• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendaftaran Kapal Perikanan yang menangkap SBT

3 SISTEM PERIKANAN TUNA SIRIP BIRU SELATAN DI INDONESIA

1) Pendaftaran Kapal Perikanan yang menangkap SBT

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia menjelaskan bahwa setiap orang yang melakukan usaha perikanan tangkap di WPP-NRI dan/atau laut lepas, wajib memiliki izin usaha perikanan tangkap yang meliputi : a) izin usaha perikanan (SIUP), b) izin penangkapan ikan (SIPI) dan c) izin kapal pengangkut ikan (SIKPI). Persyaratan dan tata cara penerbitan SIUP, SIPI dan SIKPI untuk kapal perikanan dengan ukuran di atas 30 (tiga puluh) GT menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap c.q. Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan. Sedangkan untuk kapal perikanan dengan ukuran di bawah 30 (tiga puluh) GT menjadi kewenangan Gubernur dan Bupati/walikota yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh kepala dinas atau pejabat yang ditunjuk.

Setiap kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan yang melakukan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan SBT wajib didaftarkan ke Sekretariat

CCSBT sesuai dengan ketentuan Resolusi CCSBT. “Resolution on amendment

of the Resolution on “Illegal, Unregulated and Unreported Fishing (IUU) and Establishment of a CCSBT Record of Vessels over 24 meters Authorized to Fish

for Southern Bluefin Tuna” adopted at the CCSBT15 in 2008 (adopted at the Fifteenth Annual Meeting, 14-17 October 2008)” yang menjelaskan tentang

persyaratan dan tatacara pendaftaran kapal perikanan yang menangkap dan/atau mengangkut ikan SBT tanpa adanya pembatasan ukuran kapal. Hal ini dengan mempertimbangkan banyaknya jumlah SBT yang tertangkap oleh kapal-kapal yang berukuran kurang dari 24 meter dan tidak terdaftar di CCSBT.

Pendaftaran kapal perikanan Indonesia yang melakukan penangkapan, pengangkutan ikan dan/atau menerima transhipment ikan SBT di Laut Lepas Samudera Hindia diatur pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor. PER.12/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas. Persyaratan pendaftaran kapal izin baru tersebut diatur sesuai pada Bab IV pasal 14 yang menjelaskan bahwa :

(1) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap c.q. Direktur Sumberdaya Ikan secara otomatis akan mendaftarkan kapal yang telah memiliki SIPI atau SIKPI untuk beroperasi di laut lepas pada Sekretariat RFMO.

(2) Kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan yang beroperasi dan memiliki daerah penangkapan di Laut Lepas Samudera Hindia dapat didaftarkan pada CCSBT. Kapal penangkap ikan Indonesia yang didaftarkan ke sekretariat CCSBT adalah kapal dengan alat tangkap tuna long line. (3) Kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan yang beroperasi di ZEEI

Samudera Hindia harus melakukan permohonan pendaftaran kepada Direktur Jenderal Perikanan Tangkap c.q. Direktur Sumberdaya Ikan dengan melampirkan persyaratan yang diatur sesuai dengan ketentuan Resolusi CCSBT. Permohonan pendaftaran untuk kapal-kapal tersebut dilakukan pada saat pendaftaran izin baru dan perpanjangan.

(4) Kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan yang pendaftarannya disetujui oleh sekretariat CCSBT, maka kapal-kapal tersebut akan dicantumkan dalam daftar kapal (record of vessels) sebagai kapal yang diizinkan (authorized vessels) dan diberikan nomor identitas kapal.

(5) Masa berlaku pendaftaran kapal di CCSBTsesuai dengan masa berlaku SIPI.

2) Catch Documentation Scheme (CDS)

Salah satu tindakan pengelolaan berkelanjutan terhadap SBT difokuskan pada pengumpulan data hasil tangkapan SBT melalui penerapan CDS. Resolution on the Implementation of a Catch Documentation Scheme to Record All Catch of Southern Bluefin Tuna CCSBT merupakan ketentuan CCSBT untuk mengatur semua negara anggota dan CNMs agar menerapkan CDS dalam perdagangan tuna sirip biru selatan.

