• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip-prinsip Pernafsiran Konstitusi Menurut Jon Roland

104 Jimly Asshiddiqie III, hal. 276

C. Prinsip-prinsip Pernafsiran Konstitusi Menurut Jon Roland

Jon Roland, salah seorang senator Amerika Serikat yang memiliki intensi yang tinggi terhadap hukum konstitusi telah mengemukakan prinsip-prinsip mengenai penafsiran konstitusi (Principles of Constitutional Interpretation) yang dibedakannya menjadi 7 (tujuh) prinsip, 116 yaitu:

1. Textual

Penafsiran tekstual didasarkan pada kata-kata yang aktual dari hukum tertulis, jika makna dari kata-kata tersebut tidak ambigu. Karena pada dasarnya hukum adalah sebuah perintah, maka ia harus diartikan seperti apa makna yang dimaksud pembuat hukum (tertulis). Dan jika maksud kata digunakan dalam suatu peristiwa, maka analisis tekstual dari kata-kata harus seperti pemahaman yang diinginkan pembuat undang-undang, yang mana untuk konstitusi dapat dipahami dari persetujuan yang disahkan, jika hal tersebut tidak jelas, maka dicari dari pembuat naskah.117

Penafsiran tekstual adalah penafsiran yang tidak lari dari teks atau naskah hukum tertulis. Penafsiran ini bersifat restriktif karena membatasi penafsiran pada ketentuan yang telah ada dari teks tertulis yang akan ditafsirkan. Disamping penafsiran restriktif,118 penafsiran letterlijk/harfiah, arti kata atau istliah,119 penafsiran gramatikal,120 bahkan penafsiran otentik121 dapat dimasukkan sebagai bagian dari penafsiran tekstual. salah satu cara penerapan penafsiran tekstual dapat dilakukan dengan cara subsumptif, yaitu dengan menggunakan logika silogisme.122

Silogisme ini cuma bentuk lain dari cara berpikir deduksi.123 Silogisme merupakan percocokan dari dua simpulan (premis), yang terdiri dari major premis dan minor

premis. Contoh yang paling masyhur tentang cara berpikir silogisme ini dari abad ke

abad, dalam simpulan tiga serangkai ini, yang selalu digunakan nama sokrates, guru dari Plato dan Aristoteles.124

116 Jon Roland, Principles of Constitutional Interpretation, the Constitution Society, diakses dari http://www.constitution.org/cons/prin_cons.html, (4 April 2006)

117 Dalam pengertian sebenarnya, Roland menyebutkan Textual Interpretation sebagai Decision based on the actual words of the written law, if the meaning of the words is unambiguous. Since a law is a command, then it must mean what it meant to the lawgiver, and if the meaning of the words used in it have changed since it was issued, then textual analysis must be of the words as understood by the lawgiver, which for a constitution would be the understanding of the ratifying convention or, if that is unclear, of the drafters. Some Latin maxims: A verbis legis non est recedendum. From the words of the law there is not any departure. 5 Coke 118. Noscitur à sociis. Meaning of words may be ascertained by associated words. 3 T.R. 87.

118 Lihat pendapat Sudikno dan A. Pitlo dalam bukunya Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Penafsiran Restriktif adalah penafsiran yang bersifat membatasi, yaitu untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang (teks: penulis) yang ruang lingkupnya dibatasi. Bandingkan dengan pendapat Bambang Sutiyoso yang menyebutkan Penafsiran Restriktif adalah penafsiran yang digunakan untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang di mana ruang lingkup ketentuan itu dibatasi dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa. Atau merupakan metode interpretasi yang bersifat membatasi.

119 Lihat pendapat Jimly Asshiddiqie yang menyebutkan Penafsiran Letterlijk atau harfiah adalah penafsiran yang menekankan kepada arti atau makna kata-kata yang tertulis (word). Pendapat Jimly sejalan dengan Utrecht yang memberikan penjelasan tentang penafsiran menurut kata atau istilah (taalkundige interpretasi) sebagai kewajiban dari hakim untuk mencari arti kata dalam undang-undang dengan cara membuka kamus bahasa atau meminta keterangan ahli bahasa. Kalaupun belum cukup, hakim harus mempelajari kata tersebut dalam susunan kata-kata kalimat atau hubungannya dengan peraturan-peraturan lainnya.

