam Undang Undang Dasar. Sekiranyapun Pasal 33 tidak tercantum dalam Undang Undang Dasar 1945, sebagaimana lazim di banyak negara yang menganut paham ekonomi liberal yang tidak mengatur norma-norma dasar perekonomian dalam konstitusinya, sudah dengan sendirinya negara berwenang melakukan fungsi pengaturan.

e. Mengutip pendapat Bung Hatta, makna dikuasai oleh negara ialah bahwa terhadap cabang produksi yang telah dimiliki oleh negara, maka negara harus

memperkuat posisi perusahaan tersebut agar kemudian secara bertahap

akhirnya dapat menyediakan sendiri kebutuhan yang merupakan hajat hidup orang banyak dan menggantikan kedudukan perusahaan swasta, baik nasional maupun asing.

Lima hal di atas akan menjadi pedoman utama bagi Mahkamah Konstitusi dalam memutus pengujian undang-undang terhadap Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, terutama yang mempermasalahkan penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting dan sumber kekayaan alam.

2. Penafsiran terhadap Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan

Secara khusus, bila dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, maka dapat ditemukan beberapa hal penting yang diturunkan dari penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap “penguasaan negara” dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, hal tersebut adalah:

a. Peranan negara terhadap Ketenagalistrikan di dalam putusan Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai kepemilikan atas perusahaan negara (BUMN) yang melakukan penyediaan fasilitas ketenagalistrikan.139

b. Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 tidak menolak ide kompetisi diantara para pelaku usaha, sepanjang itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara

c. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa cabang produksi dalam Pasal 33 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 di bidang ketenagalistrikan harus ditafsirkan

sebagai satu kesatuan antara pembangkit, transmisi, dan distribusi. Sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan (unbundling)

d. Pasal 16, 17 ayat (3), serta Pasal 68 yang mengatur persoalan unbundling dan kompetisi merupakan jantung dari Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, sehingga ketika Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi, maka secara keseluruhan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan tidak dapat dipertahankan, karena akan menyebabkan kekacauan yang menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya.

139 Dalam putusan Mahkamah Konstitusi disebutkan: “Penguasaan negara juga termasuk dalam kepemilikan privat yang tidak harus 100%. Artinya, pemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha yang menyangkut cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud, dapat bersifat mayoritas mutlak (di atas 50%) atau bersifat mayoritas relatif (di bawah 50%) sepanjang Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas relatif tersebut secara hukum tetap memegang kedudukan menentukan dalam pengambilan keputusan di badan usaha dimaksud. Dalam penyediaan tenaga listrik di Indonesia yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN)

3. Penafsiran Terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

Bila dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, maka dapat ditemukan beberapa hal penting yang diturunkan dari penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap penguasaan negara dalam pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, hal tersebut adalah :

a. Air adalah komponen dari hak asasi manusia yang untuk memenuhinya

merupakan tanggungjawab negara, di mana negara harus menghormati (to

respect), melindungi (to protect), dan memenuhinya (to fulfill) hak masyarakat

untuk mendapatkan air.

b. Air memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan sumber daya alam lainnya sebagai misalnya minyak atau barang tambang lainnya, oleh karena itu hak atas air merupakan hak asasi manusia yang diturunkan dari Pasal 28H dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 maka pengaturan terhadap air mempunyai kekhususan.

c. Pasal 5 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang berbunyi : “Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupan yang sehat, bersih dan produktif”, adalah rumusan hukum yang cukup memadai untuk menjabarkan hak asasi atas air sebagai hak yang dijamin oleh Undang Undang Dasar. Meskipun jaminan negara dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air tersebut tidak dirumuskan kembali dalam bentuk tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Provinsi, tetapi harus dijabarkan

lebih lanjut didalam peraturan pelaksanaannya.

d. Lebih lanjut, tanggung jawab negara dirumuskan dalam Pasal 14, 15 dan 16 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yaitu adanya

tanggung jawab untuk mengatur, menetapkan dan memberikan izin atas

penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai.