Kebijakan penerapan CDS di atas efektif mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010, artinya setiap kegiatan ekspor atau impor SBT hanya dapat dilaksanakan bilamana SBT telah dipasang tanda (tag) dan dilengkapi dengan dokumen CDS. Dokumen CDS terdiri dari 5 form yaitu 1) Catch Tagging Form (CTF), 2) Catch Monitoring Form (CMF) dan 3) Re-Export/Export After landing of Domestic Product Form, 4) Farm Stocking Form (FSF), dan 5) Farm Transfer Form (FTF). Namun untuk Indonesia hanya menggunakan tiga form CDS yaitu CTF, CMF dan Re-Export/Export After landing of Domestic Product Form. Dokumen CDS dapat dilihat pada Lampiran 1. Tag dipasang kepada setiap ekor SBT segera setelah tertangkap/mati sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 3.9.

Gambar 3.10 Cara pemasangan tag pada insang southern bluefin tuna

Pelaksanaan pendataan hasil tangkapan SBT di Indonesia dengan dokumen CDS dilaksanakan melalui beberapa tahapan antara lain: penunjukkan petugas validasi, pemesanan tag, validasi CTF, dan pelaporan CDS dengan penjelasan sebagai berikut :

( i ) Penunjukkan petugas Validasi

Pengisian dokumen CDS sesuai dengan ResolutionCCSBT, harus divalidasi dan ditandatangi terlebih dahulu oleh petugas validasi (validator). Petugas validasi merupakan orang yang ditunjuk dan diberi kewenangan oleh pejabat negara dalam hal ini Dirjen Perikanan Tangkap. Dirjen Perikanan Tangkap mengeluarkan surat keputusan berupa Surat Keputusan Dirjen Perikanan Tangkap Nomor 02/KEP-DJPT/2013 tentang Petugas Validasi Catch Documentation Scheme untuk jenis tuna sirip biru selatan sebagai perubahan dari KEP.09/DJPT/2012 tentang Petugas Validasi Catch Documentation Scheme (CDS) untuk jenis tuna sirip biru selatan (Southern Bluefin Tuna). Di dalam keputusan tersebut disebutkan petugas validasi utama (principal) adalah Kepala Pelabuhan, petugas validasi pengganti 1 (alternate 1) adalah Kepala Bagian (Kabag) dan Kepala Sub Bagian (Kasubbag) Tata Usaha dan petugas validasi pengganti 2 (alternate 2) adalah Kepala Seksi (Kasie) dan Kepala Bidang (Kabid) Tata Operasional. Surat Keputusan tersebut hanya ditujukan kepada dua Pelabuhan Perikanan yaitu PPSNZ Jakarta dan PPN Pengambengan Bali.

Pemerintah Indonesia dalam hal ini DJPT akan menginformasikan kepada sekretariat CCSBT melalui email mengenai penunjukan petugas validasi dengan melampirkan: nama petugas validasi, jabatan petugas validasi, tandatangan (specimen) petugas validasi, dan stempel pelabuhan terkait. Setelah disetujui, CCSBT akan mencantumkan petugas validasi sesuai informasi dari DJPT di website CCSBT.

( ii ) Pemesanan Tag

Pemesanan tanda (tag) dilaksanakan setiap setahun sekali melalui permohonan masing-masing negara anggota dan CNMs kepada sekretariat CCSBT. CCSBT akan menginformasikan pemesanan tag kepada DJPT c.q Dit. SDI untuk n+1 tahun. Kemudian DJPT c.q Dit. SDI menindaklanjuti informasi tersebut dengan mengirimkan surat kepada asosiasi perikanan tuna (ASTUIN, ATLI dan ASPERTADU) mengenai pemesanan tag, spesifikasi tag serta penyampaian form tag yang diterima dari CCSBT.

Asosiasi dapat mengisi form pemesanan tag, yang selanjutnya dikirimkan kembali kepada DJPT. Setelah menerima pengembalian form pemesanan dari Asosiasi, Ditjen Perikanan Tangkap segera melakukan pemesanan tag kepada CCSBT sesuai form pemesanan dari Asosiasi melalui email. Konfirmasi pemesanan tag dari DJPT segera diproses oleh CCSBT yang selanjutkan akan dikirimkan total pembayaran pembelian tag. Pembayaran tag langsung dilakukan oleh Asosiasi kepada sekretariat CCSBT melalui importir dari salah satu anggota ASTUIN.

