• Tidak ada hasil yang ditemukan

Southern Bluefin Tuna Fishing Quota Management in Indonesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Southern Bluefin Tuna Fishing Quota Management in Indonesia."

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

NOVIA TRI RAHMAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Kuota Penangkapan Tuna Sirip Biru Selatan di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

(4)
(5)

Selatan di Indonesia. Dibimbing oleh SUGENG HARI WISUDO, EKO SRI WIYONO, dan TRI WIJI NURANI.

Tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii) atau southern bluefin tuna/SBT adalah jenis tuna besar yang mampu berenang dengan cepat dan beruaya sangat jauh (highly migratory). Penangkapan SBT secara besar-besaran menyebabkan populasinya menurun. Apabila penangkapan tidak dikendalikan, SBT akan mengalami kepunahan sehingga kelestariannya terancam.

Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) merupakan Regional Fisheries Management Organization (RFMO) yang fokus mengelola ikan jenis SBT. Melalui pengelolaan yang tepat, CCSBT menjamin konservasi dan pemanfaatan SBT secara optimum. CCSBT mengadopsi proses pengelolaan berbasis output control. CCSBT menerapkan kuota penangkapan SBT kepada setiap negara sesuai dengan Management Procedure (MP).

Sebagai anggota Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), Indonesia harus mengikuti aturan kuota SBT yang telah ditetapkan. Untuk itu diperlukan pengaturan dan tata kelola yang baik dalam pemanfaatan SBT di Indonesia agar selaras dengan kaidah dan aturan-aturan internasional yang telah disepakati Indonesia sebagai bagian dari CCSBT.

Indonesia kesulitan menentukan kuota penangkapan SBT yang berakibat pada kelebihan kuota SBT Nasional. Untuk itu tindakan pengelolaan berbasis output control melalui penerapan kuota penangkapan SBT sangat diperlukan.

Sistem perikanan SBT di Indonesia dapat diidentifikasi melalui elemen-elemen yang terkait dengan sistem perikanan SBT. Penelitian ini akan menelaah beberapa hal yang berkaitan dengan: (i) sumber daya SBT, (ii) pemanfaatan perikanan SBT, dan (iii) pengelolaan perikanan SBT. Dalam penelitian ini, pendekatan soft system methodology digunakan untuk menyusun model konseptual pengelolaan kuota SBT di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan : (1) mendeskripsikan perikanan SBT di Indonesia, (2) mengidentifikasikan permasalahan perikanan SBT di Indonesia, (3) menganalisis pengelolaan perikanan SBT di Indonesia, (4) menghitung komposisi hasil tangkapan dan tingkat produktivitas armada tuna long line Indonesia khususnya yang melakukan aktivitas penangkapan SBT, (5) menduga musim penangkapan, (6) menghitung ukuran rata-rata tertangkap SBT hasil tangkapan tuna long line Indonesia, dan (7) merumuskan model konseptual pengelolaan kuota penangkapan SBT di Indonesia.

Hasil penelitian dapat disimpulkan :

(6)

sumber daya SBT sebagai tempat pemijahan (spawning ground) tuna sirip biru selatan, namun data statistik belum akurat.

• Indonesia sebagai anggota CCSBT belum mentransformasikan seluruh kewajiban yang ada dalam konvensi CCSBT;

• Kuota penangkapan SBT Indonesia telah melebihi kuota yang ditetapkan oleh CCSBT dan kuota untuk Indonesia diduga bernilai lebih kecil dari kemampuan Indonesia berproduksi.

3. Dalam mengelola perikanan tuna sirip biru selatan, Indonesia telah membuat kebijakan, antara lain :

• Membagi kuota penangkapan SBT Nasional kepada dua asosiasi yaitu ATLI dan ASTUIN.

• Indonesia telah mentransformasi salah satu kewajiban yang ada dalam konvensi CCSBT tentang pendaftaran kapal ke dalam hukum nasional.

• Indonesia melakukan pendataan SBT melalui penerapan Catch Documentation Scheme (CDS).

4. Southern bluefin tuna memiliki nilai persentase terkecil sebesar 4% dari komposisi hasil tangkapan tuna long line di Indonesia. Tren persentase produksi SBT memiliki kecenderungan meningkat seiring dengan meningkatnya tren nilai produktivitas tuna long line yang menangkap SBT. Hal ini berarti bahwa tingkat kemampuan efektivitas tuna long line Indonesia dapat dikatakan masih tergolong baik.

5. Musim penangkapan SBT di Indonesia diduga dimulai pada bulan Agustus – Maret.

6. Ukuran rata-rata tertangkap SBT (L50%) yang didaratkan di Indonesia adalah berukuran 145 cm FL yang lebih besar dari length at first maturity (Lm). 7. Kompleksnya permasalahan pengelolaan kuota penangkapan SBT di

Indonesia dipecahkan dengan merumuskan model konseptual yang berasal dari root definitions. Model konseptual yang dihasilkan pada penelitian ini terdiri dari tujuh, yaitu :

(1) Penetapan kuota penangkapan SBT Indonesia oleh CCSBT; (2) Pembagian kuota penangkapan SBT di Indonesia;

(3) Pelaksanaan pemanfaatan kuota penangkapan SBT di Indonesia; (4) Pelaporan pemanfaatan kuota penangkapan SBT di Indonesia; (5) Pengawasan pemanfaatan kuota penangkapan SBT di Indonesia; (6) Peningkatan kualitas dan pemahaman Sumber Daya Manusia (SDM); (7) Peningkatan peran asosiasi.

(7)

in Indonesia. Supervised by SUGENG HARI WISUDO, EKO SRI WIYONO, dan TRI WIJI NURANI.

Southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii) is kind of big tuna that able to swim very fast and very long distance migration (highly migratory). SBT overfishing due to population decreased. If fishing uncontrollable, SBT will be destroyed, therefore it is endangered species.

Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) is a Regional Fisheries Management Organization (RFMO) that focus on SBT management. Through appropriate management. CCSBT to ensure conservation and optimum exploitation of SBT. CCSBT adopt management process based on output control. CCSBT apply SBT fishing quota toward every country with Management Procedure (MP).

As the member of Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), Indonesia shall follow the quota measure of SBT fishing that has determined. Therefore, good management and rules were needed for SBT exploitation in Indonesia in order to align with measures and international regulation that has agreed by Indonesia as part of CCSBT.

Indonesia find difficulties to determine SBT fishing quota that due to surplus of SBT National quota. Therefore, management action based on output control through SBT fishing quota is very needed.

SBT fisheries system in Indonesia could be identified through related elements with SBT fisheries system. This research will studied some issues that related to : (i) SBT resources, (ii) SBT fisheries exploitation, and (iii) SBT fisheries management. In this research, soft system methodology approach used to compose conceptual SBT quota management model in Indonesia.

This research objective are : (1) to describe SBT fisheries in Indonesia, (2) to identify SBT fisheries problems in Indonesia, (3) to analyze SBT fisheries management in Indonesia, (4) to determine catch composition, productivity of tuna long line in Indonesia especially that doing SBT fishing activity, (5) to estimates fishing season, (6) to determine mean size at capture of SBT in Indonesia, and (7) to formulize conceptual fishing quota management model of SBT in Indonesia.

Results of research could be concluded :

1. SBT fisheries have a unique character. Generally product of SBT in Indonesia for current 12 years (2002-2013) intend to increased. SBT that landed in Indonesia some of them fished in WPP-RI 573 (the Indian Ocean south of Java until sothern of Nusa Tenggara of south, western Sawu sea and Timor sea) that part of zone number 1 CCSBT statistical area of catch. 2. Common problem of SBT fisheries in Indonesia are :

• Indonesia has a crucial area in the sustainability of SBT fisheries resources as spawning ground for SBT but SBT fisheries statistic data is not accurate;

(8)

• National SBT quota given to two associations ATLI and ASTUIN.

• Indonesia has transformed one of obligation that in the convention of CCSBT about fishing vessels registration in the national laws.

• Indonesia attempt to find SBT data through Catch Documentation Scheme (CDS).

4. Southern bluefin tuna has the smallest percentage 4% from tuna longline catch in Indonesia. Trend of percentage SBT production has a tendency to increased following the increased of productivity value of tuna long line that catch SBT. This mean that the effectivity of capability rate tuna longline in Indonesia is still good.

5. SBT fishing season in Indonesia predicted start in August – March.

6. Mean size at capture of SBT (L50%) that landed in Indonesia was 145 cm FL that bigger than length at first maturity (Lm).

7. Complexity of SBT fishing quota management problem in Indonesia solved by formulized conceptual model that from root definitions. Conceptual model that resulted to this research that consist of :

(1) Determination of SBT fishing quota in Indonesia by CCSBT; (2) Given SBT fishing quota in Indonesia;

(3) Implementation of SBT fishing quota implementation in Indonesia; (4) Report of SBT fishing quota exploitation in Indonesia;

(5) Surveillance of SBT fishing quota exploitation in Indonesia; (6) Increased of quality and Human Resources awareness (HRD); (7) Increased of association role.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

NOVIA TRI RAHMAWATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

NIM : C452110121

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr Ir Sugeng Hari Wisudo, MSi Ketua

Dr Eko Sri Wiyono, SPiMSi Dr Ir Tri Wiji Nurani, MSi Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Sistem dan Pemodelan

Perikanan Tangkap

Prof Dr Ir Mulyono S.Baskoro, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(14)
(15)

Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis ini berjudul “Pengelolaan Kuota Penangkapan Tuna Sirip Biru Selatan di Indonesia”. Terselesaikannya tesis ini, tidak terlepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang selalu meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, masukan, saran, bimbingan dan motivasi sejak penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan.

