• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Latar Belakang

Saat ini pembelian impulsif mulai banyak terjadi di Indonesia. Hal ini di dukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Nielsen tentang trend pebelanja di Indonesia (Post Industrial, 2011). Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut selama Desember 2010 sampai Januari 2011 yang menunjukkan bahwa pebelanja di kota-kota besar Indonesia semakin impulsif dalam melakukan pembelian. Kondisi tersebut dibuktikan dengan peningkatan sebesar dua kali lipat sejak tahun 2003 pembeli yang mengaku tidak pernah membuat rencana belanja saat melakukan proses berbelanja (Post Industrial, 2011).

Perilaku berbelanja yang terjadi secara tidak terencanayang dilakukan tanpa melakukan pertimbangan dan tidak berdasarkan pada penilaian atau evaluasi tertentu terhadap produk atau manfaat dari produk yang dibeli disebut sebagai pembelian impulsif (impulsive buying) (Rook, 1987).Pembelian impulsif terjadi ketika orang mengalami dorongan secara tiba-tiba, bersifat powerful, terjadi terus menurus sehingga menimbulkan keinginan untuk melakukan pembelian dan sulit untuk menolak dorongan yang muncul tersebut (Solomon, 1994; Arnould, Price dan Zinkhan, 2002; Rook, 1987).Pembelian impulsif juga dapat dikatakan sebagai pembelian yang cepat dan tidak terencana (Verplanken dan Herabadi, 2001).

Pembelian impulsif dapat saja terjadi pada rentang usia berapa pun tanpa terkecuali remaja. Beberapa penelitian mengenai hubungan antara usia dan kecenderungan pembelian impulsif telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Wood (dalam Ghani, Imran, dan Jan, 2011) menemukan bahwa kecenderungan pembelian impulsif meningkat pada usia antara 18-39 tahun dan akan menurun setelah melewati usia 39 tahun. Rawling, Boldero dan Wiseman (dalam Ghani, Imran dan Jan, 2011) menemukan orang-orang muda cenderung lebih impulsif dibandingkan mereka yang lebih tua.

Di Indonesia, beberapa peneliti menemukan bahwa remaja di Indonesia kini cenderung melakukan pembelian secara impulsif. Hal ini di buktikan oleh salah satu survey yang dilakukan oleh Deteksi Jawa Post menemukan bahwa 20,9 % dari 1.071 responden yang berdomisili di Surabaya dan Jakarta mengaku pernah menggunakan uang sppnya untuk membeli barang yang tidak mereka butuhkan ( Jawa Post dalam Sitohang, 2009). Selain itu, penelitian yang pernah dilakukan oleh Sitohang di Semarang menunjukan hasil bahwa konformitas teman sebaya merupakan faktor pemicu terjadinya kecenderungan pembelian impulsif pada remaja

di kota Semarang (Sitohang, 2009) Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju

masa dewasa, pada masa ini remaja mengalami perkembangan yang cukup pesat baik secara fisik, psikologis dan sosial (Santrock, 2003). Akan tetapi, remaja mengalami emosi yang kurang stabil, dimana dalam masa ini remaja cenderung berpikir secara abstrak dan tergesa-gesa (Santrock,

2003).Sifat remaja yang cenderung berpikir abstarak dan tergesa-gesa tersebut membuat remaja mudah terpengaruh oleh rayuan penjual, mudah terbujuk iklan, kurang berpikir hemat, kurang realistis dan cenderung impulsif (Johnestone, dalam Sitohang, 2009).Hal ini mengakibatkan remaja menjadi sasaran yang dicari para produsen.Selain itu, pada masa remaja peran teman sebaya sungguh sangat kuat.Hal ini membuat remaja cenderung melakukan pembelian secara impulsif untuk mendapatkan penerimaan dari lingkungan sosialnya (Rook dan Fisher, 1995). Penelitian yang pernah dilakukan oleh Ratner dan Khan (dalam Setiawati, 2004) menunjukan bahwa konsumen remaja membeli suatu produk bukan berdasarkan kebutuhan tapi karena adanya pendapat dari orang lain yang dirasa penting bagi remaja.

