• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN

D. Pembahasan

3. Pendekatan Belajar

Pendekatan belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi akademik para partisipan, yang tercermin pada strategi dan metode belajar mereka. Berikut ini karakteristik dan strategi ketiga partisipan dalam belajar, yang diklasifikasi ke dalam tiga pendekatan.

a Pendekatan Surface

Pada pendekatan surface, dapat terlihat karakteristik VN dalam belajar, yaitu VN cenderung memiliki usaha belajar yang lebih rendah. Hal tersebut terlihat ketika VN mengungkapkan bahwa ia merasa bingung karena nilainya tetap baik, padahal VN merasa tidak memiliki usaha dibandingkan usaha yang teman-temannya perjuangkan. VN menyatakan bahwa jika ia berusaha, maka ia pasti bisa mencapai nilai yang lebih baik. Namun, VN menyadari bahwa ia memiliki daya juang yang rendah. Bahkan VN tidak pernah memaksakan diri untuk belajar hingga larut malam. Jika VN mengantuk atau lelah, maka ia akan berhenti belajar. Hal tersebut terjadi karena menurutnya materi yang dipelajari tidak akan masuk ke dalam otaknya jika ia mengantuk.

―Makanya aku bingung, kamu tu udah sukanya kayak gini, nilaimu bisa, kalo kamu usaha pasti bisa. Cuma

kok ga ada usaha. Kalo dibandingin temen-temenku, kayaknya aku ga usaha sama sekali.‖ (Line 113-116) ―Aku tu daya juangnya rendah. Kalo aku capek, ya aku istirahat, tapi kadang aku suka maksain, sampe ketiduran. ‗udah, ga usah dipaksain, kalo tidur ya tidur, kalo belajar ya belajar‘. Daripada kalo kita belajar tapi ngantuk tu percuma, ga ada yang masuk.‖ (131-136) Line 239-242)

Bahkan, VN terlihat berusaha belajar hanya pada situasi tertentu saja. VN tetap belajar walaupun durasi belajarnya hanya sebentar. VN tidak memaksakan diri untuk selalu belajar. VN belajar hanya pada saat akan ulangan atau ada PR. VN tidak belajar harian.

―...Nanti bakalan bangun subuh, trus belajar. Paling sering jam 3, entar jam 4 tidur lagi hahaha. Kapan aja? Biasanya nek mau ulangan, ngerjain PR kayak gitu. Kalo ada yang penting-penting gitu lho. Kalo misalnya santai-santai kayak belajar harian aku enggak, ya gitu lah...‖ (Line 237-241)

VN pun menyadari bahwa ia merasa terlalu santai dalam belajar, sehingga VN merasa tidak punya misi ke depannya.

―….mungkin aku terlalu santai ya, jadi kayak aku ga punya visi ke depannya gimana.‖ (Line 360-361) VN

Begitu pula dengan AD, AD juga cenderung tidak berusaha keras/mudah menyerah. Hal tersebut tercermin pada pernyataan AD yang menyatakan bahwa ia lebih suka tugas yang tingkat kesulitannya biasa-biasa saja, karena AD menganggap dirinya malas. Sehingga ia tidak suka tugas yang berat atau terlalu ekstrem.

―Aku lebih suka yang biasa-biasa aja soalnya aku tu orangnya males. Jadi ga suka yang terlalu berat, terlalu ekstrem.‖ (Line 57-60) AD

Sehingga strategi belajar AD adalah menghafal dan meringkas catatan. Jika di kelas AD sudah mengerti materinya, AD akan belajar melalui catatannya. Sistem belajar AD adalah menghafal. AD harus membaca sendiri, lalu dihafalkan. Pertama, AD menghafalkan rumus, lalu membuat catatan berupa kumpulan rumus. AD membaca rumusnya sebentar, lalu mencari soal-soal latihan yang akan keluar di ujian. Sewaktu ujian fisika, AD lupa cara mengerjakan soal ujian tersebut. Lalu AD tutup matanya, ia membayangkan ia sedang membuka buku yang pernah ia baca, satu per satu. AD pun menjadi ingat materi tersebut dan ingat cara mengerjakan ulangannya. Cara AD menangani kesulitan belajarnya dengan mengikuti les, walaupun hanya sekali.