2. Dr. Eko Sri Wiyono, S.Pi. M.Si dan Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing atas segala arahan, masukan, saran, bimbingan serta motivasi yang diberikan.

3. Prof. Dr. Ir. Mulyono Baskoro, M.Sc selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan, saran dan pertanyaan yang sangat bermanfaat untuk penyempurnaan tesis ini.

4. Ketua Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap Prof. Dr. Ir. Mulyono Baskoro, M.Sc; dan Ketua Departemen PSP Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc beserta seluruh staf pengajar dan administrasi atas semua bantuan dan fasilitas yang disediakan sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan dengan baik dan lancar.

5. Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia (BPSDM)-KKP yang telah memberikan beasiswa tugas belajar kepada penulis untuk menempuh pendidikan di IPB

6. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap-KKP, Sekretaris Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap-KKP, Direktur Sumberdaya Ikan DJPT, Kepala Bagian Kepegawaian DJPT, dan Kasubdit ZEEI Dit. SDI-DJPT yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di IPB.

7. Ir. Agus A Budiman, M.Aq, Ir. Erni Widjajanti, M.Ag.Buss, dan Saut Tampubolon, S.Sos.MM yang telah memberikan arahan, masukan, saran, bimbingan, motivasi dan dukungan data selama penyusunan tesis ini.

8. Kepala Loka Penelitian Perikanan Tuna Benoa bali Budi Nugraha S.Pi. M.Si; Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara Pengambengan beserta staf; Ketua ATLI, ASTUIN dan ASPERTADU beserta anggota; petugas enumerator Dit. SDI di Pelabuhan Benoa; petugas observer LPPT Benoa atas bantuan, dukungan dan kerjasamanya selama penulis melaksanakan penelitian.

9. Keluarga besar Subdit ZEEI Dit. SDI atas dorongan semangat, dukungan, bantuan dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis.

10. Achmar Jauzi, S.Pi.MM; Dr. Arief Yudhanto; Tri Ernawati, S.Pi.M.Si dan Bobby Adirianto, S.Pi yang telah memberikan saran, masukan, dan bantuan dalam editing tesis ini.

(16)

pengertian, dan kesabarannya yang menjadi sumber kekuatan dan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

14. Teman-teman seperjuangan SPT dan TPT angkatan 2011 atas kerjasama, diskusi, dorongan semangat dan kebersamaan selama mengikuti pendidikan dan penyusunan tesis ini.

15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu namun tetap memberikan kontribusi dalam penyusunan dan penyelesaian tesis ini.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat dalam memperkaya dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta menjadi inspirasi dalam penelitian berikutnya.

Bogor, Januari 2014

(17)

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR LAMPIRAN iv

DAFTAR ISTILAH v

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 3

Kerangka Pikir Penelitian 3

2 METODOLOGI PENELITIAN 5

Waktu dan Tempat Penelitian 5

Metode Pengumpulan Data 5

Analisis Data 7

3 SISTEM PERIKANAN TUNA SIRIP BIRU SELATAN DI

INDONESIA 8

Pendahuluan 8

Metodologi 8

Hasil Penelitian 8

Gambaran Umum Tuna Sirip Biru Selatan 8

Habitat, Daur Hidup dan Sebaran Geografi 9

Potensi Tuna Sirip Biru Selatan 11

Produksi Tuna Sirip Biru Selatan 11

Wilayah Penangkapan Tuna Sirip Biru Selatan 13

Pengelolaan Tuna Sirip Biru Selatan 16

Kebijakan dan Kelembagaan 18

Pembahasan 22

Kesimpulan dan Saran 25

4 ANALISIS PEMANFAATAN PERIKANAN TUNA SIRIP BIRU

SELATAN DI INDONESIA 26

Pendahuluan 26

Metodologi 26

Hasil Penelitian 27

Unit Penangkapan Tuna Sirip Biru Selatan 27 Tuna Long Line Komoditas Tuna Sirip Biru Selatan 30

Pendugaan Musim Penangkapan 34

Ukuran Rata-rata Tertangkap 36

Pembahasan 39

(18)

Metodologi 42

Hasil Penelitian 45

Tahap 1 – Mengkaji Masalah yang Tidak Terstruktur 45

Tahap 2 – Rich Picture 48

Tahap 3 – Root Definition 53

Tahap 4 – Model Konseptual 55

Pembahasan 69

Kesimpulan dan Saran 72

6 KESIMPULAN DAN SARAN 74

DAFTAR PUSTAKA 76

LAMPIRAN 79

(19)

2.1 Jenis dan data yang digunakan 6 3.1 Koordinat CCSBT statistical area of catch 14 3.2 Persentase jumlah kapal tuna long line yang menangkap SBT 15 3.3 Alokasi kuota SBT Indonesia tahun 2006 – 2014 17 3.4 Perbandingan kuota dengan perkiraan hasil tangkapan SBT 18 4.1 Struktur armada kapal tuna long line ASTUIN Jakarta 28 4.2 Struktur armada kapal tuna long line ATLI Bali 28 4.3 Struktur armada tuna long line yang menangkap SBT berdasarkan

sampling logbook penangkapan ikan 29

4.4 Persentase ekspor dan domestik produksi southern bluefin tuna 32 4.5 Persentase distribusi fork length SBT tahun 2010 – 2012 38

5.1 CATWOE dalam root definition 1 53

5.2 CATWOE dalam root definition 2 53

5.3 CATWOE dalam root definition 3 54

5.4 CATWOE dalam root definition 4 54

5.5 CATWOE dalam root definition 5 55

5.6 CATWOE dalam root definition 6 55

5.7 CATWOE dalam root definition 7 55

5.8 Root definition penelitian 70

DAFTAR GAMBAR

1.1 Kerangka pikir penelitian 4

2.1 Lokasi penelitian 5

3.1 Tuna sirip biru selatan/southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii) 9

3.2 Ruaya tuna sirip biru selatan 9

3.3 Penyebaran southern bluefin tuna dan daerah pemijahan 10

3.4 Produksi SBT global tahun 1952-2011 12

3.5 Produksi SBT Indonesia tahun 1976-2011 12

3.6 Hasil tangkapan SBT Indonesia tahun 2010-2013 berdasarkan CDS 13 3.7 Hasil tangkapan SBT Indonesia tahun 2004-2011 berdasarkan statistik

perikanan tangkap Indonesia 13

(20)

4.1 Perkembangan armada penangkapan tuna long line di provinsi Jateng, Jabar, DKI dan Bali berdasarkan statistik perikanan

tangkap Indonesia tahun 2005-2011 29

4.2 Komposisi hasil tangkapan tuna long line milik (a) PT. PSB tahun

Tahun 1990-2000, (b) ATLI tahun 2005-2012 33 4.3 Tren persentase produksi SBT Indonesia tahun 1990 – 2000 dan

2005 – 2012 33

4.4 Tren produktivitas SBT kapal tuna long line tahun 2010-2013 34 4.5 Rata-rata hasil tangkapan bulanan SBT berdasarkan (a) PT. PSB

tahun 1991-2002, (b) CDS tahun 2010-2012 35 4.6 Rata-rata hasil tangkapan bulanan SBT tahun 1991-2002 dan

2005-2012 36

4.7 Struktur ukuran dan ukuran rata-rata tertangkap SBT (a) Tahun

2010, (b) Tahun 2011, (c) Tahun 2012, (d) Tahun 2010-2012 37 4.8 Distribusi frekuensi panjang SBT bulanan tahun 2010 – 2012 39 5.1 Gambaran permasalahan pengelolaan kuota penangkapan tuna sirip

biru selatan di Indonesia 52

5.2 Model konseptual penetapan kuota penangkapan SBT Indonesia 57 5.3 Model konseptual pembagian kuota penangkapan SBT di Indonesia 59 5.4 Model konseptual pelaksanaan pemanfaatan kuota SBT di

Indonesia 62

5.5 Model konseptual pelaporan pemanfaatan kuota penangkapan

SBT Indonesia 64

5.6 Model konseptual pengawasan pemanfaatan kuota penangkapan

SBT Indonesia 66

5.7 Model konseptual peningkatan kualitas dan pemahaman SDM 67 5.8 Model konseptual peningkatan peran asosiasi 69

DAFTAR LAMPIRAN

1 Dokumen Catch Documentation Scheme 79

(21)

ATLI : Asosiasi Tuna Long line Indonesia adalah organisasi yang terdiri dari perusahaan perikanan tuna long line yang berkedudukan di Benoa, Bali.

ASTUIN : Asosiasi Tuna Indonesia adalah organisasi terdiri dari perusahaan perikanan tuna long line yang berkedudukan di Jakarta.

