• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

Kecamatan Bengkalis

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

Dalam sebuah tulisannya didalam jurnal Ilmu-Ilmu Sosial Nomor : 1 PAU-UI Jakarta, Siswono Judohusodo (1999; 1) mengatakan bahwa jumlah penduduk kota di negara-negara sedang berkembang pada tahun 2000 diperkirakan menjadi lebih dari 5 kali lipat dari keadaan tahun 1920. Perkiraan lain pada tahun 2000, jumlah penduduk negara-negara sedang berkembang julahnya lebih besar 2 ½ kali lipat dari jumlah penduduk tahun 1960, lebih tinggi daripada pertumbuhan total penduduk dunia pada periode yang sama, yaitu sebesar 2 kali dan jauh lebih tinggi dari pertambahan penduduk di negara maju yang hanya meningkat kurang dari 1 kali.

Kepadatan penduduk di dunia tidak lagi dapat dielakkan, dimana pertambahan manusia per detik, per hari dan per tahunnya

tergambar dengan angka-angka 3 orang perdetik, 250.000 per hari, 96 juta pertahun yang berarti pertambahan penduduk dalam 10 tahun akan mencapai 1 milyar orang, atau sama dengan penduduk negara Cina.

Pertambahan penduduk ini, salah satu penyebabnya adalah urbanisasi, yang menjadi fenomena dunia, baik di negara maju dan juga di negara sedang berkembang seperti Indonesia. Meningkatnya urbanisasi sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara, karena seringkali hal tersebut diasumsikan bahwa terdapat korelasi antara jumlah penduduk perkotaan dengan GNP per kapita, dimana keadaan ini pada akhirnya menghasilkan wilayah-wilayah perkotaan yang padat penduduknya.

Berbeda dengan negara maju, pada umumnya telah mampu menyediakan perumahan bagi para pendatang dari pedesaan. Mereka mampu menata lonujakan penduduk dengan manajemen tenaga kerja yang baik sehingga lonjakan penduduk tersebut masih dalam tahap yang tidak mengkhawatirkan. Sedangkan di negera sedang berkembang atau negara miskin dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah, mereka tidak bisa menyediakan fasilitas perumahan yang memadai yang mengakibatkan tumbuhnya pemukiman liar (squatter) dan merosotnya kondisi hunian yang mereka tempati sehingga akhirnya menjadi pemukiman kumuh (slums). Faktor yang menyebabkan hal ini terjadi adalah :

1. Kemiskinan dan Kesenjangan. 2. Lingkungan fisik yang memburuk.

3. Penataan kota yang tidak memungkinkan masyarakat miskin berada di dalam kota (Bianpoen, 1991; 31).

Permasalahan meningkatnya jumlah penduduk perkotaan melalui urbanisasi sebagai akibat dari kemajuan suatu daerah yang memungkinkan perbaikan di segala sektor serta menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar, sudah tentu akan menjadi daya tarik tersendiri, bukan hanya urbanisasi berasal dari berbagai

daerah di Pulau Bengkalis, tetapi juga berasal dari daerah-daerah di luar Pulau dan bahkan dari luar Kabupaten Bengkalis, bahkan dari luar Provinsi Riau yang pada akhirnya membawa Kabupaten Bengkalis ke dalam persoalan kemiskinan dan ketimpangan pemerataan pembangunan dimana kemiskinan dan ketimpangan pemerataan pembangunan merupakan produk utama masalah pembangunan di sebuah negara atau daerah (Chamhuri Siwar, 1988; 1).

Kalau kita cermati secara mendalam data yang ada, pertambahan penduduk Bengkalis dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Data terakhir yang diperoleh, bahwa penduduk Kecamatan Bengkalis sudah melebihi 71 ribu jiwa yang mana dari jumlah tersebut sekitar 15 persen merupakan penduduk miskin.

Kemiskinan sebagai salah satu konstrains pembangunan biasanya selalu dihubung-kaitkan dengan tingkat pendapatan (income) atau tingkat konsumsi individu atau komunitas. Kalau kita ingin mengambil suatu contoh; Bank Dunia (World Bank) atau Bank Pembangunan Asia (ADB), mereka menggunakan tingkat pendapatan individu US $ 1 per hari sebagai bataspoverty line. Kalau ini menjadi patokan, maka jumlah penduduk miskin yang banyak tersebut akan semakin jauh dari garis kemakmuran/kesejahteraan karena nilai kurs dolar terhadap rupiah semakin memburuk. Sementara di negara-negara sedang berkembang, kemiskinan diukur dengan tingkat pemenuhan kebutuhan dasar, yang dinyatakan dalam ukuran kebutuhan hidup minimum atau kebutuhan kalori, yang memberikan gambaran lebih mendekati konsep manusiawi.

