• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : PROGRAM DAN PENGAWASAN BADAN AMIL ZAKAT

A. Tinjauan Umum Tentang Zakat

4. Pendayagunaan Zakat

Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat pada zakat konsumtif ini terutama sekali diberikan kepada mustahiq dari delapan asnaf yaitu fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gahrim, sabilillah dan ibnu sabil146 yang di dalam aplikasinya dapat meliputi orang-orang yang paling tidak berdaya secara ekonomi, seperti anak yatim, orang jompo, penyandang cacat, orang yang menuntut ilmu, pondok pesantren, anak terlantar, orang yang terlilit hutang, pengungsi yang terlantar, dan korban bencana alam.147 Delapan asnaf tersebut pembagiannya didahulukan untuk orang-orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar atau kebutuhan pokok secara ekonomi di masing-masing wilayah.

Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif menurut Pasal 17 Undang- Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat; di ambil dari penerimaan infaq, shadaqah, hibah, wasiat, dan waris, sedangkan untuk dana zakat, baru dapat digunakan untuk usaha produktif apabila terdapat sisa dari penggunaan untuk kedelapan asnaf . Adapun delapan asnaf termasuk ke dalam golongan yang berhak menerima zakat, sedangkan yang tidak masuk ke dalam delapan asnaf tersebut, termasuk ke dalam golongan yang tidak berhak menerima zakat.

146

Yusuf Qardhawi., Op.Cit., hal. 148.

147

1. Golongan Yang Berhak Menerima Zakat

Meskipun zakat dijelaskan dalam Al-Qur’an secara singkat, tetapi mengenai orang yang berhak menerima zakat disebutkan secara jelas dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60 yang artinya sebagai berikut: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk di jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah”.Ayat ini jelas menyatakan bahwa Allah SWT dengan tegas menunjukkan kepada umat Islam kemana zakat itu disalurkan. Hal ini mengingatkan manusia agar mereka memberikan harta zakat itu kepada orang yang berhak menerimanya. Orang-orang yang berhak menerima zakat sebagaimana yang ditentukan Allah SWT dalam Al-Qur’an terdiri atas delapan golongan,yaitu148:

1. Golongan Fakir

a. Menurut Hanafi, fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta kurang dari senishab, atau mempunyai senishab atau lebih, tetapi habis dengan hajatnya (keperluannya).

b. Menurut Maliki, fakir adalah orang yang mempunyai harta, sedang hartanya tidak mencukupi untuk keperluannya dalam masa satu tahun.

c. Menurut Hambali, fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta, atau mempunyai harta kurang dari seperdua keperluannya.

148

d. Menurut Syafi’i, fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan usaha, atau mempunyai harta atau mempunyai usaha yang kurang dari seperdua kebutuhannya dan tidak ada orang yang berkewajiban memberi belanja. 2. Golongan miskin149

a. Menurut Hanafi, miskin adalah orang yang tidak mempunyai harta satupun juga.

b. Menurut Maliki, miskin adalah orang yang tidak mempunyai harta satupun juga.

c. Menurut Hambali, miskin adalah orang yang mempunyai harta seperdua kebutuhannya atau lebih tetapi tidak mencukupi.

d. Menurut Syafi’i, miskin adalah orang yang mempunyai harta seperdua kebutuhannya atau lebih tetapi tidak mencukupi. Atau orang yang biasa berpenghasilan, tetapi pada suatu ketika penghasilannya tidak mencukupi. Memiliki rumah dan perabot rumah tangga yang dipakai sehari-hari tidak dihitung sebagai kekayaan.

3. Amil Zakat

Amil zakat ialah mereka yang melaksanakan segala kegiatan urusan zakat, mulai dari para pengumpul sampai kepada bendahara dan para penjaganya juga mulai dari para pencatat sampai kepada penghitung yang mencatat keluar masuk zakat, dan membagi kepada para mustahiqnya. Allah SWT menyediakan upah bagi

149

mereka dari harta zakat sebagai imbalan dan tidak diambil dari selain harta zakat.150

Syarat-syarat amil zakat antara lain ialah151:

a. Muslim, karena zakat itu urusan kaum muslimin yang termasuk Rukun Islam (Rukun Islam ketiga), karena itu sudah saatnya apabila urusan penting kaum muslimin ini diurus oleh sesama muslim.

b. Mukallaf, artinya orang dewasa yang sehat akal dan pikirannya yang siap menerima tanggung jawab mengurus umat.

c. Memilliki sifat amanah atau jujur. Sifat ini sangat penting karena berkaitan dengan kepercayaan umat. Artinya para muzakki akan dengan rela menyerahkan zakatnya melalui lembaga pengelola zakat, jika lembaga ini memang patut dan layak dipercaya.

d. Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat yang menyebabkan ia mampu melakukan sosialisasi segala sesuatu yang berkaitan dengan zakat kepada masyarakat.

e. Memenuhi syarat untuk dapat melaksanakan tugasnya dan sanggup memikul tugas itu dengan sebaik-baiknya. Amanah dan jujur merupakan syarat yang sangat penting, akan tetapi juga harus ditunjang oleh kemampuan dalam melaksanakan tugas. Perpaduan antara amanah dan dan kemampuan inilah yang akan menghasilkan kinerja yang optimal.