Pembelian impulsif pada remaja dapat memberikan konsekuensi yang negatif. Konsekuensi yang dapat dialami remaja antara lain, kesulitan keuangan, mengalami kekecewaan terhadap barang yang sudah dibeli dan kurang mendapatkan persetujuan mengenai barang yang dibeli dari orang-orang yang berada pada lingkungan remaja, seperti teman dan keluarga (Rook, 1987). Neufeldt (dalam Zebua dan Nurdjayadi, 2001) menyatakan bahwa kecenderungan pembelian impulsif mengambarkan suatu tindakan yang irasional sehingga secara ekonomis dapat menimbulkan pemborosan dan ketidakefisianan biaya serta secara psikologis dapat menimbulkan kecenderungan rasa cemas dan tidak aman.

Pembelian impulsif dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor dalam diri individu dan faktor diluar diri individu. Beberapa penelitian sudah pernah dilakukan terkait faktor dalam diri individu Faktor dalam diri individu terdiri dari kepribadian seseorang (Karbasivar dan Yarahmadi, 2011; Shahjehan et.al, 2012;Verplanken dan Herabadi, 2001; Verplanken dan Sato, 2011), usia (Wood, 1998; Ghani, Imran, dan Jan, 2011; Lin, 2005), gender (Gasiorowska, 2011; Lin & Chuang, 2005), kontrol diri (Utami dan Sumaryono, 2008; Baumeister, 2002), dan mood (Verplanken dan Herabadi, 2001).

Faktor eskternal adalah perubahan dari lingkungan luar yang memperngaruhi keputusan konsumen unutk membeli suatu barang (Amirullah, 2002). Menurut penelitian yang pernah dilakukan oleh Rahmawan, Kumadji dan Kusumawati (2001) menunjukan bahwa lingkungan toko merupakan faktor yang dapat memicu terjadinya pembelian impulsif pada konsumen di Malang. Selain itu, konformitas teman sebaya juga merupakan faktor eksternal yang dapat memicu terjadinya perilaku pembelian impulsif. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan di Marretha (2013) dan Sitohang (2009). Keluarga juga merupakan faktor eksternal yang dapat memicu terjadinya pembelian impulsif pada remaja. Menurut penelitian yang pernah dilakukan oleh Copeland (dalam Yang, Kim, Laroche dan Lee, 2014) menunjukan bahwa remaja yang melakukan pembelian secara impulsif membutuhkan lebih banyak arahan seperti masukan dari orang tua mereka.

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami, istri dan anak. Keluarga merupakan salah satu faktor membetuk perilaku pada remaja (Santrock, 2011). Para remaja cenderung mengidentifikasi perilaku orang tua mereka sebelum mengidentifikasi perilaku orang lain (Santrock, 2011). Salah satu bentuk pengaruh keluarga dalam pembentukan perilaku seseorang adalah melalui gaya pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua. Pola asuh orang tua dipengaruhi oleh pola komunikasi yang dibangun dalam rangka meningkatkan hubungan diantara anggota keluarga (Bahri, 2004).Melihat keluarga memiliki pengaruh dalam membentuk perilaku angota keluarganya, maka keluarga juga dapat membentuk anak sebagai seorang konsumen (Mangkunegara, 1988).

Komunikasi keluarga adalah interaksi yang dikembangkan dari waktu ke waktu oleh sekelompok orang terkait yang berbagi ruang hidup yang umum (Zeushner, 1992). Menurut Galvin, Bylund, dan Brommel (2004) komunikasi keluarga dapat dilihat sebagai proses berbagi dalam keluarga, dimana masing-masing anggota memiliki peran yang dikembangkan melalui diskusi, berdialog, dan bernegosiasi antar anggota keluarga. Selain itu, komunikasi dalam keluarga biasanya berbentuk komunikasi antar personal atau komunikasi langsung (face to

facecommunication) dimana tiap peserta komunikasi dapat beralih fungsi,

baik sebagai komunikator atau komunikan (Febriytanti, Karimah, dan Aristi, 2014).

