• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendampingan Rutin dan Pengelolaan Isu Masyarakat

Dalam dokumen 4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN (Halaman 106-112)

4.5. Analisis dan Interpretasi Data

4.5.1. Analisis Strategi Community Relations PHE WMO dalam Melaksanakan Program CSR Si Komo Pasir – Taman Pendidikan

4.5.1.6. Pendampingan Rutin dan Pengelolaan Isu Masyarakat

Strategi Community Relations selanjutnya dalam melaksanakan program CSR Si Komo Pasir – Taman Pendidikan Mangrove, yaitu melakukan pendampingan masyarakat dan mengelola isu masyarakat. Menurut Payne (dalam Suharto, 2010, p.76), prinsip utama pendampingan adalah “making the best of the client’s resources”. Sejalan dengan perspektif kekuatan (strenghts perspective), para pendamping masyarakat tidak memandang klien dan lingkungannya sebagai sistem yang pasif dan tidak memiliki potensi apa-apa. Melainkan mereka dipandang sebagai sistem sosial yang memiliki kekuatan positif dan bermanfaat bagi proses pemecahan masalah. Pendampingan sosial memiliki peran yang sangat menentukan

keberhasian program CSR. Sesuai dengan prinsip pemberdayaan, pendamping sangat perlu memperhatikan pentingnya partisipasi publik yang kuat. Dalam konteks ini perenanan pekerja sosial atau pendamping masyarakat seringkali diwujudkan dalam kapasitasnya sebagai pendamping, bukan sebagai penyembuh atau pemecah masalah (problem solver) secara langsung. Mereka biasanya terlibat dala penguatan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, implementasi, maupun monitoring serta evaluasi program CSR.

Roadmap program CSR Si Komo Pasir – Taman Pendidikan Mangrove yang telah dibuat tentunya akan diimplementasikan. Dalam mengimplementasikan roadmap tersebut setiap dua minggu sekali Comdev PHE WMO melakukan pendampingan atau monitoring rutin di masyarakat. PHE WMO melihat bagaimana pelibatan masyarakat dalam pengembangan program tersebut. Comdev PHE WMO melakukan survey dan focus group discussion kepada masyarakat apakah pelatihan ini bermanfaat, apakah program pembangunan lancar, dan apakah mendapat nilai tambah bagi masyarakat. Nilai tambah yang dimaksudkan bisa income dan pengetahuan akan hal baru. Hal tersebut disampaikan oleh Amarullah melalui pernyataan berikut :

“Tiap bulan kita melakukan monitoring saja.. itu tiap bulan kita melakukan kunjungan.. kita melakukan diskusi... kita buat schedule meetingnya.. ada lembar monitoringnya.. nanti tanda tangan bersama.. terus sudah hehe.. kita diskusi nih.. mau ngembangin kawasan barat.. kita sosialisasi dulu supaya mereka ada rasa saling memiliki dulu TPM ini.. karena mungkin kalau lihat sekarang mungkin manis.. tapi kan pahitnya diawal kan mereka ga tau.”. (Wawancara dengan Amarullah, Supervisor of Community Development, 3 Mei 2017)

Diperkuat oleh Muhammad Sahril (Salah satu anggota masyarakat Labuhan) : “nggak tentu.. Pak Amar.. Pak Uli kadang-kadang 1 minggu dua kali atau tiga kali.. ya pokoknya seringlah.. ga nyampe 1 bulan sekali misalnya. ga pernah itu. Jadi sering monitoring.. nanya perkembangannya apa.. yang di tpm itu” (Wawancara dengan Muhammad Sahril, Anggota Masyarakat Labuhan, 15 Mei 2017)

Peneliti melihat PHE WMO rutin melakukan komunikasi rutin dengan masyarakat berguna untuk mengatasi permasalahan-permasalahan masyarakat dan perusahaan dapat mengelola isu di masyarakat. Sesuai yang diungkapkan Rahmatullah dan Kurniati (2011, p.80) bahwa melakukan refleksi dengan masyarakat, kader lokal, maupun perusahaan secara periodik untuk menyempurnakan kegiatan sebagai aktivitas monitoring. Dalam suatu perusahaan dan masyarakat sendiri tidak terlepas dari yang namanya isu atau permasalahan. Kita tidak tahu kapan permasalahan itu muncul dan bisa datang kapan saja. David Grier, dikenal sebagai Community Relations Specialist dari Royal Bank Canada. David (dalam Burke, 2001, p.114) mendeskripsikan bahwa isu atau masalah adalah sebuah gap antara Corporate Action dan Stakeholder Expectations. Hal ini yang dialami oleh PHE WMO masih ada gap dengan masyarakat, meskipun tidak semua masyarakat Labuhan. Hal ini disampaikan juga oleh Ulika Trijoga Putrawardana :