ASPERTADU : Asosiasi Perikanan Tangkap Terpadu adalah organisasi yang terdiri dari perusahaan perikanan purse seine dan tuna long line yang berkedudukan di Benoa, Bali.

Balitbang KP : Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan adalah eselon I pada Kementerian Kelautan dan Perikanan yang mempunyai tugas melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang kelautan dan perikanan.

CCSBT : Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna adalah komisi yang fokus mengelola tuna sirip biru selatan dan bertujuan menjamin melalui pengelolaan yang tepat, konservasi dan pemanfaatan tuna sirip biru selatan secara optimal.

CDS : Catch Documentation Scheme adalah dokumen yang berisi data dan informasi tuna sirip biru selatan (SBT) sejak SBT ditangkap hingga memasuki penjualan pasar dalam negeri maupun ekspor. CMF : Catch Monitoring Form adalah dokumen yang berisi data dan

informasi tentang penangkapan, pendaratan, transhipment, ekspor dan impor SBT baik yang berasal dari pembesaran atau bukan serta tangkapan yang tidak diharapkan.

CTF : Catch Tagging Form adalah dokumen yang berisi data dan informasi penandaan ikan SBT perekor sebagai bagian dari CDS. FSF : Farm Stocking Form adalah dokumen yang berisi data dan

informasi tentang penangkapan, penarikan dan pembesaran SBT. CNMs : Cooperating Non-Members adalah anggota tidak tetap CCSBT

yang terdiri dari tiga negara yaitu Philipines, South Africa dan The European Union.

CPUE : Catch per Unit Effort adalah hasil tangkapan per unit upaya penangkapan.

Dit. SDI : Direktorat Sumberdaya Ikan adalah Eselon II di lingkup Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan.

(22)

ESC : Extended Scientific Committee adalah salah satu pertemuan tahunan CCSBT.

FL : Fork Length (panjang cagak) adalah panjang ikan diukur dari ujung kepala yang terdepan sampai ujung bagian luar lekukan cabang sirip ekor.

IUU Fishing : Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (Penangkapan Ikan Illegal, Tidak Terlaporkan dan Tidak Ter-regulasi) adalah kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh suatu negara yang bertentangan dengan tindakan konservasi dan pengelolaan perikanan yang telah diadopsi oleh CCSBT.

KKP : Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah unsur pelaksana pemerintah yang menyelenggarakan urusan di bidang kelautan dan perikanan yang bertanggungjawab kepada Presiden.

Lc : Length at first capture (panjang ikan pertama kali tertangkap) adalah panjang dimana 50% ikan dipertahankan dan 50% dilepaskan oleh suatu alat tangkap ikan.

Lm : Length at first maturity adalah panjang ikan saat pertama kali matang gonad.

PPN : Pelabuhan Perikanan Nusantara adalah pelabuhan perikanan yang diperuntukkan bagi kapal yang dioperasikan di perairan Nusantara yaitu ZEEI dan laut teritorial.

PPS : Pelabuhan Perikanan Samudera adalah pelabuhan perikanan yang diperuntukkan bagi kapal perikanan yang dioperasikan di perairan Samudera yaitu perairan laut teritorial, ZEEI dan Laut Lepas.

RDs : Root definitions adalah pandangan yang ideal dari suatu sistem yang ideal yang bertujuan untuk mencari: apa yang akan dilakukan; kenapa harus dilakukan; siapa yang melaksanakan; siapa yang mendapat untung/rugi dari masalah yang ada; dan pengaruh lingkungan apa yang membatasi tindakan dan aktivitas. RFMOs : Regional Fisheries Management Organizations adalah organisasi

pengelolaan perikanan regional untuk kepentingan bersama antar negara.

SBT : Southern bluefin tuna (tuna sirip biru selatan/Thunnus maccoyii) adalah jenis ikan pelagis besar yang mampu berenang dengan cepat dan beruaya sangat jauh (higly migratory).

SSM : Soft System Methodology merupakan kerangka kerja pemecahan masalah sesuai Checkland dan Poulter (2006) yaitu dengan tujuh prinsip proses dasar dalam penggunaan SSM.

(23)

perkembangan gonad ikan sebelum memijah.

(24)
(25)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii) atau southern bluefin tuna selanjutnya disebut SBT adalah jenis tuna besar yang mampu berenang dengan cepat dan beruaya sangat jauh (highly migratory). SBT juga merupakan jenis ikan pelagis besar. Penangkapan SBT secara besar-besaran menyebabkan populasinya menurun. Apabila penangkapan tidak dikendalikan, SBT akan mengalami kepunahan sehingga kelestariannya terancam.

Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) merupakan Regional Fisheries Management Organization (RFMO) yang fokus mengelola ikan jenis SBT. Melalui pengelolaan yang tepat, CCSBT menjamin konservasi dan pemanfaatan SBT secara optimum. Berdasarkan laporan Scientific Committee CCSBT pada 2006 ukuran SBT yang ditangkap oleh tuna long line kritis. Dengan mempertimbangkan status stok saat ini, dimana spawning stock biomass adalah 3-7% dari original spawning stock biomass, maka Total Allowable Catch (TAC) perlu segera diturunkan. Tujuannya agar stok sumber daya SBT segera pulih kembali dan target titik referensi pemulihan sebesar 20% dari originalspawning stocks dapat tercapai (CCSBT, 2011b).

Dengan mempertimbangkan kondisi stok yang demikian, CCSBT mengadopsi proses pengelolaan berbasis output control. CCSBT menerapkan kuota penangkapan SBT kepada setiap negara sesuai dengan Management Procedure (MP). MP digunakan sebagai panduan dalam menetapkan TAC yang sudah ditetapkan sejak tahun 2004 untuk periode dua tahun. Sejak tahun 2012, TAC ditetapkan untuk periode tiga tahun. Meskipun Indonesia baru menjadi anggota CCSBT pada 8 April 2008, namun Indonesia telah mendapatkan kuota penangkapan SBT sejak 2006. Kuota penangkapan SBT tahun 2006 adalah 800 ton yang kemudian diturunkan menjadi 651 ton pada tahun 2011. Pertemuan Sixth Meeting of The Compliance Committee (6 – 8 Oktober 2011) dan Eighteenth Annual Meeting of The Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (10 – 13 Oktober 2011) menyepakati bahwa Indonesia berhak memperoleh kuota penangkapan sebesar 685 ton untuk jangka waktu tiga tahun sejak 2012; 707 ton sejak 2013; dan 750 ton sejak 2014 (CCSBT, 2011a).

(26)

Sanksi-sanksi ini pada akhirnya menyebabkan berkurangnya devisa negara. Oleh sebab itu, Indonesia memerlukan sistem manajemen yang lebih baik untuk mengelola kuota penangkapan SBT.

Perumusan Masalah

Seperti telah disebutkan sebelumnya, CCSBT mengelola dan melestarikan SBT melalui pengalokasian kuota penangkapan bagi negara anggota dan cooperating non-members (CNMs). Pengalokasian kuota ini didasarkan pada kriteria yang telah disepakati oleh komisi. Sayangnya, kuota penangkapan ini malah menurunkan jumlah hasil tangkapan maksimal SBT yang boleh diperdagangkan secara domestik maupun internasional. Kuota CCSBT juga ditetapkan untuk periode tiga tahun. Apabila kuota pada tahun pertama terlampaui maka suatu negara akan dikurangi kuotanya pada tahun berikutnya. CCSBT memantau kuota penangkapan SBT melalui Catch Documentation Scheme (CDS) dan pemasangan tag SBT. Semua hasil tangkapan SBT dicatat mulai sejak SBT ditangkap sampai pemasaran SBT di pasar domestik dan ekspor SBT.

Di Indonesia, sistem manajemen pengelolaan kuota penangkapan SBT belum terumuskan dengan baik hingga saat ini. Indonesia membagi kuota penangkapan SBT kepada dua asosiasi, yaitu Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) dan Asosiasi Tuna Indonesia (ASTUIN), dengan rasio 50:50. Sistem pembagian ini sebenarnya kurang adil dan rasional karena sejarah penangkapan SBT masing-masing asosiasi sebenarnya berbeda, khususnya dalam hal kapasitas penangkapan (jumlah, ukuran dan tipearmada penangkapan) dan hasil tangkapan. Selain itu, pemerintah juga belum mengatur sanksi-sanksi yang akan dikenakan kepada asosiasi jika mereka melebihi kuota. Sistem yang ada saat ini juga belum dapat mengontrol kuota SBT Nasional. Terbukti bahwa pada tahun 2011 Indonesia melebihi kuota SBT Nasional yang ditetapkan CCSBT, dan dikenai sanksi pengurangan kuota pada tahun berikutnya. Oleh sebab itu, model konseptual pengelolaan kuota SBT Nasional yang lebih komprehensif sangat diperlukan.

Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian adalah mengusulkan sistem pengelolaan kuota penangkapan SBT yang lebih baik di Indonesia. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:

(1) Mendeskripsikan perikanan SBT di Indonesia.

(2) Mengidentifikasikan permasalahan perikanan SBT di Indonesia. (3) Menganalisis pengelolaan perikanan SBT di Indonesia.