Pola komunikasi keluarga pertama kali diusulkan oleh Mcleod dan Chafee (dalam Noller dan Fitzpatrick, 1993; Osredkar Priscilla, 2012; Prasitthipab, 2008).Mereka menemukan bahwa pada pola komunikasi keluarga memiliki dua dimensi yaitu orientasi sosial (socio orientation) dan orientasi konsep (concept orientation).Lalu beberapa dekade berikutnya Fitzpatrick dan Ritchie (1990) melakukan penelitian mengenai hal serupa dan memberi label ulang pada kedua dimensi yang dibuat oleh McLeod dan Chaffee.Fitzpatrick dan Ritchie (1990) menggunakan istilah

conformity orientation sebagai socio orientation dan conversation orientation sebagai concept orientation.

Conformity orientation (orientasi kepatuhan)merupakan jenis

komunikasi yang dirancang untuk menghasilkan rasa hormat dan membina hubungan sosial yang harmonis yang menyenangkan dirumah (Moschis, 1985).Orientasi kepatuhan ini merujuk pada pembentukan suasana yang menghasilkan kepercayaan yang homogen yang berkaitan dengan sikap nilai dan keyakinan yang ditandai dengan keseragaman empati (Korner dan Fitzpatrick, 2002). Interaksi pada orientasi kepatuhan menekankan pada kepatuhan terhadap orang tua, menghindari konflik dan saling bergantung dengan angggota keluarga(Korner dan Fitzpatrick, 2002). Keluarga dengan orientasi kepatuhan yang tinggi menciptakan anggota keluarga yang cenderung memaksimalkan waktunya untuk berkumpul bersama keluarganya sedangkan keluarga dengan orientasi kepatuhan yang rendah lebih senang mengembangkan dirinya dengan lingkungan diluar

rumah dan lebih percaya bahwa kemandirian, nilai dan kepentingan merupakan urusan masing-masing individu (Korner dan Fitzpatrick, 2002).

Conversation orientation (orientasi percakapan) berfokus pada

sejauh mana keluarga menciptakan iklim yang mampu mendorong seluruh anggota keluarga untuk berpartisipasi dan berinteraksi dalam membahas berbagai topik dalam keluarga (Korner dan Fitzpatrick, 2002). Pada orientasi ini, seluruh anggota keluarga bebas, spontan dan sering berinteraksi satu sama lain, menghabiskan banyak waktu untuk saling berinteraksi membahas berbagai topik mengenai kegiatan yang dilakukan sehari-hari, pikiran dan perasaan (Korner dan Fitzpatrick, 2002). Pada orientasi percakapan, tindakan atau kegiatan yang akan direncanakan oleh keluarga akan dibahas oleh seluruh anggota keluarga dan keputusan dibuat bersama-sama oleh seluruh anggota keluarga. Keluarga dengan orientasi percakapan yang tinggi percaya bahwa komunikasi yang terbuka dan sering sangat penting untuk kehidupan keluarga yang menyenangkan, serta memiliki manfaat bagi remaja karena dapat mendidikan dan mengajarkan anak cara bersosialisasi (Korner dan Fitzpatrick, 2002). Keluarga dengan orientasi percakapan yang rendah cenderung jarang melakukan interaksi, sedikit terjadi pertukaran pemikiran, perasaan dan kegiatan.Keluarga dengan orientasi percakapan yang rendah juga percaya bahwa komunikasi terbuka tidak diperlukan untuk mendidik anak dalam bersosialisasi (Korner dan Fitzpatrick, 2002).

