• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA PENANGANANAN TERHADAP ANAK YANG MENGALAMI KORBAN KEKERASAN

KERANGKA TEORITIS

4. Struktur Keluarga

Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki resiko yang meningkat untuk melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orang tua tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orang tua utuh, karena keluarga dengan orang tua tunggal biasanya berpendapatan lebih kecil dibandingkan keluarga lain.

Contoh lainnya juga dapat terlihat apabila si ibu dari anak tidak berada di rumah atau sedang bekerja ke luar negeri, sehingga memperluas kesempatan orang tua laki-laki untuk melakukan tindakan apapun yang ingin dilakukannya. Sehingga butuh kewaspadaan dari kedua orang tua, tetangga maupun lingkungan sekitar untuk lebih mengawasi anak- anak, agar bahaya yang setiap saat bisa menghampiri anak bisa di antisipasi bersama-sama.

Bentuk–bentuk kekerasan seksual pada anak:

Kekerasan seksual pada anak dilakukan dalam bentuk yang bervariasi mulai dari sentuhan lembut hingga perkosaan yang mengakibatkan trauma fisik. Tindakan-tindakan yang termasuk dalam tindakan kekerasan seksual tersebut adalah :

1. Exhibitionism atau sengaja memamerkan alat kelamin kepada anak.

2. Voyeurism: orang dewasa memperhatikan anak berganti pakaian atau mandi sampai anak itu menjadi risih atau malu.

3. Mencium: orang dewasa mencium anak dengan bernafsu, terutama pada mulut dan bahkan dengan memasukan lidah kemulut anak.

4. Fondling: pelaku menyentuh, mengelus atau meraba alat kelamin atau dada anak atau bagian lain agar anak terangsang secara seksual. Menyentuh dan mengelus punggung, kepala anak atau bagian badan lain bisa dianggap pencabulan bila tujuannya untuk merangsang anak kedalam situasi menuju perilaku seksual aktif.

5. Fellatio atau cunnilingus: orang dewasa memaksa anak untuk melakukan kontak mulut dan alat kelamin dengannya.

6. Senggama baik vagina maupun anus (sodomi) orang dewasa memasukan jari, benda atau penisnya ke dalam vagina atau dubur anak.

7. Pornografi: anak ditunjukkan materi yang menggambarkan dengan spesifik hubungan seksual antar orang dewasa, dewasa dan anak, atau anak sebagai bagian dari situasi kekerasan seksual atau gambar-gambar pornografi atau film.

Dari berbagai bentuk kekerasan seksual, kontak genital adalah bentuk kekerasan yang paling sering dilakukan pada anak mencapai 88 %. CSA terjadi dalam bentuk pencabulan sekali hanya 21%, dan 79% dilakukan oleh pencabul berulang-ulang, bahkan kalau tidak ketahuan bisa mencapai waktu 5 tahun.

Akibat kekerasan seksual pada anak

Kekerasan seksual pada anak dapat diketahui berdasarkan perubahan fisik maupun psikisnya yang ditunjukkan oleh anak. Perubahan inilah yang menjadi indikator telah terjadinya tindak kekerasan seksual pada anak. Sehingga pemeriksaan fisik dan psikis anak korban kekerasan penting untuk menegakkan diagnosis tindak kekerasan seksual pada anak, selain berdasarkan anamnesis, dan laporan orang tua.

b. Menunjukkan simptom seperti kehamilan

c. Mengeluh sakit pada waktu buang air kecil dan vagina atau penis memerah

d. Terdapat gejala infeksi genital: berbau

e. Simtom kearah bukti trauma fisik: abrasi atau lesi di daerah genital

f. Mengalami kehilangan nafsu makan, atau mual, dan ingin muntah tanpa alasan.

g. Sakit dan berdarah pada waktu buang air kecil, karena luka fisura pada anus

h. Dilatasi anus

i. Enkopresis sebagai kemungkinan perkosaan anal

j. Enuresis sebagai akibat kemungkinan simtom regresi, overeksitasi atau ketakutan yang berhubungan dengan sexual abuse

k. Penipisan hymen pada kasus manipulasi digital vagina l. Pembesaran liang vagina pada kasus digitasi vagina m. Kesulitan berjalan dan duduk

Simtom klinis CSA tersebut prominen pada kasus pencabulan kronis, sedangkan pada CSA akut, robekan hymen, perdarahan dan eritema umum dijumpai.

