• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah yang diangkat dalam penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dinyatakan adalah teori-teori yang berhubungan dengan stress dan lingkungan.

BAB III : Metode Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian, identifikasi variabel penelitian, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakann, uji validitas dan reliabilitas alat ukur, serta metode analisis data.

BAB IV : Analisa dan Interpretasi Hasil Penelitian

Berisi tentang hasil penelitian, pengolahan data dan interpretasi hasil penelitian.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Berisi kesimpulan yang berusaha menjawab masalah yang dikemukakan berdasarkan hasil penelitian. Berdasarkan kesimpulan, akan diajukan beberapa saran bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hubungan Romantis

2.1.1. Definisi Hubungan Romantis

Hubungan romantis merupakan salah satu bentuk dari close relationship (hubungan intim) yang didasari oleh rasa saling keterbukaan yang intim.

Keintiman dalam hubungan romantis bisa diperoleh dari pengalaman yang mendukung perkembangan keintiman pada hubungan nonromantis. Close relationship merupakan hubungan yang penting, saling ketergantungan dan bertahan lama. Hal ini berarti dua orang yang terlibat dalam hubungan tersebut berarti menghabiskan banyak waktu dan energi dalam menjaga hubungan dan perkataan salah satu pasangan memiliki dampak kepada yang lainnya (Weiten & lloyd, 2006). Duvall dan Miller (1985) menyatakan bahwa hubungan romantis juga dikenal sebagai pacaran atau kencan (dating). Sementara itu, Degenova dan Rice (2005) mendefinisikan dating atau kencan sebagai kegiatan yang melibatkan dua orang dalam rangka mengenal satu sama lain. Dari penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa hubungan romantis adalah sebuah bentuk hubungan yang melibatkan keintiman, rasa saling keterbukaan, ketergantungan yang dimiliki oleh dua orang dan mempengaruhi kehidupan mereka.

2.1.2. Karakteristik Hubungan Romantis

Berbeda dengan hubungan intim lainnya, hubungan romantis biasanya ditandai dengan pengekspresian perasaan dan perilaku seksual yang telah diantisipasi (Collins & Sroufe, 1999). Semua close relationship bisa merangsang perasaan yang intens, baik positif seperti passion, kepedulian dan keprihatinan maupun negatif seperti kemarahan, cemburu dan putus asa (Weiten & lloyd, 2006). Namun, pada hubungan romantis biasanya menimbulkan emosionalitas yang lebih memuncak, kontras dengan dunia pertemanan yang lebih tenang (Reis & Sprecher, 2009).

Sementara itu, (Brown, Feiring, & Furman, 1999) mendeskripsikan tiga karakteristik hubungan romantis, sebagai berikut:

1. romance involves a relationship, sebuah pola asosiasi dan interaksi yang sedang berlangsung antara dua orang individu yang memiliki beberapa koneksi satu sama lain. Kriteria ini juga meliputi adanya komitmen, baik dalam jangka pendek atau pun panjang.

2. Dalam menjalani hubungan romantis, hubungan ini dilandasi oleh kesukarelaan. Hal ini berarti bahwa percintaan adalah masalah pilihan pribadi.

3. Adanya bentuk ketertarikan dan gairah. Ketertarikan ini biasanya, tetapi tidak selalu, meliputi bebeapa komponen seksual yang dimanifestasikan ke dalam bentuk perilaku seksual.

Nilai-nilai pribadi, agama dan budaya bisa menjadi penghalang perilaku tersebut.

Dari penjabaran diatas, dapat disimpulkan bahwa hubungan romantis merupakan sebuah pola asosiasi dan interaksi yang sedang berlangsung antara dua orang individu yang bersifat intim, resiprokal, saling bergantung dan ditandai dengan adanya ketertarikan dan gairah yang bersifat seksual, terbentuknya komitmen baik jangka pendek maupun panjang serta dilandasi oleh kesukarelaan.

