• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 MODEL PENGELOLAAN KUOTA PENANGKAPAN TUNA SIRIP BIRU SELATAN DI INDONESIA

Tahap 2 Rich Picture

Tahap kedua ini bertujuan untuk mengetahui lebih jelas permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan kuota SBT di Indonesia. Hasil tahap ini dapat menjadi petunjuk dalam menentukan berbagai faktor yang mempengaruhi atau yang menjadi penyebab munculnya permasalahan dalam pengelolaan SBT di

Indonesia. Dalam tahap ini semua informasi permasalahan akan dideskripsikan terlebih dahulu untuk kemudian diekspresikan ke dalam gambar yang disebut Rich Picture. Perlu diingat kembali bahwa permasalahan pengelolaan kuota penangkapan SBT di Indonesia melibatkan tiga pihak, yaitu pemerintah, asosiasi dan pelaku usaha.

Permasalahan pengelolaan kuota penangkapan SBT di Indonesia berawal dari kelebihan penangkapan SBT dari kuota yang ditetapkan CCSBT. Kelebihan kuota ini disebabkan oleh: (1) Penetapan kuota penangkapan SBT oleh CCSBT belum optimal; (2) Pembagian kuota penangkapan SBT belum porposional dan adil; (3) Pelaksanaan pemanfaatan kuota pemanfaatan SBT mengalami banyak kendala; (4) Mekanisme pelaporan hasil tangkapan SBT belum sempurna; dan (5) Pengawasan pelaksanaan pemanfaatan kuota penangkapan SBT belum berjalan sebagaimana mestinya.

Indonesia sebagai negara anggota CCSBT memiliki posisi tawar yang strategis di dalam komisi itu. Indonesia sebenarnya dapat turut menentukan kuota penangkapan SBT di dalam wilayahnya sendiri karena, menurut perkiraan, perairan selatan Jawa merupakan tempat pemijahan SBT. Namun demikian, kuota penangkapan SBT yang ditetapkan untuk Indonesia hanya sebesar 6-7% dari total kuota dunia. Permasalahannya, dalam menentukan kuota penangkapan SBT. CCSBT berpedoman pada data statistik volume produksi SBT dan laporan Scientific Committee terkait dengan ketersediaan SBT. Di lain pihak, Indonesia sendiri baru mencatat produksi SBT mulai tahun 2004. Sebelum 2004, data produksi SBT belum ada. Terlambatnya pencatatan produksi SBT menyebabkan Indonesia tidak memiliki data historical catch dan kapasitas produksi SBT. Permasalahan lainnya adalah bahwa kajian terkait sumber daya dan teknik penangkapan SBT di Indonesia juga masih jarang dilakukan oleh para peneliti dan perguruan tinggi di Indonesia.

Tingkat kepatuhan negara anggota dalam melaksanakan ketentuan Resolusi CCSBT juga menjadi salah satu pertimbangan dalam penentuan kuota penangkapan. Salah satu ketentuan Resolusi CCSBT adalah mentransformasi seluruh ketentuan konvensi ke dalam peraturan nasional masing-masing negara anggota. Indonesia belum seluruhnya mentransformasikan kewajiban yang ada dalam konvensi CCSBT ke dalam hukum nasional dan kebijakan nasional terkait dengan pengelolaan SBT.

Pembagian kuota SBT di Indonesia diawali pada tahun 2008, melalui kesepakatan di Surabaya tanggal 4-5 Februari 2008. Berdasarkan kesepakatan tersebut kuota SBT di Indonesia diberikan kepada ATLI dan ASTUIN yang masing-masing mendapat alokasi sebesar 50% dari kuota yang ditetapkan CCSBT bagi Indonesia.

Pada 2010, beberapa perusahaan perikanan tuna anggota ATLI Bali mendirikan Asosiasi Perikanan Tangkap Terpadu (ASPERTADU). Pada 2012, ASPERTADU menuntut haknya untuk mendapatkan alokasi kuota SBT karena beberapa anggotanya juga melakukan penangkapan SBT. Namun, hingga saat ini pembagian kuota SBT masih tetap berlaku sesuai kesepakatan di Surabaya karena belum diadakan perubahan sehingga alokasi kuota SBT untuk ASPERTADU saat ini diperoleh dari kuota asosiasi (ATLI dan ASTUIN) yang hasil tangkapan SBT- nya kurang dari kuota. Mekanisme pembagian seperti ini belum dapat menyentuh hasil tangkapan SBT oleh nelayan tradisional di laut selatan Jawa. Pembagian

kuota seperti ini dirasa kurang adil dan porposional. Padahal, historical catch dan kapasitas produksi ketiga asosiasi ini cukup signifikan. Rata-rata hasil tangkapan SBT dari ATLI adalah sebesar 77% sedangkan sisanya ASTUIN dan ASPERTADU.