( iii )Validasi Catch Tag Form (CTF) dan Catch Monitoring Form (CMF) Pemasangan tag pada SBT dilakukan segera setelah ikan tertangkap/mati oleh Anak Buah Kapal (ABK). Tag hanya dapat digunakan oleh kapal yang mendapatkan izin dan terdaftar di CCSBT. Untuk kapal-kapal di bawah 30 GT yang menangkap SBT selama ini belum terdaftar di CCSBT vessel list. Tag yang terpasang pada setiap ekor SBT harus dilengkapi dengan dokumen yang disebut dengan CTF. Dokumen CTF diisi dan ditandatangi oleh Nahkoda kapal. Pada saat pendaratan SBT, Nakhoda menyerahkan CTF kepada petugas validasi di pelabuhan (PPSNZ Jakarta atau PPN Pengambengan).

Petugas validasi memeriksa CTF dari kapal tersebut yang dilengkapi dengan SIPI dan Logbook Penangkapan Ikan. Setelah dilakukan pemeriksaan CTF kemudian petugas validasi membuat CMF sebagai suatu persyaratan perusahaan untuk melakukan penjualan SBT baik ekspor maupun domestik. Petugas validasi menyerahkan CTF dan CMF kepada nakhoda kapal (yang asli), sedangkan petugas validasi memegang copy CTF dan CMF tersebut. Namun dalam pelaksanaannya banyak terdapat beberapa permasalahan diantaranya terjadi duplikasi nomor dokumen CDS, kesalahan dalam pengisian form CDS, dan kapal yang tertera dalam dokumen CDS tidak terdaftar di CCSBT vessel list. Permasalahan pelaksanaan CDS terjadi karena human error yang memerlukan pembenahan secara internal.

( iv ) Pelaporan Catch Documentation Schemes (CDS)

Semua dokumen CDS yang telah diisi dan divalidasi oleh validator disimpan dalam bentuk hard copy dan soft copy file untuk dilaporkan kepada sekretariat CCSBT sesuai dengan ketentuan dalam Resolusi CCSBT. Mekanisme pelaporan pelaksanaan CDS di Indonesia dilaksanakan sebagai berikut :

1. Petugas validasi melakukan rekapitulasi CTF dan CMF.

2. Petugas validasi mengirimkan hasil rekapitulasi CTF dan CMF beserta copy CTF dan CMF kepada DJPT c.q Dit. SDI setiap kuartal.

3. DJPT c.q Dit. SDI melakukan rekapitulasi CTF dan CMF yang diterima dari pelabuhan (PPSNZ dan PPN Pengambengan).

4. DJPT c.q Dit. SDI melakukan scanning CTF dan CMF yang diterima dari pelabuhan (PPSNZ dan PPN Pengambengan).

5. DJPT c.q Dit. SDI mengirimkan hasil rekapitulasi dan scanning CTF dan CMF kepada CCSBT melalui surat elektronik per kuartal.

( v ) Monitoring Dan Evaluasi CDS – CCSBT

Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pendataan hasil tangkapan SBT melalui dokumen CDS dilakukan setiap tiga kali dalam setahun dengan mengundang para stakeholder terkait. Pelaksanaan program monitoring dan evaluasi CDS tersebut berisi sosialisasi pelaksanaan CDS, sinkronisasi data antara DJPT dan asosiasi, serta evaluasi pelaksanaan CDS di lapangan. Hasil monitoring

dan evaluasi CDS tersebut akan dilaporkan oleh Dirjen Perikanan Tangkap kepada Menteri Kelautan dan Perikanan.

Pembahasan

Perikanan tuna sirip biru selatan memiliki karakteristik yang berbeda dari jenis tuna lainnya. Karakteristik unik SBT adalah pertumbuhannya lambat, berumur panjang (mencapai 40 tahun), memiliki berat lebih dari 200 kg per ekor dan panjang mencapai hingga lebih dari 2 meter. Penyebaran ikan SBT meliputi wilayah yang luas di perairan Selatan Samudera Hindia antara 30º dan 50º LS dengan perkiraan tempat pemijahan yang terletak antara Selatan Jawa dan Australia Barat Laut.

Indonesia mulai tercatat menangkap tuna biru sirip selatan sejak tahun 1976 melalui data impor SBT dari Indonesia yang masuk di pasar ikan Jepang. Secara keseluruhan (1976-2013) produksi SBT Indonesia mengalami peningkatan. Namun, selama sepuluh tahun terakhir (2002-2011) produksi SBT Indonesia mengalami fluktuasi dengan kecenderungan menurun. Perkembangan penurunan produksi ini juga seiring dengan penurunan yang dialami produksi SBT global. Sejak tahun 1973, produksi SBT global mengalami penurunan hingga 50% dari produksi SBT tertinggi pada periode 1952-2011. Dan mengalami penurunan terus hingga 83% pada tahun 1991 dan 89% pada tahun 2010-2011. Hal ini diduga karena banyaknya negara-negara di dunia yang ikut serta mengeksploitasi sumber daya SBT. Berdasarkan data CDS tahun 2010-2013, produksi SBT Indonesia mengalami kecenderungan meningkat seiring dengan peningkatan TAC global tahun 2012-2014. Peningkatan TAC global diduga karena adanya pengurangan total hasil tangkapan SBT dan fishing mortality SBT di bawah FMSY.