2.1.3. Fungsi Hubungan Romantis

Menurut Degenova dan Rice, (2005) menyatakan bahwa memiliki hubungan romantis khususnya berpacaran memenuhi sejumlah fungsi penting dalam hidup seseorang, yaitu:

1. Sebagai bentuk rekreasi.

2. Memiliki teman, pendamping dan keintiman.

3. Sebagai sarana bersosialisasi

4. Membantu perkembangan pribadi seperti membentuk identitas pribadi dalam sebuah relasi, memberikan perasaan aman dan berharga.

5. Memberikan kesempatan untuk mencoba berbagai peran gender.

6. Memenuhi kebutuhan cinta dan afeksi.

7. Memberikan kesempatan untuk bereksperimen dan memiliki kepuasaan seksual.

8. Kesempatan untuk memilih pasangan jangka panjang 9. Membantu individu untuk mempersiapkan pernikahan.

2.2. Relational Development Model

2.2.1. Definisi Relational Development Model

Relational Development Model adalah model tahapan untuk mengembangkan, menjaga, dan mengakhiri hubungan. Teori ini dikembangkan oleh Mark L Knapp dan Anita L. Vangelisti pada tahun 1992 (Dunn & Goodnight, 2016). Model yang mereka kembangkan ini berfokus pada hubungan antara dua orang. Knapp dan Vangelisti menjelaskan cara sebuah hubungan bisa berkembang melalui sebuah model yang terdiri dari 10 tahap yang dibagi menjadi 2 fase. Fase pertama adalah coming together phase, dan fase kedua adalah coming apart phase (Knapp & Vangelisti, 2005). Relational Development Model mengasumsikan bahwa sebuah hubungan dibangun secara luas melalui interaksi tatap muka (Knapp & Vangelisti, 2005).

Knapp dan Vangelisti (2005), menggeneralisasikan beberapa asumsi yang mendasari relational development model:

1. Pergerakan setiap tahapnya secara umum merupakan pergerakan yang sistematis dan berkelanjutan. Menurut Knapp dan Vangelisti (2005), setiap tahapnya berisikan pondasi untuk tahap berikutnya. Kemajuan secara berkelanjutan ini membuat prediksi perilaku untuk tahap

selanjutnya menjadi lebih mudah, dan melompati sebuah tahap merupakan pertaruhan yang tidak pasti dikarenakan seseorang akan kekurangan informasi yang bisa dipelajari pada tahap yang dilompati.

Tahap-tahap ini lebih baik diilustrasikan sebagai sebuah kontinum.

2. Pergerakan bisa saja maju kedepan. Semua pembentukan hubungan yang tujuannya semakin mengeratkan keintiman adalah pergerekan yang maju.

3. Pergerakan bisa saja mundur. Pergerakan hubungan yang mengurangi keintiman adalah pergerakan mundur.

4. Pergerakan selalu menuju ke „tempat‟ baru. Komunikasi adalah sebuah proses yang irreversible dan tidak dapat diulang. Sifat alami komunikasi adalah berkelanjutan sehingga dapat dikatakan bahwa pertemanan atau pasangan yang tidak akan bisa kembali seperti keadaan sebelumnya.

5. Pergerakan bisa cepat atau lambat. Jika ada interaksi positif setiap hari dengan seseorang yang baru, maka pergerakan hubungan akan menjadi lebih cepat dari pada interaksi yang dilakukan mingguan atau bulanan.

Hubungan akan lebih lambat ketika hanya ada seseorang yang ingin membawa maju hubungan mereka.

6. Adanya ketegangan dialektikal sebagai latar belakang setiap tahap.

Ketegangan dialektikal adalah kekuatan yang berlawanan yang dialami seseorang dalam sebuah hubungan (Pawlowski, 1995). Misalnya autonomy vs connection atau openness vs closedness.

2.2.2 Coming Together Phase

Coming together phase adalah sebuah fase dalam membentuk hubungan yang terdiri dari 5 tahap. Setiap tahap pada fase ini penting untuk dilalui hingga selesai sebelum beranjak ke tahap selanjutnya (Summers, 2016).

