b. Pada Zaman Orde Baru
H. Penanganan Sengketa Hukum Administrasi oleh Pengadilan Biasa
1. Penyimpangan Administrasi
Penyimpangan yang paling banyak macam dan bentuknya adalah penyimpangan yang bersifat administrasi. Upaya yang paling baik untuk melindungi (warga) masyarakat terhadap perbuatan hukum administrasi yang merugikan adalah melalui pengadilan biasa (Pengadilan Negeri-Pengadilan Tinggi-Mahkamah Agung).
Pengadilan biasa atau pengadilan umum hanya dapat mengadili sengketa yang dapat dijadikan perkara pidana atau perdata.
Dengan lahirnya Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia Hakim Pengadilan Administrasi Murni biasa akan berwenang mengadili suatu kasus per-buatan hukum administrasi yang mengandung kekurangan dari segi kewenangan dan dari segi tata cara menurut undang-undang.
2. Penyimpangan yang Bersifat Pidana
Dalam praktik banyak perbuatan hukum administrasi yang dilakukan oleh seorang pejabat administrasi yang dapat digolongkan tindak pidana, yaitu melakukan kejahatan atau pelanggaran jabatan sebagaimana diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Buku Kedua Bab XXVIII, dan Buku Ketiga Bab VIII sehingga selain melakukan tindak pidana, ia juga merugikan pihak (warga) masyarakat. Kasus-kasus yang sering terjadi, tetapi jarang sampai ke pengadilan adalah perbuatan pidana Pasal 415
(pejabat/pemegang jabatan umum yang menggelapkan uang atau surat berharga), Pasal 417 (pejabat/pemegang jabatan umum yang meniadakan (menggelapkan, menghilangkan) barang bukti, akta, surat, daftar sehingga melahirkan penetapan ( beschikking) yang tidak adil, dan sebagainya), Pasal 418 dan 419 (pejabat pemegang jabatan umum yang menerima hadiah atau janji sehingga tidak mengambil keputusan hukum sebagaimana mestinya), Pasal 421 (menyalahgunakan kekuasaan untuk memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu), Pasal 422 (menggunakan sarana paksaan untuk memeras pengakuan atau mendapatkan keterangan), Pasal 425 (pemerasan), Pasal 429 (pejabat yang memaksa masuk ke dalam rumah atau pekarangan tertutup tanpa izin penghuni yang berhak, atau tidak segera meninggalkan rumah atau pekarangan tertutup atas permintaan penghuni yang berhak, atau tanpa izin penghuni memeriksa atau merampas surat, buku, dan sebagainya), Pasal 435 (pejabat yang langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, persewaan, dan sebagainya, padahal ia bertugas sebagai pengurus atau pengawasnya).
3. Penyimpangan yang Bersifat Perdata
Penyimpangan yang bersifat perdata adalah perbuatan hukum administrasi yang menimbulkan kerugian pada warga atau instansi masyarakat dalam berbagai bentuk, tetapi dapat dinilai atau dinyatakan dengan uang.
Pasal undang-undang yang digunakan sebagai dasar gugatan pada umumnya adalah Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyebutkan, “Setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seseorang mewajibkan kepada orang yang karena kesalahannya menerbitkan kerugian itu untuk mengganti kerugian tersebut.”
Jika diterapkan terhadap perbuatan hukum administrasi yang menimbulkan kerugian, pasalnya menjadi sebagai berikut: “Perbuat-an Negara (melalui pejabatnya y“Perbuat-ang berwajib d“Perbuat-an berwen“Perbuat-ang) y“Perbuat-ang melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seseorang warga masyarakat mewajibkan kepada negara yang karena kesalahan pe-jabatnya telah menerbitkan kerugian itu untuk mengganti kerugian tersebut.”
Walaupun hakim pengadilan (mungkin sampai ke Mahkamah Agung) telah mengambil putusan ( vonnis) membenarkan warga
ma-syarakat dan mewajibkan negara Republik Indonesia membayar ganti rugi kepada penggugat, masih ada hambatan finansial administratif-teknis, yaitu dari mana uang ganti rugi tersebut harus dibayarkan, apakah dibebankan kepada anggaran, dan bagaimana prosedurnya.