(4) Menghitung komposisi hasil tangkapan dan tingkat produktivitas armada tuna long line yang melakukan penangkapan SBT.

(5) Mengestimasi musim penangkapan SBT.

(27)

(7) Merumuskan model konseptual pengelolaan kuota penangkapan SBT di Indonesia.

Manfaat Penelitian

Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi: (1) Masyarakat perikanan: mengenai gambaran sumber daya SBT,

pemanfaatan perikanan SBT, serta pengelolaan SBT di Indonesia yang terkait dengan kebijakan dan kelembagaan.

(2) Pemerintah: sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan dan action plan Indonesia sebagai anggota CCSBT agar dapat mengelola dan melakukan konservasi sumber daya perikanan SBT di Indonesia, dan mematuhi resolusi CCSBT.

(3) Pelaku usaha: mengembangkan usaha perikanan SBT agar tidak mengalami hambatan dalam perdagangan Internasional.

(4) Peneliti selanjutnya: sebagai rujukan dalam penyusunan strategi pengelolaan kuota SBT di Indonesia.

Kerangka Pikir Penelitian

Indonesia kesulitan menentukan kuota penangkapan SBT yang berakibat pada kelebihan kuota SBT Nasional. Hal ini disebabkan oleh: (i) pelaporan produksi penangkapan SBT yang kurang akurat dan tidak tepat waktu; (ii) keberadaan SBT yang sulit diprediksi karena sifatnya yang highly migratory; (iii) pembagian kuota SBT Nasional yang kurang adil dan rasional. Mempertimbangkan hal-hal di atas, tindakan pengelolaan berbasis output control melalui penerapan kuota penangkapan SBT sangat diperlukan.

Sistem perikanan SBT di Indonesia dapat diidentifikasi melalui elemen-elemen yang terkait. Dalam penelitian ini, elemen-elemen-elemen-elemen yang berhubungan dengan sistem perikanan SBT disajikan dalam Gambar 1.1. Penelitian ini akan menelaah beberapa hal yang berkaitan dengan:

 Sumber daya SBT

 Pemanfaatan perikanan SBT

 Pengelolaan perikanan SBT

(28)

Permasalahan

- Pelaksanaan pengelolaan kuota SBT belum sesuai ketentuan Internasional (Resolusi CCSBT)

- Kelebihan kuota SBT Nasional yang dapat membatasi usaha

- Keberadaan sumber daya SBT yang tidak dapat diprediksi

- Belum terumuskannya mekanisme pembagian kuota SBT Nasional yang rasional Perikanan tuna sirip biru selatan/

southern bluefin tuna (SBT)

Ruang Lingkup

1. Identifikasi sistem perikanan SBT di Indonesia

2. Mengkaji perikanan tuna long line/TLL Indonesia yang menangkap SBT 3. Mengkaji pengelolaan kuota penangkapan SBT di Indonesia

Pendekatan Sistem

Sumber daya SBT Pengelolaan

perikanan SBT Pemanfaatan

perikanan SBT

Sistem pengelolaan kuota SBT di Indonesia dengan pendekatan Soft System Methodology

Model konseptual pengelolaan kuota penangkapan SBT di Indonesia Produktivitas Musim

penangkapan

Komposisi hasil tangkapan

tuna long line

Ukuran rata-rata tertangkap

(29)

115°12 0E 115°140E

115°12 0E 115°140E

2

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2012 sampai Juli 2013 di Jakarta dan Pelabuhan Umum Benoa Bali. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan pertimbangan bahwa hasil tangkapan SBT di Indonesia sebagian besar didaratkan di Pelabuhan Benoa-Bali dan Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta.

Gambar 2.1 Lokasi penelitian

Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat formal maupun informal, yaitu melalui metode survei, studi pustaka dan dokumentasi, observasi lapangan, wawancara dan diskusi. Pemilihan dan penentuan responden kunci yang terlibat dalam penelitian dilakukan dengan pendekatan personal. Jumlah responden menjadi pengecualian ketika informasi

yang diperoleh sudah dipandang memadai sehingga pencarian informasi “data”

dapat dihentikan.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dan data sekunder diperoleh dari pihak terkait seperti instansi pemerintah, asosiasi dan pelaku usaha serta literatur dan dokumentasi

8°42 0 S

8°440 S

(30)

Jenis

Data Data yang Digunakan Sumber Data

Data Primer

Catch Documentation Scheme (CDS)

 Hasil tangkapan tuna long line

 Harga tuna sirip biru selatan

 Unit penangkapan tuna sirip

biru selatan

 Operasi penangkapan tuna long

line yang menangkap SBT

 Penanganan dan pemasaran

tuna sirip biru selatan

 Pembagian kuota SBT di

Indonesia

 Gambaran umum tuna sirip biru

selatan

 Habitat, daur hidup dan sebaran

geografi tuna sirip biru selatan

 Potensi tuna sirip biru selatan

 Produksi tuna sirip biru selatan

 Wilayah penangkapan tuna

sirip biru selatan

 Pengelolaan tuna sirip biru

selatan

 Alokasi kuota penangkapan

SBT Indonesia

 Hasil tangkapan tuna long line

 Musim penangkapan tuna sirip

biru selatan

 Ukuran rata-rata tertangkap

tuna sirip biru selatan  Length at first maturity tuna

sirip biru selatan penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.1.

(31)

Analisis data

Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah : 1) Analisis Komposisi Hasil Tangkapan

Komposisi hasil tangkapan tuna long line Indonesia yang menangkap SBT dianalisis secara deskriptif. Hasil analisis tersebut disajikan secara naratif, diagram lingkar dan grafik.

2) Analisis Produktivitas Kapal Penangkap Ikan

Menurut Gulland (1991 dalam Astuti, 2005) nilai produktivitas dianalisis dengan menggunakan perhitungan nilai catch per unit effort (CPUE) dengan rumus sebagai berikut:

dimana : Ct = hasil tangkapan pada tahun ke-t (ton) Et = upaya penangkapan pada tahun ke-t (unit)

3) Analisis Pendugaan Musim Penangkapan

Menurut Uktolseja (1993) secara sederhana musim ikan dalam setiap tahun merupakan periode (bulan) dimana hasil tangkapan lebih besar dari rata-rata hasil tangkapan bulanan selama periode tahun tersebut. Musim penangkapan SBT dianalisis secara deskriptif dan hasil analisis disajikan secara naratif dan grafik.

4) Analisis Ukuran Rata-rata Tertangkap ( L50% )

Menurut Saputra et al. (2008) metode penentuan ukuran ikan rata-rata tertangkap dapat dilakukan mengunakan metode kurva logistik baku, yaitu dengan memplotkan presentase frekuensi kumulatif dengan panjangnya.

5) Analisis Soft System Methodology

Analisis dalam SSM dapat dilakukan melalui tujuh tahapan, namun dalam tulisan ini peneliti hanya menggunakan empat tahapan yaitu :

(1) Analisis situasi permasalahan

(2) Analisis gambaran situasi permasalahan (rich picture)

(32)

3

SISTEM PERIKANAN TUNA SIRIP BIRU SELATAN

DI INDONESIA

Pendahuluan

Tuna sirip biru selatan merupakan ikan beruaya jauh yang penyebarannya mencapai negara lain (shared stock). Penyebarannya yang mendunia menyebabkan kuota penangkapan SBT yang diterapkan CCSBT menjadi isu dan permasalahan internasional. Pemahaman mengenai sistem perikanan tuna sirip biru selatan di Indonesia sangat penting dalam mengenali permasalahan domestik kuota penangkapan SBT, dan implikasinya kepada permasalahan SBT dunia. Bab ini menjelaskan tentang sistem perikanan, isu perikanan dan analisis pengelolaan perikanan tuna sirip biru selatan di Indonesia.

Metodologi

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif dan penelusuran pustaka. Penelitian deskriptif difokuskan untuk memberikan gambaran keadaan sebenarnya dari obyek yang diteliti (Tika, 2005).

Bahan dan Alat

Metode pengumpulan data dilakukan melalui metode studi pustaka/literatur dan wawancara. Sebagai alat bantu wawancara, peneliti menyiapkan perangkat pertanyaan/kuesioner untuk responden. Responden yang dijadikan sampel merupakan responden kunci dari sistem perikanan tuna sirip biru selatan. Responden tersebut mewakili orang-orang yang terlibat dalam sistem perikanan tuna sirip biru selatan seperti pelaku usaha, asosiasi (ATLI, ASTUIN dan ASPERTADU), petugas validasi, Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pengambengan dan Direktorat Sumberdaya Ikan (Dit. SDI)-Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT).

Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif yang merupakan analisis penggambaran sesuatu dari apa yang akan dibicarakan lebih jauh. Hasil analisis disajikan secara naratif, gambar, tabel dan grafik.

Hasil Penelitian

Gambaran Umum Tuna Sirip Biru Selatan

(33)

umumnya berkisar antara 160 sampai 200 cm (Silas dan Pillai, 1982). Ikan SBT dianggap berumur panjang dengan harapan hidup sampai umur 40 tahun.