120 Lihat pendapat Visser’t Hoft sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie. Penafsiran Gramatikal adalah penafsiran yang menekankan kepada makna teks yang di dalamnya kaidah hukum dinyatakan. Penafsiran dengan cara demikian bertolak dari makna menurut pemakaian bahasa sehari-hari atau makna teknis-yuridis yang lazim atau dianggap sudah baku. Pendapat Utrecht tentang Penafsiran menurut kata atau istilah melingkupi juga penafsiran gramatikal ini. Sedangkan Sudikno menambahkan bahwa penafsiran gramatikal dapat terbatas pada sesuatu yang otomatis, yang tidak disadari, yang selalu kita rasakan pada saat kita membaca, dan hasil interpretasinya bisa lebih mendalam dari teks aslinya, Sudikno, ibid, hal. 15.

121 Penafsiran otentik adalah penafsiran resmi yang ditemukan dalam naskah undang-undang 122 Lihat pendapat Bambang Sutiyoso tentang penafsiran subsumptif

123 Tan Malaka, Madilog, Cet I, Pusat Data Indikator, Jakarta, 1999, hal. 192. 124 Ibid

a. “Semua manusia bakal mati” – major premis (simpulan besar atau hukum) b. “Sokrates manusia juga” – minor premis (simpulan kecil atau peristiwa) c. “Sokrates itu bakal mati” – conclusion (simpulan akhir atau putusan) 2. Historical

Dalam Penafsiran Historis atau Historical Interpretation, keputusan sedikit sekali didasarkan pada kata-kata yang aktual dalam undang-undang, melainkan lebih didasarkan kepada pemahaman yang diungkapkan dari sejarah naskah dan pengesahan undang-undang tersebut, demikian juga terhadap konstitusi atau aturan dasar. Kadang-kadang penafsiran ini disebut sebagai sejarah legislasi, dan untuk putusan pengadilan disebut sejarah kasus. Suatu analisa tekstual dari kata-kata yang diartikan bersentuhan dengan analisa sejarah.125

Karena merupakan pendekatan sejarah, Historical Interpretation tidak bertitik tolak dari asas-asas hukum yang abstrak, betapa rasional pun, tetapi bersumber pada tradisi-tradisi yuridis nasional,126 yang merupakan gambaran dari kesadaran nasional bangsa atau jiwa bangsa (volksgeist). Jiwa ini muncul secara alami ke permukaan di dalam hukum kebiasaan setiap bangsa.127

Historical Interpretation mencoba meninjau kembali konstruksi pemikiran dan

semangat masa lalu, kemudian menggunakan hal tersebut sebagai landasan yang original dalam memutus perkara aktual. Hal ini dapat dilihat dari risalah sidang, makalah, buku yang diterbitkan, dan lain-lain media yang merekam intensi para pembuat undang-undang serta suasana pada saat undang-undang-undang-undang itu di buat.

3. Functional.

Dalam penafsiran fungsional (functional) atau disebut juga struktural, keputusan didasarkan dari struktur hukum dan bagaimana aturan tersebut diharapkan jelas keterkaitannya, sebuah sistem yang harmonis.128

Functional interpretation melihat hukum sebagai suatu sistem yang harmonis.

Harmonisasi hukum itu dapat berupa keterkaitan secara horizontal, sesama undang-undang, maupun yang bersifat vertikal. Disamping meninjau keterkaitan antara norma hukum, functional interpretation juga mempertimbangkan bagaimana kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam operasionalisasi suatu undang-undang. Jadi, ia juga bersifat antisipatif, tetapi antisipatif yang dimaksud di sini adalah antisipatif yang terikat pada penerapan suatu norma hukum dengan aturan hukum dibawahnya, bukan norma hukum itu sendiri yang bersifat antisipatif.

125 Menurur Roland, Keputusan dengan penafsiran historis “based less on the actual words than on the understanding revealed by analysis of the history of the drafting and ratification of the law, for constitutions and statutes, sometimes called its legislative history, and for judicial edicts, the case history. A textual analysis for words whose meanings have changed therefore overlaps historical analysis. It arises out of such Latin maxims as Animus hominis est anima scripti. Intention is the soul of an instrument.”

126 John Gilissen dan Frits Gorle, Sejarah Hukum: Suatu Pengantar, judul asli Historische Inleiding tot het Recht disadur oleh Freddy Tengker, editor Lili Rasjidi, Refika Aditama, Bandung, 2005, hal. 15.

127 Ibid

128 Menurut Roland, “Functional interpretation Also called structural. Decision based on analysis of the structures the law constituted and how they are apparently intended to function as a coherent, harmonious system. A Latin maxim is Nemo aliquam partem recte intelligere potest antequam totum perlegit. No one can properly understand a part until he has read the whole.”

