• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabel 6.8 Root definitions pengelolaan kuota penangkapan SBT di Indonesia

5 MODEL PENGELOLAAN KUOTA PENANGKAPAN TUNA SIRIP BIRU SELATAN DI INDONESIA

RD 7 Tabel 6.8 Root definitions pengelolaan kuota penangkapan SBT di Indonesia

Sistem pengelolaan kuota penangkapan SBT di Indonesia menghasilkan tujuh model konseptual yang berasal dari root definitions pada tahap sebelumnya. Ketujuh model konseptual tersebut adalah 1) Penetapan kuota penangkapan SBT Indonesia oleh CCSBT; 2) Pembagian kuota penangkapan SBT di Indonesia; 3) Pelaksanaan pemanfaatan kuota penangkapan SBT di Indonesia; 4) Pelaporan pemanfaatan kuota penangkapan SBT di Indonesia; 5) Pengawasan pemanfaatan kuota penangkapan SBT di Indonesia; 6) Peningkatan kualitas dan pemahaman Sumber Daya Manusia (SDM); dan 7) Peningkatan peran asosiasi.

Penetapan kuota penangkapan SBT Indonesia saat ini diperoleh tanpa pengajuan proposal usulan kuota SBT kepada CCSBT. Akibatnya, perolehan kuota penangkapan SBT Indonesia belum optimum. Model konseptual dalam

Gambar 5.2 mengusulkan penyusunan proposal usulan kuota setiap tiga tahun sekali dan laporan tahunan satu tahun sekali kepada CCSBT. Pembuatan proposal usulan kuota sangat membantu delegasi Indonesia dalam berargumentasi untuk mendapatkan kuota penangkapan yang optimum pada pertemuan tahunan CCSBT (annual meeting). Model konseptual ini mengusulkan pembentukan tim penyusun proposal usulan kuota dan laporan tahunan.

Model dalam Gambar 5.3 menggambarkan proses pembagian kuota penangkapan SBT Indonesia yang dapat diadopsi pada masa depan. Model ini mengusulkan adanya perhitungan dan analisis kebutuhan kuota yang dilakukan oleh DJPT. Perhitungan dan analisis kebutuhan kuota SBT Indonesia didasarkan pada historical catch dan kapasitas produksi SBT masing-masing asosiasi (ATLI, ASTUIN dan ASPERTADU). Pembagian kuota penangkapan per asosiasi ini diharapkan dapat mempermudah pemerintah dalam melakukan pengawasan dan untuk meningkatkan peran asosiasi dengan membagi kuota penangkapan kepada masing-masing anggotanya secara adil sesuai aturan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Pelaksanaan pemanfaatan kuota penangkapan SBT Indonesia selama ini berjalan tanpa adanya mekanisme atau SOP pendaftaran kapal perikanan dan pelaksanaan CDS. Akibatnya, pendataan hasil tangkapan SBT masih belum akurat dan tepat waktu. Model dalam Gambar 5.4 menggambarkan pelaksanaan pemanfaatan kuota penangkapan SBT Indonesia melalui SOP pendaftaran kapal perikanan dan pelaksanaan CDS. Model konseptual ini mengusulkan agar semua kapal tuna long line yang menangkap SBT menjadi salah satu anggota asosiasi (ATLI/ASTUIN/ASPERTADU). Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan peran dan tanggungjawab asosiasi sebagai fasilitator yang mewakili kepentingan pelaku usaha serta memudahkan pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap kapal-kapal tersebut.

Model ini mengusulkan proses pemesanan dan distribusi tag dengan memperhitungkan dan menganalisis kebutuhan yang dilakukan oleh DJPT sebelum memohon kepada CCSBT. Perhitungan dan analisis kebutuhan tag didasarkan kepada historical catch dan kapasitas produksi kapal tuna long line untuk menangkap SBT. Pembayaran tag yang biasanya dibayar oleh asosiasi untuk ke depannya dilakukan oleh pemerintah. Setelah tag diterima oleh DJPT dari CCSBT, DJPT membagikan tag kepada masing-masing asosiasi sesuai dengan hasil perhitungan kebutuhan tag dan permohonan asosiasi. Asosiasi akan mendistribusikan tag kepada anggota sesuai dengan ketentuan pemerintah.