Ikan SBT memiliki ciri-ciri bagian bawah tubuh/perut berwarna putih keperakan, tubuh bagian atas berwarna biru kehitaman, sirip anal berwarna kuning kehitaman dan sirip punggung pertama berwarna kuning atau kebiruan. Pada bagian dekat ekor terdapat keels berwarna kuning pada ikan dewasa dan ditandai dengan garis-garis melintang berwarna putih (Carpenter dan Niem, 2001).

Sumber : http://www.bigmarinefish.com/bluefin.html

Gambar 3.1 Tuna sirip biru selatan/southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii)

Habitat, Daur Hidup dan Sebaran Geografi

Ikan SBT banyak ditemukan di laut selatan dan sedikit di sebelah timur Samudera Pasifik dengan suhu air laut pada temperatur dingin berkisar antara 5°-20°C dan sedikit dijumpai pada perairan dengan suhu permukaan antara 20°-30°C (Collette dan Nauen, 1983). Sumber daya SBT diduga mempunyai tempat pemijahan (spawning ground) tunggal yaitu antara barat laut Australia dan perairan selatan pulau Jawa (Proctor et al., 1995; Yukinawa, 1987; Farley dan Davis, 1998).

Sumber : Shingu, 1981 dalam Sumadhiharga, 2009

Gambar 3.2 Ruaya tuna sirip biru selatan Pantai Albani

Pantai Australia selatan & new south wales

(34)

Menurut Shingu (1981), ikan SBT melakukan ruaya setelah menetas dengan pergerakan sebagai berikut :

1) Setelah menetas hingga tingkat juvenile, anak ikan ini tetap berada di perairan Oka (daerah pemijahan) dengan posisi lintang 10°–20° LS dan bujur 100°– 125° BT. Anakan ikan SBT yang berumur antara antara 0 sampai 1 tahun bergerak hingga ke pantai Albany, Australia Barat dan menetap hingga tahun kedua.

2) Perjalanan anakan ikan SBT ini selanjutnya diteruskan ke pantai Australia Selatan dan pantai New South Wales. Ikan SBT di kedua tempat ini di dominasi oleh SBT berumur 3-4 tahun. Pada umur 4-5 tahun SBT ini meninggalkan daerah pantai dan menyebar luas ke lapisan lebih dalam di lepas pantai. Ikan SBT yang belum dewasa bergerak mengikuti arus angin barat (west wind drift) hingga menjadi dewasa pada umur 6-7 tahun. Arus angin musim barat ini menjadi daerah pusat sebaran SBT ke tempat-tempat asalnya.

Ikan SBT dewasa melakukan migrasi pada perairan hangat barat dan barat laut Australia. Hasil tangkapan SBT maksimum dicatat pada suhu antara 23°-26°C dan pada perairan dingin di perairan antara Tasmania dan Selandia Baru pada suhu 13º-15°C (Collette dan Nauen, 1983). Ikan SBT ini bergerak musiman mengikuti arah arus angin ke timur Australia, timur Selandia Baru, dan lepas pantai Afrika Selatan. Ikan SBT yang tumbuh dewasa akan kembali ke perairan asalnya pada bulan September - Maret untuk memijah di sana dan daur hidup ikan ini akan kembali berulang terus menerus (Sumadiharga, 2009).

Menurut Shingu (1981), SBT tersebar di tiga Samudera mulai dari lepas pantai timur Argentina, meluas ke Samudera Atlantik, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mulai lepas pantai selatan Australia dan Selandia Baru hingga perairan pantai Cile. Ikan SBT tersebar secara luas di belahan bumi perairan selatan Samudera Hindia antara 30° dan 50° LS dengan daerah pemijahan antara 7° dan 20° LS di Samudera Hindia Timur laut Selatan Jawa (Caton, 1991).

Sumber : Caton, 1991

Gambar 3.3 Penyebaran southern bluefin tuna dan daerah pemijahan Penyebaran SBT

(35)

Potensi Tuna Sirip Biru Selatan

Laporan Scientific Committee 16 CCSBT pada tahun 2011 menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan optimal SBT dunia berada pada batas yang kritis. Status stok SBT saat ini dimana spawning stock biomass antara 3-7% dari original spawning stock biomass. Untuk itu perlu dilakukan penurunan TAC bagi upaya pemulihan kembali stok sumber daya SBT serta target titik referensi pemulihan sebesar 20% dari originalspawning stocks dapat tercapai.

Namun demikian, laporan Scientific Committee 17 CCSBT tahun 2012 berdasarkan pengkajian dari Extended Scientific Committee (ESC) tahun 2011 memiliki pandangan positif terhadap status potensi SBT global (CCSBT, 2012). Status potensi global SBT menduga bahwa : 1) terjadi pengurangan total hasil tangkapan SBT, 2) Fishing mortality SBT di bawah FMSY, dan 3) stok SBT diperkirakan akan meningkat pada tangkapan saat ini dan kedepan yang ditentukan oleh Management Procedure (MP) CCSBT. Hasil kajian ESC-CCSBT tahun 2011 menunjukkan bahwa Maximum Sustainable Yield (MSY) SBT sebesar 34,500 ton (31,100 – 36,500 ton) dan current replacement yield saat ini sebesar 27,200 ton (22,200 – 32,800 ton). Pengkajian ini menunjukkan bahwa spawning biomass saat ini ada kemungkinan lebih besar dari perkiraan sebelumnya dan perkiraan proporsi produktivitas stok SBT lebih rendah. Sehingga kedua elemen tersebut mengindikasikan bahwa kuota TAC global dapat lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. Pertemuan Eighteenth Annual Meeting tahun 2011 menentukan kuota TAC global sebesar 10,449 ton untuk jangka waktu tiga tahun sejak 2012; 10,949 ton sejak 2013; dan 12,449 ton sejak 2014.

Produksi Tuna Sirip Biru Selatan

(36)

0 Sumber : CCSBT, 2013 (diunduh tanggal 2 Mei 2013), olah

Gambar 3.4 Produksi SBT global tahun 1952-2011

Data produksi perikanan SBT Indonesia mulai teridentifikasi dan tercatat sejak tahun 1976 melalui data impor produk SBT Indonesia yang masuk di pasar ikan Jepang. Selama periode 1976-1987, produksi SBT Indonesia belum terlihat signifikan meningkat. Baru sejak tahun 1988 dan selanjutnya produksi SBT terjadi peningkatan. Produksi SBT Indonesia mengalami puncaknya pada tahun 1999 sebesar 2,504 ton yang kemudian pada tahun-tahun selanjutnya secara umum terlihat kecenderungan menurun.

Sumber : CCSBT, 2013 (diunduh tanggal 2 Mei 2013), olah

Gambar 3.5 Produksi SBT Indonesia tahun 1976-2011

(37)

0

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

H

Sumber : Data CDS 2010-2013 rekap Dit. SDI per Juni 2013, olah Data tahun 2012 dan 2013, angka sementara

Gambar 3.6 Hasil tangkapan SBT Indonesia tahun 2010-2013 berdasarkan CDS

Sumber : Data Statistik Perikanan Tangkap Indonesia Tahun 2012

Gambar 3.7 Hasil tangkapan SBT Indonesia tahun 2004-2011 berdasarkan Statistik Perikanan Tangkap Indonesia

Gambar 3.6 memperlihatkan perkembangan hasil tangkapan SBT Indonesia selama tahun 2010-2013 berdasarkan data CDS memiliki kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Data tahun 2012-2013 merupakan angka sementara per Juni 2013 sehingga produksi SBT masih bisa bertambah. Sedangkan berdasarkan Statistik Perikanan Tangkap Indonesia selama tahun 2004-2012, hasil tangkapan SBT Indonesia terlihat tinggi pada tahun 2005 sebesar 1,831 ton dan terendah pada tahun 2010 sebesar 474 ton (Gambar 3.7).

Wilayah Penangkapan Tuna Sirip Biru Selatan

(38)

Area of Catch Altitude Latitude

1 10 S – 20 S 100 E - 130 E

2 20 S – 35 S 80 E – 120 E

3 35 S – 40 S 120 E – 140 E

4 30 S – 40 S 140 E – 160 E

5 30 S – 40 S 170 E - 170 W

6 40 S - 60 S 160 E – 170 W

7 35 S – 60 S 120 E – 160 E

8 35 S – 60 S 60 E – 120 E

9 35 S – 60 S 40 W – 60 E

10 35 S – 60 S 70 W – 40 W

11 Not Applicable Not Applicable

12 Not Applicable Not Applicable

13 Not Applicable Not Applicable

14 20 S – 35 S 20 E – 80 E

15 20 S – 35 S 40 W – 20 E

selatan. Statistical area of catch dari CCSBT terdiri dari 15 (lima belas) wilayah yang terlihat pada Gambar 3.8 dengan koordinat pada Tabel 3.1.