Upaya-hukum (rechtsmiddel) melalui hakim perdata untuk me-lindungi kepentingan (warga) masyarakat terhadap perbuatan hukum administrasi yang menyimpang sehingga menerbitkan kerugian, tidak mudah ditempuh bagi warga masyarakat Indonesia yang tidak atau kurang mampu intelektual dan finansial. Salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah memperkuat dan memberikan kedudukan yang efektif kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk menjadi tempat pelarian bagi rakyat yang kurang mampu untuk memperoleh bantuan dan perlindungan hukum yang murah dan efektif, sesuai dengan asas Masyarakat yang Adil dan Makmur berdasarkan Pancasila secara merata.
I. Penanganan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara
Penanganan sengketa hukum administrasi oleh administrasi di-atur oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1986. Oleh karena itu, dalam penanganan oleh administrasi terdapat empat bentuk untuk melindungi kepentingan (warga) masyarakat dan memberikan keputusan atau jalan keluar yang seadil-adilnya, yaitu melalui:
1. Badan Pengadilan Administrasi (murni); 2. Badan Pengadilan Administrasi Semu; 3. badan yang bersifat Panitia atau Tim Khusus; 4. pejabat atau Instansi Atasan.
1. Badan Pengadilan Administrasi
Badan pengadilan administrasi yang sudah mendesak kebutuhannya untuk dibentuk adalah sebagai berikut.
a. Badan Pengadilan Kepegawaian Negeri, untuk melindungi kepen-tingan warga masyarakat yang menjadi pegawai negeri yang meng-alami sesuatu yang merugikan dirinya dan tidak dapat membela diri secara hukum. Adanya badan pengadilan ini dapat melenyapkan berbagai praktik cara penyelesaian persoalan yang kadang-kadang menunjukkan sifat-sifat pembujukan secara tidak wajar, intimidasi oleh rekan-rekan yang tidak senang, pemerasan, perlakuan tidak adil,
dan sebagainya. Sebagian besar problema tersebut telah ditampung oleh Peradilan Tata Usaha Negara eks UU No. 5/1986.
b. Badan Pengadilan Perburuhan, untuk melindungi kepentingan warga masyarakat yang menjadi pekerja dan buruh berdasarkan suatu kontrak-kerja dan mengalami sesuatu yang merugikan dirinya dan tidak dapat membela diri secara hukum.
c. Badan Pengadilan Administrasi Perusahaan, untuk melindungi ke-pentingan warga masyarakat yang menjadi pengusaha (memiliki dan/atau menjalankan perusahaan) dan mengalami kerugian se-bagai akibat atau efek dari keputusan atau penetapan pejabat (organ) administrasi yang bersangkutan.
d. Badan Pengadilan Administrasi Agraria, untuk melindungi kepenting-an warga masyarakat dalam hal pemilikkepenting-an dkepenting-an/atau penguasakepenting-an tanah beserta yang berada di atasnya.
e. Badan Pengadilan Administrasi Pembangunan, untuk melindungi kepentingan warga masyarakat yang ingin atau sedang mendirikan bangunan dan mengalami sesuatu yang merupakan sengketa antara dia dan pejabat (organ) administrasi yang bersangkutan.
f. Badan Pengadilan Administrasi Lingkungan, untuk melindungi
kepen-tingan masyarakat umum dalam menghadapi sengketa sehubungan dengan Undang-undang Gangguan dan Undang-undang Pengelola-an LingkungPengelola-an Hidup.
g. Badan Pengadilan Mutu Barang Dagangan, untuk melindungi ke-pentingan masyarakat konsumen terhadap barang dagangan yang diedarkan dan tidak memenuhi syarat-syarat mutu teknis atau mutu kesehatan sebagai tindak lanjut dari berbagai macam pemeriksaan mutu barang yang dilakukan oleh berbagai pejabat (organ) admi-nistrasi negara.
h. Badan Pengadilan Perbeacukaian, untuk melindungi kepentingan dan memberikan kepastian hukum kepada para warga masyarakat yang mengalami persoalan perbeacukaian.
i. Badan Pengadilan Administrasi Angkutan, untuk melindungi dan
memberikan kepastian hukum kepada para warga masyarakat yang memerlukan atau menjalankan usaha angkutan, baik barang maupun penumpang.
j. Badan Pengadilan Administrasi Kebendaharawanan, untuk
diserahi tugas sebagai bendaharawan ataupun untuk melindungi warga masyarakat yang mempunyai tagihan terhadap negara dan tidak mendapatkan perlakuan yang wajar menurut hukum dari pe-jabat administrasi perbendaharaan negara yang bersangkutan.
