10
Diajukan kepada Fakultas Ushuludin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.fil.I)
Oleh: Husnul Khotimah
104033101055
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat
dan karunia -Nya kepada kita.
Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, sebagai suri teladan kita yang telah membawa kita dari zaman
jahiliyah ke zaman yang terang benderang.
Dengan penuh syukur, pada akhirnya skripsi ini telah diselesaikan oleh
penulis. Walaupun demikian penulis sangat menyadari, bahwa hasil dari
penelitian skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan . Namun Alhamdulillah
berkat bantuan dari banyak pihak akhirnya penulis dapat menyelesaikan
kendala-kendala dengan baik.
Dengan ketulusan hati, melalui skripsi ini penulis mengucapkan terimakasih
kepada:
1. Bpk Dr. M. Amin Nurdin, MA Selaku dekan Fakultas Ushuludin dan Filsafat
yang telah memberikan nasehat pada penelitian skripsi ini
2. Bpk Drs.Agus Darmaji, M Fils, Selaku ketua Jurusan yang telah memberikan
pengarahan pada penulis.
3. Ibu Dra. Wiwik Siti Sajaroh, M.Ag Selaku pembimbing skripsi yang telah
memberikan banyak bimbingan dengan baik dan motivasi yang tiada henti
pada penulis.
4. Pemimpin perpustakaan utama yang telah memberikan fasilitas untuk
mengadakan studi kepustakaan.
5. Pimpinan perpustakaan Fakultas Ushuludin dan Filsafat yang telah
memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan.
6. Para Ibu dan Bapak dosen selaku pengajar dan staf pengajar di Fakultas
Ushuludin dan Filsafat yang telah membuka wawasan penulis.
7. Orang tua serta Kakak dan Adik-Adik sekeluarga di Jakarta dan jawa Timur
8. Rony Herwindo Poernomo sumber semangat dan inspirasi yang tiada
henti-hentinya mendorong penulis untuk segera lulus dan menyelesaikan skripsi
dengan baik sesegera mungkin. Thanx Beyb for your love..
9. Penerjemah, Penulis dan Penerbit yang bukunya saya gunakan dalam
penelitian ini.
10.Abang Agam, Dedi Mulyana, Bapak Idris Thaha, selaku penasehat yang
senantiasa memberikan bimbinngan dalam penulisan skripsi ini.
11.Teman-Teman di Multy Lingua Community ( MLC ), DCHL, kawan-kawan
UI dan FLP. Serta di PT. Gesindo Surin dan Education Centre of Nusa
Bangsa yang selalu ada dalam suka dan duka.
Demikianlah, semoga dengan kebaikan-kebaikan yang telah saya dapatkan
ini, akan mendapatkan balasan dan membuka rahmat bagi kita sekalian. Amien.
Billahi Taufiq Walhidayah
Jakarta 10 Maret 2009
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... ii
DAFTAR ISI... iv
PEDOMAN TRANSLITRASI... v
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6
C. Tinjauan dan Kegunaan Penelitian... 6
D. Sistematika Penulisan ... 7
BAB II TINJAUAN TEORITIS... 10
A. Pengertian, Sumber-sumber, dan Perkembangan Tasawuf ... 10
B. Penjelasan tentang Krisis Manusia Modern ... 23
C. Tasawuf Sebagai Metode Terapi ... 24
BAB III BIOGRAFI BUYA HAMKA ... 27
A. Latar Belakang Sosial dan Intelektual... 27
B. Pendidikan dan Pengalaman ... 30
C. Karya dan Pengaruh Tasawuf Hamka ... 37
BAB IV ANALISIS ATAS PEMIKIRAN BUYA HAMKA... 39
A. Krisis Manusia Modern... 39
B. Tasawuf dalam Perspektif Buya Hamka ... 43
C. Metode Terapi Krisis Manusia Modern ... 54
BAB V PENUTUP... 63
A. Kesimpulan ... 63
B. Saran-saran... 64
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak kebangkitan zaman modern, manusia Barat telah mencapai
kemajuan di segala bidang. Kemajuan signifikan tercermin di dalam
kehidupan yang serba mekanis dan otomat. Sehingga tidak heran, dengan
perangkat sains dan teknologi mutakhir, mereka digolongkan the post
industrial society. Sebuah peradaban yang telah mencapai puncak
kemakmuran materil sedemikian rupa.
Kemakmuran yang berlebihan itu telah menjadikan kehidupan modern
saat ini demikian keras dan tak bersahabat lagi bagi manusia. Manusia menjadi
serba rasional, dan mekanisme ibarat robot atau mesin. Irama kehidupan pun
sedemikian tinggi. Manusia menjadi serba berlari cepat untuk mengejar
prestasi dan mewujudkan ambisi lahiriah keduniawiannya yang tak terbatas,
baik untuk kepentingan individu maupun kolektif.1
Manusia tidak lagi berpijak pada kualitas kemanusiaan, melainkan
berpijak pada keberhasilannya dalam mencapai kekayaan materil. Keadaan ini
memalingkan kesadaran manusia sebagai makhluk mulia. Keutamaan dan
kemuliaannya menyatu dengan kekuatan kepribadiannya, bukan bergantung
pada sesuatu di luar dirinya. Karena itu, masyarakat modern mengalami
depersonalisasi, kehampaan, dan ketidak bermaknaan hidup. Eksistensinya
1
bergantung pada pemilikan dan penguasaan pada simbol kekayaan. Hasrat
mendapatkan harta yang berlimpah melampaui komitmennya terhadap
solidaritas sosial. Ini didorong pandangan bahwa orang banyak harta
merupakan manusia unggul.2
Seharusnya, ia sebagai penguasa di muka bumi, secara partikal
berfungsi sebagai hamba Allah, sedangkan secara horizontal ia berfungsi
sebagai khalifah Allah. Dengan ini manusia akan dapat menjaga keseimbangan
dan keharmonisan hidup, dan tidak menjadi budak bagi egonya sendiri.