Sumber : CCSBT, 2010

Gambar 3.8 Wilayah konvensi CCSBT

(39)

CCSBT Area of Catch

Jumlah Kapal Tuna Long line

2010 2011 2012**) 2013**) Rata-rata

unit % unit % unit % unit % unit %

1 180 96.8% 169 88.9% 140 92.1% 86 94.5% 143.75 92.9%

2 5 2.7% 15 7.9% 4 2.6% 1 1.1% 6.25 4.0%

8 0.0% 5 2.6% 6 3.9% 2 2% 3.25 2.1%

9 1 0.5% 1 0.5% 1 0.7% 2 2.2% 1.25 0.8%

14 0% 0% 1 0.7% 0.0% 0.25 0.2%

186 100% 190 100% 152 100% 91 100% 154.75 100%

10°

Gambar 3.9 Ilustrasi WPP-RI 573 dan statistical area of catch nomor 1

Wilayah nomor 1 (satu) statistical area of catch dengan koordinat 10´S – 20´S dan 100´E – 130´E merupakan bagian Wilayah Pengelolaan Perikanan-Republik Indonesia (WPP-RI) 573 dan diduga sebagai wilayah penangkapan utama bagi armada tuna long line Indonesia dengan target spesies tuna (Gambar 3.9). Berdasarkan data Catch Tagging Form tahun 2010-2013, menunjukkan bahwa distribusi armada tuna long line Indonesia yang menangkap SBT beroperasi di wilayah CCSBT statistical area of catch nomor 1, 2, 8, 9 dan 14 sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Persentase jumlah kapal tuna long line yang menangkap SBT

Sumber : Data Catch Tagging Form 2010-2013, rekap Dit. SDI per Juni 2013 **) angka sementara

(40)

statistical area of catch yang diatur oleh CCSBT. Wilayah ini merupakan WPP-RI 573 (Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu dan Laut Timor bagian Barat) dengan rata-rata unit kapal sebesar 92.9%.

Pengelolaan Tuna Sirip Biru Selatan

1) Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT)

Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna merupakan Regional Fisheries Management Organization (RFMO) yang fokus mengelola jenis southern bluefin tuna yang bertujuan untuk menjamin, melalui pengelolaan yang tepat, konservasi dan pemanfaatan optimum SBT. Keanggotaan CCSBT terdiri dari 6 negara anggota dan 3 negara CNMs. Negara anggota terdiri dari Jepang, Australia, Selandia Baru, Korea, Indonesia dan Taiwan (sebagai entitas perikanan karena besarnya armada perikanan yang dimilikinya). Sedangkan CNMs terdiri dari Filipina, Afrika Selatan dan European Community. Indonesia telah menjadi anggota CCSBT sejak tanggal 8 April 2008.

CCSBT mengadopsi tindakan pengelolaan berbasis output control melalui penerapan kuota penangkapan SBT kepada setiap negara sesuai dengan Management Procedure (MP). MP digunakan sebagai panduan dalam menetapkan TAC. Pelaksanaan program ekstensif untuk mengembangkan MP dilakukan CCSBT sejak tahun 2002 hingga 2011. MP terakhir (final) telah disempurnakan dan direkomendasikan melalui pertemuan tahunan CCSBT pada bulan Juli tahun 2011 di Bali-Indonesia yang dikenal dengan “Bali Procedure”. CCSBT menggunakan MP untuk menghitung TAC jangka waktu tiga tahun (2012-2014). Perhitungan ini digunakan sebagai awal penentuan TAC SBT global tahun 2012 dan seterusnya. Pada periode kedua (2015-2017) dan periode tiga tahunan penetapan TAC, terdapat jeda satu tahun antara perhitungan TAC dengan MP dan implementasi TAC. Total Allowable Catch tahun 2015-2017 akan dihitung pada MP tahun 2013.

(41)

KUOTA 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Indonesia (Ton) 800 750 750 750 651 651 685 707 750

Dunia (Ton) 11.810 11.810 11.810 11.810 9.749 9.749 10.441 10.949 12.449

Indonesia (%) 7% 6% 6% 6% 7% 7% 7% 6% 6%

informasi SBT sejak SBT ditangkap hingga memasuki penjualan pasar dalam negeri maupun ekspor.

2) Sistem Pembagian Kuota Penangkapan SBT di Indonesia

Pembagian kuota SBT di Indonesia diawali pada tahun 2008, melalui kesepakatan di Surabaya tanggal 4-5 Februari 2008. Berdasarkan kesepakatan tersebut pembagian kuota SBT di Indonesia dibagi kepada asosiasi yang anggotanya melakukan penangkapan jenis SBT yaitu ATLI dan ASTUIN. Masing-masing asosiasi memperoleh kuota penangkapan SBT sebesar 50% dari kuota yang ditetapkan oleh CCSBT kepada Indonesia.

Pada tahun 2010, beberapa perusahaan perikanan tuna anggota ATLI Bali mendirikan Asosiasi Perikanan Tangkap Terpadu (ASPERTADU). Sejak tahun 2012, ASPERTADU menuntut haknya untuk mendapatkan alokasi kuota SBT karena beberapa anggotanya juga melakukan penangkapan SBT. Namun hingga saat ini pembagian kuota SBT masih tetap berlaku sesuai kesepakatan di Surabaya karena belum diadakan perubahan sehingga alokasi kuota SBT untuk ASPERTADU saat ini diperoleh dari kuota asosiasi (ATLI dan ASTUIN) yang hasil tangkapan SBTnya kurang dari kuota.

Berdasarkan pertemuan Sixth Meeting of The Compliance Committee (6-8 Oktober 2011) dan Eighteenth Annual Meeting of The Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (10-13 Oktober 2011), disepakati bahwa Indonesia memperoleh kuota penangkapan SBT sebesar 685 ton sejak 2012, 707 ton sejak 2013, 750 ton sejak 2014. Indonesia telah mendapatkan kuota penangkapan SBT sejak tahun 2006-2007 sebesar 800 ton, tahun 2008-2009 menurun menjadi 750 ton dan tahun 2010-2011 sebesar 651 ton. Penentuan kuota setiap negara dipertimbangkan dari laporan data statistik negara terkait dan laporan Scientific Committee CCSBT terkait dengan keadaan sediaan SBT. Kuota penangkapan SBT yang diperoleh Indonesia hanya sekitar 6-7% dari total alokasi kuota dunia. Alokasi kuota penangkapan SBT Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Alokasi kuota penangkapan SBT Indonesia tahun 2006 – 2014

(42)

Tahun 2010 2011 2012

Tabel 3.4 Perbandingan kuota dengan perkiraan hasil tangkapan SBT

Sumber : Data CDS 2010 – 2013 rekap Dit. SDI per Juni 2013 **)

angka sementara

Kebijakan dan kelembagaan

Indonesia dengan telah meratifikasi CCSBT melalui Keputusan Presiden Nomor 109 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (Konvensi tentang Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan). Sebagai konsekuensinya, Indonesia harus segera mentransformasikan kewajiban yang ada dalam konvensi tersebut ke dalam hukum nasional dan harus mengikuti seluruh kewajiban yang diatur dalam konvensi. Beberapa tindakan yang telah dilakukan Indonesia sebagai negara anggota CCSBT yang ikut serta dalam melakukan pengelolaan dan konservasi ikan SBT, antara lain :

1) Pendaftaran Kapal Perikanan yang menangkap SBT

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia menjelaskan bahwa setiap orang yang melakukan usaha perikanan tangkap di WPP-NRI dan/atau laut lepas, wajib memiliki izin usaha perikanan tangkap yang meliputi : a) izin usaha perikanan (SIUP), b) izin penangkapan ikan (SIPI) dan c) izin kapal pengangkut ikan (SIKPI). Persyaratan dan tata cara penerbitan SIUP, SIPI dan SIKPI untuk kapal perikanan dengan ukuran di atas 30 (tiga puluh) GT menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap c.q. Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan. Sedangkan untuk kapal perikanan dengan ukuran di bawah 30 (tiga puluh) GT menjadi kewenangan Gubernur dan Bupati/walikota yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh kepala dinas atau pejabat yang ditunjuk.

Setiap kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan yang melakukan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan SBT wajib didaftarkan ke Sekretariat

CCSBT sesuai dengan ketentuan Resolusi CCSBT. “Resolution on amendment

of the Resolution on “Illegal, Unregulated and Unreported Fishing (IUU) and Establishment of a CCSBT Record of Vessels over 24 meters Authorized to Fish

(43)

persyaratan dan tatacara pendaftaran kapal perikanan yang menangkap dan/atau mengangkut ikan SBT tanpa adanya pembatasan ukuran kapal. Hal ini dengan mempertimbangkan banyaknya jumlah SBT yang tertangkap oleh kapal-kapal yang berukuran kurang dari 24 meter dan tidak terdaftar di CCSBT.

Pendaftaran kapal perikanan Indonesia yang melakukan penangkapan, pengangkutan ikan dan/atau menerima transhipment ikan SBT di Laut Lepas Samudera Hindia diatur pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor. PER.12/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas. Persyaratan pendaftaran kapal izin baru tersebut diatur sesuai pada Bab IV pasal 14 yang menjelaskan bahwa :

(1) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap c.q. Direktur Sumberdaya Ikan secara otomatis akan mendaftarkan kapal yang telah memiliki SIPI atau SIKPI untuk beroperasi di laut lepas pada Sekretariat RFMO.