Akibat psikologis Jangka pendek:

Anak-anak belum sempurna perkembangan emosi, kognisi, sosial, fisik dan mentalnya. Karena masih dalam tahap perkembangan, anak belum dapat memahami moralitas seksual, serta norma dan nilai sosial aktivitas seksual. Namun, bila mereka dicabuli, mereka mampu merasakan hal-hal sebagai berikut : marah, takut, sedih, mual, risih, memberontak, merasa aneh, menolak, dan tidak berdaya. Kerentanan terhadap akibat kekerasan seksual adalah tergantung dari tipe kekerasan, kronisitas kekerasan, usia anak, serta hubungan korban dan pelaku. Jika kekerasan terjadi secara kronis, anak dapat mengalami gejala-gejala:

1. Mimpi buruk yang muncul dalam bentuk kekerasan misalnya: dimakan harimau, dimakan laba-laba besar, dikejar-kejar raksasa.

2. Sering tiba-tiba marah tanpa sebab yang berarti dan tiba- tiba bicara sangat keras.

3. Berteriak-teriak dalam mimpi (jangan, tidak mau, aku tidak mau dipaksa, disertai dengan menendang- menendang sangat keras sambil merapatkan kedua paha untuk melindungi alat kelaminnya).

4. Mengalami regresi pertumbuhan: kadang-kadang bertingkah laku seolah-olah kembali menjadi bayi/sebagai anak yang lebih kecil, membuat suara seperti bayi dan mengompol.

5. Sering berperilaku ganjil seperti menunjukkan gerakan orang yang akan bercumbu.

6. Kadang-kadang memegangi alat kelaminnya.

7. Sangat ingin dilindungi pada waktu akan tidur atau menolak untuk tidur.

8. Tiba-tiba sangat ketakutan berada di salah satu bagian rumah, seolah-olah telah mengalami kejadian buruk ditempat tersebut.

9. Terbangun saat malam, berkeringat, gemetar, berteriak- teriak.

10. Masturbasi.

11. Sangat agresif terhadap anggota keluarga, teman, mainan atau binatang peliharaan.

12. Mengalami periodik panik yang tak bisa diterangkan sebabnya, yang kemungkinan karena ingatan masa lalu akan kekerasan yang dialami.

13. Tiba-tiba menolak sendirian dengan orang yang ia kenal, inginnya ada lebih dari 2 orang berada di sekitarnya. 14. Melukai diri sendiri, orangtua, orang lain, binatang, atau

permainan dengan benda tajam/tumpul.

15. Tiba-tiba menarik diri dari aktivitas kelompok sebelumnya yang tadinya sangat senang bermain.

16. Tiba-tiba tidak berprestasi disekolah atau tidak ingin bersekolah, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

17. Menanyakan banyak pertanyaan mengenai seks (terutama pada anak lebih sama dengan 7 tahun).

18. Berkembang rasa takut yang tak dapat diterangkan mengenai pria dan wanita misalnya takut pria berkumis. 19. Tiba-tiba meminta supaya semua pintu dikunci atau

tindakan pengalaman lain, dan bertanya tentang perlindungan untuk dirinya.

20. Berkembang rasa takut yang ekstrem pada waktu akan mandi, atau akan ke belakang, saat ia harus membuka pakainnya.

21. Bila bermain boneka akan terus-menerus membuka pakaian bonekanya.

22. Menjadi sangat tergantung pada orang tuanya padahal sebelumnya mandiri.

Bila gejala psikis tersebut muncul sebagai perubahan yang dramatis dari perilaku normal anak dan perilaku tersebut sangat kompulsif/obsesif, hal ini merupakan kunci diagnosis pencabulan/kekerasan seksual pada anak-anak secara psikologis. Jangka panjang:

Perangsangan, incest dan pemerkosaan merupakan faktor predisposisi yang penting untuk pembentukan gejala dikemudian hari yaitu: ketidak percayaan, rendah diri, fobia, cemas, depresi, histeris, kecenderungan bunuh diri, gangguan sosialisasi, dan penurunan prestasi belajar. Perasaan depresif biasanya berkombinasi dengan rasa malu, bersalah dan perasaan bahwa korban telah mengalami cedera yang permanen. Gangguan stress paska tauma dan gangguan dissosiatif ditemukan pada beberapa pasien yang mengalami kekerasan seksual. Kekerasan seksual juga merupakan faktor pendahulu yang sering pada perkembangan gangguan identitas disosiatif (kepribadian ganda) dan kepribadian ambang serta penyalahgunaan obat.