e. Pasal 11 ayat (3) yang menyatakan bahwa : “Penyusunan pola pengelolaan sumber daya air dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya” cukup mencerminkan keterbukaan dalam penyusunan pola pengelolaan sumber daya air. Termasuk keterbukaan untuk keterlibatan masyarakat, swasta dan perusahaan negara/daerah untuk ikut mengelola sumber daya air. Mahkamah berpendapat bahwa Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air mengatur hal-hal yang pokok dalam pengelolaan

sumber daya air, dan meskipun Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang

Sumber Daya Air membuka peluang peran swasta untuk mendapat Hak Guna Air dan izin pengusahaan sumber daya air tidak akan jatuh ketangan swasta, karena

keterlibatan pihak swasta hanya dapat dilakukan atas dasar izin pemerintah.140

f. Prinsip “pemanfaat air membayar biaya jasa pengelolaan sumber daya air” adalah menetapkan air bukan sebagai objek yang dikenai harga secara ekonomi, ini sesuai dengan status air sebagai “res commune”141

140 Dalam wawancara dengan Wasis Susetio (tenaga ahli Mahkamah Konstitusi) pada tanggal 30 Januari 2007 dikatakan: Hak guna usaha diatur dalam pasal 9 UU SDA. Ketentuan disitu tidak ada persoalan, karena ia diberikan lewat izin. Jadi bila dikaitkan dengan paradigma HAM, dalam hal ini negara adalah berperan dalam pengurusan, yaitu memberikan perizinan bagi hak guna usaha

141 Dalam wawancara dengan Wasis Susetio (tenaga ahli Mahkamah Konstitusi) pada tanggal 30 Januari 2007, dikatakan: Kalau dalam air tidak sama dengan unbundling meskipun air bersifat mengalir dan pengelolaannya dapat dikelola oleh lebih dari satu pihak. Seperti sungai yang mengalir di negara-negara eropa, itu berlaku asas yang disebut human haritage is minkand atau res comune. Jadi ini sifatnya hanya pengelolaan

g. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) harus memposisikan diri sebagai

operator negara dalam merealisasikan kewajiban negara sebagaimana

ditetapkan dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dan bukan sebagai perusahaan yang berorientasi pada

keuntungan secara ekonomis.

Dalam mencermati penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian kedua undang-undang tersebut di atas, dapat dilihat beberapa perbedaan Mahkamah Konstitusi dalam menafsirkan kedudukan ketenagalistrikan dengan sumber daya air dalam makna “dikuasai oleh negara” di dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, perbedaan tersebut antara lain:

1. Undang-undang Ketenagalistrikan merupakan turunan dari Pasal 33 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945. sedangkan Undang-undang Sumber Daya Air turunan dari Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 28H Undang Undang Dasar 1945 yang meletakan air disamping sebagai komponen yang harus dikuasai oleh negara, tetapi juga sebagai hak asasi manusia.

2. Berdasarkan frasa “dikuasai oleh negara,” Mahkamah Konstitusi menafsirkan

tanggungjawab negara terhadap ketenagalistrikan dengan fungsi negara c.q pemerintah untuk mengatur (regelendaad) dan fungsi negara sebagai pengelola (beheersdaad). Sedangkan untuk sumber daya air, Mahkamah Konstitusi menafsirkan tanggungjawab negara dalam bentuk fungsi

pengaturan (regelendaad) dan fungsi pengurusan (bestuursdaad).

Pengurusan yang dimaksud adalah kewenangan negara c.q pemerintah untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licencie), dan konsesi (concessie).

3. Metode penafsiran yang dominan yang dilakukan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan adalah metode penafsiran historis dan metode penafsiran tekstual. Sedangkan dalam putusan pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air lebih dominan penafsiran fungsional

4. Pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan

dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, khususnya pasal mengenai unbundling,

karena norma yang demikian itu lah yang dipandang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan konstitusi. Sedangkan pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ditolak oleh Mahkamah Konstitusi karena pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya, bahwa norma hukum dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan Undang Unang Dasar 1945 di persidangan.142

142 Hal ini pernah dikatakan oleh I Dewa Gde Palguna dan Wasis Susetio dalam wawancara yang dilakukan pada tanggal 30 Januari 2007 di Mahkmah Konstitusi

F. Conditionally Constitutional