SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh
ADHISTY TRIANDINI
141301096
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2019
Dinamika Pembentukan Hubungan Romantis Berdasarkan Relational Development Model
Adhisty Triandini dan Juliana I. Saragih
ABSTRAK
Salah satu tugas perkembangan dewasa awal adalah memiliki hubungan intim. Sebuah hubungan dikatakan intim jika seseorang mampu membagikan perasaan terdalamnya dengan orang lain. Hubungan intim yang bersifat, resiprokal, saling bergantung, dan ditandai dengan adanya ketertarikan seksual dan terbentuknya komitmen disebut dengan hubungan romantis. Sebuah hubungan romantis terbentuk melalui lima tahapan (initiating, experimenting, intensifying, integrating, dan bonding) yang disebut sebagai coming together phase dalam teori relational development model. Penelitian ini ditujukan untuk melihat dinamika pembentukan hubungan romantis berdasarkan tahapan yang ada pada relational development model. Adapun subjek penelitian ini berjumlah tiga orang yang terdiri dari dua orang responden perempuan dan satu orang laki-laki.
Ketiga responden ini berada pada masa dewasa awal dan sedang menjalani sebuah hubungan romantis. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah pengambilan sampel berfokus pada intensitas. Data diperoleh melalui metode wawancara dengan pedoman yang telah disusun sebelumnya. Hasil penelitian menemukan bahwa setiap responden memiliki arah pertukaran informasi dua arah.
Kegagalan memasuki tahapan selanjutnya atau melompati sebuah tahap dapat membuat sebuah hubungan bergerak mundur. Terakhir, tahap experimenting menjadi landasan penting agar dapat menjalani tahapan-tahapan selanjutnya sehingga hubungan romantis terbentuk dengan lebih mudah.
Kata kunci: hubungan romantis, relational development model.
The Dynamic of Forming a Romantic Relationship Based on Relational Development Model
Adhisty Triandini and Juliana I. Saragih
ABSTRACT
One of the developmental tasks in early adulthood is to have an intimate relationship. People who have an intimate relationship can share their deepest feeling with others. Romantic relationship is an intimate, reciprocal, interdependent relationship that is characterized by sexual attraction and a commitment. Romantic relationship formed and developed through stages.
Relational development model is a theory that is proposing five stages of forming and developing romantic relationship (initiating, experimenting, intensifying, integrating, and bonding) called coming together phase. This research is intended to see the dynamics of forming a romantic relationship based on relational development model. There are three subjects; one male and two females who are still in their early adulthood and having a romantic relationship. As for the sampling technique, this research used intensity sampling. Also, all the data were collected through interview and had an interview guideline. The research shows that every respondent involved in a two-way communication. The failure to move to the next stage or skip a stage will change the relationship movement direction become backwards that means less intimacy. Lastly, the „experimenting‟ stage is an important stage for being able to go through the next stages so forming and developing a romantic relationship becomes easier.
Keywords: romantic relationship, relational development model.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan berkah, nikmat dan kemudahanNya kepada peneliti sehingga mampu menyelesaikan skripsi dengan judul “Dinamika Pembentukan Hubungan Romantis Berdasarkan Relational Development Model”. Penyusunan skripsi ini dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
Peneliti menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi bukanlah suatu hal yang mudah dan ringan, sehingga bantuan dan motivasi dari banyak pihak menjadi salah satu hal yang patut disyukuri. Pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang senantiasa membantu peniliti menyesaikan studi dan skripsi ini baik yang disebutkan namanya maupun yang tidak, semoga kebaikannya dibalas berlipat ganda oleh yang Maha Kuasa.
Terkhusus kepada kedua orang tua, bapak Ir. H. Ady Susanto Z dan ibu Ir. Hj.
Wan Haniza, yang senantiasa mendoakan, dan selalu memberi semangat. Papa, terima kasih untuk tetap berjuang mencari nafkah di masa pensiunmu, dan Mama, terima kasih untuk tidak pernah berhenti mengingatkan kebaikan setiap harinya.
Semangat berjuang menyelesaikan disertasinya, Ma!
Selanjutnya, peneliti juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Zulkarnain, Ph.D., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi USU, beserta Wakil Dekan I, Wakil Dekan II, dan Wakil Dekan III Fakultas Psikologi USU;
2. Ibu Juliana I. Saragih, M.Psi., Psikolog selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan banyak bantuan, arahan, masukan, serta sangat sabar dalam membimbing peneliti selama penulisan skripsi ini;
3. Bapak Eka Danta Jaya Ginting selaku dosen Penasehat Akademik yang telah memberikan masukan dan arahan pada saya dalam menghadapi perkuliahan di Fakultas Psikologi USU setiap awal semester baru akan dimulai serta juga memotivasi saya saat kesulitan menyelesaikan skripsi ini;
4. Seluruh dosen Fakultas Psikologi khususnya yang berada pada Departemen Klinis serta seluruh civitas akademik Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan segala bantuan yang sangat bermanfaat bagi saya dalam menyelesaikan tugas akhir maupun dalam kehidupan di masa yang akan datang;
5. Para responden yang telah mau berbagi ceritanya kepada peneliti dalam rangka berpartisipasi dalam penelitian ini.
6. Abang dr. Hendy Armanda Zantaima, Sp.An, yang disuatu pagi mengagetkan saya dengan foto sidang spesialisnya di grup keluarga dan membuat peneliti sadar harus segera menyelesaikan skripsi ini. Untuk abang Rahmat Rizky Hadyan Hadyan, ST, terima kasih untuk menyemangati peneliti dan doa peniliti teriring agar MT-nya segera diselesaikan. Serta, kedua kakak ipar, dr.
Cut Putri Samira, Sp.M dan Mirna Rahma Rani, S.Psi terima kasih mendukung peniliti dan menjadi tempat berbagi yang selalu sedia. Terkhusus untuk Kak Mirna, terima kasih sudah menjadi orang pertama yang membantu
peniliti mengenal seluk beluk kampus dan perkuliahan di Psikologi USU hingga saat ini bisa menyelesaikan skripsi dan mencapai gelar sarjana.
7. “Tujuh”. Aliyah Zhafira, Marti Latifolia, S.Psi, Rekha Agustin, S.Psi, Ratu Syafira, S.Psi, Nila Indayu, S.psi dan R.R Hera Amalia, terima kasih sudah menemani aku dalam suka dan duka di empat hingga hampir lima tahun terakhir. Terima kasih sudah mau direpotkan dan mengerti seberapa besar demanding dan manjanya aku. See you on the top, guys!
8. Special shout out for Aliyah Zhafira. Terima kasih telah menjadi sahabat hampir 8 tahun ini. Thank you for always sitting next to me, literally every day, from the first day in high school to the last day in university and still counting! Terima kasih Aliyah menjadi penolong pertama aku yang kesulitan beradaptasi baik saat SMA maupun saat kuliah ini. Semoga kuliahnya dilancarkan ya, aku tunggu!
9. Sepupu sepaketan. Muhammad Fachrowi dan Khairun Nabila yang tidak pernah berhenti menyemangati saya selama menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih Owi sudah „menikung‟ dan wisuda duluan. Terima kasih kak Bea untuk sedia menjadi tempat berkeluh kesah dalam penulisan skripsi ini.
10. Teman-teman di Bohay (Windi Riahna, S.S, Shinta Amelya Sandra, S.P, Aprillia K. P, S.ked, Nadya P.S., S.Ked, Dhaifina Mazaya, S.Sn) serta Nusantara Pen Circle, terima kasih menjadi orang-orang yang menjaga saya agar tetap waras dan menikmati dunia dibalik kerasnya perskripsian.
11. Seluruh teman-teman angkatan 2014 Fakultas Psikologi USU, terkhusus untuk Syifa, Nurhayati, Ayu, Kania, Fachrurozi, Ibnu, Septiadi, Miya, Pinta,
Tanthi, Winda yang sudah banyak membantu dan menemani saya menyelesaikan skripsi. Sekali lagi, terima kasih!
12. Untuk kamu, yang raganya tidak lagi diketahui rimbanya, tetapi jiwanya selalu menginspirasi, terima kasih.
Peneliti juga menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna dalam hal isi dan susunannya. Oleh sebab itu, dengan kerendahan hati peneliti menerima segala kritik dan saran agar skripsi ini menjadi lebih baik lagi dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait. Akhir kata, saya berharap agar penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.