Pengetahuan yang diraih manusia modern tidak lebih dari pengetahuan
fragmentatif atau terpecah-pecah, tidak utuh lagi, dan bukan wawasan yang
mendatangkan kearifan untuk melihat hakikat alam semesta secara utuh.
Peradaban Modern dengan sains-sains yang mereka ciptakan, tidak
dilandaskan atas cahaya intelek. Hal tersebut telah membawa manusia
berisolasi kearah bawah, menuju citranya yang eksternal.3
Apabila dikaji lebih dalam, berbagai problem dan krisis yang terlihat di
dalam kehidupan manusia modern, seperti krisis ekologis, kekerasan,
dehumanisasi, moral, kriminalitas, kesenjangan sosial, serta ancaman
kelaparan dan penyakit yang masih menghantui dunia. Berikut
problem-problem yang telah merambah kehidupan domestik dan personel. Maraknya
kasus-kasus percerain, penggunaan obat-obat terlarang, depresi, psikopat,
2
skizofrenia dan bunuh diri. Seluruhnya merupakan perluasan dari esensi krisis
yang sesungguhnya4
Esensi krisis manusia modern yang sesungguhnya adalah cara pandang
manusia modern (weltanschauung) terhadap realitas. Realitas dipandang tidak
memiliki sisi intrinsik atau kesakralan di dalamnya. Sehingga mempengaruhi
perbuatan, kepercayaan, tingkah laku sosial dan kehidupan pribadinya.
Memperlakukan sesuatu di luar dirinya dengan semena-mena, tanpa adanya
“kontrol”. Kecemasan, ketakutan, stress dll, mewarnai kehidupan mereka
sebagai “konsekwensi” yang harus mereka hadapi. Secara ontologis mereka
hanya mengakui eksistensi-eksistensi materil saja, dan menapikan spritualistis.
Padahal di sisi lain, kebutuhan manusia pada realitas hakikinya, bukan hanya
kebutuhan-kebutuhan materil saja. Tetapi ada kebutuhan lain, yaitu kebutuhan
spiritual yang ada secara permanen dan imortal di dalam dirinya5
Munculnya minat terhadap jalan spiritual (the spiritual path) adalah
mencerminkan adanya kebutuhan untuk mengatasi problem alienasi yang
diakibatkan modernitas. Modernitas memberikan kemudahan hidup, tetapi
tidak selalu memberikan kebahagiaan6
Pencarian khazanah spiritual yang banyak dilakukan manusia-manusia
modern saat ini di latarbelakangi oleh kesadaran dan kekecewaannya atas
Moh. Thalhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), h. 26
modernitas, yang sudah dianggap tidak memadai untuk dijadikan pandangan
hidup.7
Dalam situasi seperti ini sangat tepat, apabila kita mengangkat nama
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka), pemikiran Hamka
menyajikan dimensi dalam Islam yaitu Tasawuf yang di jadikan sebagai
metode terapi atas krisis-krisis yang di dahapi manusia modern, sebagaimana
dia jelaskan dalam bukunya: "Tidaklah dapat diragui lagi bahwasanya tasawuf
adalah salah satu pusaka keagamaan terpenting yang memengaruhi perasaan
dan pikiran kaum Muslimin".8
Sepanjang kurun sejarah, jalan ini telah menciptakan orang-orang suci,
orang-orang yang telah melebur dalam pengalaman batin, dan sekaligus
mendapatkan keyakinan yang tidak dapat tergoyahkan (haqqul yakin), dimana
tampak di dalamnya pengetahuan tentang hakikat realitas, sebagai anugrah
dari yang Maha Pengasih (al-rahman).