―... Aku sistemnya ngafal.‖

―Pertama, aku nghafalin rumus, aku bikin catetan gitu kan, kumpulan rumus, terus aku baca bentar, terus aku cari soal-soal latihan yang bakal keluar, aku coba.‖ (75; 77-79) (108-109) (Line 22-24) (Line 25-26) ―Kalo baca kan, diapalin juga sih. Kayak kemarin pas aku uts fisika, aku tuh bener bener lupa, aduh caranya diapain ya. Terus aku tutup mata, Terus aku ngebayangin buka buku satu-satu sih.Oh iya ini halaman pertama, halaman kedua, bukan, bukan ini. Ah itu tu kemaren pas di Lap Fisika, itu tu.. oiya caranya ini. Terus aku tulis.‖ (Line 109-114)

b Pendekatan Deep

Pada pendekatan ini, strategi belajarlah yang muncul pada para partisipan, yakni berdiskusi dengan teman atau guru. Diskusi tersebut tercermin dari perilaku ketiga partisipan yang meminta bantuan (bertanya dan belajar) pada teman atau dengan guru mereka. Biasanya AD dan VN

meminta bantuan temannya saat mengerjakan tugas di rumah. Biasanya VN tidak bisa bertanya kepada siapapun saat mengalami kesulitan belajar di rumah, sehingga VN bertanya dan belajar pada teman-temannya. DT juga bertanya pada teman sekolah, orang yang lebih tua dan yang lebih paham mengenai pelajaran sulit yang ia kerjakan. Selain itu, DT juga bertanya pada guru dan belajar dari internet untuk membantunya mencapai nilai yang baik.

―Kalo aku biasanya aku sks sampe malem, biasanya kerja minta bantuan temen sampe malem, terus besoknya dikumpulin.‖ (Line 37-39) (AD)

―Tapi tetep aku berusaha. Di rumah aku ga bisa tanya siapa-siapa, jadi mau tanya siapa lagi selain temen-temen aku, karna aku ga dapet dari les. Secara tidak langsung aku les dari mereka juga. Tanpa harus yang berlebih.‖ (Line 161-164) (VN)

―Aku belajar dari internet juga, atau tanya siapalah yang bisa. Ga cuma tanya temen sekolah, misalnya ada temen yang lebih tua yang lebih ngerti, atau ada yang lebih bisa. Terutamakan aku ngekos, kan kebanyakan yang ngekos ditempatku tu kakak kuliah gitu kan. Kalo misalnya ada yang studinya di situ, ya dita minta tolong aja.‖ (47-52) (Line 35-40; 45-47; 83-85; 260-263) (DT)

―Kalo salah, langsung tanya ke gurunya, bagian mana yang salah, terus setelah bagian mana yang salah, pembetulannya gimana.‖ (Line 83-85)(DT)

Selain itu, saat DT tidak bisa mengerjakan soal, maka ia akan terus mencari soal-soal sampai ia benar-benar bisa mengusai jenis soal tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa DT memaksimalkan pemahaman dengan banyak mencari soal.

―Misalnya kalo gagal dalam soal gitu, ga bisa, trus nyari soal laen gitu, memperkaya diri sendiri gitu lho. Makin banyak, makin sering, makin biasa dan makin bisa kan, kayak gitu.‖ (Line 95-98)

c Pendekatan Achieving

Pada penelitian ini, partisipan DT memiliki kecenderungan belajar menggunakan pendekatan achieving. Hal tersebut terlihat dari karakteristik belajar DT yang cenderung disiplin dan pantang menyerah. DT menganggap bahwa kerja keras akan membuahkan hasil dan membutuhkan proses. DT juga menganggap bahwa ketika ia menyerah, masalah tidak akan selesai, sehingga ia berusaha untuk tidak menyerah.

Disiplinnya juga di situ. Makanya, Terus, terus gitu. Karena memang, ya memang kan nggak ada yang instan. Jadi, pake proses. Ntar prosesnya ilang kan juga hasilnya ada. Kan ada tuh ―Kerja keras tidak mengkhianati‖ dari situ, ya dari situ. (Line 76-79) Kalo kita dikit-dikit dapet masalah langsung nyerah gitu kan nggak membuat masalahnya selesai? Jadi tuh, jadi kita harus pantang menyerah.. terutama masalah, terus ada juga, soal-soal yang aku nggak tahu. (Line 70-73)

Selain itu, karakteristik belajar DT adalah tekun belajar. DT mengatakan bahwa salah satu kunci kesuksesannya adalah tekun. Dalam menghadapi kegagalan, semua usaha untuk memperbaiki kesalahan butuh proses dan tidak ada yang instan. Proses harus DT jalani.