Medan, Mei 2019 Peneliti,
(Adhisty Triandini)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Manfaat Penelitian ... 12
E. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 15
2.1. Hubungan Romantis ... 15
2.1.1. Defisini Hubungan Romantis ... 15
2.1..2. Karakteristik Hubungan Romantis ... 16
2.1..3. Fungsi Hubungan Romantis ... 17
2.2. Relational Development Model ... 18
2.2.1. Relational Development Model ... 17
2.2.2. Coming Together Phase ... 20
2.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Hubungan ... 24
2.2.4. Peran Gender dalam Pembentukan Hubungan ... 27
2.3. Dewasa Awal ... 28
2.3.1. Defisini Dewasa Awal ... 28
2.3.2. Tugas Perkembangan ... 30
2.4. Dinamika Pembentukan Hubungan Romantis di Tinjau dari Relational Development Model ... 31
2.5. Kerangka Berpikir ... 34
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 36
3.1 Penelitian Kualitatif ... 36
3.2. Subjek Penelitian ... 36
3.3. Teknik Pengambilan Sampel ... 36
3.4. Metode Pengambilan Data ... 36
3.5 Lokasi Penelitian ... 37
3.6 Instrumen Penelitian ... 37
3.6.1. Pedomen Wawancara... 37
3.6.2. Alat Perekam Suara ... 38
3.7. Analisis Dan Interpretasi Data ... 38
3.8. Proses Penelitian ... 39
3.8.1. Persiapan Penelitian ... 39
3.8.2. Pelaksanaan Penelitian... 39
BAB IV ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL PENELITIAN 40 4.1. Deskripsi Data ... 41
4.1.1. Responden 1... 41
a. Hasil Observasi ... 41
b. Hasil Wawancara ... 45
4.1.2. Responden 2... 68
a. Hasil Observasi ... 68
b. Hasil Wawancara ... 71
4.1.3. Responden 3... 89
a. Hasil Observasi ... 89
b. Hasil Wawancara ... 92
4.2. Pembahasan ... 113
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 123
5.1. Kesimpulan ... 123
5.2. Saran ... 123
5.2.1. Saran Teoritis ... 123
5.2.2. Saran Praktis ... 124
DAFTAR PUSTAKA ... 125
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Kerangka Berpikir ... 34
DAFTAR TABEL Tabel 1. Gambaran Umum Responden Penelitian ... 41
Tabel 2. Rekapitulasi Data Hasil Wawancara Responden 1 ... 66
Tabel 3. Rekapitulasi Data Hasil Wawancara Responden 2 ... 87
Tabel 4. Rekapitulasi Data Hasil Wawancara Responden 3 ... 104
Tabel 5. Hasil Analisis – Banding Antar Responden untuk Dinamika Pembentukan Hubungan Romantis Berdasarkan Relational Development 6Model ... 105
Tabel 6. Hasil Analisis Penemuan Data untuk Dinamika Pembentukan Hubungan Romantis Berdasarkan Relational Development Model ... 112
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Pedoman Wawancara ... 130
Lampiran 2. Informed Consent ... 133
Lampiran 3. Hasil Observasi ... 138
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Menjalin hubungan, baik pertemanan maupun relasi romantis adalah kebutuhan bagi seorang manusia. Khususnya, pada masa dewasa awal yang merupakan periode perkembangan yang dimulai dari usia 20-an sampai 30-an (Santrock, 2014). Kebutuhan ini penting untuk dipenuhi karena salah satu tugas perkembangan yang utama di masa dewasa awal adalah mencari pasangan dan mulai belajar untuk hidup bersama pasangan dalam rangka menjalin hubungan intim. Gagalnya memenuhi kebutuhan tersebut berarti seseorang gagal memiliki hubungan yang bersifat intim, yang akan membuat seseorang merasa terisolasi. Hal tersebut sesuai dengan teori perkembangan Erickson (Santrock, 2014) yang menyatakan bahwa seseorang pada masa dewasa awal akan memasuki tahap intimacy vs isolation.
Hubungan dikatakan intim ketika seseorang mampu membagikan perasaan terdalamnya kepada orang lain. Keintiman sebuah hubungan bisa terjadi di dalam hubungan kekeluargaan, persahabatan antar-sesama jenis dan hubungan antara lelaki dan perempuan, baik pertemanan non-seksual atau pun dalam hubungan romantis (Varderber & Varderber, 1995). Hubungan romantis merupakan salah satu bentuk dari hubungan intim yang didasari oleh rasa saling keterbukaan yang intim (Weiten & lloyd, 2006) dan ditandai dengan pengekspresian perasaan dan perilaku seksual yang telah diantisipasi (Collins
& Sroufe, 1999). Seperti semua bentuk hubungan intim lainnya, hubungan
romantis bisa merangsang perasaan positif seperti kepedulian dan negatif seperti kemarahan dan cemburu (Weiten & lloyd, 2006), tetapi dengan emosionalitas yang lebih memuncak daripada hubungan pertemanan biasa (Reis & Sprecher, 2009).
Sebuah hubungan termasuk relasi romantis tidak terjadi begitu saja, tetapi harus melewati beberapa tahap hingga akhirnya sebuah hubungan terbentuk.
Dalam Varderber dan Varderber (1995), disebutkan bahwa meskipun tidak ada dua hubungan yang terbentuk dengan cara yang persis sama, tetapi para peneliti setuju bahwa sebuah hubungan terbentuk melalui berbagai tahap, dimulai dari tahap starting atau building, stability, dan disinteregation.
Tahap starting atau building oleh Knapp dan Vangelisti (2005) disebut sebagai coming together phase dalam model relational development yang ia kembangkan. Sementara menurut Clark dan koleganya (Ömür & Büyükşahin- Sunal, 2015), pada tahap ini disebutnya sebagai relationship initiation. Di Indonesia, tahap ini lebih dikenal sebagai masa PDKT atau pendekatan. Sesuai dengan KBBI (Kemendikbud, 2016), pedekatan dapat diartikan sebagai:
“pen.de.kat.an (n) proses, cara, perbuatan mendekati (hendak berdamai, bersahabat dan sebagainya)”
Mark Knapp dan Anita L. Vangelisti (2005) menjelaskan cara sebuah hubungan bisa berkembang, dijaga dan berakhir melalui sebuah model yang terdiri dari 10 tahap yang dibagi menjadi 2 fase. Model tersebut dinamakan sebagai relational development model. Menurut Knapp dan Vangelisti (2005), setiap tahapnya merupakan pergerakan yang sistematis dan berkelanjutan.
Melompati sebuah tahap merupakan pertaruhan karena seseorang akan kekurangan informasi yang bisa saja ia peroleh dari tahap tersebut. Model ini juga mengasumsikan bahwa sebuah hubungan bisa bergerak maju atau menjadi lebih intim, bergerak mundur atau menjadi lebih renggang, selalu menuju ke tempat „baru‟, serta bisa bergerak secara lambat atau cepat (Knapp
& Vangelisi, 2005).
Fase pertama dari model tersebut adalah coming together phase, dan fase kedua adalah coming apart phase (Knapp & Vangelisti, 2005). Meski secara umum penelitian ini menggunakan relational development model, tetapi peneliti berfokus pada fase pertama yaitu fase coming together. Fase coming together adalah fase yang terdiri dari 5 tahap pembentukan sebuah hubungan.
Fase ini menjelaskan bagaimana dan apa yang terjadi ketika membentuk sebuah hubungan melalui lima tahapan pembentukan hubungan. Kelima tahap tersebut adalah initiating, experimenting, intensifying, integrating, dan bonding (Dunn & Goodnight, 2016).
Tahap pertama disebut initiating karena merupakan saat pertama kali seseorang melakukan kontak pertama atau memulai sebuah interaksi untuk pertama kalinya dengan orang lain (Dunn & Goodnight, 2016). Kita akan membandingkan orang tersebut dengan nilai-nilai yang kita miliki sebelum akhirnya menentukan apakah orang tersebut menarik atau tidak, serta apakah waktunya tepat atau tidak untuk memulai percakapan (Knapp & Vangelisti, 2005). Tahap kedua, experimenting, adalah tahap saat seseorang berusaha menjadi lebih kenal satu sama lain (Dunn & Goodnight, 2016) dengan mulai
mencoba untuk menemukan hal-hal yang belum diketahui, misalnya informasi tempat tinggal atau kampung halaman, hal-hal yang sama-sama mereka senangi (Knapp & Vangelisti, 2005). Small talk merupakan jenis percakapan yang sering terjadi pada tahap ini.
