• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan Metakognitif

Dalam dokumen YUDI DARMA NIM. S (Halaman 73-80)

KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS

4. Pendekatan Metakognitif

Metakognitif adalah suatu istilah yang berasal dari kata sifat metakognisi. Beberapa istilah lain yang merujuk pada metakognisi adalah metamemory dan

metacomponential skill and processes (Stermberg dan French, dalam Tomo, 2002).

Metakognisi memiliki dua kata dasar yakni meta dan kognisi. Meta berarti setelah atau melebihi dan kognisi berarti keterampilan yang berhubungan dengan proses berpikir. Wenert dan Kluwe (dalam Suzana, 2003) menyatakan bahwa metakognisi adalah kognisi urutan kedua (second-order cognition) yang memiliki arti berpikir tentang berpikir, pengetahuan tentang pengetahuan atau refleksi tentang tindakan-tindakan.

Secara harfiah, metakognitif bisa diterjemahkan sebagai kesadaran berfikir, berpikir tentang apa yang dipikirkan dan bagaimana proses berpikirnya. Atau dapat juga diterjemahkan sebagai suatu aktivitas individu untuk memikirkan kembali apa yang telah terpikir serta berpikir dampak sebagai akibat dari buah pikiran terdahulu.

Sharples dan Mathews (1989) mendefinisikan metakognitif sebagai keterampilan kompleks yang dibutuhkan siswa untuk menguasai suatu jangkauan keterampilan khusus yang kemudian keterampilan-keterampilan tersebut dikumpulkan kembali untuk mendapatkan suatu strategi belajar yang tepat terhadap suatu masalah dan atau isu-isu pada konteks yang berbeda.

Salah satu karakteristik pembelajaran dengan pendekatan metakognitif yang paling utama adalah melibatkan pertumbuhan kesadaran. Para peserta didik dengan pengetahuan metakognitifnya sadar akan kelebihan dan keterbatasannya dalam belajar. Artinya saat siswa mengetahui kesalahannya, mereka sadar untuk mengakui bahwa mereka salah dan berusaha untuk memperbaikinya. Berpikir metakognitif mempunyai dua dimensi utama, yaitu berorientasi pada tugas (task-oriented) dan berhubungan dengan pemantauan (monitoring) kinerja dari suatu keterampilan. Dan dimensi yang kedua adalah strategi yang melibatkan penggunaan suatu keterampilan

commit to user

dalam menyelesaikan suatu permasalahan tertentu dan menjadi sadar (aware) untuk mengambil balikan (feedback) yang paling informatif dari penerapan suatu strategi tertentu. Brown (Weinert dan Kluwe, 1987) mengemukakan bahwa proses atau keterampilan metakognitif memerlukan operasi mental khusus yang dengannya seseorang dapat memeriksa, merencanakan, mengatur, memantau, memprediksi dan mengevaluasi proses berpikir mereka sendiri.

Menurut Sharples dan Mathews (1989) terdapat tujuh komponen utama dalam metakognitif, diantaranya yaitu: refleksi kognitif, strategi, prediksi, koneksi, pertanyaan, bantuan, dan aplikasi. Sedangkan Holler dalam Sharples dan Mathews berpendapat berbeda mengenai komponen metakognitif, Holler mengungkapkan bahwa komponen-komponen metakognitif terdiri dari : kesadaran, monitoring, dan regulasi.

Weinstein dan Mayer membagi strategi kognitif menjadi lima: (1) strategi-strategi menghafal (rehersial strategi-strategies), strategi-strategi-strategi-strategi elaborasi (elaboration

strategies), strategi-strategi pengaturan (organizing strategies), strategi-strategi

pemantauan pemahaman (comprehension monitoring strategies) atau juga disebut strategi-strategi metakognitif (metacognitive strategies), dan strategi-strategi afektif (affective strategies).

NCREL (dalam www.neat.tas.edu.au, 1995) mengidentifikasi

indikator-indikator metakognisi dan membaginya menjadi tiga kelompok.

Pertama, mengembangkan rencana aksi, meliputi pertanyaan-pertanyaan: (1)

pengetahuan awal apakah yang akan menolongku mengerjakan tugas-tugas? (2) Dengan cara apakah saya mengarahkan pikiranku? (3) Pertama kali saya harus melakukan apa? (4) Mengapa saya membaca bagian ini? (5) Berapa lama saya menyelesaikan tugas ini? Kedua, memantau rencana aksi, meliputi pertanyaan-pertanyaan: (1) bagaimana saya melakukan aksi? (2) Apakah saya berada pada jalur yang benar? (3) Bagaimana seharusnya saya melakukan? (4) Informasi apakah yang penting untuk diingat? (5) Haruskah saya melakukan dengan cara berbeda? (6) Haruskah saya menyesuaikan langkah-langkah aksi dengan tingkat kesukaran? (7) Jika tidak memahami, apakah yang perlu dilakukan? Ketiga, mengevaluasi rencana aksi, meliputi pertanyaan-pertanyaan: (1) seberapa baik saya telah melakukan aksi?

commit to user

(2) Apakah cara berpikirku menghasilkan lebih banyak atau kurang sesuai dengan harapanku? (3) Apakah saya telah melakukan secara berbeda? (4) Bagaimana saya menerapkan cara berpikir ini terhadap masalah yang lain? (5) Apakah saya perlu kembali mengerjakan tugas ini untuk mengisi „kekosongan„ pemahamanku?

Metakognitif bisa digolongkan pada kemampuan kognitif tinggi karena memuat unsur analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai cikal bakal tumbuh kembangnya kemampuan inkuiri dan kreativitas. Oleh karena itu pelaksanaan pembelajaran semestinya membiasakan siswa untuk melatih kemampuan metakognitif ini, bukan hanya sekedar proses berpikir sepintas dengan makna yang dangkal.

Pembelajaran dengan pendekatan metakognitif mengarahkan perhatian siswa pada apa yang relevan dan membimbing mereka untuk memilih strategi yang tepat untuk menyelesaikan soal-soal melalui bimbingan scaffolding (pertanyaan-pertanyaan arahan) (Cardelle, 1995).

Di bawah pengaruh teori pembelajaran kognitif, pemecahan masalah

(problem solving) berkembang menjadi sebuah sarana untuk merepresentasikan

aktivitas mental yang kompleks (complex mental activity) yang merupakan keragaman kemampuan kognitif dan actions. Pemecahan masalah sendiri meliputi kemampuan berpikir tingkat tinggi seperti visualization, association, abstraction

comprehension, manipulation, reasoning, analysis, synthesis, generalization, yang

dari tiap-tiap poin tersebut membutuhkan suatu pengaturan dan pengkoordinasian (Kirkley, 2003; Garofalo dan Lester, 1985)

Prosedur pembelajaran dengan pendekatan metakognitif, mengadopsi model Mayer (Cardelle, 1995) adalah dengan menyajikan pelajaran dalam tiga tahapan, yaitu :

a. Tahap pertama adalah diskusi awal

Pada tahap ini, guru menjelaskan tujuan umum mengenai topik yang akan dan sedang dipelajari. Setiap siswa dibagikan bahan ajar berupa Lembar Kerja Siswa. Proses penanaman konsep berlangsung dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tertera dalam bahan ajar tersebut. Kesalahan siswa dalam memahami konsep, diminimalisir dengan intervensi guru. Siswa dibimbing

commit to user

untuk menanamkan kesadaran dengan bertanya pada diri sendiri saat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam bahan ajar.

Pada akhir proses pemahaman konsep, diharapkan siswa dapat memahami semua uraian materi dan menyadari akan apa yang telah dilakukannya, bagaimana melakukannya, bagian mana yang belum ia pahami, pertanyaaan seperti apa yang belum terjawab, bagaimana cara menemukan solusi dari pertanyaan tersebut.

b. Tahap kedua adalah siswa bekerja secara mandiri untuk memecahkan soal.

Siswa diberikan persoalan dengan topik yang sama dan mengerjakannya secara individual. Guru berkeliling kelas dan memberikan feedback secara interpersonal kepada siswa. Feedback metakognitif akan menuntun siswa untuk memusatkan perhatiannya pada kesalahan yang siswa lakukan dan memberikan petunjuk agar siswa dapat mengoreksi kesalahannya tersebut. Guru membantu siswa mengawasi cara berpikirnya, tidak hanya memberikan jawaban benar ketika siswa membuat kesalahan

c. Tahap ketiga adalah membuat simpulan atas apa yang dilakukan di kelas dengan menjawab pertanyaan.

Penyimpulan yang dilakukan siswa merupakan rekapitulasi dari apa yang dilakukan di kelas. Pada tahap ini siswa menyimpulkan sendiri, dan guru membimbing dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan.

5. Pendekatan Investigasi a. Pengertian Investigasi

Istilah investigasi dalam pembelajaran matematika pertama kali dikemukakan oleh Committee of Inquiry into the Teaching of Mathematics in School dalam Cockroft Report tahun 1982 (Grimison dan Dawe, 2000 : 6). Dalam laporan tersebut direkomendasikan bahwa pembelajaran matematika dalam setiap jenjang pendidikan harus meliputi : (1) eksposisi (pemaparan) guru; (2) diskusi antara guru dengan siswa serta antara siswa sendiri; (3) kerja praktek; (4) pemantapan dan latihan kemampuan

commit to user

dasar atau soal; (5) pemecahan masalah, meliputi aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari; serta (6) kegiatan investigasi.

Investigasi secara bahasa adalah penyelidikan dengan mencatat atau merekam fakta melakukan peninjauan, percobaan, dan sebagainya, dengan tujuan memperoleh jawaban atas pertanyaan (tentang peristiwa, sifat atau khasiat suatu zat, dan sebagainya (KBBI online, 2008). Sementara investigasi matematika adalah suatu pendekatan pembelajaran yang dapat mendorong suatu aktivitas percobaan (experiment), mengumpulkan data, melakukan observasi, mengidentifikasi suatu pola, membuat dan menguji kesimpulan/dugaan (conjecture) dan jika dapat pula sampai membuat suatu generalisasi (Bastow, et.al., 1984).

Kegiatan investigasi matematika memiliki beberapa karakteristik, yaitu :„open

ended; finding pattern; self-discovery; reducing the teacher‟s role; not helpful examination; not worth while; not doing real mathematics; using one‟s own methed; being exposed; limited to the teacher‟s experience; not being in control; divergen.‟

(Edmmond & Knight, 1983, dalam Grimison & Dawe, 2000 : 6).

Berdasarkan karakteristik tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan investigasi matematika lebih mendorong siswa untuk mampu mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilan proses matematiknya, sementara guru berperan untuk memfasilitasi siswa agar dapat melakukan kegiatan investigasi matematika dengan baik serta melakukan intervensi yang relevan dengan situasi pembelajaran.

Selain investigasi matematika, kegiatan yang memiliki beberapa kesamaan istilah adalah eksplorasi matematika. Dalam beberapa hal, penggunaan kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian untuk menunjukkan aktifitas yang sama. Akan tetapi, Cifarelli dan Cai (2004) mengemukakan perbedaannya. Menurut mereka, investigasi matematika lebih banyak digunakan oleh peneliti berkaitan dengan penggunaan strategi formal dalam aktivitas mencari solusi masalah seperti penggunaan berbagai metode ilmiah dalam aktivitas penalaran. Sedangkan eksplorasi matematika menunjukkan pada suatu aktivitas yang berkaitan dengan penggunaan strategi formal dan tidak formal untuk mencari suatu solusi masalah.

commit to user

b. Fase-fase yang harus ditempuh dalam pendekatan investigasi

Fase-fase yang harus ditempuh dalam pendekatan investigasi (Setiawan : 2006) adalah:

1) Fase membaca, menerjemahkan dan memahami masalah. Pada fase ini siswa harus memahami permasalahannya dengan jelas. Apabila dipandang perlu membuat rencana apa yang harus dikerjakan, mengartikan persoalan menurut bahasa mereka sendiri dengan jalan berdiskusi dalam kelompoknya, yang kemudian mungkin perlu didiskusikan dengan kelompok lain. Jadi pada fase ini siswa memperlihatkan kecakapannya bagaimana ia memulai pemecahan suatu masalah, dengan :

a) Menginterpretasikan soal berdasarkan pengertiannya.

b) Membuat suatu kesimpulan tentang apa yang harus dikerjakannya.

2) Fase pemecahan masalah. Pada fase ini mungkin saja siswa menjadi bingung apa yang harus dikerjakan pertama kali, maka peran guru sangat diperlukan, misalnya memberikan saran untuk memulai dengan suatu cara, hal ini dimaksudkan untuk memberikan tantangan atau menggali pengetahuan siswa, sehingga mereka terangsang untuk mencoba mencari cara-cara yang mungkin untuk digunakan dalam pemecahan soal tersebut, misalnya dengan membuat gambar, mengamati pola atau membuat catatan-catatan penting. Pada fase yang sangat menentukan ini siswa diharuskan membuat konjektur dari jawaban yang didapatnya, serta mencek kebenarannya, yang secara terperinci siswa diharap melakukan hal-hal sebagai berikut:

a) mendiskusikan dan memilih cara/strategi untuk menangani permasalahan b) memilih dengan tepat materi yang diperlukan

c) menggunakan berbagai macam strategi yang mungkin. d) mencoba ide-ide yang mereka dapatkan pada fase 1 e) memilih cara-cara yang sistematis

f) mencatat hal-hal penting

g) bekerja secara bebas atau bekerja bersama-sama (atau kedua-duanya)

h) bertanya kepada guru untuk mendapatkan gambaran strategi untuk penyelesaian i) membuat konjektur atau kesimpulan sementara

commit to user

j) mencek konjektur yang didapat sehingga yakin akan kebenarannya.

3) Fase menjawab dan mengomunikasikan jawaban. Setelah memecahkan masalah, siswa harus diberikan pengertian untuk mencek kembali hasilnya, apakah jawaban yang diperoleh itu cukup komunikatif/dapat difahami oleh orang lain, baik tulisan, gambar ataupun penjelasannya. Pada fase ini siswa dapat terdorong untuk melihat dan memperhatikan apakah hasil yang dicapainya pada masalah ini dapat digunakan pada masalah lain. Jadi pada intinya fase ini siswa diharapkan berhasil:

a) Mencek hasil yang diperolehnya b) Mengevaluasi pekerjaannya

c) Mencatat dan menginterpretasikan hasil yang diperoleh dengan berbagai cara d) Mentransfer keterampilannya untuk diterapkan pada persoalan yang lebih

kompleks.

Proses yang dilakukan pada pendekatan investigasi (demikian juga pada pemecahan masalah) sebagaimana dipaparkan di atas jika kita gambarkan dalam suatu diagram adalah sebagai berikut:

Gambar 2.2 Fase Investigasi

c. Memulai Investigasi

Berikut ini adalah beberapa saran yang dapat membantu guru untuk melaksanakan pendekatan investigasi di dalam kelas.

1) Biasakan setiap mengajar untuk menghubungkan matematika dengan kehidupan seharihari, dengan berbagai strategi mengajar yang bervariasi.

2) Jelaskan tentang tujuan pengajaran yang diberikan yang diberikan, misalnya mengenai penggunaan matematika dalam pelajaran lain.

Memulai

Evaluasi

Melaporkan hasil

commit to user

3) Selalu memberikan dorongan, semangat dan rasa percaya diri pada setiap siswa, hal ini sangat perlu, mengingat kebanyakan siswa bersifat :

a) kurang pemahaman terhadap suatu permasalahan

b) selalu tergantung kepada apa yang diinstruksikan oleh guru c) sangat kurang semangat untuk memulai

d) memberi jawaban yang hanya menerka

4) Hendaknya memulai pendekatan investigasi dari permasalahan yang mudah dan sederhana.

5) Selalu mendiskusikan jawaban-jawaban yang didapat oleh siswa, sehingga siswa yang satu dapat memahami dan menghargai pendapat siswa lain.

d. Peran guru dalam pembelajaran dengan pendekatan investigasi

1) Memberikan informasi dan instruksi yang jelas

2) Memberikan bimbingan seperlunya dengan menggali pengetahuan siswa yang 3) Menunjang pada pemecahan masalah (bukan menunjukkan cara

penyelesaiannya)

4) Memberikan dorongan sehingga siswa lebih termotivasi 5) Menyiapkan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan oleh siswa. 6) Memimpin diskusi pada pengambilan kesimpulan akhir.

Dalam dokumen YUDI DARMA NIM. S (Halaman 73-80)