Penanganan korban kekerasan seksual memerlukan psikoterapi intervensi, bervariasi, fleksibel dan komprehensif. Bila trauma psikis diidentifikasi etiologinya sedini mungkin dan terapi dilakukan dengan mengungkapkan ingatan buruk secara bertahap, trauma tidak mengendap dan beban jangka panjang lebih ringan serta penyembuhan bisa dimungkinkan. Pengelolaan dapat dilakukan dengan menggambarkan dan bermain terprogram. Disini anak mempunyai kesempatan untuk mengeskpresikan, mendiskusikan dan membuang secara bertahap trauma yang dialaminya. Penanganan ini terus dilanjutkan sampai gejala-gejala hilang atau berkurang. Yang penting jangan menginterogasi si anak, tetapi biarkan anak bercerita sendiri sedikit demi sedikit. Umumnya penanganan intensif pasca trauma bisa berlangsung 6-8 minggu bahkan 12 minggu.

Simtom yang paling sulit diatasi oleh orangtua pasca trauma CSA adalah angry outburst (marah tiba-tiba). Bila tidak segera diatasi, timbul kekerasan karena kemarahan anak yang sangat luar biasa, dan umumnya orangtua yang menjadi sasaran utama kekerasan ini. Berikut adalah panduan umum untuk mengelolaangry aoutburst:

- Sedapat mungkin hindari tempat umum pada minggu-minggu awal sesudahdisclosure.

- Biasanya anak bisa menahan marah di sekolah. - Jangan terburu-buru bila mengajak anak pergi.

- Usahakan serutin mungkin dalam kegiatan sehari-hari. - Bicarakan sehari sebelumnya, rencana esok bagi anak.

- Ketika anak menunjukkan amarahnya ke orangtua/temannya, katakana bahwa itu keliru, dan arahkan untuk mengalihkan rasa marah ke kegiatan yang produktif. Kegiatan ini antara lain: menggambar perasaannya, mencoret-coret/menggunting foto pelaku, menulis surat ke pelaku untuk menyampaikan kemarahannya, atau bermain boneka dengan salah satu boneka berperan sebagai pelaku yang menjadi sasaran kemarahan anak. Amarah ini harus disalurkan ke kegiatan yang produktif.

- Biasanya, bila anak ingat trauma seksual yang dialami (trauma bond), ia akan menjadi sangat marah dan suka memerintah. Ini adalah kompensasi dari kehilangan integritas badannya, rasa tidak berdaya, dan rasa kehilangan kontrol atas dirinya. Jangan menuruti perintah-perintah anak, karena sebenarnya anak menginginkan orangtuanya sebagai “pengontrol” yang mampu mengatasi ketidakberdayaan dirinya.

- Terhadap amarah yang tiba-tiba muncul, kenali bentuk kemarahan melalui: 1) apakah menirukan tutur kata dan perilaku pencabul, 2) reaksi terhadap pencabul, 3) tidak berhubungan dengan keduanya. Hal ini berguna agar orangtua tetap mendisiplinkan anak bila kemarahan tidak berhubungan dengan keduanya.

- Kenali apa pemicu kemarahn tiba-tiba anak: apakah ketika bangun tidur, mau mandi dan membuka baju, akan tidur, atau capai. Ubah jadwal yang bisa memicu kemarahan anak. Katakan pada anak bahwa ada anak lain yang mengalami trauma yang sama.

Menurut beberapa penelitian yang dilansir olehProtective Service for Children and Young People Department of Health and Community Service (1993) keberadaan dan peranan keluarga sangatpenting dalam membantu anak memulihkan diripasca pengalaman kekerasan seksual mereka. Orangtua (bukan pelaku kekerasan) sangat membantuproses penyesuaian dan pemulihan pada diri anakpasca peristiwa kekerasan seksual. Pasca peristiwakekerasan yang terjadi orang tua membutuhkankesempatan untuk mengatasi perasaannya tentangapa yang terjadi dan menyesuaikan diri terhadapperubahan besar yang terjadi. Mereka membutuhkankembali kepercayaan diri dan perasaaan dapatmengendalikan situasi yang ada.

Bentuk dukungan yang membantu proses pemulihan dari keluarga (orang tua) dari anak yang mengalami kekerasan seksual antara lain:

- Memberi ruang ”aman” untuk memahami apa yang terjadi dan menerima pengalaman sulit tersebut. Hal ini dapat dimulai dari pemahaman akan diri sendiri, pemahaman akan anak dan pemahaman akan peritiwa kekerasan seksual tersebut

- Membantu orang tua menyadari bahwa dampak-dampak yang muncul pada mereka dan anak mereka setelah terjadinya peristiwa kekerasan seksual merupakan hal yang wajar dalam situasi yang diluar kewajaran.