“iya saya yang ngomong dalam sarahsehan kelompok. Kita kan satu bulan sekali ngumpul, untuk diskusi dinamika yang terjadi apa disana. Sekarang yang kelompok apatis tadi, ikut membersihkan sampah dipantai, warungnya ditata dengan bagus. Berhasil kan berarti ga perlu ada musuh haha.” (Wawancara dengan Ulika Trijoga Putrawardana, Head of HR Ops & Community Development East Java Area, 3 Mei 2017)

Gambar 4.22. Observasi Lapangan Peneliti mengikuti pendampingan masyarakat Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2017

Masyarakat dalam mengembangkan program CSR Si Komo Pasir – Taman Pendidikan Mangrove juga tidak luput dari beragam permasalahan yang terjadi. Permasalahan yang masih terjadi sampai saat ini adalah brain drain. Isu tersebut telah ada sejak pertama kali didirikannya Taman Pendidikan Mangrove. Brain dain dalam arti banyaknya masyarakat Labuhan yang pergi merantau ke luar kota ataupun luar negeri untuk bekerja dari pada membangun desanya. Dikaitkan dengan PHE WMO sebagai penyelenggara CSR dimana membutuhkan bantuan masyarakat untuk membangun desanya melalui program CSR Si Komo Pasir – Taman Pendidikan Mangrove. Apalagi program CSR ini telah mempunyai manajemen strategis dimana akan terus dikembangkan hingga 5 atau 10 tahun kedepan dan tentunya akan membutuhkan kader-kader masyarakat yang lebih banyak. PHE WMO dalam hal ini melakukan diskusi intens dengan masyarakat untuk menemukan bagaimana cara mengatasi hal tersebut. PHE WMO menjadikan masyarakat mitra untuk menyelesaikan masalah yang dialami masyarakat tersebut. Hal tersebut dikemukakan oleh Ulika Trijoga Putrawardana melalui peryataan berikut:

“Iyaa benerr masyarakat kita ajak diskusi bersama (mitra) untuk mengatasi isu masyarakat” (Wawancara dengan Ulika Trijoga Putrawardana, Head of HR Ops & Community Development East Java Area, 3 Mei 2017)

Disampaikan juga oleh Amarullah sebagai berikut :

“iya masyarakat dijadikan mitra untuk mengatasi isu.. kalau diawal, sebelum adanya TPM masyarakat itu isu atau permasalahan.. seperti yang sudah saya jelaskan diatas tadi.. permasalahan mereka yang masih belum sadar untuk merawat lingkungannya.. tapi kalau sekarang bukan.” (Wawancara dengan Amarullah, Supervisor of Community Development, 3 Mei 2017)

Diperkuat oleh Hardian melalui pernyataan berikut :

“masyarakat itu mitra bukan isu.” (Wawancara dengan Hardian, Community Development Officer, 3 Mei 2017)

Menurut Edmund M. Burke (2001, p.124), setelah mengetahui sebuah isu dan masalah yang terjadi di dalam sebuah komunitas, ia mengemukaan dimana perusahaan selanjutnya harus merespon isu tersebut. Strategi yang digunakan untuk merespon isu tersebut adalah memperlakukan sebuah masalah dengan benar dan sungguh-sungguh, sedini dan secepat mungkin; Mengabaikan kekhawatiran individu atau kelompok masyarakat sebagai hal yang sederhana; Intervensi awal ke siklus pengembangan dari masalah ini. Hal ini lebih ringan, lebih murah, dan kurang berbahaya bagi hubungan ketika sebuah perusahaan merespon kekhawatiran atau masalah ketika pertama kali muncul – alangkah lebih baik lagi, jika sebelum masalah ini muncul; Mengembangkan program praktek proses-komunitas dan proses untuk mengidentifikasi masalah dan kekhawatiran. Menggunakan metode untuk mengembangkan dan mempertahankan hubungan adalah salah satu cara terbaik untuk mengungkap kekhawatiran yang muncul. Menanggapi pernyataan Edmund M. Burke, dengan PHE WMO mengajak masyarakat menjadi mitra untuk mengatasi isu atau permasalahan menjadi lebih aktif dan mandiri untuk kedepannya. Masyarakat terlatih untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada sehingga PHE WMO tidak lagi menjadi pemberi solusi-solusi akan tetapi menjadi penasehat dan fasilitator dalam diskusi atau musyawarah masyarakat.