Sehingga tasawuf dapat menyibakkan realitas kehidupan dan memenuhi
kehausan spiritual yang dirasakan manusia modern yang terjebak di dalam
ilusi dan keraguan. Pada akhirnya ia pun dapat menghayati kehidupan, dan
menghayati arti penting menjadi hamba Allah. 9
Hal tersebut dapat berimplikasi terhadap aspek-aspek kehidupan,
sebagaimana yang digambarkan dalam Visi modernitas. Yang memberikan
sebuah gambaran akan hilangnya ketimpangan-ketimpangan kultural, politis,
Abdullah Azam, Kelelahan Mental Umat Islam, (Bandung: Mizan 2004), h. 9 Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1987), cet:XVI h. 20
dan ekonomis, mewujudkan kebahagiaan pribadi dan kesejahteraan umum,
menyingkirkan deskriminasi seksual dan diskriminasi rasial, serta
menghapuskan pertumpahan darah di muka bumi. Sebagaimana dituliskan
oleh Marquis de Condoret melalui karya monumentalnya yang bisa dianggap
sebagai manifesto “Janji-janji pencerahan Prancis”10
Luasnya pengaruh tasawuf dalam hampir seluruh episode peradaban
Islam menandakan tasawuf relevan dengan kebutuhan ummat. Menurut
Hamka, tasawuf ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh dan merupakan jantung
dari keislaman. Hamka sering memperkenalkan konsep neo-zuhud, yaitu
ajaran yang menyatakan kecintaan terhadap dunia yang tidak proporsional
merupakan kenistaan. Pendekatan tasawuf semacam ini sangat relevan dalam
mengatasi krisis eksistensi masyarakat modern, agar dapat menormalkan cara
pandangnya tentang relasi dirinya (manusia) dengan sesamanya, pekerjaannya,
dan eksistensinya.11
Hal itu menunjukkan bahwa kontribusi pemikiran keagamaan Hamka
sangat signifikan dalam perkembangan masyarakat modern. Dengan Tasawuf
Modern, Buya Hamka mengembalikan kedudukan Tasawuf sebagai wahana
peribadatan yang mendekatkan seorang muslim dan Allah.12
Hana Djumhana Bastaman, “Makna Hidup bagi manusia Modern, Tinjauan Psikologis”,dalam, Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, (Jakarta: Paramadina, 1996), cet. Ke-1, hal. 143
11 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka
Tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2008), h. 3
Dari uraian di atas maka penulis melakukan penelitian terhadap
pemikiran Buya Hamka sebagai materi bahasan skripsi dengan judul:
“TASAWUF SEBAGAI METODE TERAPI KRISIS MANUSIA MODERN”.
MENURUT PEMIKIRAN BUYA HAMKA.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah saya paparkan di atas,
penelitian ini dibatasi pada pemikiran Buya Hamka tentang tasawuf yang di
jadikan sebagai metode terapi atas krisis yang dihadapi manusia modern.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pemikiran Buya Hamka tentang krisis manusia modern,
meliputi penyebab serta akibat akibatnya?
2. Bagaimana pemikiran Buya Hamka tentang tasawuf?
3. Bagaimana pemikiran Buya Hamka tentang tasawuf sebagai metode terapi
krisis manusia modern?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian ini adalah memberikan kejelasan terhadap pemikiran
Buya Hamka tentang tasawuf sebagai metode terapi krisis manusia modern.
2. Kegunaan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk menambah khazanah bagi civitas akademika UIN Jakarta,
khususnya yang berada di jurusan Ushuludin dan Filsafat
b. Dapat dijadikan sebagai stimulus bagi sivitas akademika Ushuludin
yang tidak kalah menarik dan bergunanya, apabila dibandingkan dengan
tradisi-tradisi intelektual yang lain khususnya bagi para filosof dan
kaum sufi Islam yang berada dalam ruang lingkup atmosfir modernitas.
D. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian kualitatif
deskriptif, yaitu menggunakan pengumpulan data yang menekankan
pertanyaan mengenai apa yang dipikirkan oleh peneliti sekaligus
menemukan jawaban dan menggambarkan data apa adanya.
Adapun teknik pengumpulan data dalam Penelitian ini adalah
studi kepustakaan (library research). Yaitu penelaahan terhadap berbagai
literatur misalnya buku, jurnal, koran, majalah, internet,
dokumen-dekumen/arsip-arsip, dll. Sumber-sumber tersebut dapat dikategorikan ke
dalam data primer dan data sekunder. Data primer yang dimaksud adalah
karya-karya yang berasal dari Hamka sendiri yang berkaitan dengan bahasan
tasawuf modern. Sedangkan data sekunder adalah berdasarkan tulisan-tulisan
orang tentang Hamka, baik mengenai pemikirannya maupun tentang tasawuf
modern.
Teknik pembahasan data dalam penelitian ini adalah deskriptif
analisis. Dan sebagai pedoman teknik penulisan skripsi ini, penulis merujuk
pada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang di terbitkan oleh CeQDA
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I Pembahasan di awali dengan pendahuluan yang menguraikan argumentasi seputar signifikansi studi ini. Selain itu, pendahuluan di isi
dengan latar belakang masalah yang menjadi landasan alas an penelitian ini
dilaksanakan, batasan dan perumusan masalah menjadi pembahasan topik
selanjutnya, lalu kami menguraikan tentang tujuan dan kegunaan penelitian
ini, serta metode penelitian yang kami gunakan yaitu menggunakan library
reseach, kemudian penjelasan terakhir tentang sistematika penulisan yang
kami gunakan dalam penelitian ini.
