• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.3 Pendekatan Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa

2.3.1 Pendekatan Komunikatif

Kegiatan pembelajaran merupakan kunci kesuksesan pendidikan, khususnya bagi pembelajar. Hal itu menjadi pemikiran dasar bagi para pendidik dan banyak hal yang telah dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran di kelas. Berbagai pendekatan bermunculan dari masa ke masa dalam rangka meningkatkan efektivitas pembelajaran. Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang cukup berhasil dalam pembelajaran di kelas. Menurut Widharyanto (2003) pendekatan ini lebih memusatkan pada pembelajaran bahasa yang komunikatif.

Menurut Werdiningsih (1998:16) pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa dilandaskan pada teori kompetensi komunikatif, teori linguistik, dan teori belajar bahasa. Tiga hal yang melandasi lahirnya pendekatan komunikatif dalam belajar bahasa akan dijejaskan berikut ini.

2.3.1.1Teori Kompetensi Komunikatif

Istilah komunikatif dalam pengajaran bahasa muncul pertama kali dalam makalah Willkins (1972) dengan judul Gramatical, Situasional and Notional Sylabus yang disampaikan dalam konfrensi Linguistik Terapan di Copenhagen. Munculnya pengajaran bahasa komunikatif mendapat sambutan hangat dari para pakar pengajaran bahasa dan mampu mengkoyakkan konsep pengajaran bahasa yang dikembangkan oleh kaum struktural (Pranowo, 1996:60).

Selanjutnya para pakar bahasa memandang bahwa pengajaran bahasa komunikatif mengubah citra pengajaran bahasa yang selalu berorientasi pada kaidah kebahasaan yang dikembangkan oleh kaum struktural. Mereka menganggap kaum struktural telah gagal menjabarkan bahasa sesuai dengan fungsinya dan pembelajaran bahasa komunikatif memberikan warna baru dalam pembelajaran bahasa dan mampu menjawab pertanyaan “Apa yang dipelajari dan bagaimana bahasa harus dipelajari?” (Das, 1985 dalam Pranowo, 1996).

Selanjutnya istilah kompetensi dari Chomskhy (1965) yang berarti pengetahuan pembicara atau pendengar terhadap bahasanya, (Chomskhy, 1965 dalam Canale and Swain, 1980 melalui Pranowo, 1996: 61) dikembangkan oleh Hymes (1972). Menurut Hymes (1972) kompetensi komunikatif merupakan penguasaan secara naluri penutur asli untuk menggunakan dan memahami bahasa

secara wajar dalam proses komunikasi atau interaksi dengan orang lain dalam kontak sosial, Hymes (dalam Brumfit, 1983; dan Stern, 1983 melalui Werdiningsih, 1998). Menurut Hymes (1972) dalam Pranowo (1996:61) yang lebih penting dalam penggunaan bahasa adalah pertimbangan cocok tidaknya penggunaan suatu aturan dengan konteks sosialnya, yaitu konteks sosiokultural. Jadi menurut Hymes (1972) dalam Werdiningsih (1998) seorang dikatakan memiliki kompetensi komunikatif jika telah memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menggunakan bahasa dalam konteks komunikasi seutuhnya.

Sejalan dengan pandapat Hymes (1972) di atas, Harmerly (1991) dalam Werdiningsih (1998) mengemukakan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pemilihan bentuk ujaran dan proses komunikasi, yaitu (1) latar (Kapan penutur menggunakan bahasa itu? Pada situasi bagaimana?); (2) partisipan (Siapa saja yang terlibat dalam penggunaan bahasa itu?); (3) tujuan (Apa tujuan penutur menggunakan bahasa itu?); (4) saluran (Apakah komunikasi itu berlansung secara tatap muka, telepon, buku, surat, dan lain-lain?); dan (5) topik (Apakah topik komunikasi yang sedang berlangsung itu?). Selain itu yang juga ikut berpengaruh adalah faktor usia, jenis kelamin, keakraban dan hubungan peran di antara partisipan. Dalam proses komunikasi, bahasa seseorang tidak terlepas juga dari aspek budaya, politik, etika, estetika, dan pengalaman masa lampau dan sebagainya. Maka kompetensi komunikatif dalam pembelajaran bahasa lebih ditekankan pada penggunaan bahasa daripada pemilikan pengetahuan mengenai bahasa sebagai sistem yang melekat pada otak manusia Werdiningsih (1998:18).

2.3.1.2Teori Linguistik

Teori linguistik yang mendasari pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa muncul di Inggris pada tahun 1960-an. Ketika itu, para ahli linguistik terapan mempersoalkan kebenaran asumsi-asumsi situasional language teaching (Nababan, 1993 melalui Eko, 2004:18). Dari persoalan itu muncul teori-teori linguistik yang mendasari pendekatan komunikatif. Teori linguistik tersebut dalam pembelajaran bahasa adalah pandangan bahwa: (1) bahasa adalah suatu sistem yang dipakai untuk mengungkapkan arti, (2) fungsi utama bahasa adalah untuk mengungkapkan arti, (3) struktur bahasa memungkinkan pemakaian komunikatif dan fungsional bahasa dan, (4) satuan-satuan utama bahasa bukanlah ciri gramatikal tetapi kategori-kategori arti komunikatif dan fungsional (Richards dan Rodgers, 1986 melalui Werdiningsih, 1998:19).

Selain itu Halliday (dalam Aziez, 1996 melalui Werdiningsih, 1998) dan Cook (1989) dalam Pranowo, (1996:97-98) mengkaji fungsi-fungsi bahasa secara mendalam, yaitu fungsi makro dan fungsi mikro. Fungsi makro, yakni: (1) fungsi instrumental: menggunakan bahasa untuk memperoleh sesuatu; (2) fungsi regulatori: menggunakan bahasa untuk mengontrol prilaku orang lain; (3) fungsi interaksional: menggunakan bahasa untuk menciptakan interaksi dengan orang lain; (4) fungsi personal: mengungkapkan perasaan dan makna, (5) fungsi heuristik: menggunakan bahasa untuk belajar menemukan makna; (6) fungsi imajinatif: menggunakan bahasa untuk menciptakan dunia imajinasi; (7) fungsi representasional: menggunakan bahasa untuk menyampaikan informasi; (8) fungsi transaksional: menggunakan bahasa untuk membicarakan sesuatu antara satu orang dengan orang lain; (9) fungsi komisif: menggunakan bahasa untuk menyatakan kesanggupan (janji) atau penolakan; dan

(10) fungsi sosialisasi: menggunakan bahasa untuk menjaga agar hubungan komunikasi antara pembicara dengan lawan bicara dapat mencair dan tidak beku.

Menurut Pranowo (1996:98) fungsi makro bahasa di atas masing-masing memiliki fungsi mikro. Misalnya, fungsi representasional memiliki fungsi mikro, seperti: untuk mengidentifikasi, menjawab, melaporkan, berkata, memikirkan sesuatu, menyetujui atau menolak, mengetahui atau tidak mengetahui, mengingat atau melupakan, mempertimbangkan kemungkinan atau ketidakmungkinan, mempertimbangkan kelogisan sesuatu, mempertimbangkan kepastian dan ketidakpastian, meminta atau memberi izin, menerima atau menolak tawaran dan sebagainya.

Namun dalam komunikasi seseorang perlu mengenal latar belakang sosial budaya, hubungannya dengan orang lain, bahasa seperti apa yang harus digunakan dalam kesempatan yang bagaimana. Selain itu beberapa faktor yang menurut Harmerly (1991) dalam Eko (2004) berpengaruh terhadap pemilihan bentuk ujaran dalam proses komunikasi, antara lain (1) latar, (2) partisipan, (3) tujuan, (4) saluran, dan topik. Usia, jenis kelamin, keakraban, dan peran di antara partisipan merupakan juga faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bentuk ujaran.

Dengan demikian, pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa memiliki landasan teoritis yang cukup kaya pada teori linguistik meskipun secara khusus belum ditujukan untuk mendukung teori-teori yang ada dalam pendekatan komunikatif. Namun menurut Werdiningsih (1998) beberapa karakteristik yang dapat ditarik dari teori-teori linguistik adalah bahasa adalah bahwa sistem yang mengungkapkan makna; fungsi utama untuk komunikasi dan interaksi; strukturnya mencerminkan kegunaan fungsional dan komunikatifnya; dan unit utama bahasa

bukan hanya berupa karakteristik gramatikal tetapi juga kategori makna fungsional dan komunikatif.

2.3.1.3Teori Belajar Bahasa

Berdasarkan teori belajar bahasa, pendekatan komunikatif dilandasi oleh tiga prinsip, yaitu (1) prinsip komunikasi, (2) prinsip tugas, dan (3) prinsip kebermaknaan (Littlewood, 1988 melalui Werdiningsih, 1998). Prinsip komunikasi berorientasi pada kegiatan yang memungkinkan terjadi komunikasi yang dapat meningkatkan aktivitas belajar mengajar. Prinsip tugas mengacu pada kegiatan pemakaian bahasa untuk melaksanakan tugas yang bermakna sehingga dapat meningkatkan kegiatan belajar mengajar. Prinsip kebermaknaan dijadikan sebagai dasar bahwa bahasa yang bermakna bagi siswa akan menjadi pendorong siswa untuk mempelajari bahasa tersebut.

Menurut Littlewood (1984) pemerolehan kompetensi komunkatif dalam suatu bahasa merupakan contoh perkembangan keterampilan, yang melibatkan aspek kognitif dan aspek behavioral. Aspek kognitif ini berkaitan dengan sistem bahasa, termasuk kaidah-kaidah gramatikal, pemilihan kata, dan konvensi-konvensi yang mengatur ujaran. Aspek behavioral berkaitan dengan latihan-latihan yang digunakan untuk mengembangkan komunikasi.

Bertolak dari teori belajar bahasa yang melandasi pendekatan komunikatif, maka perancangan program pembelajaran bahasa harus mempertimbangkan pelibatan pembelajar dalam kegiatan penggunaan bahasa yang otentik dan bermakna. Artinya aktivitas belajar dirancang dengan melibatkan pembelajar, bukan sekedar pola latihan penggunaan bahasa yang mekanis. Tetapi pembelajaran bahasa berorientasi pada,

antara lain: (1) tujuan utama belajar bahasa, yaitu mengembangkan kompetensi komunikatif, (2) pembelajaran bahasa ditekankan pada penggunaan bahasa, (3) materi pembelajaran/buku teks hendaknya dirancang dengan lebih menekankan proses belajar megajar dan dapat mendorong pembelajar untuk berkomunikasi secara wajar, dan (4) silabus dan materi pembelajaran bahasa dikembangkan setelah dilakukan analisis kebutuhan bahasa pembelajar (Finnochiaro dan Brumfit, 1983; Richterich, 1983; Liamzom, 1986 dan Huda, 1988 melalui Werdiningsih,