Produksi SBT Indonesia mulai tercatat di Statistik Nasional pada tahun 2004. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia mulai merinci data hasil tangkapan tuna berdasarkan kategori spesies sejak tahun 2004. Data produksi SBT berdasarkan Statistik Perikanan Tangkap tahun 2004-2011 jika dibandingkan dengan data Statistik CCSBT dan CDS terlihat lebih sedikit. Perbedaan data produksi tersebut diduga karena adanya kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang tidak melaporkan hasil tangkapannya. Akibatnya hasil tangkapan SBT tidak tercatat dalam pendataan Statistik Perikanan Tangkap Nasional. Untuk itu perlu adanya perbaikan sistem pendataan Statistik Perikanan Tangkap Indonesia agar produksi SBT Indonesia tercatat secara tepat dan akurat.

SBT di Indonesia sebagian besar banyak tertangkap di WPP-RI 573 yang merupakan bagian wilayah nomor 1 (satu) CCSBT Statistical Area of Catch dengan rata-rata persentase 92.9% sedangkan sisanya tertangkap di wilayah CCSBT Statistical Area of Catch nomor 2, 8, 9 dan 14. Sebagian wilayah nomor 1 CCSBT Statistical Area of Catch diduga sebagai wilayah pemijahan (spawning ground) SBT. Berdasarkan hasil telaah Shingu (1979) bahwa berdasarkan pengamatan pada perkembangan gonad/telur dari SBT yang tertangkap oleh rawai tuna di wilayah pemijahan (10°-20º LS dan 100°-125° BT) memiliki panjang yang didominasi oleh ukuran 160 cm dimana gonadnya sudah matang. Untuk ikan juvenil SBT yang ditemukan memiliki panjang 3-8 mm. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah WPP-RI 573 selatan Jawa, Indonesia Samudera Hindia memiliki

peran penting bagi keberlangsungan sumber daya SBT. Penangkapan SBT Indonesia dapat berpengaruh terhadap terjaganya kelestarian sumber daya SBT. Untuk itu perlu adanya pengelolaan SBT yang jelas dan tegas.

Pengelolaan SBT dilakukan oleh CCSBT dengan tujuan menjamin konservasi dan pemanfaatan secara optimal sumberdaya SBT. Indonesia salah satu negara yang wilayah ZEE nya dilintasi oleh ruaya SBT dan sebagai wilayah memijah SBT, perlu ikut serta dalam melakukan pengelolaan dan konservasi terhadap sumber daya ini. Sejak tanggal 8 April 2004 Indonesia telah menjadi anggota CCSBT melalui Keputusan Presiden Nomor 109 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for the Conservation of SBT (Konvensi tentang Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan). Konsekuensinya Indonesia harus segera mentransformasikan kewajiban yang ada dalam konvensi tersebut dalam hukum nasional dan kebijakan nasional atau menyiapkan perangkat hukum terkait dengan penangkapan SBT.

Peran keanggotaan Indonesia pada CCSBT menjadi sesuatu yang sangat diperlukan dalam upaya bersama untuk bertanggungjawab akan kelestarian sumber daya SBT di Samudera Hindia dan menjaga perdagangan ekspor SBT ke pasar global bagi kepentingan nasional Indonesia. CCSBT mengadopsi tindakan pengelolaan berbasis output control melalui penerapan kuota penangkapan kepada negara anggota dan CNMs. Kuota penangkapan tersebut berakibat terhadap jumlah maksimal hasil tangkapan SBT yang diperbolehkan diperdagangkan baik secara Internasional maupun domestik. Kuota ditentukan dalam tiga tahun. Apabila kuota pada tahun pertama telah terlampaui akan berakibat kepada pengurangan kuota tahun berikutnya. Indonesia mendapatkan kuota penangkapan sebesar 6-7% dari total TAC. Penentuan kuota didasarkan dari data statistik tentang volume produksi SBT dan laporan Scientific Committee CCSBT terkait dengan sediaan SBT. Data produksi SBT terakhir yang dimiliki Indonesia baru dimulai tahun 2004 sampai sekarang. Sebelum tahun 2004 tidak ada data terkait dengan produksi SBT. Terlambatnya penyusunan data statistik tersebut menyebabkan Indonesia tidak dapat berargumentasi pada saat sidang penentuan kuota (TAC).