Komunikasi yang efektif dalam sebuah keluarga merupakan hal yang penting bagi seluruh anggota keluarga untuk berhasil dalam menghadapi perubahan yang terjadi pada keluarga tersebut. Bila komunikasi orang tua dan anak lemah, maka anak akan mengembangkan lingkungan yang negatif dirumah (Koerner danFitzpatrick, 2002; Fitzpatrick,dalam Prasitthipab, 2008).

Pola komunikasi memiliki pengaruh juga terhadap perilaku konsumen remaja. Pengaruh langsung dari pola komunikasi melibatkan kemampuan untuk mendapatkan informasi konsumsi yang nantinya membentuk keyakinan, norma dan perilaku (menurut Moschis dan Moore dalam Carlson, Grossbartr dan Walsh, 1990). Pola komunikasi memiliki peran untuk memberikan informasi mengenai produk yang hendak dibeli remaja (Moschis dan Moore dalam Carlson, Grossbartr dan Walsh, 1990).Selain itu, melalui komunikasi keluarga, orang tua berproses untuk memberikan keterampilan dan pengetahuan tentang pasar kepada anak-anak mereka (Carlson, Grossbart, dan Stuenkel, 1992). Hal ini didukung penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Moschis, dkk (1986) yang menunjukan hasil bahwa pola komunikasi keluarga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku pembelian pada remaja, dimana melalui komunikasi anak akan memperoleh informasi yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan sebelum melakukan proses membeli.

Pada pola komunikasi keluarga terdapat dua dimensi yaitu orientasi kepatuhan dan orientasi percakapan. Kedua dimensi ini masing-masing juga memiliki dampak bagi para remaja Keluarga yang memiliki dimensi kepatuhan yang tinggi akan memiliki kontrol diri yang baik karena terdapat otoritas dari orang tua. Menurut Grolnick et al. (dalam Smith, 2008), kontrol orangtua lebih ditunjukkan ketika orang tua menekan anak-anak mereka dengan upaya memecahkan masalah anak-anak-anak-anak mereka yang mana dapat ditemukan pada keluarga yang memiliki orientasi kepatuhan yang tinggi. Remaja dengan orientasi kepatuhan yang tinggi juga akan memiliki relasi yang baik dan mampu menghindari konflik (Korner dan Fitzpatrick, 2002). Hal ini dikarenakan dalam keluarga anak dibiasakan untuk tidak adu argumen dengan orang tua (Korner dan Fitzpatrick, 2002).Remaja yang memiliki kontrol diri yang baik mampu mengendalikan dirinya dengan baik, sehinga anak mampu terhindar dari kecenderungan pembelian impulsif.

Apabila orientasi kepatuhan dalam keluarga rendah dapat menyebabkan anak memiliki kontrol diri yang lemah, cenderung berpikir bebas dan kurang mampu menjaga relasi.Hal ini dikarenakan anak lebih nyaman berada di lingkungan luar rumah, selain itu anak percaya bahwa pertumbuhan masing-masing individu penting untuk dilakukan meskipun dapat menyebabkan kerusakan dan kerapuhan pada keluarga (Korner dan Fitzpatrick, 2002).Kontrol diri yang rendah pada remaja menyebabkan

remaja cenderung mudah tertarik pada penawaran produk sehingga menyebabkan remaja cenderung melakukan pembelian impulsif.

Keluarga yang memiliki orientasi percakapan yang tinggi sering menghabiskan sebagian waktu untuk berdiskusi satu sama lain untuk mencapai sebuah keputusan (Korner dan Fitzpatrick, 2002). Anak-anak cenderung di dorong untuk berkomunikasi secara terbuka, bertukar ide dan menikmati berbagai nilai-nilai sehingga nantinya akan terbentuk remaja yang terbuka dengan pendapat dan mampu menciptakan hubungan yang harmonis (Korner dan Fitzpatrick dalam Prasitthipab, 2008).Keterbukaan yang diperolah dari keluarga membuat remaja sering melakukan diskusi mengenai pasar konsumen yang nantinya dapat digunakan remaja sebagai pertimbangan sebelum melakukan pebelanjaan.