Tahap intensifying adalah tahap ketiga, yaitu saat seseorang mulai mengekspresikan perasaannya baik secara verbal dan non-verbal (Dunn &
Goodnight, 2016). Banyak hal yang terjadi pada tahap ini. Beberapa hal diantaranya adalah penggunaan nama panggilan informal, penggunaan kata
„kita‟, memiliki jargon, bahasa, tempat, acara dan waktu-waktu tertentu serta barang-barang yang memiliki arti tertentu, penggunaan kata-kata yang lebih singkat dan digantikan dengan sentuhan-sentuhan, pengekspresian komitmen dan rasa suka secara langsung, serta salah seseorang akan berperan menjadi pengingat (Knapp & Vangelisti, 2005).
Pada tahap integrating, kepribadian seseorang seolah sudah melebur menjadi satu dengan pasangannya. Orang-orang akan menganggap mereka sebagai pasangan dalam satu paket, mulai menggunakan identitas satu sama lain (Knapp & Vangelisti, 2005), berlibur bersama, membeli barang bersama (Dunn & Goodnight, 2016). Tahap terakhir pada coming together phase adalah bonding. Tahap ini adalah tahap saat dua orang telah berkomitmen (berpacaran, bertunangan, menikah) dan memamerkan hubungan mereka ke orang-orang sebagai tanda hubungan mereka yang eksklusif (Dunn &
Goodnight, 2016).
Meski menurut Kelley (Sprecher, Regan, & Orburch, 2016) dalam memulai sebuah hubungan kedua orang yang terlibat harus memiliki effort yang sama, tetapi stereotip gender tetap terbentuk dalam hal membentuk hubungan. Perilaku yang sama, jika dilakukan oleh pria bisa dianggap sebagai perilaku „ambisius‟ dan „go-getting‟, sementara pada wanita dianggap memaksa dan agresif (Myers & Myers, 1992). Ackerman, Griskevicius, dan Li, 2011 (Sprecher, Regan, & Orburch, 2016) menemukan bahwa laki-laki lebih sering terlibat dalam berbagai aktivitas memulai hubungan seperti mengajak kencan, dan mengatakan „I Love You‟. Clark dan koleganya (Ömür
& Büyükşahin-Sunal, 2015) menemukan bahwa laki-laki lebih aktif dan menggunakan strategi langsung dalam membentuk hubungan sementara perempuan lebih pasif dan menggunakan strategi tidak langsung. Ömür dan Büyükşahin-Sunal (2015), juga mengakui bahwa dalam banyak kelompok masyarakat, laki-laki memainkan peran besar dalam memulai sebuah hubungan. Selain itu, Sakalli dan Curun serta Schleicher dan Gilbert (Ömür &
Büyükşahin-Sunal, 2015) menemukan bahwa laki-laki yang asertif dalam masa pembentukan hubungan (pendekatan) lebih disenangi oleh wanita.
Di Indonesia, hal tersebut juga menjadi bagian dari stereotip yang terbentuk di masyarakat. Banyak wanita yang berpendapat bahwa untuk memulai sebuah hubungan, laki-laki lah yang harus bertindak lebih dulu.
Kalimat seperti „masa cewe duluan sih‟, „saya kan wanita, masa ngajak kenalan duluan sih‟ sering terdengar dari para wanita ketika merasa tertarik
pada seorang pria. Berikut pernyataan salah seorang wanita yang sedang melakukan pendekatan:
“… kakak bukan gak mau kasih tau dia, tapi „kan kalau kakak kasih tau kakak yang rugi, dia jadi ngerasa kakak sor kali sama dia, jadinya kakak yang malah make a move duluan. Bukannya dia sebagai
cowok…”
(Komunikasi personal dengan KN, 02 Oktober 2017)
Serupa dengan pendapat diatas, berdasarkan komunikasi personal yang dilakukan, Mawar dan PLP, mengatakan bahwa tidak seharusnya wanita memulai atau menghubungi lelaki terlebih dahulu. Menurut mereka, kodrat wanita adalah menunggu bukan memulai, sementara sudah sepantasnya lelaki memulai terlebih dahulu. Hal ini dipengaruhi adanya ketakutan akan penolakan (fear of rejection) (Ömür & Büyükşahin-Sunal, 2015). McDaniel (Ömür & Büyükşahin-Sunal, 2015) menyebutkan bahwa wanita memihak pada peran tradisional pria yang memulai sebuah hubungan karena hal tersebut membuat wanita bisa meminimalisir risiko penolakan.
Dari 175 respon yang peneliti dapatkan ketika bertanya kepada wanita dewasa awal akankah mereka menghubungi pria yang mereka sukai terlebih dahulu ketika melakukan pendekatan, 83 orang menjawab tidak dengan berbagai alasan. Dari data tersebut, 28 diantaranya mengatakan mereka tidak akan menghubungi pria yang mereka sukai saat melakukan pendekatan terlebih dahulu dikarenakan gengsi atau menjaga harga diri. Contohnya, R mengatakan: “Tidak, karena perempuan yang dicari. Bukan perempuan yang menghubungi. Gengsi dong, apalagi masih pdkt (pendekatan).” Sementara, D mengatakan: “Enggak. Cewe wajib jual mahal.”
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Adel dan Zili melalui komunikasi personal yang telah dilakukan bahwa sudah seharusnya seorang wanita „jual mahal‟ atau harus menjaga image (jaim) dengan tidak menghubungi lelaki yang mereka sukai terlebih dahulu saat melakukan pendekatan. Adanya pandangan yang terbentuk pada masyarakat bahwa wanita harus melakukan taktik jual mahal biasanya membuat para wanita sering menahan perasaannya dan membuat mereka menjadi gelisah atau sedih. Hal ini biasa terjadi pada wanita dewasa awal karena terjadinya konflik dalam diri mereka. Pada satu sisi, kebutuhan mereka untuk memiliki hubungan intim mendesak mereka agar menemukan pasangan, apalagi jika sudah menemukan sosok yang cocok bagi mereka, tetapi mereka menganggap tidak bisa berbuat apa-apa karena pandangan yang beredar.
Taktik „jual mahal‟ atau yang di dunia barat dikenal sebagai playing hard- to-get memang menjadi taktik mendapatkan pasangan yang paling terkenal di kalangan wanita. Taktik ini merupakan taktik mendapatkan pasangan yang mengharuskan seseorang berpura-pura memberikan kesan kepada orang lain bahwa ia tidak tertarik pada orang tersebut dalam rangka membuat orang tersebut lebih tertarik (Jonason & Li, 2013). Hasil pencarian di Google menunjukkan 288 juta kecocokan pencarian dan ribuan situs web yang memberikan informasi cara mengaplikasikan taktik „jual-mahal tersebut‟ (Dai, Dong, & Jia, 2013). Keinginan untuk menyembunyikan jati diri yang sesungguhnya juga bisa menyebabkan seseorang „jual mahal‟ (Weinberg, 2017).
Beberapa argumen berhasil menjelaskan mengapa taktik jual mahal harus digunakan. Salah satunya adalah Afifi (McCord, 2017) yang mengemukakan sebuah teori bernama Theory of Motivated Information Management (TMIM).
Teori ini mengakui bahwa seseorang cenderung menyukai ketidakpastian dalam beberapa hal. Teori tersebut didukung oleh hasil penelitian Whitchurch, et. al. (Weinberg, 2017) yang berargumen bahwa ketidakpastian mengenai bagaimana perasaan seseorang mengenai diri kita akan meningkatkan ketertarikan pada seseorang tersebut.
Pada sisi sebaliknya, banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa taktik ini tidak terbukti efektif. Strategi Hard-to-get bukanlah strategi yang efektif untuk meningkatkan status seseorang (Walster & Walster, 1971). Jika seorang wanita atau pria jual mahal, maka perasaan ingin dan suka pada orang yang sedang mendekatinya akan menurun (Dai, Dong, & Jia, 2013).
Kini banyak wanita mencoba untuk memecahkan stereotip dan mengabaikan taktik „jual mahal‟ dengan mengambil langkah memulai hubungan terlebih dahulu. Mongeau, Hale, Johnson, and Hillis (Shumaker, 2010) menemukan bahwa 90% wanita mengajak kencan pria dan bahkan 83%
diantaranya adalah kencan pertama. Wilkins dan Gareis (dalam Harrison &
Shortall, 2011) juga menemukan bahwa lebih banyak wanita yang mengatakan
„I Love You‟ daripada pria.