Ada pun tahap-tahap tersebut adalah:

1. Initiating

Tahap pertama ini disebut initiating karena merupakan saat pertama kali seseorang melakukan kontak pertama atau memulai sebuah interaksi untuk pertama kalinya (Dunn & Goodnight, 2016). Ketika pertama kali melihat seseorang, kita akan mempertimbangkan streotype yang kita percayai, reputasi mengenai orang tersebut yang kita ketahui, interaksi sebelumnya, dan sebagainya. Kita akan menentukan apa seseorang menarik atau tidak. Kita akan menentukan apakah orang tersebut bisa didekati, misalnya apakah ia sedang buru-buru atau tidak. Akhirnya, kita akan mencari cara yang tepat untuk memulai percakapan (Knapp &

Vangelisti, 2005).

Pada tahap ini seseorang biasanya akan mencoba menunjukkan diri mereka adalah orang yang menarik, penuh pemahaman dan orang yang bergaul. Kita juga akan secara berhati-hati mengobservasi untuk mengurangi ketidakpastian yang ada dengan harapan menemukan klarifikasi mood, ketertarikan, dan

pandangan orang lain terhadap kita serta aspek lainnya dari kepribadian orang lain (Knapp & Vangelisti, 2005).

2. Experimenting

Tahap experimenting adalah tahap saat seseorang berusaha menjadi lebih kenal satu sama lain (Dunn & Goodnight, 2016).

Dalam tahap ini seseorang akan mulai mencoba untuk menemukan hal-hal yang belum diketahui, misalnya informasi tempat tinggal atau kampung halaman, hal-hal yang mereka sukai bersama.

Sejauh mana seseorang berusaha mencari topik yang menarik untuk mereka bicarakan menunjukkan derajat ketertarikan dalam melanjutkan interaksi dan keinginan untuk mengejar hubungan.

Hubungan pada tahap ini biasanya besifat menyenangkan, santai, tidak banyak kritik dan kasual. Komitmen sangat jarang terjadi pada tahap ini (Knapp & Vangelisti, 2005).

Small talk merupakan jenis percakapan yang sering terjadi pada tahap ini. Small talk atau pecakapan basa-basi memiliki beberapa fungsi penting yaitu: 1) proses yang bermanfaat untuk menemukan topik yang sama-sama disukai dan pembukaan untuk memperdalam permbicaraan; 2) sebagai proses penyaringan teman masa depan atau meningkatkan cakupan hubungan saat ini; 3) menyediakan prosedur yang aman untuk menunjukkan diri kita dan bagaimana orang lain mengenali kita (reduction uncertainty); dan

4) membuat kita bisa menjaga rasa komunikasi kepada sesama manusia (Knapp & Vangelisti, 2005).

3. Intensifying

Tahap ini adalah tahap saat seseorang mulai mampu mengekspresikan perasaannya, baik secara verbal dan non-verbal (Dunn & Goodnight, 2016). Untuk memvalidasikan eksistensi dari intensitas di dalam hubungan, seseorang biasanya mencoba meminta bantuan baik secara fisik maupun psikologis. Iajuga mulai nyaman untuk mendiskusikan topik-topik yang pribadi dan mendalam (Knapp & Vangelisti, 2005).

Secara verbal, banyak hal yang terjadi pada tahap ini.

Beberapa hal diantaranya adalah penggunaan nama panggilan informal, penggunaan kata „kita‟, memiliki simbol-simbol yang memiliki arti khusus bagi kedua orang tersebut (jargon, bahasa, tempat, acara dan waktu-waktu tertentu serta barang-barang yang dibeli atau diberi), penggunaan kata-kata yang lebih singkat, pengekspresian komitmen secara langsung, dan salah seseorang akan menjadi pengingat (Knapp & Vangelisti, 2005).