“Menurut kamu, apa sih kunci dari keberhasilan itu? Tekun ....‘ ‗Tekun itu, tekun karena, ya.. harus.. jadi semuanya kan nggak bisa instan, pake proses. Nah memang proses yang harus dilewati itu ya yang harus itu yang dilewati.‖ (Line 66; 73-75) DT

“...Itu kan, semua ada prosesnya. Nggak yang—yang instan.‖ (Line 124-125) DT

AD pun mengatakan bahwa kunci keberhasilannya adalah rajin belajar karena ia berpendapat bahwa usaha keras dapat memberikan hasil yang maksimal.

Menurutmu, apa kunci dari keberhasilan itu? Rajin, fokus dan berdoa. Okee.. kenapa kamu milih buat rajin? Soalnya orang pinter bakalan kalah sama orang rajin. Kenapa bisa kalah? Jadi kan kalo orang pinter gak ada usahanya sama aja boong jadi kan nggak bisa dapetin hasil maksimal. Tapi kalo orang rajin berusaha keras kan bisa dapetin hasil yang maksimal walaupun orang itu nggak pintar. (Line 80-86) AD

Sehingga, ketika AD dan DT memperoleh hasil maksimal, ia berusaha untuk mempertahankan prestasinya. Untuk mempertahankan prestasi, AD mengulang metode belajar yang sama. Misalnya, sepulang sekolah tidur terlebih dahulu, supaya malamnya ia bisa begadang. Sebelumnya AD berhasil menggunakan cara tersebut, sehingga besoknya AD akan menggunakan cara tersebut lagi. DT pun mengulang kebiasaan belajarnya. DT mengulang materi pelajaran yang diajarkan hari itu selama 30 menit, belajar untuk hari besok selama 2 atau 3 jam, dan mengerjakan PR. DT selalu belajar setiap hari, walaupun tidak ada ulangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kebiasaan belajar DT cenderung sistematis dan rutin.

―...ngulang metode yang sama pas berhasil itu. Misalnya aku sebelum belajar tidur dulu, pulang sekolah tidur dulu supaya malemnya aku bisa begadang. Kemaren aku berhasil pake cara itu, besoknya aku akan pake cara itu lagi.‖ (Line 178-181) AD

―...ngulang juga, jadi apa yang diajari hari ini, diulang. Nanti tapi terus, tetep ada waktu sendiri waktu sendiri untuk yang hari besok, ada waktu sendiri juga untuk ngerjain PR. Tapi itu nggak yang semua jadi satu di dalam 2 jam itu, nggak. Misalnya, ngulangnya, 30 menit, apa, gitu. Belajarnya dua jam atau 3 jam, gitu. Terus ngerjain PR.‖ (Line 236-241) DT

“Aku mau tanya, gimana sih kebiasaan belajar kamu? Kebiasaan belajar sih, Terus langsung…

ambil.. Terserah sih, ini waktunya mau kapan? Ambil waktu sekitar 2 atau 3 jam. Banyak—He‘e, tiap hari, walaupun nggak ada ulangan..” (Line 232-235) DT

Selain itu, DT juga mengungkapkan strategi untuk mempertahankan prestasi dan meningkatkan usahanya adalah dengan menambah usaha. DT sudah memiliki kebiasaan belajar. Untuk mempertahankan prestasinya tersebut, DT menambah waktu kebiasaan belajarnya lebih banyak dari yang biasa ia lakukan. Selain itu, DT juga berusaha untuk melatih ketepatan waktu. Hal tersebut menunjukkan bahwa DT berusaha mengoptimalkan pengaturan waktu belajarnya.

“...Caranya? Belajar. Karena sudah punya – sudah punya, apa—sudah punya kayak kebiasaan itu lho mbak, sudah punya kebiasaan itu, ya aku tetep ngelakui itu Cuma kalo memang porsiku lebih, ee, kalo aku butuh lebih banyak waktu ya porsiku waktuku aja dibanyakin. Yang biasanya udah aku lakuin.‖ (Line 176-180) (Line 171-175)

Tugas yang banyak.. untuk mata pelajaran sulit.. tetep harus dikerjain mbak. Gimana pun itu tu latian buat kita kan. Tujuannya dikasih kan buat kita bisa ngerjain sendiri, trus bisa selesei itu kan, selain kita nglatih tepat waktu itu lho mbak, terus bisa ngelatih kemampuan kita sendiri kan. (Line 30-34)