Ömür dan Büyükşahin-Sunal, (2015) menemukan bahwa dukungan pria kepada wanita yang melakukan strategi pendekatan secara langsung lebih besar dari pada dukungan sesama wanita, tetapi pria tersebut memiliki
kecemasan dalam hubungan daripada pria yang mendukung wanita konservatif. Dalam penelitian yang sama ditemukan bahwa sesungguhnya baik wanita dan pria sama-sama menginginkan lawan jenisnya yang lebih asertif sehingga dapat mengurangi perasaan terancam dan kecemasan akan ditolak yang mereka rasakan.
Ketika ditanya kesediaan untuk menghubungi lelaki yang mereka sukai, 67 dari 175 wanita dewasa awal yang peneliti hubungi mengatakan bersedia menghubungi lelaki yang mereka sukai terlebih dahulu saat menjalani masa pendekatan. Sementara 20 orang sisanya menjawab akan menghubungi terlebih dahulu atau tidak bergantung pada situasi yang mereka alami. Wanita yang bersedia menghubungi terlebih dahulu beranggapan bahwa dalam memulai sebuah hubungan, tidak harus dimulai dari lelaki dan harus ada keseimbangan antara perempuan dan laki-laki. Berikut beberapa pernyataan mereka:
“Ya, kalau gak ada yang mulai duluan, ga bakal jadi-jadi dong.”
(Komunikasi personal dengan PG, 27 November 2017).
“Mau, karena menurut saya cinta itu ga perlu lelaki yg ambil tindakan duluan”
(Komunikasi personal dengan A, 27 November 2017).
“Bisa aja sih. Namanya juga hubungan, kan ga mesti siapa yang hubungi siapa deluan. Ya saling ngerti aja lah yakan. Toh kita udah tau kegiatan masing masing.”
(Komunikasi personal dengan NW, 29 November 2017).
Sementara itu, menurut H dan DET melalui komunikasi personal yang dilakukan, mereka bisa saja menghubungi lelaki yang mereka sukai terlebih dahulu karena tidak mungkin hanya lelaki saja yang selalu menghubungi
terlebih dahulu, harus ada proses timbal baliknya, yaitu wanita yang menghubungi lebih dulu.
Perilaku wanita yang memulai pendekatan mendapatkan respon yang beragam dari orang lain. Pandangan para wanita lain melihat perilaku wanita yang memulai sangat beragam,. Meski ada beberapa wanita lain yang menganggap perilaku wanita tersebut hebat dan berani tetapi banyak wanita lainnya menilai negatif perilaku tersebut, seperti aneh, agresif, memalukan dan
„murahan‟. Berikut pendapat beberapa wanita ketika ditanya pendapat mereka mengenai wanita lain yang menyatakan perasannya kepada pria: “Sedikit aneh. Karena wanita biasanya bersikap malu.” (Komunikasi personal dengan LK, 27 November 2017); “Memalukan sih.” (Komunikasi personal dengan JS, 27 November 2017); “(wanita itu terkesan) murahan” (Komunikasi personal dengan Adel, 27 November 2017).
Sementara itu, hasil penelitian menyatakan bahwa pria menyambut positif perilaku wanita dalam memulai hubungan (Mongeau, Hale, Johnson, and Hillis dalam Shumaker, 2010). Pria juga menganggap wanita yang memulai hubungan sebagai wanita-inisiatif yang liberal, terbuka, aktif, ekstrovert, sociable tetapi kurang menarik secara fisik jika dibandingkan dengan wanita konservatif (Mongeau dan Carey, 2006). Selain itu, lelaki memiliki ekspektasi seksual yang lebih tinggi kepada wanita yang berinistiatif mengajak kencan pertama tetapi kencan tersebut minim intimasi (Mongeau dan Carey, 2006).
Hasil komunikasi personal yang dilakukan peneliti pada beberapa orang laki- laki dewasa awal mengemukakan hal yang sama. Menurut J, jika wanita yang
didekatinya menunjukkan perilaku mendekati seperti memberikan kabar terlebih dahulu, atau menghubunginya terlebih dahulu, J merasa lebih senang.
Selain itu, K menyatakan bahwa jika wanita juga turut berperan dalam masa pendekatan membuatnya lebih mengerti dan memahami perasaan wanita tersebut sehingga ia tidak perlu menebak-nebak apa yang harus ia lakukan.
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah hubungan romantis dimulai sejak tahap pendekatan hingga berakhir dengan adanya bonding. Tahap pendekatan seharusnya bisa diinisiasi oleh siapa saja, baik wanita maupun pria. Namun, sesuai dengan riset awal yang telah dilakukan peneliti, di masyarakat umum, terdapat peran gender yang terbentuk, yaitu laki-laki yang harus memulai pendekatan dan perempuan harus bersikap jual- mahal.
Selain itu, teori yang telah dikemukan dikembangkan dalam konteks budaya barat, dan peneliti belum menemukan adanya penelitian yang menggunakan teori relationship development model dalam konteks budaya timur dan lebih spesifik budaya yang ada pada masyarakat Indonesia. Banyak nilai-nilai yang dianggap wajar dalam budaya barat, tetapi menjadi tabu dalam budaya timur, khususnya Indonesia. Dalam budaya barat, kohabitasi atau tinggal bersama dan melakukan hubungan seksual tanpa adanya pernikahan sering terjadi (Knapp & Vangelistu, 2005). Sementara, hal tersebut sangat ditentang di Indonesia dan sepengamatan peneliti, saat ini menjadi perdebatan hangat mengenai patut atau tidaknya kohibitasi diatur dalam perundang- undangan. Sejalan dengan itu, berdasarkan pengamatan peneliti terhadap
kejadian-kejadian disekitar, meski tidak jarang terjadi, tetapi sepasang kekasih di Indonesia yang terlihat berlibur berdua akan dinilai negative oleh teman- temannya, dan berlibur bersama keluarga pasangan akan dianggap sudah sangat serius. Tentunya hal tersebut berbeda dengan budaya barat. Adanya perbedaan-perbedaan yang telah dikemukakan di atas, membuat penulis tertarik untuk meneliti dinamika pembentukan hubungan romantis ditinjau dari Relational Development Model yang terjadi pada pasangan dewasa awal dalam cakupan budaya Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Terdapat dua rumusan masalah pada penelitian ini, yaitu: bagaimanakah dinamika pembentukan hubungan romantis berdasarkan Relational Development Model ?
1.3. Tujuan Penelitian
Ada pun tujuan penelitian ini adalah melihat dinamika pembentukan hubungan romantis yang terjadi ditinjau dari Relational Development Model.
1.4.Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapakan dapat menambah khasanah keilmuan yang bermanfaat dan dapat mengembangkan berbagai ilmu Psikologi, khususnya ilmu psikologi yang membahas interpersonal relationship. Kemudian diharapkan penelitian ini dapat memberikan
pengetahuan mengenai dinamika pembentukan hubungan romantis yang terjadi ditinjau dari Relational Development Model.
1.4.2. Manfaat Praktis
a. Bagi masyarakat penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai dinamika pembentukan hubungan ditinjau dari Relational Development Model
b. Bagi wanita, penelitian ini diharapkan memberikan model peran wanita yang memulai dalam memulai pendekatan dan menjadi bahan pertimbangan dalam memulai pendekatan.
c. Penelitian ini juga diharapkan menjadi acuan bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
1.5. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah:
BAB I : Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah yang diangkat dalam penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dinyatakan adalah teori-teori yang berhubungan dengan stress dan lingkungan.
BAB III : Metode Penelitian
Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian, identifikasi variabel penelitian, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakann, uji validitas dan reliabilitas alat ukur, serta metode analisis data.
BAB IV : Analisa dan Interpretasi Hasil Penelitian
Berisi tentang hasil penelitian, pengolahan data dan interpretasi hasil penelitian.
BAB V : Kesimpulan dan Saran
Berisi kesimpulan yang berusaha menjawab masalah yang dikemukakan berdasarkan hasil penelitian. Berdasarkan kesimpulan, akan diajukan beberapa saran bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hubungan Romantis
2.1.1. Definisi Hubungan Romantis
Hubungan romantis merupakan salah satu bentuk dari close relationship (hubungan intim) yang didasari oleh rasa saling keterbukaan yang intim.