Di dalam ilmu ekonomi, pertambahan penduduk yang begitu cepat di perkotaan, tidak terlepas dari faktor-faktor pendorong (push factor) dan faktor-faktor penarik (pull factor). Menurut Jefta Leibo (1986; 62), faktor pendorong terjadinya lonjakan penduduk di perkotaan adalah lapangan kerja yang relatif sangat langka yang terkait man land ratio yang timpang.

Tidak adanya kesempatan menambah pengetahuan dan keterampilan di desa serta kurangnya sarana rekreasi menjadi faktor-faktor pendorong itu terjadi. Kemudian, faktor-faktor penarik yang juga terjadi adalah adanya anggapan bahwa di kota sangat banyak tersedia lapangan kerja dan tersedianya berbagai fasilitas pendidikan dan sarana rekreasi serta adanya anggapan lain bahwa kota memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi.

Berbagai faktor yang menyebabkan lonjakan jumlah penduduk di perkotaan pada akhirnya memang tidak bisa dielakkan yang pada gilirannya akan tumbuh subur permukikan- permukiman liar di perkotaan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam usaha mengatasi menjamurnya permukiman liar dimaksud, baik berupa penyediaan rumah baru melalui fasilitas KPR-BTN, program-program rehabilitasi rumah kumuh, terutama peremajaan melalui Inpres 5 tahun 1990, proram penyediaan Rumah Sangat Sederhana (RSS) agar dapat menekan tumbuhnya rumah kumuh atau permukiman liar di perkotaan. Ramlan Surbakti (1994; 65) menyatakan karakterisitik permukiman liar adalah :

1. Dihuni oleh penduduk yang padat dan berjubel karena adanya pertumbuhan penduduk alamiah maupun migrasi yang tinggi di perdesaan.

2. Perkampungan tersebut dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah atau berproduksi subsistens yang hidup dibawah garis kemiskinan.

3. Permukiman di wilayah tersebut, merujuk pada kualitas rumah darurat (substandard housing conditions)

4. Kondisi kesehatan dan sanitasi yang rendah. 5. Langkanya pelayanan kota (urban service).

6. Pertumbuhannya tidak terencana sehingga penampilan fisiknyapun tidak teratur dan terurus.

7. Penghuni perkampungan miskin ini mempunyai gaya hidup perdesaan.

8. Secara sosial, mereka terisolasi dari permukiman masyarakat lainnya.

9. Berlokasi disekitar pusat kota dan seringkali tidak jelas status hukum tanah yang ditempatinya.

Profil masyarakat permukiman kumuh, sebagaimana yang dikatakan oleh Ramlan Surbakti tersebut secara konseptual menyiratkan bahwa mereka yang tinggal di permukiman kumuh adalah orang-orang yang karena salah satu sebab tertentu berpenghasilan rendah, yang tentu secara teoritis akan membawa implikasi pada sulitnya mereka untuk memenuhi kebutuhan pokok, yang pada gilirannya memberikan indikasi pada rendahnya derajat kesejahteraan sosial masyarakat dimana mereka bertempat tinggal, karena :

1. Lingkungan keluarga miskin tidak dapat memperkembangkan pola sosialisasi, yakni suatu pola dimana seseorang dibimbing untuk dapat mencari pekerjaan yang layak. Biasanya cara-cara mencari nafkah dari keluarga miskin ditandai oleh adanya ketidak-pastian dan ketidak-mantapan dalam memenuhi kebutuhan harian mereka.

2. Lingkungan keluar miskin biasanya ditandai oleh tidak adanya pekerjaan yang tetap dan langgeng.

3. Kondisi kemiskinannya menyebabkan mereka (secara sadar atau tidak sadar) hanya bisa mempunyai aspirasi yang terbatas, apa yang dapat mereka ajarkan kepada anak- anak mereka dalam proses sosialisasi hanyalah keterampilan-keterampilan yang memungkinkan anak-anak mereka sekedar melanjutkan cara hidup keluarganya yang sekarang.

4. Suatu aspek penting dalam sosialisasi bahwa keluarga mengajarkan kepada anak-anaknya agar ia dapat menahan pemuasan kepuasan mendadak dari kebutuhan- kebutuhannya yang utama.

5. Kondisi kemiskinan yang ada, pada dasarnya ditandai oleh berbagai keterbatasan untuk memungkinkan proses sosialisasi yang dapat menumbuhkan rasa keterikatan emosional di lingkungan keluarga tanpa tujuan yang jelas dan tanpa memiliki tempat tinggal yang pasti dan tanpa bekal yang cukup untuk dapat hidup sendiri dan lepas dari bimbingan orang tua (Saparinah Sadli, 1986; 128).

Implikasi logis dari kenyataan teoritis diatas, adalah sulitnya warga permukiman kumuh secara mikro mensejahterakan kehidupan keluarga mereka dan secara makro sulit pula mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat. Kesejahteraan sosial tentunya berisi keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jasmaniah dan kebutuhan rohaniah serta sosial.