Menurut Suharto (2010, p.79), peran pendamping dalam pendampingan masyarakat adalah menjadi fasilitator. Fasilitator bertanggung jawab untuk membantu masyarakat menjadi mampu menangani tekanan situasional atau transisional. Strategi-strategi khusus untuk mencapai tujuan tersebut meliputi, pemberian harapan, pengurangan penolakan, pengakuan dan pengaturan perasaan-perasaan, pengidentifikasian dan pendorongan kekuatan-kekuatan personal dan asset-asset sosial, pemilahan masalah menjadi beberapa bagian sehingga lebih mudah dipecahkan, dan pemeliharaan sebuah fokus pada tujuan dan cara-cara pencapaiannya.

Selanjutnya, PHE WMO melalui diskusi-diskusi intens memberikan edukasi-edukasi kepada masyarakat agar dapat meminimalisir terjadinya permasalahan dan mengajak mereka untuk saling bertukan pikiran. Peneliti menyimpulkan bahwa intens memberikan edukasi kepada masyarakat merupakan hal yang penting dalam mencegah timbulnya suatu permasalahan. Dalam

melaksanakan pendampingan dan pengelolaan isu, PHE WMO tidak hanya mendapatkan informasi mengenai isu-isu di masyarakat melalui lisan (laporan masyarakat), tetapi bisa menemukan permasalahan itu dengan sendirinya menggunakan insting dan kepekaan. Peneliti melihat PHE WMO memiliki kepekaan mengetahui permasalahan apa yang sedang terjadi masyarakat dalam melakukan pendampingan. Seperti yang diungkapan oleh Amarullah melalui pernyataan berikut :

“Dari laporan laporan dan juga dari insting waktu kita kesana.. kita juga harus peka. wah ini kok beda ada apa.. kita ajak becanda-becanda terus komunikasi terus. muncul. ya udah kita langsung rundingan.. ya contohnya kayak masalah warung yang ada di TPM itu sebenarnya itu kan ga boleh.. ya saya sudah bilang.. kalau saya kesana triknya saya ga pernah beli di warung itu.. meskipun ditawari gratis saya ga pernah beli.. alasannya saya udah bawa gituu. nah sebenarnya itu saya kasih banyak simbol bahwa saya tidak berkenan warung itu ada disitu.. kalau saya membeli berarti saya mendukung dong.” (Wawancara dengan Amarullah, Supervisor of Community Development, 3 Mei 2017)

Berdasarkan pernyataan Amarullah tersebut, Comdev PHE WMO jika mendapatkan suatu permasalahan yang belum terselesaikan, seperti masalah adanya warung di dalam Taman Pendidikan Mangrove padahal menurut aturan yang telah disepakati itu tidak diijinkan, maka Comdev akan memberikan simbol-simbol yang menyatakan bahwa PHE WMO tidak setuju atau merasa keberatan, seperti tidak akan menerima tawaran ataupun membeli makanan dan minuman yang ada di warung yang melanggar aturan tersebut. Hampir semua pernyataan manusia baik yang ditujukan untuk kepentingan dirinya, maupun untuk kepentingan orang lain dinyatakan dalam bentuk simbol. Sesuai yang dikatakan Berger (2014, p.14), Hubungan antara pihak-pihak yang ikut serta dalam proses komunikasi banyak ditentukan oleh simbol atau lambang-lambang yang digunakan dalam berkomunikasi.

Menurut Riswandi (2009, p.25), komunikasi pada dasarnya merupakan tindakan yang dilakukan dengan menggunakan lambang atau simbol. Pesan atau

message merupakan seperangkat simbol yang mewakili perasaan, nilai, gagasan, atau maksud sumber atau komunikator. Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Ditambahkan oleh Cangara (2011, p.101), lambang atau simbol terbagi atas dua, yakni verbal dan nonverbal. Simbol verbal ialah bahasa atau kata-kata. Bahasa dapat didefinisikan seperangkat kata yang telah disusun secara berstruktur, sehingga menjadi himpunan kalimat yang mengandung arti. Simbol nonverbal disebut juga isyarat atau simbol yang bukan kata-kata. Simbol nonverbal sangat berpengaruh dalam suatu proses komunikasi.

Mark Knapp (dalam Cangara, 2011, p.106), penggunaan simbol-simbol nonverbal dalam berkomunikasi memiliki beberapa fungsi, yakni: (a) untuk meyakinkan apa yang diucapkan (repetition), (b) untuk menunjukkan perasaan dan emosi yang tidak bisa diutarakan dengan kat-kata (substitution), (c) menunjukkan jati diri sehingga orang lain bisa mengenalnya (identity), dan (d) menambah atau melengkapi ucapan-ucapan yang dirasakan belum sempurna. Dalam hal ini, peneliti menyimpulkan bahwa PHE WMO menggunakan simbol-simbol dalam berkomunikasi dengan masyarakat untuk menunjukkan emosi atau perasaaan yang tidak bisa diungkapkan lewat kata-kata.

Dalam dokumen 4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN (Halaman 106-112)