Keintiman dalam hubungan romantis bisa diperoleh dari pengalaman yang mendukung perkembangan keintiman pada hubungan nonromantis. Close relationship merupakan hubungan yang penting, saling ketergantungan dan bertahan lama. Hal ini berarti dua orang yang terlibat dalam hubungan tersebut berarti menghabiskan banyak waktu dan energi dalam menjaga hubungan dan perkataan salah satu pasangan memiliki dampak kepada yang lainnya (Weiten & lloyd, 2006). Duvall dan Miller (1985) menyatakan bahwa hubungan romantis juga dikenal sebagai pacaran atau kencan (dating). Sementara itu, Degenova dan Rice (2005) mendefinisikan dating atau kencan sebagai kegiatan yang melibatkan dua orang dalam rangka mengenal satu sama lain. Dari penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa hubungan romantis adalah sebuah bentuk hubungan yang melibatkan keintiman, rasa saling keterbukaan, ketergantungan yang dimiliki oleh dua orang dan mempengaruhi kehidupan mereka.
2.1.2. Karakteristik Hubungan Romantis
Berbeda dengan hubungan intim lainnya, hubungan romantis biasanya ditandai dengan pengekspresian perasaan dan perilaku seksual yang telah diantisipasi (Collins & Sroufe, 1999). Semua close relationship bisa merangsang perasaan yang intens, baik positif seperti passion, kepedulian dan keprihatinan maupun negatif seperti kemarahan, cemburu dan putus asa (Weiten & lloyd, 2006). Namun, pada hubungan romantis biasanya menimbulkan emosionalitas yang lebih memuncak, kontras dengan dunia pertemanan yang lebih tenang (Reis & Sprecher, 2009).
Sementara itu, (Brown, Feiring, & Furman, 1999) mendeskripsikan tiga karakteristik hubungan romantis, sebagai berikut:
1. romance involves a relationship, sebuah pola asosiasi dan interaksi yang sedang berlangsung antara dua orang individu yang memiliki beberapa koneksi satu sama lain. Kriteria ini juga meliputi adanya komitmen, baik dalam jangka pendek atau pun panjang.
2. Dalam menjalani hubungan romantis, hubungan ini dilandasi oleh kesukarelaan. Hal ini berarti bahwa percintaan adalah masalah pilihan pribadi.
3. Adanya bentuk ketertarikan dan gairah. Ketertarikan ini biasanya, tetapi tidak selalu, meliputi bebeapa komponen seksual yang dimanifestasikan ke dalam bentuk perilaku seksual.
Nilai-nilai pribadi, agama dan budaya bisa menjadi penghalang perilaku tersebut.
Dari penjabaran diatas, dapat disimpulkan bahwa hubungan romantis merupakan sebuah pola asosiasi dan interaksi yang sedang berlangsung antara dua orang individu yang bersifat intim, resiprokal, saling bergantung dan ditandai dengan adanya ketertarikan dan gairah yang bersifat seksual, terbentuknya komitmen baik jangka pendek maupun panjang serta dilandasi oleh kesukarelaan.
2.1.3. Fungsi Hubungan Romantis
Menurut Degenova dan Rice, (2005) menyatakan bahwa memiliki hubungan romantis khususnya berpacaran memenuhi sejumlah fungsi penting dalam hidup seseorang, yaitu:
1. Sebagai bentuk rekreasi.
2. Memiliki teman, pendamping dan keintiman.
3. Sebagai sarana bersosialisasi
4. Membantu perkembangan pribadi seperti membentuk identitas pribadi dalam sebuah relasi, memberikan perasaan aman dan berharga.
5. Memberikan kesempatan untuk mencoba berbagai peran gender.
6. Memenuhi kebutuhan cinta dan afeksi.
7. Memberikan kesempatan untuk bereksperimen dan memiliki kepuasaan seksual.
8. Kesempatan untuk memilih pasangan jangka panjang 9. Membantu individu untuk mempersiapkan pernikahan.
2.2. Relational Development Model
2.2.1. Definisi Relational Development Model
Relational Development Model adalah model tahapan untuk mengembangkan, menjaga, dan mengakhiri hubungan. Teori ini dikembangkan oleh Mark L Knapp dan Anita L. Vangelisti pada tahun 1992 (Dunn & Goodnight, 2016). Model yang mereka kembangkan ini berfokus pada hubungan antara dua orang. Knapp dan Vangelisti menjelaskan cara sebuah hubungan bisa berkembang melalui sebuah model yang terdiri dari 10 tahap yang dibagi menjadi 2 fase. Fase pertama adalah coming together phase, dan fase kedua adalah coming apart phase (Knapp & Vangelisti, 2005). Relational Development Model mengasumsikan bahwa sebuah hubungan dibangun secara luas melalui interaksi tatap muka (Knapp & Vangelisti, 2005).
Knapp dan Vangelisti (2005), menggeneralisasikan beberapa asumsi yang mendasari relational development model:
1. Pergerakan setiap tahapnya secara umum merupakan pergerakan yang sistematis dan berkelanjutan. Menurut Knapp dan Vangelisti (2005), setiap tahapnya berisikan pondasi untuk tahap berikutnya. Kemajuan secara berkelanjutan ini membuat prediksi perilaku untuk tahap
selanjutnya menjadi lebih mudah, dan melompati sebuah tahap merupakan pertaruhan yang tidak pasti dikarenakan seseorang akan kekurangan informasi yang bisa dipelajari pada tahap yang dilompati.
Tahap-tahap ini lebih baik diilustrasikan sebagai sebuah kontinum.
2. Pergerakan bisa saja maju kedepan. Semua pembentukan hubungan yang tujuannya semakin mengeratkan keintiman adalah pergerekan yang maju.
3. Pergerakan bisa saja mundur. Pergerakan hubungan yang mengurangi keintiman adalah pergerakan mundur.
4. Pergerakan selalu menuju ke „tempat‟ baru. Komunikasi adalah sebuah proses yang irreversible dan tidak dapat diulang. Sifat alami komunikasi adalah berkelanjutan sehingga dapat dikatakan bahwa pertemanan atau pasangan yang tidak akan bisa kembali seperti keadaan sebelumnya.
5. Pergerakan bisa cepat atau lambat. Jika ada interaksi positif setiap hari dengan seseorang yang baru, maka pergerakan hubungan akan menjadi lebih cepat dari pada interaksi yang dilakukan mingguan atau bulanan.
Hubungan akan lebih lambat ketika hanya ada seseorang yang ingin membawa maju hubungan mereka.
6. Adanya ketegangan dialektikal sebagai latar belakang setiap tahap.
Ketegangan dialektikal adalah kekuatan yang berlawanan yang dialami seseorang dalam sebuah hubungan (Pawlowski, 1995). Misalnya autonomy vs connection atau openness vs closedness.
2.2.2 Coming Together Phase
Coming together phase adalah sebuah fase dalam membentuk hubungan yang terdiri dari 5 tahap. Setiap tahap pada fase ini penting untuk dilalui hingga selesai sebelum beranjak ke tahap selanjutnya (Summers, 2016).
Ada pun tahap-tahap tersebut adalah:
1. Initiating
Tahap pertama ini disebut initiating karena merupakan saat pertama kali seseorang melakukan kontak pertama atau memulai sebuah interaksi untuk pertama kalinya (Dunn & Goodnight, 2016). Ketika pertama kali melihat seseorang, kita akan mempertimbangkan streotype yang kita percayai, reputasi mengenai orang tersebut yang kita ketahui, interaksi sebelumnya, dan sebagainya. Kita akan menentukan apa seseorang menarik atau tidak. Kita akan menentukan apakah orang tersebut bisa didekati, misalnya apakah ia sedang buru-buru atau tidak. Akhirnya, kita akan mencari cara yang tepat untuk memulai percakapan (Knapp &
Vangelisti, 2005).
Pada tahap ini seseorang biasanya akan mencoba menunjukkan diri mereka adalah orang yang menarik, penuh pemahaman dan orang yang bergaul. Kita juga akan secara berhati- hati mengobservasi untuk mengurangi ketidakpastian yang ada dengan harapan menemukan klarifikasi mood, ketertarikan, dan
pandangan orang lain terhadap kita serta aspek lainnya dari kepribadian orang lain (Knapp & Vangelisti, 2005).
2. Experimenting
Tahap experimenting adalah tahap saat seseorang berusaha menjadi lebih kenal satu sama lain (Dunn & Goodnight, 2016).
Dalam tahap ini seseorang akan mulai mencoba untuk menemukan hal-hal yang belum diketahui, misalnya informasi tempat tinggal atau kampung halaman, hal-hal yang mereka sukai bersama.
Sejauh mana seseorang berusaha mencari topik yang menarik untuk mereka bicarakan menunjukkan derajat ketertarikan dalam melanjutkan interaksi dan keinginan untuk mengejar hubungan.
