• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Conditionally Constitutional terhadap sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

104 Jimly Asshiddiqie III, hal. 276

3. Pengaruh Conditionally Constitutional terhadap sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

putusannya bersifat final dan mengikat.

Mahkamah konstitusi merupakan lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat dalam menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar.146 Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi adalah bersifat final dan mengikat. Hal itu berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.147

Dalam pengujian undang-undang terhadap Undang Undang Dasar, putusan Mahkamah konstitusi terhadap materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.148 Sehingga dengan adanya klausula Conditionally Constitutional yang memberi peluang materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dapat diuji kembali adalah bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) Undang Undang dasar 1945 jo Pasal 10 dan Pasal 60 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pertentangan tersebut dapat dijelaskan dalam tabel berikut:

145 Pasal 55 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi berbunyi: Pengujian peraturan perundangan di bawah undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi

146 Pasal 24C ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 jo Pasal 10 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a) menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar; b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar; c) memutus pembubaran partai politik; dan d) memutus perselisihan hasil pemilihan umum.

147 Maruarar Siahaan, Op.cit., hal. 252.

148 Pasal 60 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi berbunyi: Terhadap materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.

Sifat putusan MK Conditionally Constitutional Materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dari

undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali (nebis in idem), dalam Pasal 60 UU MK

Materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang permohonannya ditolak oleh MK dapat diajukan kembali, apabila dalam pelaksanaanya dilakukan tidak sesuai dengan tafsir MK Pasal 42 PMK Nomor 6 Tahun 2005 memberikan

pengecualian, bahwa materi muatan, ayat, pasal atau bagian dari undang-undang tidak dapat dimohonkan pengujian kembali adalah karena alasan atau dalil yang sama

Dalil atau alasan hukum yang dapat diajukan dengan

Conditionally Constitutional adalah kesalahan

penerapan dari putusan MK, misalkan peraturan pemerintah. Jadi tidak terkait langsung dengan norma undang-undang

Final dan mengikat (Pasal 24C ayat 1), sehingga

tidak ada upaya hukum yang bisa ditempuh` Conditionally Constitutional memberi peluang bahwa suatu undang-undang yang telah diuji dapat diuji kembali, sehingga membuat putusan MK tidak bersifat final, maksudnya masih ada upaya hukum yang bisa ditempuh, meskipun tidak upaya hukum vertikal.149

Tabel 13. Perbandingan sifat putusan Mahkamah Konstitusi dengan Conditionally Constitutional

Conditionally Constitutional dalam putusan pengujian Undang-undang Nomor 7

Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ditafsirkan secara fungsional dan dengan memandang hukum sebagai suatu sistem yang mesti harmonis, maka Conditionally

Constitutional bertentangan dengan Undang Undang Dasar dan Undang-undang Nomor

24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Tetapi Conditionally Constitutional juga memberikan persyaratan bahwa peraturan pelaksana yang dimaksud dalam penafsiran Mahkamah konstitusi dalam putusan pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air adalah bagian dari sistem hukum sumber daya air yang juga harus harmonis. Jadi, persoalan

konstitusionalitas norma Undang-undang Sumber Daya Air yang dimohonkan pemohon adalah telah selesai. Tinggal lagi bagaimana peraturan pelaksananya harus

sesuai dengan tafsir Mahkamah Konstitusi.

Apabila peraturan pelaksana dari suatu undang-undang, misalkan dalam bentuk peraturan pemerintah, dipandang bertentangan dengan untdang-undang. Maka peraturan pemerintah tersebut dapat diuji ke Mahkamah Agung, dan kemudian dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam persidangan bila undang-undang yang mendasarinya sedang dilakukan pengujian. Hal demikian dapat terjadi dengan atau tanpa persyaratan Conditionally Constitutional.

149 Wasis Susetio (tenaga ahli Mahkamah Konstitusi) dalam wawancara yang dilakukan tanggal 30 Januari 2007 menyebutkan: upaya hokum melalui Conditionally constitutional ini semacam PK (Peninjauan Kembali)

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

1. Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 dalam Putusan Pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dan Putusan Pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

a. Terhadap Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945

• Putusan pengujian undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan merupakan penafsiran Mahkamah Konstitusi yang pertama kali Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, terurama mengenai Penguasaan negara

• Makna “penguasaan negara” atas cabang-cabang produksi penting dan sumber kekayaan alam, meliputi:

1) Mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad) 2) Pengaturan (regelendaad)

3) Pengelolaan (beheersdaad)