- Memberikan dukungan informasi pada orang tua berkaitan dengan: kekerasan seksual dan dampaknya pada anak dan diri mereka sendiri, bagaimana menangani dan membantu pemulihan anak dan pemulihan diri sendiri

- Melibatkan orangtua (keluarga) dalam penanganan kasus anaknya sebagai pihak yang signifikan membantu pemulihan anak dan bentuk penghargaan pada mereka sebagai orang tua. Misal dalam membuat keputusan untuk solusi penanganan kasus (hukum, psikologis), penanganan hukum, keputusan advokasi melalui publikasi dan peliputan media dll.

- Mengajak mereka turut serta dalam pertemuan dengan orang tua-orang tua lain yang memiliki pengalaman serupa (anaknya juga mengalami kekerasan seksual).

- Mendorong orang tua (keluarga) untuk ikut serta dalam kelompok dukungan bagi orang tua yang dapat memberi mereka kesempatan untuk berbagi dan saling menguatkan. - Melakukan kegiatan advokasi dan pendidikan masyarakat

tentang isu kekerasan seksual pada anak terhadap lingkungan sekitar anak sehingga dapat memberi dukungan sosial yang optimal bagi orang tua (keluarga).

- Melakukan rujukan terhadap layanan kesehatan mental profesional seperti kelompok dukungan, terapi, konseling baik bagi anak maupun bagi anggota keluarga yang lain dengan berkonsultasi dengan pihak orang tua (keluarga).

Kekerasan seksual terhadap anak adalah berupa perlakuan prakontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata-kata, sentuhan, gambar visual), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa. Perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan atau tekanan. Statistik menunjukkan mayoritas pelaku justru orang yang dikenal dekat serta pengasuh anak sendiri. Faktor penyebab terdiri dari faktor internal (diri sendiri) dan eksternal (keluarga dan masyarakat). Kekerasan seksual pada anak dapat diketahui berdasarkan perubahan fisik maupun psikisnya yang ditunjukkan oleh anak. Perubahan inilah yang menjadi indikator telah terjadinya tindak kekerasan seksual pada anak. Sehingga pemeriksaan fisik dan psikis anak penting untuk menegakkan diagnosis tindak kekerasan seksual pada anak, selain berdasarkan anamnesis, dan laporan orang tua. Penanganan anak korban CSA bertahap sedini mungkin dengan psikoterapi intervensi, bervariasi, fleksibel dan komprehensif. Peranan keluarga sangat penting dalam membantu pemulihan anak pasca pengalaman kekerasan seksualnya.

DAFTAR PUSTAKA

Budi WN. Kekerasan seksual pada anak: dampak proses pemulihan keluarga terhadap pemulihan anak. Newsletter Pulih. 2010;15:5-7.

Data kasus kekerasan terhadap anak di KPAID Pekanbaru (2007- 2009).

Huraerah A. Kekerasan terhadap anak. Nuansa: Bandung.2007.23,47-8,50-3,71.

Indriati E. Child sexual abuse (pencabulan terhadap anak): tinjauan klinis dan psikologis. Berkala Ilmu Kedokteran. 2001;33(2):111-9.

Kristiani R. Haruskah anak kita menjadi korban?. Newsletter Pulih. 2010;15:2-4.

Mamik, Herlina P. Dasar-dasar teori sosial kejahatan. PTIK Press.2007.

Marsinova D. Kekerasan seksual terhadap anak. Poltekes Bengkulu. 2005.211-7.

Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan sistem peradilan pidana. Undip Semarang. 2002.

Nainggolan LH. Bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. Jurnal Equality. 2008;13(1):73-81.

Novarizal R. Faktor-Faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual pada anak di kota Pekanbaru (skripsi). Jurusan Kriminologi Universitas Islam Riau. Pekanbaru.2010. Sa’abah MU. Perilaku Seks Menyimpang dan seksualitas

kontemporer umat Islam. Jogjakarta : UII Pressx.2001. Sudaryono. Kekerasan pada anak: bentuk, penanggulangan dan

perlindungan pada anak korban korban kekerasan. Jurnal Ilmu Hukum. 2007;10(1):87-102.

World Health Organitation (WHO). 1999. Diunduh dari: www.bpkpenabur.or.id/charles/orasiba.htm

AKUNTANSI PERMINYAKAN UNTUK BIAYA