Secara nonverbal, yang terjadi adalah sentuhan-sentuhan sebagai pengganti kata, gaya pakaian menjadi lebih senada, dan personal space sudah bisa ditembus. Semakin intens hubungan

maka keunikan seseorang akan memudar dan mulai menyatu dengan kepribadian pasangannya (Knapp & Vangelisti, 2005).

4. Integrating

Pada tahap ini, hubungan telah mencapai titik saat seseorang merasa kepribadiannya dan pasangannya melebur. Namun, hal tersebut bukan berarti ia secara utuh kehilangan rasa „individual‟.

Ketika seseorang berada pada tahap ini, maka ia akan meminimalkan berbagai aspek dirinya dan berintegrasi dengan orang lain (Knapp & Vangelisti, 2005).

Tahap ini adalah tahap saat orang-orang bisa melihat mereka sebagai pasangan. Mereka akan menggunakan foto satu sama lain, menggunakan pakaian yang mirip (Knapp & Vangelisti, 2005), berlibur bersama, bertemu dengan keluarga masing-masing dan mulai untuk membeli barang bersama (Dunn & Goodnight, 2016).

5. Bonding

Tahap terkakhir pada fase coming together adalah bonding. Tahap ini adalah tahap saat dua orang telah berkomitmen (berpacaran, bertunangan, menikah) dan memamerkan hubungan mereka ke orang-orang sebagai tanda hubungan mereka yang eksklusif (Dunn

& Goodnight, 2016). Tindakan bonding memiliki kekuatan untuk

mengubah sifat alami dari sebuah hubungan. Peresmian ini membuat sebuah hubungan lebih sulit untuk berpisah (Knapp &

Vangelisti, 2005).

Coming together phase memiliki berbagai istilah lain. Clark menyebutnya sebagai relationship initiation (Ömür & Büyükşahin-Sunal, 2015). Sementara itu, di Indonesia hal ini sering disebut sebagai pendekatan atau PDKT. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Kemendikbud, 2016), pendekatan diartikan sebagai proses, cara, perbuatan mendekati dalam rangka hendak berdamai, bersahabat, dan sebagainya. Dalam KBBI tertulis sebagai berikut:

“ pen.de.kat.an (n) proses, cara, perbuatan mendekati (hendak berdamai, bersahabat dan sebagainya)”

Sehingga dari penjabaran diatas, dapat disimpulkan bahwa coming together phase merupakan masa pendekatan yang bertujuan untuk membentuk hubungan menjadi lebih intim dengan melewati lima tahapan proses, yaitu: initiating, experimenting, intensifying, integrating dan bonding.

2.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Hubungan

Terdapat tiga faktor yang mendukung bermulanya sebuah interaksi untuk pertama kali (Weiten & lloyd, 2006):

1. Kedekatan.

Ketertarikan biasanya bergantung pada jarak kedekatan. Seseorang harus berada pada tempat yang sama pada waktu yang bersamaan.

Proximity atau kedekatan dalam konteks geografi, tempat tinggal, dan bentuk lainnya dari dekat secara spasial. Dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang mengenal dan tertarik pada seseorang di tempat mereka tinggal, bekerja, belanja, dan bermain.

2. Familiaritas

Meningkatnya perasaan positif kita terhadap stimulus, dalam hal ini seseorang, yang baru bisa terjadi dilandasi dengan adanya pertemuan secara berkali-kali. Hal tersebut disebut Zajonc (dalam Weiten &

lloyd, 2006) sebagai mere of exposure effect. Dalam terminology tersebut, peningkatan perasaan-perasaan positif terjadi hanya karena berkali-kali melihat atau bertemu dengan orang tersebut, bukan karena adanya interaksi. Ketika seseorang menjadi familiar, kita akan mulai lebih menyukainya dan hal tersebut menyebabkan peningkatan dalam kesempatan untuk membuat percakapan bahkan membentuk sebuah hubungan dengan orang tersebut. Namun, perlu diingat bahwa jika impresi kepada orang tersebut bersifat negatif, maka mere exposure effect ini hanya memperkuat perasaan tidak suka kepadanya (Weiten &

lloyd, 2006).