BAB II Di dalam bab ini merupakan tinjauan teoritis atas penelitian yang saya lakukan. Adapun isi dari bab ini adalah, pengertian dari tasawuf
yang ditinjau dari sisi etimologis bahasa, kemudian asal-usul tasawuf yang
sejak kemunculannya sudah memberikan dimensi bagi keberagaman ajaran
Islam, danpenjelasan selanjutnya tentang perkembangan tasawuf itu sendiri
mulai dari awal zaman Rasulullah yang lebih dikenal dengan nama zuhud
lalu berkembang pada abad 3 dengan istilah tasawuf, serta penjelasan tentang
krisis manusia modern yang terjadi di zaman modern yang telah menjadi
fenomena kehidupan masyarakat yang jauh dari agama dan kehidupan
rohaniyah, dan memaparkan bagaimana tasawuf memberikan penilaian
BAB III Pembahasan diarahkan kepada biografi hidup intelektual Buya Hamka yang berisi latar belakang sosial intelektual beliau selama
hidup dan tinggal di Padang, pendidikan dan pengalaman semasa hidupnya
dalam berkarir dan berpolitik, pengembangan pemikiran beliau yang menjadi
corak tasawuf akhlaki yang mana cukup memberikan andil dalam dinamika
pemikiran kehidupan masyarakat saat itu dan tak lupa karya-karya beliau
yang saat ini masih banyak diburu oleh berbagai kalangan.
BAB IV Bab ini menguraikan pemikiran Buya Hamka tentang tasawuf sebagai metode krisis manusia modern yang mana corak pemikiran
beliau ini merupakan corak tasawuf akhlaki, yang mementingkan perbuatan
baik dan meninggalkan sifat tercela. Dengan rincian sub bab sebagai berikut:
krisis manusia modern yang belakangan marak terjadi akibat dari
kekosongan jiwa manusia, serta beberapa pemikiran tasawuf dalam
perspektif Buya Hamka yang mana pemikiran Hamka tersebut menjadi
dinamika pemikiran masyarakat Indonesia untuk lebih variatif dalam
mencari corak pemikiran, karena hamka lebih mementingkan perbuatan yang
baik dan akhlak yang terpuji sebagaimana agama mengajarkan kita, dan
pada akhirnya di paparkan pula bagaimana tasawuf sebagai metode terapi
krisis manusia modern.
BAB V Penutup yang terdiri dari kesimpulan secara singkat dari tasawuf yang telah kami paparkan dan saran-saran untuk perbaikan skripsi
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian, Asal-usul dan Perkembangan Tasawuf 1. Pengertian Tasawuf
Istilah tasawuf menjadi sesuatu yang menarik perhatian bagi sebagian
ilmuwan untuk mengkaji fenomena kehidupan religius yang dipandang unik.
Adapun asal kata tasawuf secara etimologis dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Shifa yang artinya suci bersih, ibarat kilat kaca
b. Shuf artinya Bulu binatang, sebab orang-orang yang memasuki tasawuf itu
memakai baju dari bulu binatang, karena benci kepada pakaian yang indah-indah
c. Shuffah ialah segolongan sahabat-sahabat nabi yang menyisihkan
dirinya di suatu tempat terpencil di samping masjid nabi
d. Sufanah ialah semacam kayu yang tumbuh di padang pasir tanah arab
Tetapi setengah dari ahli bahasa dan riwayat terutama di zaman akhir-akhir ini
mengatakan bahwa perkataan “sufi” itu bukanlah dari bahasa Arab tetapi bahasa
Yunani lama “theo-sofie” yang artinya ilmu ketuhanan.kemudian di Arab kan
dan di ucapkan dengan lidah orang Arab sehingga berubah menjadi “tasawuf”13
Dalam kajian ilmiyah, menurut para ilmuwan dari sekian banyak
kesimpulan dan argumentasi tentang asal-usul tasawuf, hanya yang keempat inilah
yang memiliki akurasi dibandingkan dengan yang lainnya.14
13
Walau dari manapun asal pengambilan kata itu, entah dari bahasa Arab
ataukah Yunani sudah jelas bahwa yang dimaksud dengan kaum Tasawuf, atau
kaum sufi itu ialah kaum yang telah menyisihkan diri dari orang banyak, dengan
maksud membersihkan hati, seperti kilat kaca terhadap Tuhan, atau memakai baju
yang sederhana, yang tidak menyerupai pakaian orang dunia, biarkan hidup
kelihatan kurus kering seperti kayu dipadang pasir, atau memperdalam
penyelidikan tentang perhubungan makhluk dengan khaliknya.15
Menurut Drs. H. A Mustofa. Tasawuf adalah: “Suatu kehidupan rohani
yang merupakan fitrah manusia dengan tujuan untuk mencapai hakikat yang
tinggi, berada dekat atau sedekat mungkin dengan Allah, dengan jalan
mensucikan jiwa, berikut dengan melepaskan jiwanya dari belenggu jasadnya, di
samping itu juga mereka melepaskan jiwanya dari noda-noda sifat dan perbuatan
yang tercela.16
Dalam hal ini tasawuf dapat dipahami sebagai jalan spiritual. Jalan yang
memberikan cara kepada seseorang untuk dapat sampai sedekat mungkin dengan
memberikan cara kepada seseorang untuk dapat sampai sedekat mungkin dengan
Tuhan, dengan melakukan disiplin-disiplin yang dapat memungkinkan
perjalanannya menuju Tuhan melalui ketersingkapan (kasyaf). Di mana dapat
terjalin komunikasi langsung pada hirarki tertinggi dari diri manusia yaitu ruh,
Sebuah komunikasi yang dapat dipahami dalam pengalaman bathin. Dimana
15
Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panji mas, 1977 ), h. 17
16
ketersingkapan meleburkan pengetahuan yang dapat menyingkapkan hakkikat dari
realitas wujud sebagai anugerah dari Yang Maha Pengasih17
Menurut Dr. Abu Al-wafa Tasawuf adalah moralitas-moralitas
berdasarkan Islam. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu al-Qayyim dalam Madarij al-
Salikhin. “Para pembahas ilmu ini telah sependapat, bahwa tasawuf adalah moral.