Suatu Badan Pengadilan Administrasi Negara (atau menurut istilah Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman: Badan Peradilan Tata Usaha Negara) harus me-menuhi syarat-syarat sebagai badan pengadilan biasa, yaitu sebagai berikut.
a. Peradilan dilakukan oleh pejabat negara yang bertugas sebagai hakim, artinya:
1) mempunyai wewenang melakukan interpretasi undang-undang; 2) mempunyai wewenang menilai fakta-fakta (dari segi kebenaran
hukum);
3) mempunyai wewenang mengambil putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti ( vonnis met kracht van gewijsde). b. Adanya suatu sengketa hukum yang dapat dirumuskan secara konkret. c. Adanya ketentuan atau aturan hukum (tertulis maupun tidak) yang
dapat diterapkan.
d. Harus ada ketentuan atau aturan hukum administrasi negara (tertulis atau tidak) yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan sengketa hukum yang bersangkutan.
e. Salah satu di antara pihak-pihak yang bersengketa hukum harus administrasi negara atau salah satu bagiannya (organ administrasi yang bersangkutan).
Wewenang Hakim Administrasi Negara terbatas hanya pada pe-nilaian dan pertimbangan ( judgment, beoordeling) tentang yuridikitas (rechtmatigheid, kesesuaian dengan hukum) daripada tindak hukum administrasi negara yang ditentang.
Karena wewenang Hakim Administrasi tidak sama dengan wewe-nang Hakim Pengadilan Umum (pidana atau perdata), wewewewe-nang Hakim Administrasi Negara pada asasnya hanya terbatas pada putus-an membatalkputus-an ( nietig verklaren atau bernietigen) perbuatputus-an hukum administrasi negara yang bersangkutan. Namun, karena seseorang yang menentang atau menggugat suatu perbuatan hukum administrasi tidak atau belum tertolong dengan suatu pembatalan saja, pada umumnya Hakim Pengadilan Administrasi Negara mempunyai wewenang untuk
melakukan koreksi terhadap tindak hukum administrasi tersebut serta mengatur penampungan akibat-akibat suatu pembatalan sehingga warga masyarakat yang bersangkutan tertolong.
Untuk itu, Hakim Administrasi Negara harus melakukan pertimbang-an dpertimbang-an penilaipertimbang-an terhadap fakta-fakta ypertimbang-ang selengkap-lengkapnya se-hingga tidak terjadi ketimpangan baru. Dengan kata lain, pengujian yang dilakukan oleh Hakim Administrasi terhadap suatu tindak hukum adminis-trasi yang dipertentangkan harus:
a. karena tidak sesuai dengan hukum ( onrechtmatig ) atau
b. karena tidak sesuai dengan kenyataan (bertentangan dengan fakta-faktanya).
Prosedur atau tata cara pemeriksaan perkara oleh Hakim Administrasi berbeda dalam dua hal dari Hakim Perdata, yaitu:
a. titik berat tata cara pemeriksaan terletak pada pemeriksaan lisan yang harus dilakukan sebanyak-banyaknya, sedangkan dalam proses perdata pemeriksaan lebih banyak dilakukan secara tertulis;
b. Hakim Administrasi Negara tidak boleh bersifat pasif. Hakim Perdata yang pada pokoknya harus mendengarkan saja yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang berperkara perdata. Hakim Administrasi harus aktif mengorek kebenaran hukum atau kebenaran faktual karena pihak warga masyarakat selalu berada dalam kondisi yang lemah jika menghadapi administrasi negara.