Selain itu, DT terlihat memiliki keterampilan belajar, yakni memiliki usaha yang keras dalam belajar. Hal tersebut terlihat dari pernyataan DT yang menyatakan bahwa DT tetap berusaha belajar, apapun akan ia jalani. DT pantang menyerah saat menemukan kesulitan dalam mengerjakan soal. Saat DT tidak bisa mengerjakan soal, maka ia akan terus mencari soal-soal yang serupa sampai ia benar-benar bisa mengusai jenis soal tersebut. DT melakukan usaha tersebut karena DT ingin

memperkaya pengetahuan, melatih kemampuan dan ketepatan waktu dalam mengerjakan tugas. Semakin banyak dan sering berlatih, DT semakin bisa mengerjakan soal. DT adalah individu yang mudah penasaran, sehingga ia akan terus focus menyelesaikan soal yang sedang ia hadapi sampai tuntas. DT merasa senang saat bisa menyelesaikan soal yang sulit. DT menyadari bahwa ia harus banyak berlatih jika ingin bisa mengerjakan soal yang sulit. Dari pernyataan di atas, dapat terlihat bahwa DT berusaha keras untuk memahami materi pelajarannya dengan cara berlatih mengerjakan soal.

―Misalnya kalo gagal dalam soal gitu, ga bisa, trus nyari soal laen gitu, memperkaya diri sendiri gitu lho. Makin banyak, makin sering, makin biasa dan makin bisa kan, kayak gitu.‖ (Line 95-98; 30-34)

―Tapi kalo misalnya udah ngerjain ga bisa-bisa, ya cari-cari soal, cari-cari yang sama, akhirnya bisa ngerjain gitu.‖ (Line 87-89) (92-93; 52-53)

―Aku itu orangnya penasaran, kalo masalah ini belum selesai ya, ngutek ngutek disitu‖ (Line 193-19)

―jadi kalopun tugasnya memang sulit ya bertanyalah selagi bisa terus tetep dikerjain. Ketika bener-bener sudah mentok, ya seenggaknya ga terus pasrah, bongkokan gitu lho mbak. Ga yang habis itu enggak ah biarin aja gitu mbak. Tapi tetep dikerjain, kalo protes banyak ato enggak, kita kan ga bisa protes kan, kita kan emang kewajibannya gitu, jadi ya tetep dikerjain aja.‖ (Line 35-40)

―Tapi kalau Dita bisa nyelesain itu tuh kayak seneng tuh lho. Kenapa bisa, kalo aku nggak tahu, kok ini bisa kayak gini? Kenapa bisa kayak gini? Ooh, ternyata gitu. Ooh gitu. Terus diterapin, ternyata bisa. Itu kayak, aahhh berarti banyak berlatih.‖ (Line 202-206)

Faktor-faktor yang mempengaruhi Prestasi Akademik Siswi Fatherless yang Berprestasi

Internal Eksternal Pendekatan Belajar

Faktor internal

1. Memiliki kemampuan 2. Sikap :

Suka pada tugas Suasana hati yang baik (senang)

3. Minat:

Mengejar minat 4. Motivasi intrinsik :

Ingin menambah pengetahuan Adanya dorongan untuk memiliki kualitas hidup yang lebih baik dari sekarang di ranah pendidikan

Adanya kebutuhan untuk melatih dan mengukur kemampuan

Penasaran 5. Motivasi ekstrinsik :

Terdorong karena melihat usaha ibu mencari uang untuk sekolah

Dorongan untuk membalas

Faktor lingkungan sosial 1. Faktor keluarga besar:

Bantuan finansial yang diberikan oleh keluarga Faktor dorongan dari

keluarga : pengaruh keluarga yang yakin pada kemampuan yang dimiliki partisipan, keluarga besar merupakan orang-orang yang pintar, keluarga ingin partisipan lebih berprestasi lagi, keluarga mendorong untuk lebih mengutamakan akademik 2. Faktor ibu:

Dukungan dari ibu : ibu

memberi dukungan belajar dan memberi motivasi, tidak memarahi anaknya saat gagal, ibu membiarkan partisipan belajar sendiri dan tidak mengawasi proses belajar