Model ini juga mengusulkan proses pendataan hasil tangkapan SBT untuk memverifikasi hasil tangkapan SBT di lapangan. Verifikasi hasil tangkapan SBT dilakukan oleh petugas enumerator Dit. SDI-DJPT yang bertujuan untuk melihat kesesuaian data di lapangan dengan data yang tercatat dalam CTF sehingga dapat menghasilkan data yang akurat. Model konseptual ini juga mengusulkan adanya masukan data CTF menggunakan sistem aplikasi CDS secara online ke DJPT. Sistem aplikasi CDS ini bertujuan sebagai kontrol terhadap pemanfaatan kuota penangkapan SBT Indonesia agar tidak melebihi dari kuota yang telah ditetapkan komisi. Dengan sistem aplikasi CDS para pihak terkait dapat melihat langsung perkembangan pemanfaatan kuota SBT Indonesia setiap saat. Petugas pelabuhan perikanan diusulkan untuk melakukan scanning terhadap form CDS (CTF, CMF dan E/RE after landing) setelah form CDS divalidasi oleh petugas validasi. Hal

ini bertujuan untuk mempersingkat waktu pelaporan ke CCSBT dan digunakan sebagai arsip dokumen dalam bentuk soft copy file.

Pelaporan pemanfaatan kuota penangkapan SBT Indonesia saat ini berjalan tanpa adanya SOP pelaporan. Model dalam Gambar 5.5 mengusulkan pembangunan sistem aplikasi CDS yang online ke DJPT. Sistem ini dapat diakses oleh pihak terkait untuk melihat perkembangan pemanfaatan kuota penangkapan SBT di Indonesia. Sistem ini digunakan sebagai alat kontrol bagi pemerintah untuk mencegah adanya kelebihan kuota. Untuk mempercepat proses pelaporan, scanning form CDS (CTF, CMF dan E/RE after landing) dapat dilakukan oleh petugas pelabuhan perikanan setelah formulir divalidasi. Untuk keakuratan data laporan, DJPT melakukan verifikasi data CTF sebelum mengirimkannya kepada CCSBT.

Model dalam Gambar 5.6 mengusulkan adanya sistem sanksi dan sistem penghargaan bagi asosiasi dan pelaku usaha. Sanksi diberikan kepada asosiasi jika mengalami kelebihan kuota dengan mengurangi atau menghapus kuota di tahun n+1 atau membayar denda. Sedangkan sistem penghargaan diberikan jika pemanfaatan kuota asosiasi di bawah atau sesuai dengan kuota yang ditetapkan dengan penambahan kuota di tahun n+1.

Model dalam Gambar 5.7 mengusulkan adanya kerjasama antara DJPT dengan lembaga terkait melalui pelaksanaan BIMTEK yang dilaksanakan setiap tiga bulan sekali. Pelaksanaan BIMTEK bertujuan untuk meningkatkan kualitas SDM (nahkoda, ABK dan petugas verifikasi) dalam pengelolaan kuota penangkapan SBT Indonesia.

Model dalam Gambar 5.8 mengusulkan agar asosiasi melaksanakan kegiatan pengelolaan kuota penangkapan SBT, yaitu melakukan pembagian kuota kepada anggotanya, melakukan sosialisasi peraturan terkait, berhak memberikan sanksi dan reward kepada anggotanya, melakukan evaluasi dan melaporkan kepada pemerintah.

Kesimpulan dan Saran Kesimpulan

1. Permasalahan pengelolaan kuota penangkapan SBT di Indonesia diungkapkan secara terstruktur menjadi lima masalah sebagai berikut : 1) Penetapan kuota penangkapan SBT Indonesia oleh CCSBT;

2) Pembagian kuota penangkapan SBT di Indonesia;

3) Pelaksanaan pemanfaatan kuota penangkapan SBT di Indonesia; 4) Pelaporan pemanfaatan kuota penangkapan SBT di Indonesia; dan 5) Pengawasan pemanfaatan kuota penangkapan SBT di Indonesia.

2. Kompleksnya permasalahan pengelolaan kuota penangkapan SBT di Indonesia dipecahkan dengan merumuskan model konseptual yang berasal dari roof definitions. Ada tujuh model konseptual yang diusulkan dari penelitian ini, yaitu :

1) Penetapan kuota penangkapan SBT Indonesia oleh CCSBT; 2) Pembagian kuota penangkapan SBT di Indonesia;

3) Pelaksanaan pemanfaatan kuota penangkapan SBT di Indonesia; 4) Pelaporan pemanfaatan kuota penangkapan SBT di Indonesia;

5) Pengawasan pemanfaatan kuota penangkapan SBT di Indonesia;

6) Peningkatan kualitas dan pemahaman Sumber Daya Manusia (SDM); dan 7) Peningkatan peran asosiasi.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan untuk :

1. Membangun sebuah sistem aplikasi Catch Documentation Scheme (CDS) secara online.

2. Melakukan penelitian lanjutan menggunakan Soft System Methodology (SSM) tahapan lima sampai tujuh.

Dokumen terkait