Al-Kattani berkata: “Tasawuf adalah moral. Barang siapa diantara kalian semakin
bermoral, tentu jiwanya pun semakin bening.” Selanjutnya Dr. Abu Al-wafa
menerangkan: “Dengan pengertian ini jelas bahwa tasawuf berarti semangat
Islam, sebab seluruh hukum Islam didadarkan pada landasan moral.”18
Memang tidak mudah untuk mendapatkan pengertian tasawuf, sebab
secara historis tasawuf telah melewati berbagai fase dari setiap
pengalaman-pengalaman batiniah para penempuhnya. Para sufi selalu berusaha untuk
mengungkapkan pengalamannya dalam kerangka ideologi dan pemikiran yang
berkembang di tengah masyarakat pada zamannya, terhitung sejak masa awal dan
kedua Hijriyyah yang diyakini sebagai cikal bakal tasawuf, sampai pada para sufi
kontemporer. Dari sudut pandang sosiologis, ia merupakan fenomena peradaban,
kultur dan realitas sosial kehidupan umat manusia. Tasawuf telah hadir dan
mengejawantahkan dirinya dalam institusi-institusi sosial yang dipengaruhi oleh
situasi dan dinamika ruang dan waktu.19
Kendati demikian, tasawuf pada esensinya adalah kehidupan rohaniyah.
Keragaman pemahaman tentang tasawuf tidak lepas dari sisi mana kita melihat.
Hamka, Renungan Tasawuf, (Jakarta: Pustaka Panji Mas 1985), h. 2
Abu al-wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Penerbit Pustaka,1997), cet. Ke-2 h. 10-16
19
Sesungguhnya seluruh pengertian-pengertian tentang tasawuf tidak lepas dari sisi
mana kita melihat. Sesungguhnya seluruh pengertian-pengertian tentang tasawuf
tidak lepas dari latar belakang, berikut tujuan-tujuan dari para penempuhnya.
Beberapa sumber Al-Qur’an memang menyatakan tentang hubungan dan
kedekatan antara manusia dengan Tuhan. Di antaranya:
(QS.Al-Baqarah. 2: 186)
Artinya : Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka
(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang
yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi
(segala perintah)- Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka
selalu berada dalam kebenaran.
Dr. Harun Nasution mengatakan demikian, bahwa Tuhan mengatakan ia
dekat dengan manusia dan mengabulkan permintaan yang memintanya. Oleh
kaum sufi da’a disini diartikan berseru, yaitu Tuhan mengabulkan seruan yang
ingin dekat kepada-Nya.20
Dalam ayat ini, Dr. Harun Nasution mengatakan bahwa: “Kemana saja
manusia berpaling, ia akan berjumpa dengan Tuhan. Demikianlah dekatnya
manusia dengan Tuhan. Bahkan di dalam ayat yang lain disebutkan bahwa Tuhan
lebih dekat daripada urat nadi yang ada di lehernya, dan masih ada ayat-ayat lain
yang berhubungan dengan hal ini.21
Seorang sufi dalam rangka pendekatan diri dengan Allah SWT, selain
melakukan disiplin spritual penyucian jiwa, ia pun harus menempuh jalan tertentu
yang sangat rumit. Jalan tersebut dinamakan maqam atau stasiun yang harus di
laluinya, adapun jumlah maqam yang ditempuh oleh setiap sufi tidak tentu sama.
Abu bakar Muhammad al-Kalabadi mengungkapkan, maqam-maqam yang harus
dilalui yaitu: Taubat, zuhud, shabar, faqr, tawadhu, taqwa, tawakal, ridha,
mahabbah, dan ma’rifah. Sedangkan maqam dalam al-Ghazali berawal dari
tauhid, wara, zuhud, kefakiran, sabar, tawakal, kerelaan hati.22
Tasawuf merupakan dimensi batin Islam (esoterik), Dapat dibedakan
dengan masalah keimanan dan syari’ah, karena dua hal tersebut menitik tekankan
pada dimensi eksoterik Tasawuf digambarkan sebagai sebuah aktivitas dalam
bentuk pendakian spiritual yang bersifat ruhiyah.