3. Ketertarikan Fisik

Ketertarikan fisik megambil peran besar dalam memulai hubungan secara tatap muka (Weiten & lloyd, 2006; Peretti dan Abplanalp, 2004). Wanita dan pria sama-sama terpengaruh oleh ketertarikan fisik dalam hal memulai hubungan, baik berkencan maupun pertemanan.

Tubuh yang tidak menarik lebih besar liabilitasnya dari pada wajah yang tidak menarik (Weiten & lloyd, 2006; Alicke, Smit, & Klotz, 1986).

Selain ketiga faktor yang mendukung kontak pertama, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kelanjutan sebuah pertemuan berubah menjadi untuk saling mengenal. Faktor-faktor tersebut adalah (Weiten &

lloyd, 2006):

1. Rasa suka timbal-balik (reciprocal liking)

Rasa suka-timbal baik adalah keadaan ketika seseorang yang kita suka juga menunjukkan bahwa ia menyukai kita. Penelitian Berscheid &

Walster (Weiten & lloyd, 2006) mendemonstrasikan bahwa ketika kita percaya seseorang menyukai kita, maka kita akan menyukainya.

Seseorang biasanya akan kehilangan gairah ketika ditolak oleh orang lain (Weiten & lloyd, 2006; Wright & Contrada, 1986). Sehingga, dapat dikatakan bahwa strategi „jual-mahal tidak berlaku dan harus dihindari (Weiten & lloyd, 2006).

2. Kemiripan

Menurut model dua tahap yang dikemukakan Donn Byrne (Weiten &

lloyd, 2006), orang akan menjauhi orang-orang yang tidak mirip dengannya pada tahap pertama, kemudian memilih orang yang paling mirip dengannya di tahap kedua. Orang-orang dengan kepribadian yang mirip akan lebih tertarik antara satu sama lain daripada dengan orang yang berbeda dengan mereka (Weiten & lloyd, 2006; Berscheid

& Reis, 1998). Untuk hubungan jangka panjang, konsep kemiripan menjadi sebuah aturan. Caspi dan Herbener (Weiten & lloyd, 2006) menemukan bahwa pasangan yang menikah dengan seseorang yang mirip akan lebih bahagia.

3. Karakteristik Kepribadian yang Diinginkan

Karakteristik kepribadian yang diinginkan baik oleh pria dan wanita untuk mereka nikahi adalah jujur dan dapat dipercaya, baik hati dan penuh kasih (Weiten & lloyd, 2006; Regan, & Berscheid, 1997).

Sementara, karakteristik pasangan romantis adalah hangat, ramah, memiliki selera humor yang baik dan asertif secara sosial (Weiten &

lloyd, 2006; Regan, 2003; Hatfield & Rapson, 1993).

2.2.4. Peran Gender dalam Pembentukan Hubungan.

Perbedaan gender menjadi suatu sumber yang penting dalam ekspektasi peran. Dalam pandangan yang beredar di masyarakat, wanita seharusnya besar perannya dalam membentuk hubungan. Clark dan koleganya (Ömür

& Büyükşahin-Sunal, 2015) menemukan bahwa laki-laki lebih aktif dan menggunakan strategi langsung dalam membentuk hubungan sementara perempuan lebih pasif dan menggunakan strategi tidak langsung. Ömür dan Büyükşahin-Sunal, (2015) juga mengakui bahwa dalam banyak kelompok masyarakat, laki-laki memainkan peran besar dalam memulai sebuah hubungan. Masyarakat juga lebih mundukung untuk wanita menggunakan taktik jual mahal dalam membentuk hubungan.

Kini, pandangan tersebut dibantahkan oleh berbagai penelitian.