Hasil tangkapan SBT Indonesia berdasarkan data CDS tahun 2010-2013 telah melebihi kuota yang telah ditetapkan komisi. Hasil tangkapan SBT per Juni 2013 telah mencapai 584.738 kg dan sisa kuota yang belum termanfaatkan sebesar 17.5% dari kuota yang ditetapkan. Berdasarkan history catch, hasil tangkapan SBT cenderung meningkat mulai bulan September – Desember setiap tahun. Kondisi demikian dapat menyebabkan kembali terjadinya kelebihan kuota karena terbatasnya sisa kuota yang tersisa. Menurut Ramli (2009) berdasarkan perhitungan Maximum Economic Yield (MEY) tahun 2001-2005, tingkat produksi optimal Indonesia adalah 1,396 ton dengan effort (kapal) sebanyak 636 unit. Hal ini menunjukkan bahwa perolehan kuota penangkapan SBT Indonesia selama ini bernilai lebih kecil dari kemampuan Indonesia berproduksi.

Pembagian kuota SBT di Indonesia dibagikan kepada dua asosiasi yaitu ATLI dan ASTUIN berdasarkan kesepakatan di Surabaya tahun 2008. Mekanisme pembagian seperti ini tidak dapat menyentuh tangkapan SBT oleh nelayan tradisional pantai selatan Jawa yang ada kemungkinan mendapatkan SBT. Pembagian kuota seperti ini juga dirasa kurang adil jika dilihat dari historical catch kedua asosiasi tersebut yang memiliki perbedaan cukup signifikan. Rata-

rata persentase hasil tangkapan SBT dari ATLI sebesar 77% sedangkan sisanya 22% dari ASTUIN dan 1% dari ASPERTADU. Hal ini diduga karena jumlah armada tuna long line yang dimiliki anggota ATLI lebih banyak, sehingga kemungkinannya lebih banyak untuk menangkap SBT dibandingkan dengan jumlah tuna long line milik ASTUIN dan ASPERTADU. Untuk itu perlu perbaikan mekanisme pembagian kuota yang rasional, adil dan merata.

Indonesia sebagai anggota CCSBT telah mentransformasi salah satu kewajiban yang ada dalam Resolusi CCSBT tentang pendaftaran kapal ke dalam hukum nasional yaitu PER.12/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Namun pada Permen tersebut belum mengatur tentang kapal perikanan yang menangkap SBT di bawah 30 GT (artisanal fisheries) yang merupakan kewenangan pemerintah daerah. Sedangkan menurut Resolusi CCSBT menjelaskan bahwa pendaftaran kapal perikanan yang menangkap dan/atau mengangkut SBT tanpa adanya pembatasan ukuran kapal. Oleh karena itu perlu adanya koordinasi dan kerjasama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan asosiasi terkait untuk mengidentifikasi kapal-kapal di bawah 30 GT yang potensial menangkap SBT dan membuat aturannya.

Setelah dilakukan pendaftaran terhadap kapal perikanan yang menangkap dan mengangkut SBT maka dilanjutkan dengan pendataan hasil tangkapan SBT. Mekanisme pendataan SBT dilakukan melalui penerapan CDS. Terhadap hal tersebut telah dikeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Nomor 02/KEP-DJPT/2013 tentang Petugas Validasi Catch Documentation Scheme untuk jenis tuna sirip biru selatan sebagai perubahan dari KEP.09/DJPT/2012 tentang Petugas Validasi Catch Documentation Scheme (CDS) untuk jenis tuna sirip biru selatan (Southern Bluefin Tuna). Di dalam keputusan tersebut disebutkan bahwa petugas validasi utama (principal) adalah Kepala Pelabuhan, petugas validasi pengganti 1 (alternate 1) adalah Kabag dan Kasubbag Tata Usaha dan petugas validasi pengganti 2 (alternate 2) adalah Kasie dan Kabid Tata Operasional. Pemilihan Kepala Pelabuhan, Kasubbag Tata Usaha dan Kabid Tata Operasional untuk PPN Pengambengan sebagai petugas validasi mengakibatkan kesulitan dalam proses validasi CDS mengingat jauhnya lokasi PPN Pengambengan ke pelabuhan Benoa. Keterlambatan validasi CDS akan mengakibatkan terhambatnya proses ekspor SBT dan bisa mengakibatkan hambatan yang tidak perlu bagi perdagangan Internasional SBT. Untuk itu perlu adanya pelimpahan kewenangan secara tertulis kepada salah satu petugas Pelabuhan Perikanan yang ditempatkan di kantor perwakilan di Benoa dengan kewenangan sebagai petugas validasi pengganti 2 (alternate 2) dan bertanggungjawab dalam pelaksanaan CDS.