(2) Kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan yang beroperasi dan memiliki daerah penangkapan di Laut Lepas Samudera Hindia dapat didaftarkan pada CCSBT. Kapal penangkap ikan Indonesia yang didaftarkan ke sekretariat CCSBT adalah kapal dengan alat tangkap tuna long line. (3) Kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan yang beroperasi di ZEEI

Samudera Hindia harus melakukan permohonan pendaftaran kepada Direktur Jenderal Perikanan Tangkap c.q. Direktur Sumberdaya Ikan dengan melampirkan persyaratan yang diatur sesuai dengan ketentuan Resolusi CCSBT. Permohonan pendaftaran untuk kapal-kapal tersebut dilakukan pada saat pendaftaran izin baru dan perpanjangan.

(4) Kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan yang pendaftarannya disetujui oleh sekretariat CCSBT, maka kapal-kapal tersebut akan dicantumkan dalam daftar kapal (record of vessels) sebagai kapal yang diizinkan (authorized vessels) dan diberikan nomor identitas kapal.

(5) Masa berlaku pendaftaran kapal di CCSBTsesuai dengan masa berlaku SIPI.

2) Catch Documentation Scheme (CDS)

Salah satu tindakan pengelolaan berkelanjutan terhadap SBT difokuskan pada pengumpulan data hasil tangkapan SBT melalui penerapan CDS. Resolution on the Implementation of a Catch Documentation Scheme to Record All Catch of Southern Bluefin Tuna CCSBT merupakan ketentuan CCSBT untuk mengatur semua negara anggota dan CNMs agar menerapkan CDS dalam perdagangan tuna sirip biru selatan.

(44)

Gambar 3.10 Cara pemasangan tag pada insang southern bluefin tuna

Pelaksanaan pendataan hasil tangkapan SBT di Indonesia dengan dokumen CDS dilaksanakan melalui beberapa tahapan antara lain: penunjukkan petugas validasi, pemesanan tag, validasi CTF, dan pelaporan CDS dengan penjelasan sebagai berikut :

( i ) Penunjukkan petugas Validasi

Pengisian dokumen CDS sesuai dengan ResolutionCCSBT, harus divalidasi dan ditandatangi terlebih dahulu oleh petugas validasi (validator). Petugas validasi merupakan orang yang ditunjuk dan diberi kewenangan oleh pejabat negara dalam hal ini Dirjen Perikanan Tangkap. Dirjen Perikanan Tangkap mengeluarkan surat keputusan berupa Surat Keputusan Dirjen Perikanan Tangkap Nomor 02/KEP-DJPT/2013 tentang Petugas Validasi Catch Documentation Scheme untuk jenis tuna sirip biru selatan sebagai perubahan dari KEP.09/DJPT/2012 tentang Petugas Validasi Catch Documentation Scheme (CDS) untuk jenis tuna sirip biru selatan (Southern Bluefin Tuna). Di dalam keputusan tersebut disebutkan petugas validasi utama (principal) adalah Kepala Pelabuhan, petugas validasi pengganti 1 (alternate 1) adalah Kepala Bagian (Kabag) dan Kepala Sub Bagian (Kasubbag) Tata Usaha dan petugas validasi pengganti 2 (alternate 2) adalah Kepala Seksi (Kasie) dan Kepala Bidang (Kabid) Tata Operasional. Surat Keputusan tersebut hanya ditujukan kepada dua Pelabuhan Perikanan yaitu PPSNZ Jakarta dan PPN Pengambengan Bali.

Pemerintah Indonesia dalam hal ini DJPT akan menginformasikan kepada sekretariat CCSBT melalui email mengenai penunjukan petugas validasi dengan melampirkan: nama petugas validasi, jabatan petugas validasi, tandatangan (specimen) petugas validasi, dan stempel pelabuhan terkait. Setelah disetujui, CCSBT akan mencantumkan petugas validasi sesuai informasi dari DJPT di website CCSBT.

( ii ) Pemesanan Tag

(45)

Asosiasi dapat mengisi form pemesanan tag, yang selanjutnya dikirimkan kembali kepada DJPT. Setelah menerima pengembalian form pemesanan dari Asosiasi, Ditjen Perikanan Tangkap segera melakukan pemesanan tag kepada CCSBT sesuai form pemesanan dari Asosiasi melalui email. Konfirmasi pemesanan tag dari DJPT segera diproses oleh CCSBT yang selanjutkan akan dikirimkan total pembayaran pembelian tag. Pembayaran tag langsung dilakukan oleh Asosiasi kepada sekretariat CCSBT melalui importir dari salah satu anggota ASTUIN.

( iii )Validasi Catch Tag Form (CTF) dan Catch Monitoring Form (CMF) Pemasangan tag pada SBT dilakukan segera setelah ikan tertangkap/mati oleh Anak Buah Kapal (ABK). Tag hanya dapat digunakan oleh kapal yang mendapatkan izin dan terdaftar di CCSBT. Untuk kapal-kapal di bawah 30 GT yang menangkap SBT selama ini belum terdaftar di CCSBT vessel list. Tag yang terpasang pada setiap ekor SBT harus dilengkapi dengan dokumen yang disebut dengan CTF. Dokumen CTF diisi dan ditandatangi oleh Nahkoda kapal. Pada saat pendaratan SBT, Nakhoda menyerahkan CTF kepada petugas validasi di pelabuhan (PPSNZ Jakarta atau PPN Pengambengan).

Petugas validasi memeriksa CTF dari kapal tersebut yang dilengkapi dengan SIPI dan Logbook Penangkapan Ikan. Setelah dilakukan pemeriksaan CTF kemudian petugas validasi membuat CMF sebagai suatu persyaratan perusahaan untuk melakukan penjualan SBT baik ekspor maupun domestik. Petugas validasi menyerahkan CTF dan CMF kepada nakhoda kapal (yang asli), sedangkan petugas validasi memegang copy CTF dan CMF tersebut. Namun dalam pelaksanaannya banyak terdapat beberapa permasalahan diantaranya terjadi duplikasi nomor dokumen CDS, kesalahan dalam pengisian form CDS, dan kapal yang tertera dalam dokumen CDS tidak terdaftar di CCSBT vessel list. Permasalahan pelaksanaan CDS terjadi karena human error yang memerlukan pembenahan secara internal.

( iv ) Pelaporan Catch Documentation Schemes (CDS)

Semua dokumen CDS yang telah diisi dan divalidasi oleh validator disimpan dalam bentuk hard copy dan soft copy file untuk dilaporkan kepada sekretariat CCSBT sesuai dengan ketentuan dalam Resolusi CCSBT. Mekanisme pelaporan pelaksanaan CDS di Indonesia dilaksanakan sebagai berikut :

1. Petugas validasi melakukan rekapitulasi CTF dan CMF.

2. Petugas validasi mengirimkan hasil rekapitulasi CTF dan CMF beserta copy CTF dan CMF kepada DJPT c.q Dit. SDI setiap kuartal.

3. DJPT c.q Dit. SDI melakukan rekapitulasi CTF dan CMF yang diterima dari pelabuhan (PPSNZ dan PPN Pengambengan).

4. DJPT c.q Dit. SDI melakukan scanning CTF dan CMF yang diterima dari pelabuhan (PPSNZ dan PPN Pengambengan).

5. DJPT c.q Dit. SDI mengirimkan hasil rekapitulasi dan scanning CTF dan CMF kepada CCSBT melalui surat elektronik per kuartal.

( v ) Monitoring Dan Evaluasi CDS – CCSBT

(46)

dan evaluasi CDS tersebut akan dilaporkan oleh Dirjen Perikanan Tangkap kepada Menteri Kelautan dan Perikanan.

Pembahasan

Perikanan tuna sirip biru selatan memiliki karakteristik yang berbeda dari jenis tuna lainnya. Karakteristik unik SBT adalah pertumbuhannya lambat, berumur panjang (mencapai 40 tahun), memiliki berat lebih dari 200 kg per ekor dan panjang mencapai hingga lebih dari 2 meter. Penyebaran ikan SBT meliputi wilayah yang luas di perairan Selatan Samudera Hindia antara 30º dan 50º LS dengan perkiraan tempat pemijahan yang terletak antara Selatan Jawa dan Australia Barat Laut.

Indonesia mulai tercatat menangkap tuna biru sirip selatan sejak tahun 1976 melalui data impor SBT dari Indonesia yang masuk di pasar ikan Jepang. Secara keseluruhan (1976-2013) produksi SBT Indonesia mengalami peningkatan. Namun, selama sepuluh tahun terakhir (2002-2011) produksi SBT Indonesia mengalami fluktuasi dengan kecenderungan menurun. Perkembangan penurunan produksi ini juga seiring dengan penurunan yang dialami produksi SBT global. Sejak tahun 1973, produksi SBT global mengalami penurunan hingga 50% dari produksi SBT tertinggi pada periode 1952-2011. Dan mengalami penurunan terus hingga 83% pada tahun 1991 dan 89% pada tahun 2010-2011. Hal ini diduga karena banyaknya negara-negara di dunia yang ikut serta mengeksploitasi sumber daya SBT. Berdasarkan data CDS tahun 2010-2013, produksi SBT Indonesia mengalami kecenderungan meningkat seiring dengan peningkatan TAC global tahun 2012-2014. Peningkatan TAC global diduga karena adanya pengurangan total hasil tangkapan SBT dan fishing mortality SBT di bawah FMSY.

