• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akhir tahun 1924 Hamka muda berangkat ke Yogyakarta dengan menumpang seorang saudagar yang akan pergi ke kota itu. Tampaknya kota Yogyakarta memberi angin segar bagi Hamka muda.

Hamka untuk bertemu dan berkenalan dan beberapa guru yang kedudukannya sebagai tokoh penggerakan Islam modern seperti berguru kepada Ki Bagus Hadikusuma dalam penafsiran dalam kitab suci Al-Qur’an, berguru kepada H.O.S Cokroaminoto tentang paham “Sosialisme dan Islam“, berguru kepada H. Fakhruddin tentang agama Islam dalam tafsiran modern dan berguru kepada R.M. Suryapranoto tentang “Sosiologi“ 58

Setelah beberapa hari di Yogyakarta Hamka kemudian berangkat menuju pekalongan, menetap di rumah suami kakaknya yang juga aktifis Gerakan Syarikat Islam yang dipelopori oleh H.O.S Cokroaminoto. Dia adalah AR. Sultan Mansur, ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan. Beliaulah yang menanamkan bekal “jiwa perjuangan” pada diri Hamka, sekaligus seorang guru yang sangat berpengaruh dalam pertumbuhan pribadi Hamka selanjutnya. Sejak itu Hamka

58

mulai berpidato, memberi ceramah di berbagai tempat sebagai penyiar Islam. Usianya waktu itu masih relatif muda, yaitu masih 16 tahun.59

Pada pertengahan tahun 1925 Hamka muda pulang kembali ke Maninjau, kampung halamannya, dengan semangat “revolusioner” dan bekal selama setahun di tanah Jawa, Hamka mulai berani berpidato dimana-mana. Kemampuan beretorika maupun menulis telah menjadikannya pada posisi istimewa di kalangan teman-temannya. Hamka kemudian membuka kursus pidato di surau Jembatan besi,60 tempatnya dulu mengaji. Kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai orang pergerakan semakin terbukanya lebar dengan di dirikannya organisasi Muhammadiyah di maninjau dan tabligh Muhammadiyah di Padang Panjang, yang kedua organisasi itu didirikan oleh ayahnya, wadah ini dijadikan Hamka sebagai motivasi dalam melatih diri sebagai Mubaligh. Dalam buku

Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka, dijelaskan:

“Sebagai orang gerakan, ia memperluaskan cakrawala pemikiran dan kemampuan komunikasi intelektualnya. Ia mulai berlangganan surat-surat kabar dari Jawa, yang terpenting pengetahuan perkembangan dunia Islam. Untuk memperluas cakrawala tentang pengetahuan perkembangan dunia Islam berlangganan ‘Seru Azhar’ yang dipimpin oleh Mukhtar Luthfi dan Ilyas Ya’kub di Mesir. Dari sini diperoleh informasi tentang perkembangan dan gerakan Islam internasional”61

Pengalaman Hamka dalam mengelola pendidikan ayahnya, ia terapkan dengan mengadakan kursus-kursus Muhadharah (pidato) bagi anak-anak muda lainnya. Kemudian hasil dari kumpulan-kumpulan pidato itu disusun menjadi

59

Moh. Damami, Tasawuf Positif (Yogyakarta: Fajar Pustaka baru 2000) cet ke 1, h. 42

60

Fachri Ali, Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia : catatan pendahuluan dan riwayat perjuangan dalam kenang-kenangan 70thn Buya Hamka (Jakarta : Pusaka Panji Mas, 1983), cet. Ke-3,h. 91

61

majalah yang bernama “Khatibul Ummah” Majalah ini yang pertama diasuhnya pada tahun 1925. Setelah itu Hamka menerbitkan majalah “Tabligh Muhammadiyah”, pada tahun yang sama dimana ia sendiri sebagai pimpinannya.

Maka pada Februari 1927, berangkat Hamka ke tanah suci. Dengan bekal seadanya dan bahasa yang “pas-pasan”, ia bersama teman-temannya sesama jama’ah haji lainnya mendirikan organisasi Persatuan Hindia Timur. Tujuan utamanya memberikan pelajaran manasik haji kepada calon jama’ah haji Indonesia.

Sepulang Hamka dari tanah suci, dengan predikat haji di depan namanya, memperjelas “legitimasi” Hamka sebagai ulama di Minangkabau. Sedikit demi sedikit pengukuhan sebagai ulama penganjur Islam mendapat tempat di hati masyarakatnya. Julukan semua si “tukang pidato” dahulu berubah sekarang menjadi orang alim, anak yang akan mengganti kedudukan ayahnya sebagai ulama terpandang ketika itu.62

Setelah ayahnya melihat perubahan pada diri hamka, kemudian Hamka di nikahkan dengan seorang gadis berusia 15 tahun yang bernama Siti Raham. Ketika itu Hamka berusia 21 tahun. Hamka diserahi ayahnya mengelola sekolah

Tabligh School. Setelah itu ia mengaktifkan dirinya pada organisasi Muhammadiyah. Menurut Fachri Ali :

“… beberapa saat setelah pernikahannya ia aktif sebagai pengurus Muhammadiyah cabang Padang Panjang, yang akan mengadapi kongres Muhammadiyah ke-19 di Munangkabau. Setahun kemudian (1930), ia mendirikan cabang Muhammadiyah di Bengkalis dan langsung menghadiri konges Muhammadiyah yang ke-20 di Yogyakarta pada tahun itu juga. Setahun kemudian (1931), ia diutus oleh pengurus besar Muhammadiyah Yogyakarya ke Makasar

62

menjadi mubaligh Muhammadiyah. Pada tahun 1933 ia menghadiri kongres Muhammadiyah di semarang dan pada tahun 1934 ia menjadi anggota tetap majlis kongres Muhammadiyah sumatera Tengah.”63

Berbagai jabatan yang telah di sandangnya dalam organisasi, membuatnya seringkali diundang untuk tampil diberbagai forum resmi sebagai pembicara. Hamka kemudian dipercayakan oleh pimpinan pusat Muhammadiyah untuk ditugaskan ke Makasar sebagai mubaligh. Sepulangnya dari Makasar Hamka mendirikan pergutuan “Kullyatul Muballighin” Muhammadiyah di Padang Panjang.

Setelah dari Medan Hamka pulang ke Sumatera Barat (Padang Panjang) pada tahun 1945. Kemudian ia kembali di serahi ayahnya untuk memimpin lagi

Kullyatul Muballighin, Ia mulai lagi dari sini melanjutkan misi perjuangannya, lewat ketajaman penanya, ia mempelopori dan memberikan dorongan kepada kawan-kawan seperjuangannya untuk maju merebut kemerdekaan Indonesia. Adapun buku-buku hamka yang menggugah itu antara lain; Islam dan Demokrasi, Negara Islam Revolusi Agama, Revolusi Pikiran, Dari Lembah Cita-cita, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi.64

Tahun 1946 Hamka terpilih menjadi Ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang, melalui konferensi Muhammadiyah yang di adakan di kota itu. Posisi demikian membuat Hamka mempunyai banyak kesempatan untuk mengunjungi cabang-cabang Muhammadiyah di Sumatera Barat. Peluang itu dipergunakan untuk memotivasi kegiatan-kegiatan cabang dalam rangka

Fakhri Ali, Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia : catatan pendahuluan dan riwayat perjuangan dalam kenang-kenangan 70thn Buya Hamka (Jakarta: Pusaka Panji Mas, 1983), cet. Ke-3, h. 472

menggalang kesatuan dan persatuan bangsa, sehingga Hamka dipandang masyarakat tidak hanya sebagai ulama akan tetapi ia juga sebagai pejuang kemerdekaan.65

Pada tahun 1947 Hamka dipercayakan oleh masyarakat dalam perjuangan bersenjata melawan penjajah Belanda, yang dikenal dengan nama Front Pertahanan Nasional (FPN).66 Pada situasi yang seperti itupun Hamka masih sempat menerbitkan sebuah majalah di padang Panjang denga nama “Menara”67 Hamka telah membuktikan ucapannya, bahwa dengan kegiatan politik praktis ternyata tidak mengganggu akitifitas utamanya sebagai mubaligh. Kegiatan ini diperkuat oleh Dr. M. Yunan Yusuf, dalam bukunya Corak Pemikiran Tafsir Al-Azhar, sebagai berikut :

Pada tahun 1955 berlangsung pemilihan umum di Indonesia, dan Hamka terpilih sebagai anggota konstituante dari partai Masyumi. Hamka membuktikan bahwa dengan kegiatan politik praktis, tugas utamanya sebagai mubaligh dan pejuang Islam tidaklah terganggu. Lewat konstituante Hamka dengan gigih memperjuangkan kepentingan Islam sesuai dengan garis kebijakan partainya Masyumi.68

Kemudian Hamka diangkat pemerintah Indonesia untuk menjabat sebagai penasehat Departemen Agama (DEPAG). Menjadi pejabat tinggi Negara membuatnya banyak mengikuti berbagai pertemuan dan konferensi di dalam dan luar negeri. Pada tahun 1952 Pemerintah Amerika Serikat mengundang Hamka untuk berkunjung selama empat bulam di negaranya. Banyak hikmah yang di

65

Ibid h. 478 Ibid

Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta, Bulan Bintang 1974), Jilid I, cet Ke-3, h. 292

68

dapatnya sekembalinya dari Negara tersebut, antara lain terbukanya pandangan terhadap Negara non Islam, kemudian diterbitkanlah sebuah buku Perjalan Empat Bulan di AS sebanyak dua jilid, Sesudah itu secara berturut-turut Hamka menjadi anggota misi kebudayaan ke Muangtahi pada tahun 1953, mewakili DEPAG menghadiri peringatan mangkatnya Budha yang ke 2500 di Burma (1945). 69 kemudian Hamka menghadiri undangan dari Universitas Al-Azhar di Kaio Mesir dengan memberikan ceramah tentang pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia. Di perguruan tinggi itulah Hamka dianugerahi gelar “Doktor Honoris Cause”. Pergulatan politik yang terjadi di Indonesia kian hari kian tak menentu”… Soekarno mulai memamerkan kekuasaannya, sementara PKI bangkit sebagai kekuatan yang cukup signifikan, Hamka bersama Natsir termasuk yang menentang ide Soekarno…70 yang dikenal dengan nama “Demokrasi Terpimpin” Secara perlahan-lahan demokrasi terpimpin mulai diselewengkan akibat pengaruh PKI, sehingga Pancasila dan UUD 1945 hanya dijadikan semboyan belaka, sebagai gantinya oleh PKI diisi dengan “Nasional Agama dan Komunis (NASAKOM).71 Setelah Soekarno membubarkan Masyumi pada tahun 1960, otomatis peta kekuatan umat Islam mulai melemah. Hamka tidak lagi berpolitik praktis, kemudian ia mengalihkan perhatiannya kepada dakwah Islamiyah, yang berpusat di Mesjid Agung Kebayoran Baru. Dari sinilah terbitnya Majalah “Panji Masyarakat” dan “Gema Islam”.72

69 Ibid

Fachri Ali Hamka dan Masyarakat Indonesia: Catatan pendahuluan dalam riwayat kenang-kenagan 70th buya Hamka (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983) cet ke-3 h. 91

71

Ali Mustapa, Strategi Politik Nasional, (Jakarta: Yayasan Proklamasi (SIS) 1974), h. 8

72

Pada tahun 1975 untuk pertama kalinya pemerintah Republik Indonesia membentuk organisasi Ulama Indonesia, yang disebut MUI. Pada waktu itu pemerintah mempercayakan Hamka sebagai ketua umumnya. Dari berbagai macam kegiatan yang telah dilalui, usianya sudah mulai menua, membuat kesehatannya terganggu secara serius, “… hamka masuk rumah sakit menjelang peringatan hari ulang tahun yang ke-70, jatuh pada tanggal 16 february 1978”. Setelah kesehatannya agak membaik hamka pulang ke rumah, para sahabanyamenyerahkan buku dengan judul kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka. “..Sejak itu Hamka tidak lagi banyak melakukan kegiatan ke luar negeri, ia lebih banyak menunggu orang datang ke rumahnya untuk berkonsultasi tentang masalah keagamaan dan persoalan kehidupan”.73

Hamka meninggal dunia pada tanggal 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun, dengan dikelilingi oleh sanak keluarganya dan teman dekatnya. Hamka wafat dalam suatu penyelesaian tugas yang telah ia selesaikan, “Ia meninggalkan dunia ini denan senyum, nyaris suatu keajaiban. Dada orang yang ditinggalkannya menyesak dan bergelimbung oleh tangis. Teapi setelah tangis reda, masa berkabung telah lewat, yang mengental dalam dada adalah semangat hidupnya”.74 Dalam kapasitasnya sebagai mantan ketua umum MUI, Hamka memastikan eksistensinya sebagai ulama dan menggenapi koridor hidupnya sendiri “Sekali bakti, sudah itu mati”.75

73

Ibid , h. 53

Nasir Tamara, Hamka di Mata Hati Umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), cet. Ke-3, h. 97

75