4) Pengawasan (toezichthoundensdaad)

b. Terhadap Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan • Listrik merupakan salah satu cabang produksi penting yang menguasai hajat

hidup orang banyak, sehingga harus dikuasai oleh negara

• Makna penguasaan negara atas ketenagalistrikan meliputi fungsi negara sebagai pengatur (regelendaad) dan fungsi pengelolaan (beheersdaad), yaitu terlibat langsung dalam manajemen BUMN

• Penyediaan tenaga listrik tidak dapat dipisah-pisah (unbundling), dan harus dikelola langsung oleh negara, sedapat mungkin sepenuhnya

c. Terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air • Hak atas air merupakan hak asasi manusia, sehingga hak tersebut tidak hanya

tunduk pada Pasal 33 ayat (3) Undang Undang dasar 1945 saja, tetapi juga pada Pasal 28H Undang Undang Dasar 1945

• Air bukanlah barang ekonomi, sesuai dengan prinsip “pemanfaat air membayar jasa pengelolaan sumber daya air”

• Peran swasta dalam pengelolaan sumber daya air hanya dapat dilakukan dibawah izin dari pemerintah

• Dalam putusan pengujian undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang ketenagalistrikan, Mahkamah Konstitusi cenderung melihat konstitusionalitas norma (validitas norma), bukan keberlakuannya (eficacy norma)

• Modifikasi cuaca hanya dapat dilakukan dengan izin pemerintah 2. Metode penafsiran yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi

a. Dalam putusan pengujian undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, Mahkamah Konstitusi mengutamakan penafsiran historis dan tekstual terhadap Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, yang dikuatkan dengan penafsiran doktrinal, fungsional dan komparatif

b. Dalam putusan pengujian undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Mahkamah Konstitusi cenderung menafsirkan Undang-undang yang dimohonkan dengan penafsiran fungsional (terutama izin). Sehingga Undang-undang ini harus dilihat dulu penerapannya dalam ketentuan pelaksanannya (PP, Perpres, Kepmen, Dll)

Penafsiran fungsional dalam putusan pengujian undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air cenderung melihat pemerintah secara

prediktif-positif. Harusnya Mahkamah Konstitusi juga perlu mempertimbangkan untuk membandingkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dengan Undang-undang Sumber Daya Air negara lain dan praktiknya. Hal ini sebenarnya dikemukakan dalam persidangan oleh saksi ahli. Tetapi Mahkamah Konstitusi tidak menggunakan penafsiran komparatif

3. Conditionally Constitutional

• Conditionally Constitutional termasuk penafsiran fungsional dan ia dipandang sebagai sebuah penemuan hukum baru dalam peradilan dan hukum tata negara • Melihat kepada unsur-unsur Conditionally Constitutional dalam putusan

pengujian unadng-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, maka Pengertian Conditionally Constitutional adalah putusan atau kondisi yang menyatakan suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan Unang Undang Dasar, di mana putusan tersebut memberikan syarat kepada instansi, dalam pelaksanaannya, untuk harus memperhatikan apa yang ditafsirkan oleh Mahkamah. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi atau ditafsirkan lain, maka undang-undang tersebut masih dapat diajukan kembali ke Mahkamah Konstitusi. • Conditionally Constitutional dalam putusan pengujian Undang-undang Nomor 7

Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air adalah ketentuan yang bertentangan dengan sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat.

• Apabila Conditionally Constitutional ditafsirkan secara tekstual dan memandang hukum sebagai suatu sistem yang harmonis, maka Conditionally Constitutional bertentangan dengan Undang Undang Dasar dan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Tetapi, Conditionally Constitutional tidaklah hasil dari penggunaan penafsiran tekstual, melainkan merupakan penggunaan metode penafsiran fungsional yang bersifat prediktif positif, sehingga peraturan pelaksana yang dimaksud Mahkamah Konstitusi dalam putusan Pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya air adalah bagian dari sistem hukum sumber daya air yang juga harus harmonis.

B. Saran

Beberapa saran yang ingin disampaikan dari hasil penulisan skripsi ini adalah:

1. Perlu adanya gambaran yang jelas tentang metode penafsiran yang digunakan hakim dalam setiap putusannya, sehingga dapat memudahkan para pihak untuk memahami putusan Mahkamah Konstitusi.

2. Bila klausula Conditionally Constitutional masih digunakan pada putusan Mahkamah Konstitusi beerikutnya, maka harus ada penjelasan yang memadai tentang kondisi-kondisi yang memungkinkan untuk menguji kembali materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian unang-undang yang telah diuji.

3. Perlu ada penjelasan tentang keterkaitan antara klausula Conditionally

Constitutional dengan sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan

mengikat, oleh Mahkamah Konstitusi dalam penafsiran hukum dan pertimbangan hukumnya.