Sikap aktif dari Hakim Administrasi sangat diperlukan karena pihak penguasalah yang mempunyai semua data, laporan, serta pengetahuan yang cukup tentang persoalan yang dipertentangkan, sedangkan pihak warga masyarakat tidak mungkin memilikinya secara lengkap. Hakim Administrasi harus mencegah jangan sampai administrasi menyembunyi-kan data yang tidak menguntungmenyembunyi-kan baginya.
2. Badan Pengadilan Administrasi Semu (Kwasi)
Badan pengadilan administrasi semu adalah badan peradilan yang menangani perkara-perkara terlepas dari pengadilan biasa, yang di dalamnya para pejabat administrasi negara memegang peranan, dan para anggota badan tersebut tidak mempunyai status sebagai hakim.
Badan peradilan tersebut bekerja dengan hukum acara tertentu seperti pada pengadilan yang biasa, tetapi putusan-putusannya tidak mempunyai status sebagai putusan pengadilan penuh. Contohnya adalah
P4P, P4D (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat/Daerah) dan Mahkamah Pelayaran.
Mahkamah Pelayaran adalah badan peradilan administrasi yang memeriksa perkara-perkara persyaratan kapal sesuai dengan undang-undang tentang perkapalan dan Pasal 373a Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (“Nakhoda yang telah berbuat tidak terpuji terhadap kapal, muatannya atau penumpangnya, dengan putusan Mahkamah Pelayaran dapat dicabut hak wewenang untuk masa paling lama dua tahun”).
Mahkamah Pelayaran mengadakan persidangan atas pengaduan dari perusahaan pelayaran yang bersangkutan atau dari seorang penumpang yang merasa dirugikan oleh tindak-tanduk nakhoda di dalam waktu tiga minggu setelah peristiwa terjadi.
Mahkamah Pelayaran juga bukan badan pengadilan penuh karena anggota-anggotanya tidak berstatus sebagai hakim.
3. Panitia atau Tim Khusus
Panitia atau tim khusus pada umumnya dibentuk pada setiap pelaksanaan suatu proyek pembangunan yang banyak menyangkut pembebasan tanah, pemindahan pemakaman, pemindahan penduduk, transmigrasi, dan sebagainya.
Syarat utama untuk memperlancar jalannya panitia atau tim khusus adalah adanya:
a. instruksi yang tegas tentang tugas, wewenang, dan kewajiban, serta tanggung jawab panitia/tim khusus;
b. prosedur penyelesaian yang harus ditempuh;
c. sanksi yang harus diterapkan apabila panitia/tim tidak menjalankan tugas kewajibannya sebagaimana mestinya;
d. penampungan akibat atau konsekuensi dari keputusan panitia/tim khusus serta pelaksanaannya.
4. Pejabat atau Instansi Atasan
Jalan yang paling baik untuk penyelesaian suatu masalah atau sengketa adalah apabila kasusnya ditangani sendiri secara langsung oleh pejabat/organ administrasi yang bersangkutan, serta secara sportif dan spontan melakukan koreksi terhadap kekeliruan atau kekurangan yang terjadi.
Namun, di dalam praktik yang sering terjadi bahwa pejabat yang bersangkutan enggan atau tidak berani melakukan ralat terhadap ke-putusannya, dan mempersilakan warga masyarakat yang bersangkutan untuk mengajukan persoalannya kepada Pejabat Atasan atau Instansi Atasan.
5. Penyelesaian Melalui Hakim Perdata
Apabila terhadap pemerintah administrasi negara tidak ada jalan lain untuk meminta penyelesaian mengenai perselisihannya, warga masyarakat yang bersangkutan dapat menggugat negara Republik Indonesia atau bagiannya ke depan Pengadilan Perdata, ke Pengadilan Negeri biasa.
Hakim Perdata tidak menguji suatu penetapan administrasi menurut segi hukum semata-mata, walaupun penetapan yang diambil secara ce-roboh turut menentukan dalam mempertimbangkan jumlah atau besar-nya ganti rugi. Yang paling berat bagi Hakim Perdata adalah menetapkan kesewenang-wenangan administrasi karena administrasi negara mem-punyai freies ermessen, yaitu kebebasan mengambil keputusan menurut pendapatnya sendiri yang dianggap paling baik.