Hubungan pada tahap ini biasanya besifat menyenangkan, santai, tidak banyak kritik dan kasual. Komitmen sangat jarang terjadi pada tahap ini (Knapp & Vangelisti, 2005).
Small talk merupakan jenis percakapan yang sering terjadi pada tahap ini. Small talk atau pecakapan basa-basi memiliki beberapa fungsi penting yaitu: 1) proses yang bermanfaat untuk menemukan topik yang sama-sama disukai dan pembukaan untuk memperdalam permbicaraan; 2) sebagai proses penyaringan teman masa depan atau meningkatkan cakupan hubungan saat ini; 3) menyediakan prosedur yang aman untuk menunjukkan diri kita dan bagaimana orang lain mengenali kita (reduction uncertainty); dan
4) membuat kita bisa menjaga rasa komunikasi kepada sesama manusia (Knapp & Vangelisti, 2005).
3. Intensifying
Tahap ini adalah tahap saat seseorang mulai mampu mengekspresikan perasaannya, baik secara verbal dan non-verbal (Dunn & Goodnight, 2016). Untuk memvalidasikan eksistensi dari intensitas di dalam hubungan, seseorang biasanya mencoba meminta bantuan baik secara fisik maupun psikologis. Iajuga mulai nyaman untuk mendiskusikan topik-topik yang pribadi dan mendalam (Knapp & Vangelisti, 2005).
Secara verbal, banyak hal yang terjadi pada tahap ini.
Beberapa hal diantaranya adalah penggunaan nama panggilan informal, penggunaan kata „kita‟, memiliki simbol-simbol yang memiliki arti khusus bagi kedua orang tersebut (jargon, bahasa, tempat, acara dan waktu-waktu tertentu serta barang-barang yang dibeli atau diberi), penggunaan kata-kata yang lebih singkat, pengekspresian komitmen secara langsung, dan salah seseorang akan menjadi pengingat (Knapp & Vangelisti, 2005).
Secara nonverbal, yang terjadi adalah sentuhan-sentuhan sebagai pengganti kata, gaya pakaian menjadi lebih senada, dan personal space sudah bisa ditembus. Semakin intens hubungan
maka keunikan seseorang akan memudar dan mulai menyatu dengan kepribadian pasangannya (Knapp & Vangelisti, 2005).
4. Integrating
Pada tahap ini, hubungan telah mencapai titik saat seseorang merasa kepribadiannya dan pasangannya melebur. Namun, hal tersebut bukan berarti ia secara utuh kehilangan rasa „individual‟.
Ketika seseorang berada pada tahap ini, maka ia akan meminimalkan berbagai aspek dirinya dan berintegrasi dengan orang lain (Knapp & Vangelisti, 2005).
Tahap ini adalah tahap saat orang-orang bisa melihat mereka sebagai pasangan. Mereka akan menggunakan foto satu sama lain, menggunakan pakaian yang mirip (Knapp & Vangelisti, 2005), berlibur bersama, bertemu dengan keluarga masing-masing dan mulai untuk membeli barang bersama (Dunn & Goodnight, 2016).
5. Bonding
Tahap terkakhir pada fase coming together adalah bonding. Tahap ini adalah tahap saat dua orang telah berkomitmen (berpacaran, bertunangan, menikah) dan memamerkan hubungan mereka ke orang-orang sebagai tanda hubungan mereka yang eksklusif (Dunn
& Goodnight, 2016). Tindakan bonding memiliki kekuatan untuk
mengubah sifat alami dari sebuah hubungan. Peresmian ini membuat sebuah hubungan lebih sulit untuk berpisah (Knapp &
Vangelisti, 2005).
Coming together phase memiliki berbagai istilah lain. Clark menyebutnya sebagai relationship initiation (Ömür & Büyükşahin-Sunal, 2015). Sementara itu, di Indonesia hal ini sering disebut sebagai pendekatan atau PDKT. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Kemendikbud, 2016), pendekatan diartikan sebagai proses, cara, perbuatan mendekati dalam rangka hendak berdamai, bersahabat, dan sebagainya. Dalam KBBI tertulis sebagai berikut:
“ pen.de.kat.an (n) proses, cara, perbuatan mendekati (hendak berdamai, bersahabat dan sebagainya)”
Sehingga dari penjabaran diatas, dapat disimpulkan bahwa coming together phase merupakan masa pendekatan yang bertujuan untuk membentuk hubungan menjadi lebih intim dengan melewati lima tahapan proses, yaitu: initiating, experimenting, intensifying, integrating dan bonding.
2.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Hubungan
Terdapat tiga faktor yang mendukung bermulanya sebuah interaksi untuk pertama kali (Weiten & lloyd, 2006):
1. Kedekatan.
Ketertarikan biasanya bergantung pada jarak kedekatan. Seseorang harus berada pada tempat yang sama pada waktu yang bersamaan.
Proximity atau kedekatan dalam konteks geografi, tempat tinggal, dan bentuk lainnya dari dekat secara spasial. Dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang mengenal dan tertarik pada seseorang di tempat mereka tinggal, bekerja, belanja, dan bermain.
2. Familiaritas
Meningkatnya perasaan positif kita terhadap stimulus, dalam hal ini seseorang, yang baru bisa terjadi dilandasi dengan adanya pertemuan secara berkali-kali. Hal tersebut disebut Zajonc (dalam Weiten &
lloyd, 2006) sebagai mere of exposure effect. Dalam terminology tersebut, peningkatan perasaan-perasaan positif terjadi hanya karena berkali-kali melihat atau bertemu dengan orang tersebut, bukan karena adanya interaksi. Ketika seseorang menjadi familiar, kita akan mulai lebih menyukainya dan hal tersebut menyebabkan peningkatan dalam kesempatan untuk membuat percakapan bahkan membentuk sebuah hubungan dengan orang tersebut. Namun, perlu diingat bahwa jika impresi kepada orang tersebut bersifat negatif, maka mere exposure effect ini hanya memperkuat perasaan tidak suka kepadanya (Weiten &
lloyd, 2006).
3. Ketertarikan Fisik
Ketertarikan fisik megambil peran besar dalam memulai hubungan secara tatap muka (Weiten & lloyd, 2006; Peretti dan Abplanalp, 2004). Wanita dan pria sama-sama terpengaruh oleh ketertarikan fisik dalam hal memulai hubungan, baik berkencan maupun pertemanan.
Tubuh yang tidak menarik lebih besar liabilitasnya dari pada wajah yang tidak menarik (Weiten & lloyd, 2006; Alicke, Smit, & Klotz, 1986).
Selain ketiga faktor yang mendukung kontak pertama, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kelanjutan sebuah pertemuan berubah menjadi untuk saling mengenal. Faktor-faktor tersebut adalah (Weiten &
lloyd, 2006):
1. Rasa suka timbal-balik (reciprocal liking)
Rasa suka-timbal baik adalah keadaan ketika seseorang yang kita suka juga menunjukkan bahwa ia menyukai kita. Penelitian Berscheid &
Walster (Weiten & lloyd, 2006) mendemonstrasikan bahwa ketika kita percaya seseorang menyukai kita, maka kita akan menyukainya.
Seseorang biasanya akan kehilangan gairah ketika ditolak oleh orang lain (Weiten & lloyd, 2006; Wright & Contrada, 1986). Sehingga, dapat dikatakan bahwa strategi „jual-mahal tidak berlaku dan harus dihindari (Weiten & lloyd, 2006).
2. Kemiripan
Menurut model dua tahap yang dikemukakan Donn Byrne (Weiten &
lloyd, 2006), orang akan menjauhi orang-orang yang tidak mirip dengannya pada tahap pertama, kemudian memilih orang yang paling mirip dengannya di tahap kedua. Orang-orang dengan kepribadian yang mirip akan lebih tertarik antara satu sama lain daripada dengan orang yang berbeda dengan mereka (Weiten & lloyd, 2006; Berscheid
& Reis, 1998). Untuk hubungan jangka panjang, konsep kemiripan menjadi sebuah aturan. Caspi dan Herbener (Weiten & lloyd, 2006) menemukan bahwa pasangan yang menikah dengan seseorang yang mirip akan lebih bahagia.
3. Karakteristik Kepribadian yang Diinginkan
Karakteristik kepribadian yang diinginkan baik oleh pria dan wanita untuk mereka nikahi adalah jujur dan dapat dipercaya, baik hati dan penuh kasih (Weiten & lloyd, 2006; Regan, & Berscheid, 1997).
