• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2.1.1 Kurikulum 2013

2.1.1.5 Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Lokal

2.1.1.5Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Lokal 1. Hakikat Pendidikan Karakter

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (3) mengamanatkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningktkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dalam

undang-undang. Amanat tersebut melahirkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal (3) UU No. 20 tahun 2003 tersebut menegaskan bahwa “ pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Fungsi pendidikan nasional tersebut akan terlaksana apabila pendidikan karakter diterapkan pada setiap pembelajaran.

Thomas Lickona mendefinisikan karakter merupakan suatu sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral (2012 :32). Helen G. Douglas dalam Samani mengungkapkan bahwa “Character isn’t inherited. One builds its

daily by the way one thinks and acts, thought, action by action”(2013:41). Karakter

dapat terbentuk sedikit demi sedikit dari hari ke hari melalui tindakan.

Kedua pengertian karakter di atas diperjelas dengan pengertian karakter menurut Mounier dalam Doni Koesoema (2012:55) yaitu karakter dipahami sebagai sekumpulan kondisi yang telah diberikan begitu saja, atau telah ada begitu saja, yang kurang lebih dipaksakan dalam diri kita. Karakter yang demikian biasanya dianggap sebagai sesuatu yang ada dari sono-nya (given). Dia juga menjelaskan bahwa karakter juga dapat dipahami sebagai kemampuan individu menguasai kondisi naturalnya. Karakter yang demikian dianggap sebagai suatu proses yang dikehendaki (willed).

Pengertian karakter sebagai proses yang dikehendaki lebih dipahami dengan adanya kebebasan (Doni Koesoema, 2012:56). Karakter merupakan sebuah kebebasan manusia untuk menentukan mau jadi seperti apa dirinya. Manusia lebih dapat bertindak, bukan sebuah hasil determinasi dari kumpulan pengalaman masa lalu yang terbentuk biasa saja tanpa bisa berubah lagi.

Pendidikan karakter menurut Mulyasa (2011:1) “merupakan upaya untuk membantu perkembangan jiwa anak-anak baik lahir maupun batin, dari sifat kodratinya menuju ke arah peradaban yang manusiawi dan lebih baik”. Hal tersebut dipertegas dengan pengertian menurut Doni Koesoema (2012:57) mengenai pendidikan karakter yaitu:

Usaha sadar manusia untuk mengembangkan keseluruhan dinamika relasional antarpribadi dengan berbagai macam dimensi, baik dari dalam maupun dari luar dirinya, agar pribadi itu semakin dapat menghayati kebebasannya sehingga ia dapat semakin bertanggung jawab atas pertumbuhan dirinya sendiri sebagai pribadi dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka berdasarkan nilai-nilai moral yang menghargai kemartabatan manusia.

Asosiasi Supervisi dan Pengembangan Kurikulum di Amerika Serikat mendefinisikan pendidikan karakter sebagai berikut (Doni Koesoema, 2012:58):

Sebuah proses pengajaran kepada anak-anak tentang nilai-nilai kemanusiaan dasar, termasuk di dalamnya kejujuran, keramahtamahan, kemurahan hati, keberanian, kebebasan, persamaan, dan rasa hormat. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan diri siswa sebagai warga negar yang dapat bertanggung jawab secara moral dan memiliki disiplin diri. Pendidikan karakter di sekolah diterapkan terintegrasi dalam mata pelajaran yang sudah ada. Tidak ada alokasi waktu khusus untuk mengajarkan karakter. Proses pembelajarannya sendiri sudah terdapat unsur-unsur pendidikan karakter yang bernilai bagi siswa baik dari cara pengajarannya, sistem belajar, komunikasi dalam

kelas, maupun dinamika pembelajaran dalam kelas secara keseluruhan. Menurut Marianna Richardson dalam Maksudin (2013:68) pendidikan karakter dapat disampaikan melalui beberapa cara, yaitu melalui sastra, sejarah, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), dan matematika.

Melalui sastra, bagi pecinta buku, kesemuanya mengandung integrasi antara apa yang disajikan dalam karya sastra dan nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya. Kutipan bacaan bisa digunakan dalam diskusi tentang dilemma moral atau karakter tokoh cerita untuk membantu memahami motivasi, dan sebagainya. Melalui sejarah, berpedoman dari pertanyaan bagaimana akibanya jika…… misalnya bagaimana akibatnya jika penjajah belanda di Indonesia tidak bertekuk lutut? Alur peristiwa dalam sejarah cukup penting untuk digunakan sebagai bahan diskusi peserta didik. Peristiwa itu membuat atau menggugah perasaan peserta didik, apa yang baik yang sedang terjadi di dunia, dan sebagainya.

Melalui pengajaran ilmu pengetahuan alam, sebagai contoh teori evolusi dengan munculnya cloning dapat dijadikan bahan diskusi secara terbuka dengan peserta didik. Pertanyaan yang dimunculkan berkaitan dengan hal tersebut misalnya,apakah secara moralmembuat tiruan (cloning) individu dapat dibenarkan dan sebagainya. Melalui matematika, siswa dapat diminta untuk menulis (a) permasalahan yang memerlukan keputusan moral, (b) bagaimana proses mengambil keputusan, dan (c) bagaimana tindakan moral yang diaplikasikan, tidak hanya aplikasi matematika semata.

Maksudin (2013:51) mengungkapkan pilar-pilar penting dalam pendidikan karakter meliputi sembilan pilar, yaitu: (1) responsibility (tanggung jawab), (2)

respect (rasa hormat), (3) fairness (keadilan), (4) courage (keberanian), (5) honesty (kejujuran), (6) citizenship (kewarganegaraan), (7) self-disipline (disiplin diri), (8) caring (peduli), (9) perseverance (ketekunan). Sekolah yang ingin memprioritaskan untuk pembentukan nilai-nilai tertentu dalam diri peserta didik juga harus melihat relevansi pembentukan dan penanaman nilai itu dalam konteks kehidupan bermasyarakat yang lebih luas (Doni Koesoema, 2012:101). Pada dasarnya pendidikan karakter juga ingin membantu siswa mempersiapkan diri untuk bersikap dan bertindak dalam masyarakat yang sesuai dengan tatanan moral dan cara berperilaku yang ada tanpa kehilangan visi global.

2. Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Lokal

Pendidikan karakter yang relevan harus menghargai dan mengembangkan keutamaan lokal. Nilai-nilai yang terdapat di dalam sebuah masyarakat dapat menjadi panduan bagi sekolah dalam mendesain kurikulum pendidikan karakter. Sekolah mesti memahami kultur dan budaya daerah setempat sehingga dapat menanamkan berbagai macam nilai kearifan lokal. Budaya lokal yang tertanam dalam setiap individu nantinya akan dianggap sebagai warisan kebudayaan masyarakat.

Pendidikan karakter juga bersifat universal dan lokal. Universal artinya mencoba menanamkan nilai-nilai moral yang berlaku universal. Lokal yang berarti menghargai tradisi dan kultur setempat (Doni Koesoema, 2012:101). Keutuhan pendidikan karakter berakar pada tradisi setempat, sekaligus juga terbuka pada pembaruan informasi, dan pengetahuan baru dari luar. Menurut Friedman dalam

Koesoema (2012:101), pendidikan karakter seharusnya bersifat glokal, artinya global dan lokal.

Sifat glokal dalam keterampilan untuk menemukan nilai-nilai kebijaksanaan dan kearifan tersebut sangat diperlukan (Koesoema, 2012:101). Hal tersebut dimaksudkan agar pendidikan karakter berakar kokoh pada tradisi budaya sendiri dan sekaligus tetap terbuka dan dinamis menerima masukan dari dunia luar, pada dimensi universal nilai-nilai yang sedang dikembangkan. Pengembangan pendidikan karakter yang demikian tersebut nantinya akan menjadi strategi praktis bagi pengembangan pendidikan karakter di sekolah.

Dokumen terkait