Penelitian menunjukkan bahwa jual-mahal hanya akan menurunkan rasa suka orang yang sedang mendekati orang lain. Saat ini pun, wanita sudah mulai berani untuk mengambil peran dalam memulai hubungan. Mongeau, Hale, Johnson, and Hillis (Shumaker, 2010) menemukan bahwa 90%

wanita mengajak kencan pria dan bahkan 83% diantaranya adalah kencan pertama. Wilkins dan Gareis (dalam Harrison & Shortall, 2011 ) juga menemukan bahwa lebih banyak wanita yang mengatakan „I Love You‟

dari pada pria.

2.3. Dewasa Awal

2.3.1. Definisi Dewasa Awal

Menggunakan definisi sosiologis, seseorang dianggap dewasa ketika mereka mampu menyokong diri sendiri atau telah memiliki karir, menikah atau memiliki pasangan romantis atau bahkan membentuk keluarga.

Menurut Hurlock, masa dewasa terbagi atas dua tahap, yaitu dewasa awal dan masa dewasa madya. Harlock mendefinisikan masa dewasa awal berada pada rentang umur 18 hingga 40 tahun (Gupta, Sahay, & Sharma, 2016). Menurut Santrock, dewasa awal adalah periode perkembangan yang dimulai dari umur 20-an sampai 30-an. Sementara, Papalia, Olds dan Feldman (2007) menggunakan istilah dewasa muda untuk menjelaskan periode perkembangan yang dimulai dari 20 hingga 40 tahun.

Secara perkembangan fisik, periode masa dewasa awal ini ditandai dengan kondisi fisik yang berada dipuncak perkembangan dan kemudian perlahan menurun, serta kesehatan yang sangat dipengaruhi oleh gaya hidup. Dari segi perkembangan kognitif, masa dewasa awal ini ditandai oleh berkembangnya kemampuan untuk menilai secara moral dan pemikiran yang lebih kompleks, serta telah membuat keputusan pendidikan dan pekerjaan. Kemudian, dari segi perkembangan psikososial, gaya dan ciri kepribadian menjadi relatif lebih stabil, tetapi perubahan dalam kepribadian bisa terjadi karena dipengaruhi oleh tahap dan kejadian dalam kehidupan. Selanjutnya, pada masa dewasa awal juga ditandai dengan membuat keputusan mengenai hubungan intim dan gaya hidup pribadi dan kebanyakan dari mereka menikah dan menjadi orang tua (Papalia, Olds, & Feldman, 2007).

Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa masa dewasa awal adalah sebuah periode perkembangan yang bermula pada umur 18-20 tahun dan berakhir di usia 40 tahun yang ditandai dengan kondisi fisik yang berada di puncak dan menurun perlahan, pemikiran yang lebih kompleks, pendidikan yang berfokus untuk mempersiapkan karir, memulai karir sehingga dapat mandiri secara ekonomi serta membangun hubungan yang intim, menikah dan memiliki anak.

2.3.2. Tugas Perkembangan

Masa dewasa awal adalah masa bagi seseorang untuk mulai mandiri secara ekonomi, memulai karir, mencari pasangan, dan mulai belajar untuk hidup bersama pasangan dalam hubungan intim, seperti membangun keluarga dan membesarkan anak (Santrock, 2014). Havighurst (Gines, C. A;

Dizon, P. B; Obias, Peter H. R; Uriarte, G. G; Furtunato, G, V, Jr, 1998) menjelaskan bahwa pada masa dewasa awal tugas perkembangan mereka adalah memulai pekerjaan, memilih pasangan, belajar hidup dengan pasangan, membangun keluarga, mengatur rumah, memiliki tanggung jawab sipil, dan mencari kelompok sosial yang cocok.

Membentuk sebuah hubungan menjadi suatu tugas perkembangan yang penting di masa dewasa awal. Erikson (Papalia, Olds, & Feldman, 2007) mengatakan bahwa pada masa dewasa awal, seseorang akan mengisolasi diri dan mengalami self-absorption, jika mereka tidak mampu membuat komitmen dengan orang lain. Konflik ini berada di dalam tahap ke-6 dari tahapan psikososial yang dikemukan Erikson, yaitu intimacy vs isolation. Erikson menganggap seseorang telah dewasa jika mereka mampu menyelesaikan konflik kebutuhan antara intimasi, kompetisi dan jarak sehingga mereka pada akhirnya mengembangkan ethical sense (Papalia, Olds, & Feldman, 2007).