Pendekatan Surface Menghafal

Membuat ringkasan

Usaha belajar cenderung lebih rendah

Tidak belajar secara rutin Tidak berusaha keras/mudah

menyerah

Berusaha belajar pada situasi tertentu

Tidak punya misi ke depan

Pendekatan Deep

Berusaha memaksimalkan

pemahaman dengan mencari soal yang serupa

Berdiskusi dengan orang lain : Bertanya dan belajar pada teman-teman, bertanya pada guru

diakui)

Dorongan untuk tidak kalah dari orang lain (persaingan) Terdorong untuk berprestasi karena sugesti dari guru Beasiswa

Adanya dorongan untuk maju di dunia sosial dan ekonomi Ingin berprestasi jika ada dorongan dari lingkungan Terdorong untuk belajar karena melihat hasil orang lain Menghindari kegagalan

Terdorong untuk berprestasi karena usahanya selama ini tidak diterima oleh keluarga

belajar partisipan

Cara ibu mendidik anaknya 3. Faktor guru:

Guru les sebagai pendamping belajar

Guru mendorong untuk meningkatkan akademik Faktor lingkungan nonsosial

1. Waktu belajar:

Mengerjakan tugas semalaman Belajar di pagi hari

Berusaha mengoptimalkan pengaturan waktu belajar Tekun, disiplin, dan pantang

menyerah

Keterampilan belajar : banyak berlatih

Sistematis : kebiasaan belajar setiap hari

D. Pembahasan

Pada pembahasan ini akan dimulai dengan membahas temuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi siswi fatherless yang berprestasi, baik faktor internal, eksternal, dan pendekatan belajarnya. Pembahasan akan dilanjutkan mengenai keterkaitan faktor internal, eksternal, pendekatan belajar pada partisipan dalam berprestasi. Kemudian akan ada pembahasan khusus, mengenai latar belakang para partisipan yang dilihat dari sudut pandang mengapa pengaruh negatif fatherless tidak berpengaruh pada akademik mereka.

1. Faktor Internal

Secara umum, faktor internal yang mempengaruhi para partisipan yang berprestasi adalah para partisipan memiliki kemampuan dalam belajar, memiliki minat pada mata pelajarannya, suka pada tugasnya sehingga ia cenderung memiliki suasana hati yang baik. Suasana hati yang baik tersebut dapat mendorong partisipan untuk mengerjakan tugasnya secara maksimal. Selain itu, para partisipan dipengaruhi oleh motivasi intrinsik dan ekstrinsik dalam mencapai prestasi mereka.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Watts & Watts (1992) yang menjelaskan bahwa latar belakang ketidakhadiran ayah dalam hidup seorang anak cenderung tidak melemahkan kemajuan akademik mereka. Hal tersebut terjadi karena faktor kemampuan dan aspirasi akademik anak, yakni adanya motivasi intrinsik dan keberagaman respon individual dalam menghadapi stimulus lingkungan.

Motivasi intrinsik yang muncul pada para partisipan adalah adanya keinginan untuk menambah pengetahuan, adanya kebutuhan untuk melatih dan mengukur kemampuan, rasa penasaran, dan dorongan untuk memiliki kualitas hidup yang lebih baik dari sekarang di ranah pendidikan.

Sedangkan dalam merespon stimulus atau keadaan dari lingkungan, para partisipan menjadi membentuk motivasi ekstrinsik untuk mencapai prestasi yaitu munculnya dorongan untuk membalas kebaikan orang lain karena keluarga telah membiayai pendidikan. Selain itu, partisipan terdorong karena melihat usaha ibu mencari uang untuk sekolahnya, adanya beasiswa, terdorong karena sugesti dari guru, menghindari kegagalan, ego-enchancement (ingin diakui), dorongan untuk tidak kalah dari orang lain (persaingan), terdorong untuk belajar karena melihat hasil orang lain, terdorong karena usahanya selama ini tidak diterima oleh keluarga, bahkan ingin berprestasi jika ada dorongan dari lingkungan.

Selain itu, ada partisipan (DT) yang memiliki dorongan untuk maju di dunia sosial dan ekonomi setelah mencapai keberhasilan akademik. Jika remaja melihat pendidikan sebagai cara yang efektif untuk kemajuan sosial dan ekonomi, mereka cenderung menghargai hasil yang dicapai dari pendidikan dan pencapaian akademik (Sanders, 1998). Hal tersebut terlihat dari pernyataan DT yang ingin memiliki kualitas hidup yang lebih baik dari sekarang, baik dari segi pendidikan, sosial, maupun material. Berarti, DT cenderung menghargai hasil yang ia capai dari dunia akademiknya.

