• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum dalam Bidang Publik

Dalam dokumen Hukum Administrasi Negara (Halaman 65-69)

b. Sesudah Decentralisatie Wet 1903 (UU Desentralisasi 1903) Berdasarkan keadaan yang tersebut pada Wet tanggal 23 Juli

A. Perlindungan Hukum Administrasi Negara

2. Perlindungan Hukum dalam Bidang Publik

Tindakan hukum pemerintah merupakan tindakan yang berdasarkan sifatnya menimbulkan akibat hukum. Karakteristik paling penting dari tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah adalah keputusan dan ketetapan pemerintah yang bersifat sepihak. Dikatakan bersifat sepihak karena dilakukan tidaknya suatu tindakan hukum pemerintahan itu ber-gantung pada kehendak sepihak dari pemerintah, tidak berber-gantung pada kehendak pihak lain dan tidak diharuskan ada persesuaian kehendak (wilsovereenstemming) dengan pihak lain.

Keputusan dan ketetapan sebagai instrumen hukum pemerintah dalam melakukan tindakan hukum sepihak dapat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran hukum terhadap warga negara, apalagi dalam negara hukum modern yang memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah untuk mencampuri kehidupan warga negara. Oleh karena itu, diperlukan perlindungan hukum bagi warga negara terhadap tindakan hukum pemerintah. Menurut Sjachran Basah, perlindungan terhadap warga negara diberikan apabila sikap tindak administrasi negara itu menimbulkan kerugian terhadapnya, sedangkan perlindungan terhadap administrasi negara dilakukan terhadap sikap tindaknya dengan baik dan benar menurut hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis.

Ada dua macam perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu perlindung-an hukum preventif dperlindung-an represif. Pada perlindungperlindung-an hukum preventif, rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan ( inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang pefinitif. Artinya, perlindungan hukum yang preventif bertujuan mencegah terjadinya sengketa, sedangkan perlindungan represif ber-tujuan menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindakan pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif, pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam meng-ambil keputusan yang didasarkan pada diskresi.

Perlindungan hukum akibat dikeluarkannya keputusan (yang termasuk dalam kategori algemeen verbinde voorschriften dan besluit

van algemeen strekking) ditempuh melalui Mahkamah Agung, dengan

cara hak uji materiil, sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) Tap MPR No. III/ MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, yang menegaskan bahwa “Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

Ketentuan bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji secara materiil peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terdapat pula dalam Pasal 26 UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman: “Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang atas atasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.” Ketentuan yang sama juga ter-dapat dalam Pasal 31 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung: “Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.” Secara teoretis, pembatasan hak uji materiil hanya berlaku terhadap peraturan di bawah undang-undang ini merupakan perwujudan dari salah satu prinsip dalam negara hukum, yaitu pemisahan atau pembagian kekuasaan ( machtenscheiding of machtenverdeling ), yang membawa implikasi bahwa antara organ kekuasaan negara yang satu dan lainnya harus saling menghormati dan tidak saling intervensi. Hanya dalam perkembangannya alasan teoretis tersebut tidak lagi dapat dipertahankan. Hal ini terbukti bahwa hampir sebagian besar negara yang ada di dunia ini termasuk Indonesia telah membentuk Mahkamah

Konstitusi yang diberi kewenangan menguji “hasil karya” lembaga legislatif.

Dalam rangka perlindungan hukum, terdapat tolok ukur untuk menguji secara materiel suatu peraturan perundang-undangan, yaitu bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi dan ber-tentangan atau tidak dengan kepentingan umum, vernietiging kan plaatsvinden wegens; (a) strijd met de het recht, zelfs de wet in forw ele zin; (b)

strijd met het algemeen belang. Khusus mengenai peraturan

perundang-undangan tingkat daerah, pembatalan sering diterapkan dalam arti pembatalan spontan, yaitu pembatalan atas dasar inisiatif sendiri dari organ yang berwenang menyatakan pembatalan, tanpa melalui proses peradilan, dan tujuan utama dari pembatalan ini adalah untuk pengawas-an jalpengawas-annya pemerintahpengawas-an tingkat daerah dpengawas-an untuk perlindungpengawas-an hukum (rechtsbescher-ming). Dalam Pasal 145 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terdapat ketentuan sebagai berikut.

1. Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.

2. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.

3. Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 4. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan

sebagai-mana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud.

5. Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. 6. Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan

sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut me-nyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

7. Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda dimaksud dinyatakan berlaku.

Berdasarkan undang-undang sebelumnya, yaitu UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, ketentuan tentang pembatalannya terdapat pada Pasal 114 yang ditentukan sebagai berikut:

1. Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya.

2. Keputusan pembatalan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberitahukan kepada Daerah yang bersangkutan dengan menyebutkan alasan-alasannya. 3. Selambat-lambatnya satu minggu setelah keputusan pembatalan

Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah tersebut dibatalkan pelaksanaannya.

4. Daerah yang tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung setelah mengajukannya kepada Pemerintah.

Berdasarkan ketentuan tersebut, tampak bahwa peraturan perundang-undangan tingkat daerah mempunyai mekanisme hak uji materiil yang berbeda dengan peraturan perundang-undangan tingkat pusat, yaitu di-tempuh melalui jalur pemerintahan dalam bentuk penundaan ( schorsing)

atau pembatalan ( vernietiging), sebelum ditempuh melalui Mahkamah Agung.

Perlindungan hukum akibat dikeluarkannya ketetapan ( besclukking) ditempuh melalui dua kemungkinan, yaitu peradilan administrasi dan banding administrasi. Perbedaan antara peradilan administrasi dengan banding administrasi, yaitu sebagai berikut:

Kata “peradilan” menunjukkan bahwa hal ini menyangkut proses peradilan pada pemerintahan melalui instansi yang merdeka. Kemerdekaan ini tampak pada hakim administrasi yang profesional, di samping juga kedudukan hukumnya; pengangkatan untuk seumur hidup, ketentuan mengenai penggajian terdapat pada undang-undang, pemberhentian ketika melakukan perbuatan tidak senonoh hanya dilakukan melalui putusan pengadilan. Sifat kedua yang ber-kenaan dengan hal ini adalah instansi ini hanya menilai tindakan pemerintah berdasarkan hukum.

Adapun banding administrasi, berkenaan dengan proses peradilan di dalam lingkungan administrasi; instansi banding administrasi adalah organ pemerintahan, dilengkapi dengan pertanggungjawaban pemerintahan. Dalam hal banding administrasi ini, tindakan peme-rintahan tidak hanya dinilai berdasarkan hukum, tetapi juga dinilai aspek kebijaksanaannya.

Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, perlindungan hukum akibat dikeluarkannya ketetapan dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu melalui banding administrasi atau upaya administratif dan melalui peradilan. Ketentuan mengenai upaya administratif ini terdapat dalam Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 yang menyebutkan sebagai berikut.

1. Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi we-wenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha negara tertentu, sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.

2. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyele-saikan sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.

Upaya administratif ini ada dua macam, yaitu banding administratif dan prosedur keberatan. Banding administratif adalah penyelesaian sengketa tata usaha negara yang dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan ketetapan yang disengketakan, sedangkan prosedur keberatan adalah penyelesaian sengketa tata usaha negara dilakukan oleh instansi yang mengeluarkan ketetapan yang dibersangkutan. S.F. Marbun menyebutkan ciri-ciri banding administrasi, yaitu sebagai berikut.

1. Pihak yang memutuskan adalah BTUN yang secara hierarki lebih tinggi daripada Tata Usaha Negara yang memberi keputusan pertama, atau BTUN lain.

2. Badan Tata Usaha Negara yang memeriksa banding administratif atau pernyataan keberatan itu dapat mengubah dan/atau mengganti keputusan Badan Tata Usaha Negara yang pertama.

3. Penilaian terhadap keputusan Tata Usaha Negara pertama itu dapat dilakukan secara lengkap, baik dari segi rechtmaiigheid (penerapan hukum) maupun dari segi doelmatigheid (kebijaksanaan atau

ketepatgunaan). Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak hanya dinilai berdasarkan norma-norma yang zakelijk, tetapi kepatutan yang berlaku dalam masyarakat, harus merupakan bagian penilaian atas keputusan itu.