4. Doctrinal.

Dalam Penafsiran Doktrinal, keputusan didasarkan kepada praktik yang berlaku atau pendapat hukum dari ahli hukum, terutama legislatif, eksekutif, atau yurisprudensi pengadilan, yang dijadikan sebagai prinsip untuk digunakan bagi keputusan pengadilan, yaitu tidak sebagai suatu nasehat belaka tetapi bersifat normatif.129

Disamping pendapat atau putusan dari lembaga-lembaga hukum, Doctrinal

interpretation juga dapat bersumber dari pendapat-pendapat ahli dari bidang ilmu lain

seperti ekonomi, sosial, dan lain sebagainnya.

Doctrinal interpretation melakukan penafsiran berdasarkan sumber-sumber hukum,

yaitu dari sesuatu yang dianggap sebagai sebuah doktrin. Doktrin-doktrin tersebut lahir pada masa lalu, namun hal tersebut harus dibedakan dengan penafsiran berdasarkan sejarah (historical interpretation) karena doktrin-doktrin tidak dimaknai sebagai sumber hukum yang berdasarkan waktu kelahirannya (tempus), melainkan dari kaidah-kaidahnya yang berlaku lama.

5. Prudential.

Keputusan berdasar pada faktor di luar hukum atau kepentingan para pihak (masyarakat) dalam perkara, seperti memberi batas waktu yang harus dipenuhi pejabat publik, efisiensi kinerja pemerintah, menghindarkan dari pengaruh banyak hal, atau dari tekanan politis. seperti satu pertimbangan, menghindari mengganggu suatu kegiatan suatu lembaga, juga motivasi yang utama untuk metoda yang berkenaan dengan doktrin. juga meliputi seperti pertimbangan apakah suatu kasus adalah " siap" diputuskan, atau apakah perbaikan yang administratif menjelang diambil keputusan.130

Prudential Interpretation berorientasi kepada kebijaksanaan yang dilahirkan dari

sebuah putusan. Ia berupaya menciptakan kondisi terbaik untuk memutus suatu perkara. Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat dikategorikan menggunakan metode penafsiran prudensial, antara lain: putusan pengujian Undang-undang APBN berkaitan prioritas alokasi anggaran pendidikan sedikitnya sebesar 20% dari total APBN.131 Undang-undang APBN yang tidak secara eksplisit memprioritaskan anggaran pendidikan sebesar 20% adalah bertentangan dengan Undang Undang Dasar, tetapi Mahkamah Konstitusi tidak serta-merta membatalkan ketentuan Undang-undang APBN yang belum meletakkan 20% dari total APBN untuk anggaran pendidikan, karena bila ketentuan itu dibatalkan, maka akan diberlakukan Undang-undang APBN tahun lalu yang lebih sedikit persentasenya untuk anggaran pendidikan.

Disamping itu, contoh lain penggunaan metode penafsiran prudensial dapat dilihat dalam Putusan Perkara Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Terhadap Pasal

129 Menurut Roland, Keputusan dengan Penafsiran Doktrinal” Decision based on prevailing practices or opinions of legal professionals, mainly legislative, executive, or judicial precedents, according to the meta-doctrine of stare decisis, which treats the principles according to which court decisions have been made as not merely advisory but as normative. Some Latin maxims are: Argumentum à simili valet in lege. An argument from a like case avails in law. Coke, Littleton, 191. Consuetudo et communis assuetudo ... interpretatur legem scriptam, si lex sit generalis. Custom and common usage ... interpret the written law, if it be general. Jenk. Cent. 273. Cursus curiæ est lex curiæ. The practice of the court is the law of the court. 3 Buls. 53. Judiciis posterioribus fides est adhibenda. Credit is to be given to the latest decisions. 13 Coke 14. Res judicata pro veritate accipitur. A thing adjudicated is received as true.”

130 Menurut Roland, Dalam Penafsiran Prudensial “Decision based on factors external to the law or interests of the parties in the case, such as the convenience of overburdened officials, efficiency of governmental operations, avoidance of stimulating more cases, or response to political pressure. One such consideration, avoidance of disturbing a stable body of practices, is also the main motivation for the doctrinal method. It also includes such considerations as whether a case is "ripe" for decision, or whether lesser or administrative remedies have first been exhausted. A Latin maxim is Boni judicis est lites dirimere. The duty of a good judge is to prevent litigation.”