2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal yang mempengaruhi siswi fatherless dalam berprestasi adalah adanya dukungan ibu. Ibu memberikan dukungan belajar dan motivasi, tidak memarahi anaknya saat gagal, ibu memberikan kebebasan pada cara belajar anaknya (membiarkan anaknya belajar sendiri dan tidak mengawasi proses belajar anaknya).

Dalam hal ini, ada hal yang saling bertentangan mengenai ibu yang memberikan kebebasan pada proses belajar anaknya. Ibu partisipan tidak pernah memaksa partisipan untuk belajar, atau memarahi partisipan jika memperoleh nilai jelek. Namun menurut hasil penelitian Kriesberg (1967), ibu yang tidak memiliki suami cenderung tidak mengendurkan tekanan pada anaknya dalam prestasi akademik. Adanya kemungkinan perbedaan tersebut terjadi karena ada partisipan yang merasa bahwa ia sudah dewasa saat ini, ia sudah mengerti konsep dan kebutuhan belajarnya, sehingga ibunya memberi kebebasan belajar, dan komitmen yang ibunya pegang adalah tanggung jawab partisipan terhadap akademiknya. Selain itu, adanya kemungkinan ibu partisipan percaya pada kemampuan anaknya, sehingga ibunya cenderung mengendurkan tekanan pada proses belajar anaknya. Ibu partisipan menganggap anaknya sudah mandiri dan memahami pentingnya berprestasi. Di sisi lain, dengan ibu partisipan yang tidak memberikan tuntutan apapun pada akademik anaknya, membuat anaknya merasa tidak terbebani.

Selain itu, faktor keluarga besar juga memberikan pengaruh pada prestasi salah satu partisipan, berupa bantuan financial. VN tidak dinafkahi oleh ayahnya

karena ayahnya sudah meninggal. Sehingga adanya kemungkinan perekonomian keluarga tunggalnya tidak stabil. Terdapat hasil penelitian yang mengatakan bahwa keluarga dari orangtua tunggal memiliki kemungkinan besar hidup dalam kemiskinan, dan mereka lebih memilih untuk masuk ke dalam dukungan keluarga besar (Angel & Tienda, 1982; Hofferth, 1984; Tienda & Angel, 1982 dalam Wilson, 1989). Sehingga, sumber penghasilan keluarga mengandalkan kesanggupan anggota keluarga besar untuk mengkontribusikan bantuan yang nyata seperti bantuan material, penghasilan, pengasuhan anak, membantu mengurus tugas rumah tangga (Wilson, 1989). Hal tersebut terlihat pada VN memperoleh bantuan secara financial dari bibinya pada saat VN duduk di bangku SMP.

Dari situ, keluarga besar menjadi memiliki pengaruh dan kontrol yang besar pada akademik partisipan. Keluarga besar memberikan dorongan pada partisipan untuk berprestasi. Keluarga besar cenderung mendorong partisipan untuk lebih mengutamakan akademik dan lebih berprestasi di ranah akademik. Hal tersebut terjadi karena keluarga besar yakin pada kemampuan partisipan tersebut. Namun, ada juga keluarga besar yang memiliki latar belakang berprestasi tinggi, sehingga partisipan tersebut dikontrol untuk lebih berprestasi.

Selain itu, faktor guru sebagai pendamping belajar juga mempengaruhi partisipan untuk meningkatkan akademiknya. Hasil penelitian Yee dan Eccles (1988) juga mengatakan bahwa meskipun atribusi sukses berupa bantuan guru masuk ke dalam faktor eksternal, namun kemungkinan memiliki guru yang baik dapat meningkatkan faktor internal seperti bakat dan usaha. Seorang guru yang

baik membantu anak memunculkan bakat dalam kemampuan matematika atau memotivasi usaha keras anak dalam kinerja matematika. Pada kasus VN, guru VN menyadarkan VN bahwa VN memiliki potensi atau bakat di bidang kedokteran, yang diimbangi dengan prestasi akademiknya, sehingga gurunya memberikan motivasi pada VN untuk lebih berusaha meningkatkan prestasi akademiknya.

3. Pendekatan Belajar

Pendekatan belajar yang digunakan pada partisipan penelitian ini adalah

Dokumen terkait