Tentang perbedaan tersebut Ibnu khaldun berpendapat
Ilmu agama itu menjadi dua bagian yang satu berkaitan dengan fuqaha dan para pemberi fatwa, yaitu mengenai hokum-hukum ibadah yang umum, adat-istiadat, maupun niaga. Dan yang satu lagi berkaitan dengan para sufi yang melakukan latihan rohaniyah, intropeksi diri, memperbincangkan rasa dan intuisi yang ditempuh dalam perjalanannya, dan cara peningkatan diri dari satu rasa ke rasa yang lain, ataupun menerapkan terminology-terminologi yang berkaitan dengan hal tersebut.23
Dalam kitab al-Lu’ma, seperti yang di tulis oleh Abu al-wafa’ Taftazani
bahwaal-Thusi menjelaskan tentang posisi ilmmu bathin (esoteris) dan ilmu lahir
21
Ibid, h. 57
22
Ibid,. h. 60
(esoterik). Kedua ilmu tersebut merupakan pengertian yang terkandung di dalam
syari’at. Hal ini pun terlihat di dalam karya al-Qusyairi yaitu, Risalah
al-Qusyairiyah. Bahwa: “Syariat (ilmu eksoterik) berkaitan dengan konsistensi
seorang hamba Allah, sedangkan hakikat (ilmu esoterik) adalah penyaksian.”24
Yang dimaksud dengan tasawuf di dalam penelitian ini adalah spiritual,
yaitu tasawuf sebagai jalan “mendekatkan diri” kepada Allah. Sehingga dengan
kedekatan seorang hamba kepada-Nya, dapat membuka pintu rahmat yang dapat
memberikan kejelasan tentang hakikat realitas yang sesungguhnya.
2. Sumber-sumber tasawuf
Sumber-sumber tasawuf dapat ditelusuri dari sumber Islam yaitu Al-Quran
dan Sunnah.25 Adapun teori-teori lain tentang sumber-sumber tasawuf
sebagaimana dikemukakan oleh para orientalis, yang menyebutkan bahwa
asal-usul tasawuf bukanlah dari ajaran Islam, melainkan dari luar ajaran Islam. Hal ini
sebagaimana di uraikan oleh Dr. Harun Nasution, dengan uraian sebagai berikut:
a. Pengaruh para rahib-rahib Kristen yang hidup sederhana dan
mengutamakan kehidupan spiritual.
b. Pengaruh filsafat mistik Pytagoras yang berpendapat bahwa roh
manusia bersifat kekal. Meyakini bahwa roh terpenjara di dalam raga. Dengan
demikian manusia harus berusaha melepaskan dan membersihkannya, dengan
24
Ibid
berusaha meninggalkan kehidupan materil dan berontemplasi untuk mendapat
kebahagiaan yang abadi.
c. Filsafat emanasi Plotinus yang mengatakan bahwa realitas terpancar dari
zat Yang Maha Esa.
d. Ajaran Hinduisme yang mendorong manusia untuk meninggalkan dunia
dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atma dan Brahman.
e. Ajaran Budha dengan paham nirwananya. Orang yang ingin mencapai
nirwana harus masuk kepada kehidupan kontemplatif dan meninggalkan
kehidupan duniawi.26
Aspek-aspek eksternal tersebut hanyalah sebatas pengaruh yang
menambah khazanah tasawuf sebagaimana ia menghasilkan
pemahaman-pemahaman yang sangat beragam. Di dalam penelitian ini aspek-aspek tersebut
adalah aspek-aspek yang hanya mempengaruhi interpretasi-interpretasi para sufi
terhadap sumbernya yaitu Al-Qur’an dan sunnah.
3. Perkembangan Tasawuf
Para ilmuwan yang mengkaji tasawuf mengindikasi asketisme (zuhud
)pada masa abad pertama dan kedua Hijriyyah sebagai cikal bakal dari tasawuf.
Asketisme di sini adalah ide menjauhi hal-hal duniawi, demi meraih pahala-pahala
akhirat, dan memelihara diri dari adzab-azab akhirat. Hidup dalam ketenangan
dan kesederhanaan penuh, sedikit makan maupun minum, banyak beribadah dan
mengingat Allah, dan berlebih-lebihan dalam merasa berdosa, tunduk mutlak
kepada kehendak Allah, dan berserah diri kepada-Nya. Asketisme ini mengarah
kepada tujuan moral.27
Ajaran Islam menjadi faktor utama dalam asketisme. Karena di dalamnya
terdapat ajaran tentang zuhud. Ada pula beberapa faktor lain yang menyebabkan
umat Islam pada masa itu memiliki kecenderungan kuat terhadap pola hidup
asketis.28
Abu al-Afifi mengatakan bahwa salah satu faktor perkembangannya
adalah “revolusi rohaniah kaum muslim terhadap sistem sosial politik yang
berlaku.” Pada waktu itu posisi Islam sebagai kekuatan politik telah menuai hasil
dari ekspansinya ke berbagai wilayah, setelah berhasil menaklukkan imperium
Persia, dimana umat Islam berkecukupan dalam hal materil dan berada dalam
keadaan ekonomi yang kuat. Keadaan itu ternyata telah membawa perpecahan
akibat perbuatan kekuasaan. Konflik-konflik politik sejak akhir masa khalifah
Utsman ibn Affan, mempunyai dampak signifikan terhadap kehidupan religius,
sosial dan politik kaum muslim, kira-kira sampai pada masa kekhalifahan Bani
Umayyah. Faktor berikutnya adalah pengaruh dari agama Masehi. Faktor ini
hanya sebatas pengaruh bukan pada tataran sumber. Karena yang dijadikan
sumber adalah Al-Qur’an dan sunnah.29
Pada abad ini para asketis mendasarkan amalnya pada rasa takut pada
tokoh-tokoh sebelumnya seperti Hasan al-Basri, lebih mengutamakan hal praktis,
Abu al-wafa’ al Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1997), cet. Ke-2, h. 55-90
28
A. Mustofa,. Akhlak Tasawuf, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1999),cet. Ke-2, h 209-214
29
berbeda dengan Rabi’ah al-Adawiyyah yang melakukan analisis terhadap
ajaran-ajarannya tentang cinta Ilahi. Rabi’ah al-Adawiyyah bukan hanya terkenal karena
kata cinta. Tetapi dia yang pertama-tama menganalisa pengertian cinta dan
menguraikannya, antara yang berdasarkan rasa ikhlas dan tulus dengan cinta yang
mengharapkan pamrih.30
Tasawuf pada periode ini telah mengarah pada suatu sistem yang
sempurna. Bahasan ditekankan pada permasalahan moral, tingkah-laku dan
peningkatannya, pengenalan intuitif langsung kepada Allah, kefanaan dalam
realitas mutlak, Allah serta pencapaian ketentraman kalbu ataupun kebahagiaan.