Berbeda dengan keluarga yang memiliki orientasi percakapan yang rendah, keluarga sangat jarang bahkan tidak pernah meluangkan waktunya untuk berdiskusi (Korner dan Fitzpatrick, 2002). Keluarga dengan orientasi tersebut sangat memungkinan membentuk remaja yang sangat mudah terkena bujukan atau rayuan dari orang lain diluar keluarganya dan sangat rentan dengan terjadinya miss komunikasi. Hal ini dikarenakan dalam keluarga tidak dibiasakan untuk berinteraksi dalam keluarga yang menyebabkan anak tidak mampu untuk mempertahankan argumennya sehingga anak cenderung mudah dipengaruhi oleh kelompok sosial di luar keluarga (Koerner dan Fitzpatrick, 2002).Remaja dengan orientasi

percakapan sangat mudah dipengaruhi penawaran produk yang dapat memicu terjadinya perilaku pembelian impulsif.

Berdasarkan hal tersebut, maka peran orang tua dalam menyampaikan informasi melalui komunikasi merupakan hal yang penting.Melalui komunikasi para orang tua mengajarkan remaja untuk menjadi konsumen yang bertanggung jawab. Hal yang dapat dilakukan para orang tua untuk menjadikan anak mereka konsumen yang bertanggung jawab dengan mengajarkan anak mereka untuk memperhitungkan dengan matang sebelum membuat keputusan membeli, melakukan penelitian sebelum melakukan pembelian, belajar untuk mengontrol dorongan untuk berbelanja diluar dari anggaran atau perencanaan dan belajar untuk mengalahkan dorongan untuk berperilaku impulsif (Lermitte dan Merritt, dalam Setiawati, dkk, 2004).

Penelitian lain yang dilakukan oleh Copeland dalam Yang, Kim, Laroche dan Lee (2014) tentang hubungan antaraimpulsifremajadan interaksiorangtua, menemukan bahwaremajaimpulsifmembutuhkan lebih banyak arahan seperti masukan dari orang tua mereka. Hal ini menunjukkan bahwaterdapat hubunganyang mungkin antaraimpulsifdan kurangnyabimbingan orangtua (Yang, Kim, Laroche dan Lee, 2014). Selain itu, penelitian lain yang dilakukan oleh Moschis (1985) mengungkapkan bahwa melalui komunikasi yang terjadi antara anak dan orang tua, orang tua mampu mengajarkan anak untuk lebih mempertimbangkan dalam membuat keputusan membeli dan mengatur

keuangan anak mereka sehingga dapat mengurangi terjadinya perilaku pembelian impulsif.

Penelitian ini menarik untuk diteliti karena masih sangat jarang penelitian yang menghubungkan pola komunikasi keluarga dengan kecenderungan pembelian impulsif pada remaja di Indonesia.Selain itu, melihat bahwa keluarga memiliki peran dalam membentuk perilaku anak, maka keluarga juga berperan dalam membentuk anak sebagai seorang konsumen yang bijaksana dengan menerapkan pola komunikasi yang baik. B. Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan antara dimensi pola komunikasi keluarga dengan kecenderungan pembelian impulsif pada remaja?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara dimensi pola komunikasi keluarga dengan kecenderungan pembelian impulsif.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan disiplin ilmu psikologi, khususnya untuk Psikologi Perkembangan, Psikologi Komunikasi dan Psikologi Konsumen mengenai kecenderungan pembelian impulsif dan dimensi pola komunikasi yang terjadi dalam keluarga.

2. Manfaat Praktis

Informasi yang diperolah dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi remaja dan orang tua untuk mengetahui pola komunikasi yang terjadi dalam keluarga dan kecenderungan pembelian impulsif remaja. Hasil penelitian juga dapat dijadikan sebagai sumber evaluasi diri bagi para remaja dan orang tua.

14

Dokumen terkait