Sementara, karakteristik pasangan romantis adalah hangat, ramah, memiliki selera humor yang baik dan asertif secara sosial (Weiten &
lloyd, 2006; Regan, 2003; Hatfield & Rapson, 1993).
2.2.4. Peran Gender dalam Pembentukan Hubungan.
Perbedaan gender menjadi suatu sumber yang penting dalam ekspektasi peran. Dalam pandangan yang beredar di masyarakat, wanita seharusnya besar perannya dalam membentuk hubungan. Clark dan koleganya (Ömür
& Büyükşahin-Sunal, 2015) menemukan bahwa laki-laki lebih aktif dan menggunakan strategi langsung dalam membentuk hubungan sementara perempuan lebih pasif dan menggunakan strategi tidak langsung. Ömür dan Büyükşahin-Sunal, (2015) juga mengakui bahwa dalam banyak kelompok masyarakat, laki-laki memainkan peran besar dalam memulai sebuah hubungan. Masyarakat juga lebih mundukung untuk wanita menggunakan taktik jual mahal dalam membentuk hubungan.
Kini, pandangan tersebut dibantahkan oleh berbagai penelitian.
Penelitian menunjukkan bahwa jual-mahal hanya akan menurunkan rasa suka orang yang sedang mendekati orang lain. Saat ini pun, wanita sudah mulai berani untuk mengambil peran dalam memulai hubungan. Mongeau, Hale, Johnson, and Hillis (Shumaker, 2010) menemukan bahwa 90%
wanita mengajak kencan pria dan bahkan 83% diantaranya adalah kencan pertama. Wilkins dan Gareis (dalam Harrison & Shortall, 2011 ) juga menemukan bahwa lebih banyak wanita yang mengatakan „I Love You‟
dari pada pria.
2.3. Dewasa Awal
2.3.1. Definisi Dewasa Awal
Menggunakan definisi sosiologis, seseorang dianggap dewasa ketika mereka mampu menyokong diri sendiri atau telah memiliki karir, menikah atau memiliki pasangan romantis atau bahkan membentuk keluarga.
Menurut Hurlock, masa dewasa terbagi atas dua tahap, yaitu dewasa awal dan masa dewasa madya. Harlock mendefinisikan masa dewasa awal berada pada rentang umur 18 hingga 40 tahun (Gupta, Sahay, & Sharma, 2016). Menurut Santrock, dewasa awal adalah periode perkembangan yang dimulai dari umur 20-an sampai 30-an. Sementara, Papalia, Olds dan Feldman (2007) menggunakan istilah dewasa muda untuk menjelaskan periode perkembangan yang dimulai dari 20 hingga 40 tahun.
Secara perkembangan fisik, periode masa dewasa awal ini ditandai dengan kondisi fisik yang berada dipuncak perkembangan dan kemudian perlahan menurun, serta kesehatan yang sangat dipengaruhi oleh gaya hidup. Dari segi perkembangan kognitif, masa dewasa awal ini ditandai oleh berkembangnya kemampuan untuk menilai secara moral dan pemikiran yang lebih kompleks, serta telah membuat keputusan pendidikan dan pekerjaan. Kemudian, dari segi perkembangan psikososial, gaya dan ciri kepribadian menjadi relatif lebih stabil, tetapi perubahan dalam kepribadian bisa terjadi karena dipengaruhi oleh tahap dan kejadian dalam kehidupan. Selanjutnya, pada masa dewasa awal juga ditandai dengan membuat keputusan mengenai hubungan intim dan gaya hidup pribadi dan kebanyakan dari mereka menikah dan menjadi orang tua (Papalia, Olds, & Feldman, 2007).
Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa masa dewasa awal adalah sebuah periode perkembangan yang bermula pada umur 18-20 tahun dan berakhir di usia 40 tahun yang ditandai dengan kondisi fisik yang berada di puncak dan menurun perlahan, pemikiran yang lebih kompleks, pendidikan yang berfokus untuk mempersiapkan karir, memulai karir sehingga dapat mandiri secara ekonomi serta membangun hubungan yang intim, menikah dan memiliki anak.
2.3.2. Tugas Perkembangan
Masa dewasa awal adalah masa bagi seseorang untuk mulai mandiri secara ekonomi, memulai karir, mencari pasangan, dan mulai belajar untuk hidup bersama pasangan dalam hubungan intim, seperti membangun keluarga dan membesarkan anak (Santrock, 2014). Havighurst (Gines, C. A;
Dizon, P. B; Obias, Peter H. R; Uriarte, G. G; Furtunato, G, V, Jr, 1998) menjelaskan bahwa pada masa dewasa awal tugas perkembangan mereka adalah memulai pekerjaan, memilih pasangan, belajar hidup dengan pasangan, membangun keluarga, mengatur rumah, memiliki tanggung jawab sipil, dan mencari kelompok sosial yang cocok.
Membentuk sebuah hubungan menjadi suatu tugas perkembangan yang penting di masa dewasa awal. Erikson (Papalia, Olds, & Feldman, 2007) mengatakan bahwa pada masa dewasa awal, seseorang akan mengisolasi diri dan mengalami self-absorption, jika mereka tidak mampu membuat komitmen dengan orang lain. Konflik ini berada di dalam tahap ke-6 dari tahapan psikososial yang dikemukan Erikson, yaitu intimacy vs isolation. Erikson menganggap seseorang telah dewasa jika mereka mampu menyelesaikan konflik kebutuhan antara intimasi, kompetisi dan jarak sehingga mereka pada akhirnya mengembangkan ethical sense (Papalia, Olds, & Feldman, 2007).
2.4. Dinamika Pembentukan Hubungan Romantis ditinjau dari Relational Development Model
Memiliki pasangan dan menjalin hubungan intim adalah suatu kebutuhan bagi seorang manusia dewasa awal. Pemenuhan kebutuhan ini menjadi sangat penting, karena apabila gagal menjalin hubungan intim, maka menurut Erickson (Santrock, 2014), seseorang akan merasa terisolasi. Hal ini bisa dijelaskan karena dengan memiliki hubungan intim akan menghasilkan sebuah perasaan “we-ness” atau
“kita” di antara dua orang (Varderber & Varderber, 1995) sehingga seseorang tidak merasa sendiri.
Hubungan dikatakan intim ketika seseorang mampu membagikan perasaan terdalamnya kepada orang lain. Namun, hal ini tidak langsung terjadi begitu saja.
Sebuah hubungan terbentuk melalui proses. Mark L. Knapp dan Angelina . Vangelisti menjelaskan proses tersebut dalam model relational development.
Knapp dan Vangelisti mengemukakan bahwa sebuah hubungan bisa berkembang dan bubar melalui 10 tahap yang dibagi menjadi dua fase. Fase pertama adalah coming together phase, dan fase kedua adalah coming apart phase (Knapp &
Vangelisti, 2005). Coming together phase adalah fase yang terdiri dari 5 tahap pembentukan sebuah hubungan. Fase ini lebih dikenal sebagai fase PDKT atau pendekatan di Indonesia.
Tahap pertama pada fase ini disebut initiating karena merupakan saat pertama kali seseorang melakukan kontak pertama atau memulai sebuah interaksi untuk pertama kalinya dengan orang lain. Pada tahap ini kita akan menilai seseorang dan menentukan apakah ia cukup menarik untuk memulai sebuah
percakapan berdasarkan nilai-nilai yang kita punya. Tahap kedua, experimenting, adalah tahap saat dua orang menjadi lebih kenal satu sama lain dengan mulai mencoba untuk menemukan hal-hal yang belum diketahui melalui small talk atau percakapan basa-basi. Tahap ketiga, intensifying adalah tahap saat dua orang mulai mengekspresikan perasaan masing-masing baik secara verbal dan non- verbal. Pada tahap integrating, dua orang seolah sudah melebur menjadi satu.
Orang-orang akan menganggap mereka sebagai pasangan dalam satu paket, mulai menggunakan identitas satu sama lain. Terakhir, bonding, tahap ketika seseorang meresmikan hubungannya dan memamerkannya kepada orang lain (Knapp &
Vangelisti, 2005),
Idealnya, pendekatan bisa dimulai oleh siapa saja, baik dia seorang wanita atau seorang pria. Namun, kenyataannya, ada peran peran gender yang beredar di masyarakat yang menimbulkan berbagai streotype. Pria lebih diharapkan untuk memulai sebuah hubungan. Banyak penelitian yang menemukan bahwa pria lebih sering terlibat dalam berbagai akrivitas memulai hubungan, menyatakan perasaan, dan menggunakan direct strategy dalam membentuk hubungan (Sprecher, Regan,
& Orburch, 2016; Ackerman, Griskevicius, & Li, 2011, Clark, et. al.; Ömür &
Büyükşahin-Sunal, 2015). Sementara wanita dituntut untuk lebih pasif (Clark et.
al; Ömür & Büyükşahin-Sunal, 2015) dan menggunakan strategi jual-mahal untuk menarik perhatian pasangannya (Jonasan & Li, (2013), Dai, Dong, & Jia, (2013)).