Para sufi menggunakan simbol-simbol dalam menggambarkan hakekat
realitas-realitas tasawuf. Tasawuf ditandai dengan adanya ciri-ciri psikologis disamping
ciri-ciri moral.31
Di sini Tasawuf dapat digolongkan menjadi dua aliran. Aliran pertama
adalah para sufi yang berpandangan moderat, sedangkan aliran yang kedua
memiliki kecenderungan atau terpesona dengan keadaan fana. Pada aliran kedua
menumbuhkan konsep-konsep hubungan antara manusia dengan Tuhan, seperti
penyatuan (hulul) dan sedikit banyak aliran mereka berkecenderungan terhadap
metafisika. Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah Abu Yazid Bustami dan
al-Hallaj. Ajarannya telah sampai pada pemikiran tentang penyatuan dan mendorong
terjadinya penyatuan tersebut.32
30
Ibid, h. 82-88
31
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1999),cet. Ke-., h. 219
32
Aliran kedua inilah yang kemudian memberikan corak dan pengaruh
terhadap para sufi periode selanjutnya. Perkembangan aliran ini menimbulkan
reaksi-reaksi kuat, bahkan ada usaha memberikan koridor atau batasan-batasan
dalam tasawuf yang dianggap telah mengalami banyak penyimpangan dari sumber
al-Qur’an dan sunnah khususnya dalam aqidah Islam.
Kemunculan tokoh-tokoh sufi berikutnya lebih memberikan tekanan
terhadap pembaharuan-pembaharuan di bidang tasawuf. Sebuah usaha untuk
mengarahkan umat Islam pada pemahaman-pemahaman al-Qur’an dan sunnah
yang lebih otentik, di dalam perspektif sunni. Memang pada abad ke lima
Hijriyyah, aliran kalam dari ahlus sunnah wal jama’ah berada pada puncaknya dan
memiliki dominasi kuat. Dengan kritikan-kritikannya yang keras terhadap
keekstriman tasawuf Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj maupun sufi-sufi lain
yang ungkapan-ungkapannya terkenal ganjil, termasuk kecamannya terhadap
berbagai bentuk penyimpangan lain yang mulai timbul di dalam tasawuf.33
Di dalam hal pembaharuan tasawuf, tokoh yang menonjol adalah
al-Qusyairi dan al-Hawari. Kemudian pada penggal kedua abad ke lima Hijriyyah
metode keduanya dalam pembaharuan diikuti oleh al-Ghazali. Dari tiga tokoh
tersebut, tasawuf sunni memiliki pengaruh kuat yang begitu dalam, terpancang
untuk jangka waktu yang sangat panjang.
Salah satu tokoh yang lain adalah Abu Ismail Abdullah ibn Muhammad
al-Anshari yang lebih dikenal dengan al-Harawi. Dalama karyanya manazil
al-Sa’irin ila Rabb al-‘Alamin, ia melakukan reinterpretasi terhadap salah satu
33
doktrin tasawuf yang berhubungan dengan kefanaan yang menjadi pusat perhatian
pada saat itu. Dalam bukunya itu, dijelaskan tentang prinsip-prinsip yang menjadi
batasan bagi seseorang yang hendak melakukan perjanjian rohani agar terpelihara
dari penyimpangan.
Menurut al-Harawi, ketika seseorang yang berada dalam tingkatan fana
berpotensi mengucapkan ucapan ganjil (syatani). Karena menurut al-Hawari:
”Hakikat dari kefanaan adalah ketidaksadaran atas segala sesuatu selain Yang
Disaksikan, bahkan juga ketidak sadaran terhadap penyaksiannya berikut dirinya
sendiri.” Menurut al-Harawi seseorang yang mengucapkan ucapan ganjil
merupakan bagian dari ketidaktentraman di dalam bathin, diakibatkan dari kondisi
tersebut. Dimana kejamakan sirna dalam kesatuan. Selanjutnya menurut
al-harawi: ”Ketentraman itu timbul dari perasaab ridha atas bagian yang diterima.