150

Yusuf Qardhawi (3)., Op.Cit, hal. 545

151

f. Kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugasnya. Amil zakat yang baik ialah amil zakat yang full-time dalam melaksanakan tugasnya, tidak asal- asalan dan tidak pula sambilan.

g. Sebagian ulama mensyaratkan amil zakat itu laki-laki.

h. Sebagian ulama juga mensyaratkan amil zakat itu harus orang merdeka, bukan seorang hamba.

4. Golongan Muallaf

Menurut Yusuf Qardhawi dalam bukunya hukum zakat, yang dimaksud dengan golongan muallaf antara lain adalah mereka yang diharapkan kecenderungan hatinya atau keyakinannya dapat bertambah terhadap Islam, atau terhalangnya niat jahat mereka atas kaum Muslimin, atau harapan akan kemanfaatan mereka dalam membela dan menolong kaum muslimin dari musuh.152 Sedangkan menurut beberapa ulama antara lain153:

a. Menurut Hanafi, muallaf adalah mereka yang tidak diberi zakat sejak khalifah pertama.

b. Menurut Maliki, muallaf adalah orang yang masuk Islam atau orang kafir yang ada harapan masuk Islam.

c. Menurut Hambali, muallaf adalah orang yang berpengaruh kepada lingkungan sekitarnya, sedang ia ada harapan masuk Islam atau ditakuti kejahatannya,

152

Yusuf Qardhawi (3).,Op.Cit, hal. 563.

153

atau orang Islam yang ada harapan imannya akan bertambah teguh, atau ada harapan orang lain akan masuk Islam karena pengaruhnya.

d. Menurut Syafi’i, muallaf adalah:

1. Orang yang baru masuk Islam sedang imannya belum teguh.

2. Orang Islam yang berpengaruh pada kaumnya. Apabila ia diberi zakat, orang lain atau kaumnya akan masuk Islam.

3. Orang Islam yang berpengaruh terhadap orang kafir. Kalau ia diberi zakat maka orang Islam akan terhindar dari kejahatan kafir yang ada dibawah pengaruhnya.

4. Orang yang menolak kejahatan terhadap orang yang anti zakat. 5. Riqab (memerdekakan budak)154

a. Menurut Hanafi, riqab adalah hamba yang telah dijanjikan tuannya bahwa ia boleh menebus dirinya dengan uang atau harta lain.

b. Menurut Maliki, riqab adalah hamba muslim yang dibeli dengan uang penghasilan zakat dan dimerdekakan.

c. Menurut Hambali, riqab adalah hamba yang telah dijanjikan oleh tuannya boleh menebus dirinya dengan uang yang telah ditentukan oleh tuannya itu, ia diberi zakat setelah penebusan dirinya.

d. Menurut Syafi’i, riqab adalah hamba yang telah dijanjikan oleh tuannya bahwa dia boleh menebus dirinya, hamba itu diberi zakat sekedar untuk menebus dirinya.

154

Golongan itu terbagi menjadi dua macam, yaitu155:

a. Budak Mukattab, yakni yang telah diperjanjikan oleh tuannya akan merdeka apabila melunasi harga dirinya yang telah ditetapkan.

b. Budak-budak biasa, yakni biasa yang dibeli dengan harga itu lalu dibebaskan.

6. Al-Gharimin (Orang-Orang Yang Berhutang)156

a. Menurut Hanafi, gharim adalah orang yang mempunyai hutang, sedang menurut hitungan hartanya yang ada tidak cukup satu nishab. Bila ia diberi zakat maka ia akan membayar hutangnya.

b. Menurut Maliki, gharim adalah orang yang berhutang sedang hartanya tidak mencukupi untuk membayar hutangnya. Dibayat hutangnya dengan zakat apabila ia berhutang bukan untuk kegiatan fasad (merusak).

c. Menurut Hambali, gharim ada dua macam, yaitu:

1. Orang yang berhutang untuk mendamaikan orang lain berselisih.

2. Orang berhutang untuk kepentingan dia sendiri dalam pekerjaan yang mubah atau haram tapi sudah bertaubat.

d. Menurut Syafi’i, gharim yang berhak menerima zakat dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:

1. Orang yang berhutang karena mendamaikan antara dua orang yang berselisih.

155

Tahir Azhari, et al, Op.Cit,hal. 89

156

2. Orang yang berhutang untuk dirinya sendiri, untuk kepentingan mubah maupun tidak mubah, tetapi ia sudah bertaubat.

3. Orang yang berutang karena jaminan hutang orang lain, sedang ia dan jaminannya tidak dapat membayar hutang tersebut.

7. Fisabilillah

Menurut pendapat beberapa ulama, pengertian fi sabilillah antara lain157: a. Menurut Hanafi, sabilillah adalahbalatentara untuk berperang di jalan Allah. b. Menurut Maliki, sabilillah adalah balatentara dan mata-mata. Ia juga harus

membeli senjata atau kuda serta keperluan peperangan di jalan Allah.

c. Menurut Hambali, sabilillah adalah balatentara yang tidak mendapatkan gaji dari pimpinan.

d. Menurut Syafi’i, sabilillah adalah balatentara yang membatu dengan kehendaknya sendiri, sedang ia tidak mendapatkan gaji yang tertentu dan tidak pula mendapat bagian dari harta yang disediakan untuk keperluan peperangan dalam dewan balatentera. Orang ini diberi zakat meskipun ia kaya sebanyak keperluannya untuk masuk ke medan perang seperti membeli senjata, kuda atau peperangan lainnya.

8. Ibnussabil158

157

Abdul Ghofur Anshori., Op. Cit, hal 32-33.

158

a. Menurut Hanafi, Ibnussabil adalah orang yang dalam perjalanan, yang putus hubungan dengan hartanya. Orang ini diberi zakat sekedar hajatnya.

b. Menurut Maliki, Ibnussabil orang yang dalam perjalanan, sedang ia berhajat kepada sokongan ongkos pulang ke negerinya dengan syarat keadaan perjalanan itu bukan perjanan maksiat.

c. Menurut Hambali, Ibnussabil adalah orang yang dalam perjalanan yang halal sekedar ongkos untuk pulang.

d. Menurut Syafi’i, Ibnussabil adalah orang yang dalam perjalanan yang halal, sekedar ongkos sampai kepada maksudnya. Bahwa ia sangat membutukan bantuan, bukan untuk maksiat tetapi dengan tujuan yang sah.

2. Golongan Yang Tidak Berhak Menerima Zakat

Zakat dilakukan dilakukan untuk merealisir tujuan-tujuan tertentu yang berhubungan dengann kehidupan pribadi, masyarakat dan kemanusiaan. Karenanya tidak dibenarkan bagi sembarang manusia yang bukan mustahiqnya mengambil zakat begitu pula tidak dibenarkan bagi pemilik harta maupun penguasa mengeluarkan zakat sekehendak hatinya, tanpa tepat sasaran. Atas dasar itu, maka para fuqaha

mensyaratkan, bahwa yang menerima zakat itu adalah bukan orang orang yang ditetapkan oleh nash haram untuk mengambilnya, dan bukan pula orang yang tidak dianggap sasaran zakat yang benar.159

159

Secara umum menurut Abdul Ghofur Anshori, orang yang tidak berhak menerima zakat ada enam golongan, yaitu160:

1. Keturunan Nabi Muhammad SAW, Berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Tatkala Hasan (cucu Rasulullah) mengambil sebuah kurma dari zakat, lantas memasukkan kurma tersebut kedalam mulutnnya, Rasulullah bersabda kepada cucu beliau itu : “ikh ikh, buanglah kurma itu, sesungguhnya tidak halal bagi kita mengambil sedekah (zakat)”.

2. Kelompok orang kaya dengan harta atau kaya dengan usaha dan penghasilan. Sebagian ulama menafsirkan makna harta hingga sampai se nishab, mereka mengambil alasan dari hadits Mu’adz ketika beliau di utus Rasulullah. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa yang dinamakan ghani (kaya) itu berarti memiliki harta (usaha) yang cukup untuk penghidupannya sendiri, beserta orang- orang yang menjadi tanggungannya sehari-hari, baik se nishab atau kurang atau lebih.

3. Keluarga Muzakki yakni keluarga orang-orang yang wajib mengeluarkan zakat. Menurut pendapat para ahli, mereka itu adalah keluarga muzakki bersangkutan dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah. Seorang suami tidak boleh berzakat terhadap istrinya, meskipun istrinya adalah orang miskin. Karena Islam juga mengatur mengenai harta yang diperoleh atau di bawa ke dalam sebuah ikatan perkawinan.

160

4. Orang yang sibuk beribadah sunnah untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi melupakan kewajibannya mencari nafkah untuk diri sendiri dan keluarga dan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Rasulullah menganjurkan agar mencari kehidupan di kampung akhirat (dengan beribadah), tetapi juga jangan meninggalkan kehidupan dunia.

5. Orang yang tidak mengetahui adanya Tuhan dan menolak ajaran agama. Mereka disebut Mulhid atau atheis.

6. Hamba sahaya, karena segala kebutuhannya mereka ditanggung oleh tuan mereka sehingga mereka tidak dapat dikatakan kekurangan.

Dokumen terkait