4. Perubahan-perubahan keadaan sejak saat diambilnya keputusan oleh BTUN pertama dan perubahan-perubahan keadaan yang terjadi selama proses pemeriksaan banding berjalan harus diperhatikan ( ex

tune dan ex nunc).

Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa tata usaha negara melalui peradilan tata usaha negara terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 yang menyebutkan, “Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.” Dalam Pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebutkan mengenai tolok ukur untuk menilai keputusan tata usaha negara yang digugat di PTUN, yaitu sebagai berikut.

1. Keputusan tata usaha negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah mengguna-kan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberimengguna-kannya wewenang tersebut.

3. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.

Dalam penjelasannya disebutkan secara terperinci alasan-alasan tersebut, yaitu sebagai berikut.

1. Suatu keputusan tata usaha negara dapat dinilai “bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” apabila keputusan yang bersangkutan itu:

a) bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural/formal. Contoh,

sebelum keputusan pemberhentian dikeluarkan seharusnya pegawai yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri;

b) bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat material/substansial. Contoh, keputusan di tingkat banding administratif, yang telah salah menyatakan gugatan penggugat diterima atau tidak diterima;

c) dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang. Contoh, peraturan dasarnya telah menunjuk pejabat lain yang berwenang untuk mengambil keputusan. 2. Dasar pembatalan ini sering dapat disebut penyalahgunaan

we-wenang. Setiap penentuan norma-norma hukum di dalam tiap peraturan itu tentu dengan tujuan dan maksud tertentu. Oleh karena itu, penerapan ketentuan tersebut harus sesuai dengan tujuan dan maksud khusus diadakannya peraturan yang bersangkutan. Dengan demikian, peraturan yang bersangkutan tidak dibenarkan untuk diterapkan untuk mencapai hal-hal yang di luar maksud tersebut. Dengan begitu, wewenang materiil Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam mengeluarkan keputusan tata usaha negara juga terbatas ruang lingkup maksud bidang khusus yang telah ditentukan dalam peraturan dasarnya.

3. Dasar pembatalan ini sering disebut larangan berbuat sewenang-wenang. Suatu peraturan dasar yang memberikan wewenang ke-pada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adakalanya mengatur secara sangat terperinci dan ketat apa yang harus dilaksanakan dan mengikat Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam melakukan urusan pemerintahan.

Berdasarkan keterangan mengenai penyelesaian sengketa terhadap ketetapan tata usaha negara yang berlaku di Indonesia, tampak bahwa tolok ukur yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hukum tertulis dan dengan asas-asas umum pe-merintahan yang layak atau hukum tidak tertulis. Asas-asas umum tidak tertulis digunakan sebagai batu uji dalam proses peradilan ini, terutama sehubungan dengan diberikannya kewenangan bebas (vrijebevoegdheid) kepada pemerintah. Khusus dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara melalui upaya administratif, digunakan pula tolok ukur kebijaksanaannya ( doelmatigheid ) di samping aspek hukumnya

(rechtmatigheid ). Dalam hal ini, KTUN dinilai bukan hanya sah tidaknya menurut hukum, melainkan juga dinilai layak tidaknya berdasarkan per-timbangan akal sehat.

Menurut Sjachran Basah, perlindungan hukum yang diberikan merupakan qonditio sine qua non dalam menegakkan hukum dan merea-lisasikan fungsi hukum itu sendiri. Fungsi hukum yang dimaksud adalah: a. direktif, pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat

yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara; b. integratif, pembina kesatuan bangsa;

c. stabilitatif, pemelihara dan menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat; d. perfektif, penyempurna, baik terhadap sikap tindak administrasi

negara maupun sikap tindak warga apabila terjadi pertentangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;

e. korektif, pengoreksi atas sikap tindak baik administrasi negara maupun warga apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan.

Dalam dokumen Hukum Administrasi Negara (Halaman 65-69)