Produksi SBT Indonesia mulai tercatat di Statistik Nasional pada tahun 2004. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia mulai merinci data hasil tangkapan tuna berdasarkan kategori spesies sejak tahun 2004. Data produksi SBT berdasarkan Statistik Perikanan Tangkap tahun 2004-2011 jika dibandingkan dengan data Statistik CCSBT dan CDS terlihat lebih sedikit. Perbedaan data produksi tersebut diduga karena adanya kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang tidak melaporkan hasil tangkapannya. Akibatnya hasil tangkapan SBT tidak tercatat dalam pendataan Statistik Perikanan Tangkap Nasional. Untuk itu perlu adanya perbaikan sistem pendataan Statistik Perikanan Tangkap Indonesia agar produksi SBT Indonesia tercatat secara tepat dan akurat.

(47)

peran penting bagi keberlangsungan sumber daya SBT. Penangkapan SBT Indonesia dapat berpengaruh terhadap terjaganya kelestarian sumber daya SBT. Untuk itu perlu adanya pengelolaan SBT yang jelas dan tegas.

Pengelolaan SBT dilakukan oleh CCSBT dengan tujuan menjamin konservasi dan pemanfaatan secara optimal sumberdaya SBT. Indonesia salah satu negara yang wilayah ZEE nya dilintasi oleh ruaya SBT dan sebagai wilayah memijah SBT, perlu ikut serta dalam melakukan pengelolaan dan konservasi terhadap sumber daya ini. Sejak tanggal 8 April 2004 Indonesia telah menjadi anggota CCSBT melalui Keputusan Presiden Nomor 109 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for the Conservation of SBT (Konvensi tentang Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan). Konsekuensinya Indonesia harus segera mentransformasikan kewajiban yang ada dalam konvensi tersebut dalam hukum nasional dan kebijakan nasional atau menyiapkan perangkat hukum terkait dengan penangkapan SBT.

Peran keanggotaan Indonesia pada CCSBT menjadi sesuatu yang sangat diperlukan dalam upaya bersama untuk bertanggungjawab akan kelestarian sumber daya SBT di Samudera Hindia dan menjaga perdagangan ekspor SBT ke pasar global bagi kepentingan nasional Indonesia. CCSBT mengadopsi tindakan pengelolaan berbasis output control melalui penerapan kuota penangkapan kepada negara anggota dan CNMs. Kuota penangkapan tersebut berakibat terhadap jumlah maksimal hasil tangkapan SBT yang diperbolehkan diperdagangkan baik secara Internasional maupun domestik. Kuota ditentukan dalam tiga tahun. Apabila kuota pada tahun pertama telah terlampaui akan berakibat kepada pengurangan kuota tahun berikutnya. Indonesia mendapatkan kuota penangkapan sebesar 6-7% dari total TAC. Penentuan kuota didasarkan dari data statistik tentang volume produksi SBT dan laporan Scientific Committee CCSBT terkait dengan sediaan SBT. Data produksi SBT terakhir yang dimiliki Indonesia baru dimulai tahun 2004 sampai sekarang. Sebelum tahun 2004 tidak ada data terkait dengan produksi SBT. Terlambatnya penyusunan data statistik tersebut menyebabkan Indonesia tidak dapat berargumentasi pada saat sidang penentuan kuota (TAC).

Hasil tangkapan SBT Indonesia berdasarkan data CDS tahun 2010-2013 telah melebihi kuota yang telah ditetapkan komisi. Hasil tangkapan SBT per Juni 2013 telah mencapai 584.738 kg dan sisa kuota yang belum termanfaatkan sebesar 17.5% dari kuota yang ditetapkan. Berdasarkan history catch, hasil tangkapan SBT cenderung meningkat mulai bulan September – Desember setiap tahun. Kondisi demikian dapat menyebabkan kembali terjadinya kelebihan kuota karena terbatasnya sisa kuota yang tersisa. Menurut Ramli (2009) berdasarkan perhitungan Maximum Economic Yield (MEY) tahun 2001-2005, tingkat produksi optimal Indonesia adalah 1,396 ton dengan effort (kapal) sebanyak 636 unit. Hal ini menunjukkan bahwa perolehan kuota penangkapan SBT Indonesia selama ini bernilai lebih kecil dari kemampuan Indonesia berproduksi.

(48)

Rata-rata persentase hasil tangkapan SBT dari ATLI sebesar 77% sedangkan sisanya 22% dari ASTUIN dan 1% dari ASPERTADU. Hal ini diduga karena jumlah armada tuna long line yang dimiliki anggota ATLI lebih banyak, sehingga kemungkinannya lebih banyak untuk menangkap SBT dibandingkan dengan jumlah tuna long line milik ASTUIN dan ASPERTADU. Untuk itu perlu perbaikan mekanisme pembagian kuota yang rasional, adil dan merata.

Indonesia sebagai anggota CCSBT telah mentransformasi salah satu kewajiban yang ada dalam Resolusi CCSBT tentang pendaftaran kapal ke dalam hukum nasional yaitu PER.12/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Namun pada Permen tersebut belum mengatur tentang kapal perikanan yang menangkap SBT di bawah 30 GT (artisanal fisheries) yang merupakan kewenangan pemerintah daerah. Sedangkan menurut Resolusi CCSBT menjelaskan bahwa pendaftaran kapal perikanan yang menangkap dan/atau mengangkut SBT tanpa adanya pembatasan ukuran kapal. Oleh karena itu perlu adanya koordinasi dan kerjasama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan asosiasi terkait untuk mengidentifikasi kapal-kapal di bawah 30 GT yang potensial menangkap SBT dan membuat aturannya.

Setelah dilakukan pendaftaran terhadap kapal perikanan yang menangkap dan mengangkut SBT maka dilanjutkan dengan pendataan hasil tangkapan SBT. Mekanisme pendataan SBT dilakukan melalui penerapan CDS. Terhadap hal tersebut telah dikeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Nomor 02/KEP-DJPT/2013 tentang Petugas Validasi Catch Documentation Scheme untuk jenis tuna sirip biru selatan sebagai perubahan dari KEP.09/DJPT/2012 tentang Petugas Validasi Catch Documentation Scheme (CDS) untuk jenis tuna sirip biru selatan (Southern Bluefin Tuna). Di dalam keputusan tersebut disebutkan bahwa petugas validasi utama (principal) adalah Kepala Pelabuhan, petugas validasi pengganti 1 (alternate 1) adalah Kabag dan Kasubbag Tata Usaha dan petugas validasi pengganti 2 (alternate 2) adalah Kasie dan Kabid Tata Operasional. Pemilihan Kepala Pelabuhan, Kasubbag Tata Usaha dan Kabid Tata Operasional untuk PPN Pengambengan sebagai petugas validasi mengakibatkan kesulitan dalam proses validasi CDS mengingat jauhnya lokasi PPN Pengambengan ke pelabuhan Benoa. Keterlambatan validasi CDS akan mengakibatkan terhambatnya proses ekspor SBT dan bisa mengakibatkan hambatan yang tidak perlu bagi perdagangan Internasional SBT. Untuk itu perlu adanya pelimpahan kewenangan secara tertulis kepada salah satu petugas Pelabuhan Perikanan yang ditempatkan di kantor perwakilan di Benoa dengan kewenangan sebagai petugas validasi pengganti 2 (alternate 2) dan bertanggungjawab dalam pelaksanaan CDS.

Gambar

Tabel 2.1 Jenis dan data yang digunakan
Gambar 3.1  Tuna sirip biru selatan/southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii)
Gambar 3.3  Penyebaran southern bluefin tuna dan daerah pemijahan
Gambar 3.4 Produksi SBT global tahun 1952-2011
+7

Referensi

Dokumen terkait

“UJI TOKSISITAS EKSTRAK BIJI PAPAYA (C arica papaya. L) PADA TIKUS PUTIH GALUR WISTAR DAN DIKEMBANGKAN MENJADI.. POSTER

Tujuan dalam penelitian untuk menjelaskan secara empiris tentang faktor- faktor yang mempengaruhi kemauan membayar pajak yaitu kesadaran wajib pajak, pengetahuan dan

Sanitasi kolam renang bertujuan untuk memutuskan rantai penularan penyakit kepada pengunjung yang disebabkan oleh lingkungan kolam renang maupun akibat kualitas

Bagi peserta yang menempati Kamar Triple (1 kamar ditempati 3 orang), kami tidak menjamin tamu akan mendapat 3 tempat tidur yang terpisah, mengingat tempat tidur yang di

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Indeks kepuasan masyarakat pada Kecamatan Medan Selayang adalah 75,07 sehingga mutu pelayannanya “B”, Indeks Kepuasan Masyarakat di Kecamatan

Abdurachman dan Jasni (2015) melakukan penelitian 25 jenis rotan Indonesia yang berasal dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua dengan

Sehubungan dengan telah berakhirnya Program Kegiatan Penelitian Fakultas Teknik Universitas Brawijaya sumber dana PNBP Tahun Anggaran ...(tahun), maka berikut ini

segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan Islam, yaitu menuntun atau membimbing anak dalam masa pertumbuhannya agar kelak menjadi