131 Undang-undang APBN yang dimaksud adalah Undang-undang Nomor 36 Tahun 2004 yang diputus tidak dapat diterima (Niet Ovankelijke verklaar) oleh Mahkamah Konstitusi dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2005 yang permohonannya dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi

53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengatur keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor). Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa keberadaan Pengadilan Tipikor dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi adalah bertentangan dengan Undang Undang Dasar. Tetapi Mahkamah Konstitusi memberi tenggang waktu peralihan secara mulus (smooth transition) selama 3 (tiga) tahun kepada pemerintah untuk membuat undang-undang khusus tentang Pengadilan Tipikor. Bila dalam waktu yang ditentukan itu pemerintah belum merampungkan Undang-undang Pengadilan Tipikor, maka perkara korupsi hanya dapat diajukan ke pengadilan negeri saja.

6. Equitable.

Penafsiran Ekuitabel atau Equitable Interpretationa bisa juga disebut penafsiran etis. Dimana keputusan didasarkan pada perasaan keadilan, keseimbangan kepentingan dari para pihak, dan apa yang baik dan buruk, tanpa memperhatikan apa hukum (tertulis). Sering kali ditempatkan pada kasus di mana fakta tidak cukup untuk mengantisipasi atau memadai dari pembuat undang-undang. Beberapa sarjana menaruh berbagai ukuran keseimbangan dari kepentingan dan nilai-nilai dalam kategori kebijaksanaan. Tetapi tindakan itu lebih baik digunakan untuk membedakan kebijaksanaan sebagai keseimbangan antara kepentingan dan nilai-nilai dalam sistem hukum dari pada kepatutan (equitable) sebagai keseimbangan antara kepentingan dan nilai-nilai antara para pihak.132

Ciri pokok dari equitable interpretation adalah adanya dua atau lebih variabel yang dipertimbangkan oleh hakim. Dua atau lebih variabel itu diakomodasi secara proposional. Hal ini berbeda dengan penafsiran perbandingan (comparative

interpretation), bila comparative interpretation hanya memaparkan dua atau lebih

variabel secara deskriptif, maka equitable interpretation melihat variabel-variabel yang ada sebagai hal yang dihimpun secara proporsional

7. Natural.

Dalam Penafsiran Natural, Keputusan didasarkan pada apa yang diwajibkan atau anjuran dari hukum yang alamiah, atau barang kali dari sifat-sifat dasar manusia, dan pada apa yang bersifat jasmaniah atau secara ekonomis mungkin atau dapat dilakukan, atau pikiran yang bersifat aktual.133

Penafsiran yang bersifat natural ini dapat dilihat dari putusan-putusan hakim yang memaparkan benda-benda secara alamiah, baik itu perilaku manusia maupun kejadian alam. Penafsiran ini, dalam putusan Mahkamah Konstitusi muncul dalam bentuk pepatah-pepatah, seperti “buruk muka cermin dibelah.” Ungkapan seperti ini

132 Menurut Roland, dalam Equitable Interpretation, Also called ethical, decision based on an innate sense of justice, balancing the interests of the parties, and what is right and wrong, regardless of what the written law might provide. Often resorted to in cases in which the facts were not adequately anticipated or provided for by the lawgivers. Some scholars put various balancing tests of interests and values in the prudential category, but it works better to distinguish between prudential as balancing the interests and values of the legal system from equitable as balancing the interests and values of the parties. It arises out of the Latin maxim, Æquitas est perfecta quædam ratio quæ jus scriptum interpretatur et emendat; nulla scriptura comprehensa, sed sola ratione consistens. Equity is a sort of perfect reason which interprets and amends written law; comprehended in no code, but consistent with reason alone”

133 Menurut Roland, dalam Penafsiran Natural, “Decision based on what is required or advised by the laws of nature, or perhaps of human nature, and on what is physically or economically possible or practical, or on what is actually likely to occur. This has its origin in such ancient Latin maxims as: Jura naturæ sunt immutabilia. The laws of nature are unchangeable. Jacob. 63. Impossibilium nulla obligatio est. There is no obligation to do impossible things. D. 50, 17, 185. Lex non cogit ad impossibilia. The law does not compel the impossible. Hob. 96. Lex neminem cogit ad vana seu inutilia peragenda. The law requires no one to do vain or useless things. 5 Coke 21. Legibus sumptis desinentibus, lege naturæ utendum est. Laws of the state failing, we must act by the law of nature.”

ada dalam putusan pengujian Undang-undang Ketenagalistrikan. “buruk muka cermin

dibelah” adalah istilah atau majas yang menggambarkan sifat atau perilaku manusia.

Contoh lain misalnya, “Air merupakan anugerah Tuhan, sebarannya mengalir dari

tempat tinggi menuju tempat yang rendah.” Hal demikianlah yang dimaksud dengan

BAB IV PEMBAHASAN

A. Pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang