• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PROFIL TAFSIR

2) Pendidikan dan karir Buya Hamka

Sudah terang bahwa di zaman buya Hamka belum ada sekolah yang

tersusun baik. Meskipun di Bukit tinggi sudah berdiri “ Sekolah Raja”, namun sekolah demikian hanya disediakan oleh Belanda buat anak-anak bangsawan, anak-anak laras, Jaksa-jaksa dan anak raja-raja dari daerah lain dan gunannya ialah buat menumbuhkan golongan tengah untuk memudahkan perjalanan kekuasaan dan pemerintahan Belanda

6 Hamka, Kenang-kenangan Hidup (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 46.

7 Badiatul Roziqin, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009), 53.

dikemudian hari. Apakah lagi kaum agama pada masa itu masih memandang bahwa sekolah-sekolah yang didirikan Belanda itu adalah “ Sekolah orang non muslim”. Tentu saja tidak pernah terlintas dalam pikiran ayahnya hendak memasukkan puteranya yang diharapkannya akan menjadi Ulama itu kedalam sekolah itu ke dalam sekolah demikian. Dari mulai anak itu dewasa, yang teringat oleh ayahnya ialah memasukkannya ke dalam pengajian di antaranya kepariaman, dibawa mamaknya ke Tarusan dan akhirnya disuruh ke Mekkah.8

Hamka mengawali bangku pendidikannya dengan membaca al-Qur‟an bertepat dirumahnya ketika mereka sekeluarga telah pindah dari Maninjau ke Padang, pada tahun 1914. Sewaktu berusia 7 tahun ia dimasukkan Ayahnya ke sekolah desa. Pagi Hamka pergi ke sekolah desa dan malam harinya belajar mengaji dengan ayahnya sendiri hingga khatam. Dua tahun kemudian, sambil tetap belajar setiap pagi di Sekolah Desa, ia juga belajar di Diniyah School setiap sore. Namun sejak dimasukkan ke T{awalib oleh ayahnya pada tahun 1918, ia tidak dapat lagi mengikuti pelajaran di Sekolah Desa. Ia berhenti setelah tamat kelas dua. Setelah itu, ia belajar di Diniyah School setiap pagi, sementara sorenya belajar di T{awalib dan malamnya kembali ke surau9

Dan cara hafalannya sangat memusingkan kepala, sehingga Hamka selalu mengasingkan diri diperpustakaan milik Zainuddin Labay Elyusunusi dan Bagindo Sindaro. Ia menjadi lebih asyik dalam ruangan perpustakaan belajar secara formalitas pada perguruan tinggi. Akan tetapi berkat kegigihan beliau menela‟ah buku dalam segala aspek telah mengantarkannya menjadi pribadi yang multidimensional.Pemikiran dan

8 Hamka, Ayahku ( Jakarta: Penerbit Ummida, 1982), 245.

9 Hamka, Kenangan-kenangan 70 Tahun Buya Hamka (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 260.

perjuangan Hamka menurut Burhanuddin sangat dipengauhi oleh Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh10

Secara formal, pendidikan Hamka tidaklah tinggi, hanya sampai kelas tiga di seekolah Desa, lalu sekolah yang ia jalani di Padang Panjang dan Parabek juga tidak lama, hanya selama tiga tahun. Walaupun duduk dikelas VII, akan tetapi iatidak mempunyai ijazah. Dari sekolah yang pernah diikutinya tak satupun sekolah yang dapat diselesaikannya.11

Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa hamka sampai akhir hayatnya tidaklah pernah tamat sekolah, oleh sebab itulah ia tidak pernah mendapat diploma atau ijazah dari sekolah yang diikutinya. Kegagalan Hamka di sekolah, ternyata tidaklaah menghalanginya untuk maju, beliau berusaha menyerap ilmu pengatahuan sebanyak mungkin, baik melalui kursus-kursus ataupun dengan belajar sendiri. Karena bakat dan otodidaknya ia dapat mencapai dalam berbagai bidang dunia secara lebih luas, baik pemikiran Klasik, Arab, Politik, maupun Barat. Lewat bahasa pula Hamka bisa menulis dalam bentuk apa saja, seperti puisi, cerpen, novel, tasawuf, dan artikel-artikel tentang dakwah. Bakat tulis menulis tampaknya memang sudah dibawanya sejak kecil, yang diwarisi dari ayahnya.12

Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre

10 Firdaus A.N. Syeh Muhammad Abdullah dan Perjuangannya dalam Risalah

Tauhid (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 51-57.

11

Firdaus A.N. Syeh Muhammad Abdullah dan Perjuangannya dalam Risalah

Tauhid (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 58.

Loti. Hamka juga banyak menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya lain seperti novel dan cerpen. Pada tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul Si Sabariah. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk roman, sejarah, biografi dan otobiografi, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi, tasawuf, tafsir, dan fiqih. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar. Di antara novel-novelnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli juga menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik peringkat nasional maupun internasional.13

Ketika berusia 15 tahun, setelah mengalami suatu peristiwa yang mengguncangkan jiwanya, yakni perceraian orang tuanya, Hamka telah berniat pergi ke pulau Jawa setelah mengetahui bahwa Islam di Jawa lebih maju daripada Minangkabau terutama dalam hal pergerakan dan organisasi.

Demikian Jalan menuju kecemerlangan di dalam hidupnya semakin hari semakin diakui ke ulamaannya. Ketika kongres Muhammaddiyah ke 19 di Bukit Tinggi pada tahun 1930, Hamka tampil sebagai pemasaran dengan judul “Agama Islam dan Adat Minangkabau. ”BerlangsungnyaMuhammadiyah ke-20 Yogyakarta tahun 1931.Hamka muncul sekaligus menjadi penceramah dengan judul “Muhammadiyah di Sumatera” dalam suasana mukhtamar kali ini Hamka tampil dengan prima. Ia mampu membuat hadirin mendengar pidatonya menangis terisak-isak. Itulah sebabnya pengurus besar Muhammadiyah Yogyakarta mengangkatnya menjadi muballigin Muhammadiyah di Makassar. Setelah

13

Irfan Safrudin, Ulama-ulama Perintis: Biografi Pemikiran dan Keteladanan ( Bandung: Majelis Ulama Indonesia, 2008), 290.

kembali dari Makassar, Hamka mendirikan Kuliatul Muballigin di padang Panjang. Kemudian tanggal 22 Januari 1936 beliau berangkat ke Medan, tempat yang ia cita-citakan sejak lama, yaitu menjadi pengarang. Majalah pedoman Masyarakat, yang telah berhasil di terbitkannya.14

Hamka merupakan koresponden di banyak majalah dan seorang yang amat produktif dalam berkarya. Hal ini sesuai dengan penilaian Andries Teew, seorang guru besar Universitas Leiden dalam bukunya yang berjudul Modern Indonesian Literature I. Menurutnya, sebagai pengarang, Hamka adalah penulis yang paling banyak tulisannya, yaitu tulisan yang bernafaskan Islam berbentuk sastra. Untuk menghargai jasa-jasanya dalam penyiaran Islam dengan bahasa Indonesia yang indah itu, maka pada permulaan tahun 1959 Majelis Tinggi University al-Azhar Kairo memberikan gelar Ustaziyah Fakhiriyah (Doctor Honoris Causa) kepada Hamka. Sejak itu ia menyandang titel ”Dr” di pangkal namanya. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Kebangsaan Malaysia pada bidang kesusastraan, serta gelar Professor dari universitas Prof. Dr. Moestopo. Kesemuanya ini diperoleh berkat ketekunannya yang tanpa mengenal putus asa untuk senantiasa memperdalam ilmu pengetahuan.15

Secara kronologis, karir Hamka yang tersirat dalam perjalanan hidupnya adalah sebagai berikut:

1. Pada tahun 1927 Hamka memulai karirnya sebagai guru Agama di Perkebunan Medan dan guru Agama di Padang Panjang.

2. Pendiri sekolah Tabligj school, yang kemudian diganti namanya menjadi Kulliyatul Muballigin (1934-1935). Tujuan lembaga ini adalah menyiapkan mubaligh yang sanggup melaksanakan dakwah

14

Hamka ,Islam dan Adat MInagkabau (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), 2008. 15

Irfan Safrudin, Ulama-ulama Perintis: Biografi Pemikiran dan Keteladanan ( Bandung: Majelis Ulama Indonesia, 2008), 18.

dan menjadi khatib, mempersiapkan guru sekolah menengah tinggakt Tsanawiyah, serta membentuk kader-kader pemimpin Muhammadiyah dan pimpinan masyarakat pada umumnya.

3. Ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia (1947), Konstituante melalui partai Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum (1955).

4. Koresponden pelbagai majalah, seperti Pelita Andalas (Medan), Seruan Islam (Tanjung Pura), Bintang Islam dan Suara Muhammadiyah (Yogyakarta), Pemandangan dan Harian Merdeka (Jakarta).

5. Pembicara konggres Muhammadiyah ke 19 di Bukittinggi (1930) dan konggres Muhammadiyah ke 20 (1931).

6. Anggota tetap Majelis Konsul Muhammadiyah di Sumatera Tengah (1934).

7. Pendiri Majalah al-Mahdi (Makassar, 1934).

8. Pimpinan majalah Pedoman Masyarakat (Medan, 1936).

9. Menjabat anggota Syu Sangi Kai atau Dewan Perwakilan Rakyat pada pemerintahan Jepang (1944).

10. Ketua konsul Muhammadiyah Sumatera Timur (1949).

11. Pendiri majalah Panji Masyarakat (1959), majalah ini dibrendel oleh pemerintah karna dengan tajam mengkritik konsep demikrasi terpimpin dan memaparkan pelanggaran-pelanggaran konstitusi yang telah dilakukan Soekarno. Majalah ini diterbitkan kembali pada pemerintahan Soeharto.

12. Memenuhi undangan pemerintahan Amerika (1952), anggota komisi kebudayaan di Muangthai (1953), menghadiri peringatan mangkatnya Budha ke-2500 di Burma (1954), di lantik sebagai pengajar di Universitas Islam Jakarta pada tahun 1957 hingga tahun 1958, di lantik

menjadi Rektor perguruan tinggi Islam dan Profesor Universitas Mustapa, Jakarta. menghadiri konferensi Islam di Lahore (1958), menghadiri konferensi negara-negara Islam di Rabat (1968), Muktamar Masjid di Makkah (1976), seminar tentang Islam dan Peradapan di Kuala Lumpur, menghadiri peringatan 100 tahun Muhammad Iqbal di Lahore, dan Konferensi ulama di Kairo (1977), Badan pertimbangan kebudayaan kementerian PP dan K, Guru besar perguruan tinggi Islam di Universitas Islam di Makassar.

13. Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid Hasyim, Penasehat Kementerian Agama, Ketua Dewan Kurator PTIQ.

14. Imam Masjid Agung Kebayoran Baru Jakarta, yang kemudian namanya diganti oleh Rektor Universitas al-Azhar Mesir, Syaikh Mahmud Syaltut menjadi Masjid Agung al-Azhar. Dalam perkembangannya, al-Azhar adalah pelopor sistem pendidikan Islam modern yang punya cabang di berbagai kota dan daerah, serta menjadi inspirasi bagi sekolah-sekolah modern berbasis Islam. Lewat mimbarnya di al-Azhar, Hamka melancarkan kritik-kritiknya terhadap demokrasi terpimpin yang sedang digalakkan oleh Soekarno Pasca Dekrit Presiden tahun 1959. Karena dianggap berbahaya, Hamka pun dipenjarakan Soekarno pada tahun 1964. Ia baru dibebaskan setelah Soekarno runtuh dan orde baru lahir, tahun 1967. Tapi selama dipenjara itu, Hamka berhasil menyelesaikan sebuah karya monumental, Tafsir al-Azhar 30 juz.

15. Ketua MUI (1975-1981), Buya Hamka, dipilih secara aklamasi dan tidak ada calon lain yang diajukan untuk menjabat sebagai ketua umum dewan pimpinan MUI. Ia dipilih dalam suatu musyawarah, baik oleh ulama maupun pejabat. Namun di tengah tugasnya, ia mundur

dari jabatannya karena berseberangan prinsip dengan pemerintah yang ada.

Dua bulan setelah Hamka mengundurkan diri sebagai ketua umum MUI, beliau masuk rumah sakit. Setelah kurang lebih satu minggu dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, tepat pada tanggal 24 Juli 1981 ajal menjemputnya untu kembali menghadap ke hadirat-Nya dalam usia 73 tahun.Buya Hamka bukan saja sebagai pujangga, wartawan, ulama, dan budayawan, tapi juga seorang pemikir pendidikan yang pemikirannya masih relevan dan dapat digunakan pada zaman sekarang, itu semua dapat dilihat dari karya-karya peninggalan beliau.

Dokumen terkait