Pelaksanaan CDS meliputi tahapan pemesanan tanda (tag), pemasangan tag, pengisian dokumen CDS, monitoring dan evaluasi. Pemesanan tag diajukan kepada sekretariat CCSBT melalui pemerintah atas permohonan asosiasi (ATLI, ASTUIN dan ASPERTADU). Pemesanan tag dilaksanakan setiap setahun sekali untuk n+1 tahun. Pemasangan tag hanya dilakukan pada kapal-kapal yang mendapatkan izin dan terdaftar di CCSBT. Untuk kapal-kapal di bawah 30 GT yang menangkap SBT belum mendapatkan alokasi pemesanan tag. Hal ini dikarenakan sulitnya pemerintah untuk mengidentifikasi dan mengatur kapal- kapal tersebut yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Terdapat beberapa permasalahan dalam pelaksanaan CDS di Indonesia, diantaranya pemasangan tag

yang tidak dipasang langsung pada saat ikan tertangkap, terjadi duplikasi nomor dokumen CDS, kesalahan dalam pengisian form CDS, kapal yang tertera pada dokumen CDS tidak terdaftar di CCSBT vessel list pada saat melakukan penangkapan SBT. Permasalahan lainnya adalah proses rekapitulasi form CDS dalam bentuk hard copy maupun soft copy file yang lama karena keterlambatan pelaku usaha dalam penyerahan form CDS kepada petugas di lapangan yang diserahkan pada saat SBT akan diekspor bukan pada saat SBT didaratkan di pelabuhan. Permasalahan pelaksanaan CDS yang terjadi di Indonesia umumnya terjadi karena human error dan memerlukan pembenahan secara internal.

Kesimpulan dan Saran Kesimpulan

1. Secara umum produksi SBT Indonesia selama dua belas tahun terakhir (2002-2013) cenderung meningkat. Tuna sirip biru selatan yang didaratkan di Indonesia banyak tertangkap di WPP-RI 573 (Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu dan Laut Timor bagian Barat). Wilayah tersebut merupakan bagian wilayah nomor 1 CCSBT statistical area of catch yang diduga sebagai wilayah pemijahan SBT (spawning ground).

2. Permasalahan umum perikanan tuna sirip biru selatan di Indonesia antara lain :

 Indonesia memiliki wilayah yang penting dalam keberlangsungan sumber daya SBT sebagai tempat pemijahan (spawning ground) tuna sirip biru selatan, namun data statistik belum akurat;

 Indonesia sebagai anggota CCSBT belum mentransformasikan seluruh kewajiban yang ada dalam konvensi CCSBT;

 Kuota penangkapan SBT Indonesia telah melebihi kuota yang ditetapkan oleh CCSBT dan kuota untuk Indonesia diduga bernilai lebih kecil dari kemampuan Indonesia berproduksi;

3. Dalam mengelola perikanan tuna sirip biru selatan, Indonesia telah membuat kebijakan, antara lain :

 Membagi kuota penangkapan SBT Nasional kepada dua asosiasi yaitu ATLI dan ASTUIN sebesar 50% : 50%.

 Indonesia telah mentransformasi salah satu kewajiban yang ada dalam konvensi CCSBT tentang pendaftaran kapal ke dalam hukum nasional.

 Indonesia melakukan pendataan SBT melalui penerapan Catch Documentation Scheme (CDS).

Saran

1. Perlu adanya penelitian terhadap komposisi hasil tangkapan dan produktivitas tuna long line Indonesia, musim penangkapan SBT dan sebaran panjang SBT yang didaratkan di Indonesia.

2. Perlu peningkatan efektifitas dan efisiensi dalam pengelolaan perikanan SBT.

4

ANALISIS PEMANFAATAN PERIKANAN

Dokumen terkait