Pemanfaatan kuota penangkapan SBT di Indonesia dilaksanakan melalui kegiatan pendaftaran kapal penangkap ikan yang menangkap SBT dan Catch Documentation Scheme (CDS). Pendaftaran kapal ke CCSBT dilakukan kepada setiap kapal tuna long line di atas 30 GT yang beroperasi di Samudera Hindia dan Laut Lepas Samudera Hindia. Pendaftaran dilakukan pada saat pendaftaran izin baru dan perpanjangan. Masa berlaku pendaftaran kapal di CCSBT sesuai dengan masa berlaku SIPI. Untuk kapal tuna long line di bawah 30 GT yang menangkap SBT belum didaftarkan ke CCSBT. Mereka mendapatkan hasil tangkapan SBT secara tidak sengaja. Mereka jarang melaporkan hasil tangkapannya sehingga banyak data SBT yang tidak tercatat dalam statistik perikanan tangkap Indonesia.

Pelaksanaan CDS dibagi dua yaitu (1) pemesanan dan distribusi tag; dan (2) pendataan hasil tangkapan SBT. Pemesanan tag dilakukan setiap setahun sekali untuk tahun n+1 atas permintaan asosiasi tanpa memperhatikan historical catch dan kapasitas produksi (dalam menganalisis kebutuhan tag SBT yang porposional sesuai dengan kuota penangkapan SBT Indonesia). Pemasangan tag hanya dilakukan pada kapal-kapal yang mendapatkan izin dan terdaftar di CCSBT. Kapal-kapal di bawah 30 GT yang juga menangkap SBT belum mendapatkan alokasi pemesanan tag karena pemerintah kesulitan mengidentifikasi dan mengatur kapal-kapal tersebut yang sebenarnya menjadi kewenangan pemerintah daerah.

Permasalahan yang terdapat dalam pelaksanaan CDS juga terjadi karena human error dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang rendah. Pelaku usaha umumnya kurang paham mengenai aturan nasional dan internasional terkait pengelolaan SBT. Hal ini menuntut peran asosiasi sebagai fasilitator yang mewakili pelaku usaha untuk bekerjasama dengan pemerintah dalam pengelolaan kuota penangkapan SBT di Indonesia. Selama ini asosiasi membagi kuota penangkapan SBT kepada anggotanya dilakukan tanpa adanya pembatasan jumlah kuota per anggota. Pembagian kuota dilakukan dengan memberikan tag sesuai dengan permintaan anggotanya. Setelah pengambilan tag, anggota asosiasi tidak memberikan laporan terhadap pemakaian tag tersebut sehingga asosiasi tidak dapat mengontrol berapa jumlah tag yang telah digunakan dan dipasang pada ikan SBT. Untuk itu perlu adanya sistem pembagian kuota, sistem pendataan dan pelaporan serta sistem pengawasan yang dilakukan asosiasi kepada anggotanya.

Salah satu ketentuan Resolusi CCSBT adalah pembuatan laporan pelaksanaan CDS setiap kuartal dan laporan tahunan setiap tahun. Pengiriman laporan ke CCSBT terkadang mengalami keterlambatan karena belum lengkapnya data-data dan bahan untuk pembuatan laporan. Hal ini dapat mengakibatkan ketidakpatuhan Indonesia sebagai anggota CCSBT. Untuk itu perlu dibuat Standard Operating Procedur (SOP) pelaporan pemanfaatan kuota penangkapan SBT di Indonesia.

Pengawasan pemanfaatan kuota penangkapan SBT di Indonesia selama ini dilakukan dengan melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan CDS yang meliputi sosialisasi pelaksanaan CDS, sinkronisasi data antara Ditjen Perikanan Tangkap dengan asosiasi dan evaluasi pelaksanaan CDS yang dilakukan setiap

empat bulan sekali. Namun dalam pengawasan ini belum terdapat adanya sanksi pelanggaran terhadap asosiasi maupun pelaku usaha yang melakukan pelanggaran. Sehingga pelaku usaha memanfaatkan kuota penangkapan SBT sebanyak- banyaknya tanpa adanya kontrol/pengawasan dari pemerintah dan asosiasi. Hal ini dikarenakan belum adanya Standard Operating Procedur (SOP) pelaksanaan pengawasan.

Situasi permasalahan yang kompleks dan tidak terstruktur (unstructured problem) mengenai penangkapan SBT di Indonesia di atas kemudian dibuat menjadi lebih terstruktur (structured problems) melalui rich picture (Gambar 5.1).

PENELITI Novia Tri Rahmawati

Sugeng Hari Wisudo Eko Sri Wiyono Tri Wiji Nurani

PEMERINTAH

Dokumen terkait