2.4. Dinamika Pembentukan Hubungan Romantis ditinjau dari Relational Development Model

Memiliki pasangan dan menjalin hubungan intim adalah suatu kebutuhan bagi seorang manusia dewasa awal. Pemenuhan kebutuhan ini menjadi sangat penting, karena apabila gagal menjalin hubungan intim, maka menurut Erickson (Santrock, 2014), seseorang akan merasa terisolasi. Hal ini bisa dijelaskan karena dengan memiliki hubungan intim akan menghasilkan sebuah perasaan “we-ness” atau

“kita” di antara dua orang (Varderber & Varderber, 1995) sehingga seseorang tidak merasa sendiri.

Hubungan dikatakan intim ketika seseorang mampu membagikan perasaan terdalamnya kepada orang lain. Namun, hal ini tidak langsung terjadi begitu saja.

Sebuah hubungan terbentuk melalui proses. Mark L. Knapp dan Angelina . Vangelisti menjelaskan proses tersebut dalam model relational development.

Knapp dan Vangelisti mengemukakan bahwa sebuah hubungan bisa berkembang dan bubar melalui 10 tahap yang dibagi menjadi dua fase. Fase pertama adalah coming together phase, dan fase kedua adalah coming apart phase (Knapp &

Vangelisti, 2005). Coming together phase adalah fase yang terdiri dari 5 tahap pembentukan sebuah hubungan. Fase ini lebih dikenal sebagai fase PDKT atau pendekatan di Indonesia.

Tahap pertama pada fase ini disebut initiating karena merupakan saat pertama kali seseorang melakukan kontak pertama atau memulai sebuah interaksi untuk pertama kalinya dengan orang lain. Pada tahap ini kita akan menilai seseorang dan menentukan apakah ia cukup menarik untuk memulai sebuah

percakapan berdasarkan nilai-nilai yang kita punya. Tahap kedua, experimenting, adalah tahap saat dua orang menjadi lebih kenal satu sama lain dengan mulai mencoba untuk menemukan hal-hal yang belum diketahui melalui small talk atau percakapan basa-basi. Tahap ketiga, intensifying adalah tahap saat dua orang mulai mengekspresikan perasaan masing-masing baik secara verbal dan non-verbal. Pada tahap integrating, dua orang seolah sudah melebur menjadi satu.

Orang-orang akan menganggap mereka sebagai pasangan dalam satu paket, mulai menggunakan identitas satu sama lain. Terakhir, bonding, tahap ketika seseorang meresmikan hubungannya dan memamerkannya kepada orang lain (Knapp &

Vangelisti, 2005),

Idealnya, pendekatan bisa dimulai oleh siapa saja, baik dia seorang wanita atau seorang pria. Namun, kenyataannya, ada peran peran gender yang beredar di masyarakat yang menimbulkan berbagai streotype. Pria lebih diharapkan untuk memulai sebuah hubungan. Banyak penelitian yang menemukan bahwa pria lebih sering terlibat dalam berbagai akrivitas memulai hubungan, menyatakan perasaan, dan menggunakan direct strategy dalam membentuk hubungan (Sprecher, Regan,

& Orburch, 2016; Ackerman, Griskevicius, & Li, 2011, Clark, et. al.; Ömür &

Büyükşahin-Sunal, 2015). Sementara wanita dituntut untuk lebih pasif (Clark et.

al; Ömür & Büyükşahin-Sunal, 2015) dan menggunakan strategi jual-mahal untuk menarik perhatian pasangannya (Jonasan & Li, (2013), Dai, Dong, & Jia, (2013)).

Taktik ini merupakan taktik mendapatkan pasangan yang mengharuskan seseorang berpura-pura memberikan kesan kepada orang lain bahwa ia tidak

Dokumen terkait