Taktik ini merupakan taktik mendapatkan pasangan yang mengharuskan seseorang berpura-pura memberikan kesan kepada orang lain bahwa ia tidak
tertarik pada orang tersebut dalam rangka membuat orang tersebut lebih tertarik (Jonason & Li, 2013).
Namun, ternyata banyak wanita yang mulai mengabaikan pandangan tersebut. Pada penelitian Mongeau, Hale, Johnson, and Hillis (Shumaker, 2010) terbukti bahwa 90% wanita mengajak kencan pria dan bahkan 83% diantaranya adalah kencan pertama. Hal ini sesungguhnya adalah hal yang baik karena telah terbukti bahwa strategi jual-mahal sesungguhnya bukan strategi yang efektif untuk meningkatkan status hubungan (Walster & Walster, 1971). Sayangnya, masih banyak pro-kontra yang menyikapi hal tersebut. Ömür dan Büyükşahin-Sunal, (2015) menemukan bahwa dukungan pria kepada wanita yang melakukan strategi pendekatan secara langsung lebih besar dari pada dukungan sesama wanita, tetapi pria tersebut memiliki kecemasan dalam hubungan dari pada pria yang mendukung wanita konservatif.
Wanita yang mengabaikan stereotip tersebut dianggap melanggar ekspektasi peran. Hal ini berdampak pada cara menginterpretasikan perilaku tersebut sebagai perilaku positif atau negatif dan cara seseorang menghargai pasangannya (Guerrero, Andersen, & Afifi, 2017). Perilaku yang sama, jika dilakukan oleh pria bisa dianggap sebagai perilaku „ambisius‟ dan „go-getting‟, sementara pada wanita dianggap memaksa dan agresif (Myers & Myers, 1992).
Meski beberapa pria menyambut positif perilaku wanita yang memulai pendekatan, tetapi pria menjadi memiliki ekspektasi seksual yang lebih tinggi kepada wanita tersebut dan kencan mereka minim intimasi (Mongeau & Carey, 2006).
2.5. Kerangka Berpikir
Gambar 1.
Dampaknya wanita mendapat label negatif
Pria Wanita
Dewasa Awal
Bonding Initiation Experimenting
Intensifying Integration
Hubungan Romantis terbentuk
Memulai pendekatan
Menunggu di dekati Memiliki kebutuhan untuk
membentuk hubungan intim
Proses Pembentukan Hubungan berdasarkan Relational Development Model
Terdapat peran gender
Yang terjadi secara umum Yang terjadi pada sebagian
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. PENELITAN KUALITATIF
Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif. Menurut Creswell, (2012) penelitian kualitatif adalah metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Ada pun jenis penelitian kualitatif yang digunakan adalah studi kasus interinsik. Studi kasus adalah sebuah penelitian kualitatif yang bertujuan untuk memehami latar belakang suatu persoalan atau interaksi individu di dalam suatu unit sosial atau kelompok secara mendalam, utuh, holistic, intensif dan alami (Yusuf, 2014).
Sementara studi kasus interinsik menurut Poerwandari (2009) adalah penelitian yang dilakukan karena ketertarikan untuk memahami suatu kasus tanpa dimaksudkan untuk menghasilkan konsep/teori dan generalisasi. Yusuf (2014) menyebutkan bahwa penelitian ini biasanya ditujukan untuk meneliti kasus-kasus biasa seperti sifat, karakteristik atau masalah individu. Penggunaan penelitian jenis bertujuan agar penelitian ini mampu menggambarkan pembentukan hubungan romantis yang sifatnya subjektif secara lebih dalam. Varderber dan Varderber (1995) menyatakan bahwa meski para ilmuwan setuju bahwa hubungan terbentuk dengan melewati tahap-tahap tertentu tetapi tidak ada hubungan yang berkembang dengan cara yang persis sama.
3.2. SUBJEK PENELITIAN
Poerwandari (2009) mengungkapkan bahwa penelitian kualitatif memiliki fokus pada kedalaman dan proses, sehingga penelitian kualitatif cenderung dilakukan dengan jumlah kasus sedikit. Berdasarkan tujuan penelitian dan uraian diatas, jumlah subjek penelitian ini adalah tiga orang. Hal tersebut juga tidak luput dari keterbatasan kemampuan peneliti sendiri. Ada pun karakteristik dari subjek penelitian ini adalah:
1. Wanita dan pria berusia 21-30 tahun 2. Sudah memiliki hubungan romantis.
3.3. TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah pengambilan sampel berfokus pada intensitas. Pengambilan sampel berfokus pada intensitas berguna untuk memproleh data yang kaya mengenai suatu fenomena yang diinginkan. Pada teknik pengambilan sampel ini, sampel yang digunakan adalah kasus-kasus yang diperkirakan mewakili fenomena secara intens (Poerwandari, 2009).
3.4. METODE PENGAMBILAN DATA
Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara.
Banister, dkk (dalam Poerwandari, 2009) mengungkapkan wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Wawancara kualitatif menurutnya dilakukan apabila peneliti bermaksud untuk memperoleh tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan
dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan dengan pendekatan lain.
Adapun jenis wawancara yang dilakukan adalah wawancara dengan pedoman umum. Wawancara dengan pedoman umum maksudnya adalah proses wawancara yang penelitinya dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum.
Pedoman tersebut mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin saja tanpa bentuk pertanyaan eksplisit.
Pedoman tersebut berfungsi hanya untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek yang harus dibahas sekaligus menjadi daftar checklist apakah aspek yang relevan tersebut telah dibicarakan (Patton dalam Poerwandari, 2009).
3.5. LOKASI PENELITIAN
Penelitian mengenai pembentukan hubungan romantis ditinjau dari Relational Development Model pada wanita yang memulai pendekatan ini di lakukan di Kota Medan. Pemilihan lokasi ini semata-mata mempertimbangkan keterbatasan penulis dalam menjangkau lokasi sumber data.
3.6. INSTRUMEN PENELITIAN 3.6.1. Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara yang peneliti buat bersifat umum. Pedoman tersebut mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin saja tanpa bentuk pertanyaan eksplisit.
Pedoman tersebut berfungsi hanya untuk mengingatkan peneliti mengenai
aspek yang harus dibahas sekaligus menjadi daftar checklist apakah aspek yang relevan tersebut telah dibicarakan (Patton dalam Poerwandari, 2009).
3.6.2. Alat Perekam Suara
Alat perekam suara digunakan untuk mereka seluruh percakapan selama proses pengambil data dilakukan. Alat ini berfungsi membantu penulis dalam mendokumentasikan hasil pembicaraan yang akan di analisis.
Penggunaan alat perekam suara digunakan dengan izin dari subjek penelitian.
3.7. ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA
Analisis data dilakukan dengan cara mengkoding seluruh verbatim yang ada. Koding bertujuan untuk mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan detail sehingga memunculkan gambaran tentang topik sehingga penulis dapat menemukan makna dari data yang telah dikumpulkan (Poerwandari, 2009). Kemudian, interpretasi data dilakukan untuk memahami data secara lebih ekstensif dan mendalam. Proses yang dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah metodis dan teoritis serta memasukkan data ke dalam konteks konseptual yang telah ditetapkan (Poerwandari, 2009).
3.8. PROSES PENELITIAN 3.8.1. Persiapan Penelitian
Tahap ini peneliti melakukan pre-eliminary research untuk mencari permasalahan yang cukup menarik untuk diteliti. Setelah merumuskan masalah, kemudian peneliti mencari berbagai literatur untuk menjadi referensi peneliti memulai penelitian. Peneliti juga mempersiapkan segala alat, bahan dan instrument penelitian seperti alat perekam dan pedoman wawancara.
3.8.2. Pelaksanaan Penelitian
Tahap pelaksanaan penelitian terdiri dari proses pengambil data, dan pemindahan data dalam bentuk transkrip verbatim, melakukan koding, analisis dan analisa tematik. Setelah itu, tahap penulisan laporan yang terdiri dari hasil serta pembahasan. Lalu, akhirnya menarik kesimpulan dan memberikan saran.