• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN UMUM TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

B. Fungsi dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

2. Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan kepadanya.57

Gustav Radbruch mengemukakan bahwa: “Seharusnya dalam suatu putusan mengandung idée des recht atau cita hukum, yang meliputi unsur keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtsicherheid) dan kemanfaatan (zweekmasigkeit).”58

Ketiga unsur tersebut sedapat mungkin harus diakomodir dalam suatu putusan secara proporsional.59 Bagi hakim dalam menyelesaikan suatu perkara yang penting bukanlah hukumnya karena hakim dianggap tahu hukumnya (ius curia novit), melainkan mengetahui secara objektif fakta atau peristiwanya sebagai duduk perkara yang sebenarnya yang nantinya dijadikan dasar putusannya, bukan secara a priori langsung menemukan hukumnya tanpa perlu mengetahui terlebih dahulu duduk perkara yang sebenarnya. Untuk dapat memberikan putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, hakim yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang akan diterapkan.60

Dengan demikian, putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di dalam persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.61

Begitu juga dengan putusan-putusan hakim di Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusidalam Pasal 45 diatur bahwa:62

1) Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.

57 Mr. P.A. Stein, Compendium Van Het Burgerlijke Procesrechts, 4e druk, Kluwer, 1977, hal. 158. dalam Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Edisi Revisi cetakan pertama, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (selanjutnya disebut Maruarar Edisi Revisi), 2006, hal. 235.

58 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Edisi IV, Liberty, Yogyakarta, 1995, hal. 145. 59 Bambang Sutiyoso I, Op.cit, hal. 117-118.

60 Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, Hal. 117, seperti dikutip juga oleh Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia-Upaya Membangun Kesadaran dan Pemahaman Kepada Publik Akan Hak-Hak Konstitusionalnya Yang Dapat Diperjuangkan dan Dipertahankan Melalui Mahkamah Konstitusi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006 (Selanjutnya disingkat Bambang Sutiyoso I), hal. 117.

61 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia , Liberty, Yogyakarta, hal. 176, seperti dikutip Bambang Sutiyoso I, Op. cit., hal. 118.

2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.

3) Putusan Mahkamah Konstitusi wajib memuat fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.

4) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diambil secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang. 5) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan

pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan.

6) Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat menghasilkan putusan, musyawarah ditunda sampai musyawarah sidang pleno hakim konstitusi berikutnya.

7) Dalam hal musyawarah sidang pleno setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak.

8) Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan.

9) Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada para pihak.

10) Dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8), pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan.

Ketentuan Pasal 45 diatas menyebutkan tentang dasar, prosedur, atau mekanisme dan tata cara pengambilan keputusan secara musyawarah untuk mufakat di lingkungan Mahkamah Konstitusi. Dalam menjatuhkan putusan yang berisi mengabulkan permohonan , Mahkamah Konstitusi yang harus mendasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti. Sedangkan yang dimaksud dengan “keyakinan hakim” adalah keyakinan hakim berdasarkan alat bukti.

Dalam sidang permusyawaratan pengambilan putusan tidak ada suara hakim yang abstain. Apabila dalam musyawarah sidang pleno setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak. Dan apabila tidak dapat juga diambil dengan suara terbanyak, maka suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menjadi penentu.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 56 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pada dasarnya isi putusan hakim konstitusi dapat berupa 3 (tiga) macam, yaitu permohonan tidak diterima, permohonan ditolak, serta permohonan dikabulkan. Ketiga macam hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Permohonan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard)

Syarat suatu putusan hakim konstitusi yang menyatakan permohonan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard) apabila permohonannya melawan hukum atau tidak berdasarkan hukum. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 51 diatur bahwa:63

1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a. Perorangan warga negara Indonesia;

b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c. Badan hukum publik atau privat; atau d. Lembaga negara.

2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa:

a. Pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau b. Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang

dianggap bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Permohonan ditolak (ontzigd)

Putusan hakim konstitusi menyatakan permohonan ditolak apabila permohonannya tidak beralasan. Dalam hal ini undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, maka amar putusannya menyatakan permohonan ditolak.

3. Permohonan dikabulkan.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan permohonan dikabulkan, apabila permohonannya beralasan. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan. Atau dalam hal pembentukan undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang Undang Dasar 1945, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan. Dalam hal permohonan dikabulkan, Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonaan wajib dimuat dalam berita negara dalam jangka waktu paling lambat tiga puluh hari kerja sejak putusan diucapkan. Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian dari undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali dikemudian hari (nebis in idem).

Jenis putusan Mahkamah Konstitusi yang disimpulkan dari amarnya dapat dibedakan antara putusan yang bersifat declaratoir, constitutief dan condemnatoir.64 Suatu putusan

dikatakan condemnatoir kalau putusan tersebut berisi penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk melakukan satu prestasi (tot het verrichten van een prestatie). Akibat dari putusan condemnatoir ialah diberikannya hak kepada penggugat/pemohon untuk meminta tindakan eksekutorial terhadap penggugat/termohon.65 Sifat putusan

condemnatoir ini dapat dilihat dalam putusan perkara sengketa kewenangan lembaga

negara.

64 Maruarar Edisi Revisi, Op.cit., hal. 240. 65 Ibid.

Sedangkan putusan declaratoir adalah putusan dimana hakim menyatakan apa yang menjadi hukum. Putusan hakim yang menyatakan permohonan atau gugatan ditolak merupakan satu putusan yang bersifat declaratoir.66 Putusan yang bersifat declaratoir dalam pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi nampak jelas dalam amar putusannya. Pasal 56 ayat (3) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa:67

“Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang Undang dasar Republik Indonesia Tahun 1945.”

Tetapi setiap putusan yang bersifat declaratoir khususnya yang menyatakan bagian undang-undang, ayat dan/atau pasal bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat juga sekaligus merupakan putusan yang bersifat constitutief.68

Putusan constitutief adalah putusan yang menyatakan satu keadaan hukum atau menciptakan satu keadaan hukum baru.69 Menyatakan suatu undang-undang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 adalah meniadakan keadaan hukum yang timbul karena undang-undang yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Putusan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diuraikan di atas, kebanyakan jenisnya terutama dalam pengujian undang-undang adalah bersifat declaratoir

constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi itu menciptakan atau meniadakan

satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative-legislator,70

yang disebut Hans Kelsen adalah melalui satu pertanyaan. Sifat declaratoir tidak membutuhkan satu aparat yang melakukan pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi.71

Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka untuk umum, dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu 1) kekuatan mengikat, 2) kekuatan pembuktian, dan 3) kekuatan eksekutorial.72 Hal ini dijelaskan sebagai berikut:

1. Kekuatan Mengikat

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Itu berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.

Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi, berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak yang berperkara (interpartes) yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi putusan tersebut juga mengikat semua orang, lembaga negara dan badan hukum yang ada di wilayah Republik Indonesia

Ia belaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negative legislatoir yang putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua orang.73