Ketentraman tersebut bisa mencegah ungkapan ganjil (buruk), dan membuat
orang yang mencapainya tegak pada batasan tingkatannya.” Jadi seseorang harus
menanamkan di dalam kalbunya yang paling dalam berupa batasan. Bahwa
tingkatan kedudukannya tidak lebih dari seorang hamba.34
Seiring perkembangan tradisi intelektual di dunia Islam yang begitu pesat
di penggal kedua abad Hijriyyah. Para sufi-sekaligus pemikir Islam-pada saat itu
bukan hanya disibukkan dengan permasalahn doktrinal di dalam tasawuf,
sebagaimana al-Qusyairi dan al-Harawi. Hal ini tidak lepas dari permasalahan
filsafat, teologi, dan pengaruh perkembangan aliran batiniyah Syi’ah. Nama
al-Ghazali mulai mencuat pada abad ini. Dengan wawasan dan pengetahuannya yang
34
bercorak ensiklopedis, sekaligus kritis –dengan kritik-kritiknya yang tajam- dan
hal lain yang menjadi pertimbangan adalah kedudukannya sebagai ulama yang
gigih membela tasawuf. Maka tidak heran pada masanya ia digelari Hujjatul Islam
di kalangan ummat. Ini menjadi tolak ukur bagi posisinya yang terkemuka.35
Pada masa al-Ghazali dapat di katakan bahwa tasawuf telah sampai pada
metodenya yang lebih praktis dan teliti. Petunjuk bagi para penempuh jalan
tasawuf telah di deskripsikan secara komprehensif oleh al-Ghazali di dalam
karya-karyanya seperti di antaranya Ihya’ ‘Ulum al-Din. Tasawuf sunni telah memiliki
dominasi kuat dibandingkan tasawuf-tasawuf lain yang cenderung tersisihkan di
bawah pengaruh kuat al-Ghazali.36
Pada jangka satu abad kemudian mulai terlihat adanya pengkompromian
antara ajaran tasawuf dan filsafat. Yang sekaligus memberikan coraknya pada
aliran tasawuf ini. Aliran ini dikenal dengan tasawuf filosofis, Pada esensi ajaran
tersebut berupa pemaduan antara visi dan misi rasional. Dalam ajarannya aliran
tasawuf ini banyak mengadopsi terminologi-terminologi ajaran filsafat yang sudah
disesuaikan dengan ajaran tasawuf yang mereka anut. Menurut Dr. abu al-wafa’,
yang didasarkan pada para pengkaji tasawuf filosofis. “Perhatian para penganut
aliran ini terutama diarahkan untuk menyusun teori-teori wujud berdasarkan rasa
(dzawq) yang dijadikan dasar bagi tasawuf mereka. ”Walaupun aliran tasawuf ini
menggunakan termonologi filsafat di dalam doktrinnya.
Aliran tasawuf ini dari satu sisi lebih dikenal dengan istilah hikmah
sebagai sintesa dari tasawuf dan filsafat. Tokoh yang pertama kali
35
Ibid, h. 148
36
memperkenalkan istilah ini adalah al-Syuhrawardi al-Maqtul dalam karyanya
yang berjudul Hikmah al-Isyraqi. Beliau diyakini sebagai tokoh pertama aliran
tasawuf jenis ini, yang berhasil menggambarkan realitas pengetahuan intuitif
dalam kerangka pemahaman yang bersifat rasional.
Walaupun pada abad ini dalam perspektif perkembangan tasawuf lebih
difokuskan pada jenis tasawuf falsafi tetapi pada kenyataan sejarahnya tasawuf
sunni dibawah pengaruh al-Ghazali tetap mengalami perkembangan pesat.
Tasawuf praktis dan konseptual al-Ghazali tetap memiliki pengaruh.
Dr. Abu al-Wafa’ menyebutkan bahwa: Periode abad keenam dan ketujuh HIjriyyah ini pun tidak kalah pentingnya dengan periode-periode sebelumnya. Pada periode ini justru tasawuf telah menjadi semacam filsafat bagi sebagianmasyarakat Islam. Tasawuf menjadi memiliki aturan-aturan, prinsip system khusus; dimana sebelumnya ia hanya dipraktekkan secara individual, dalam dunia Islam tampa adanya ikatan satu sama lain.37
Hamka menanggapi perkembangan tasawuf dengan sangat teliti, Ia
mengatakan bahwa perkembangan tasawuf dalam percaturannya dengan
pergerakan waktu dan perubahan-perubahan sosial, hanya dalam bentuk-bentuk
aksidentalnya saja, tidak pada tingkatan prinsipil. Ia sendiri pun dalam pemikiran
tasawuf lebih kepada menyesuaikan dengan kondisi-kondisi kemodernan.
Mengemas tasawuf agar dapat diterima dikalangan masyarakat modern.
Ia memperkenalkan tasawuf kepada masyarakat modern, bahwa Islam
memiliki tradisi esoterik yang merupakan bagian integral sekaligus jantung dari
ajaran Islam. Ia menawarkannya sebagai metode terapi atas manusia modern yang
sedang mengalami krisis.
37
Sehingga menurut saya tasawuf dalam perspektif Hamka lebih dapat
diteima secara luas dalam dunia kontemporer. Menimbang posisi Hamka, dalam
hal ini ia selain seorang ulama, ia adalah seorang penulis dalam berbagai disiplin
ilmu seperti sastra, filsafat, tafsir, dan filsafat. Yang mempunyai cita-cita
terciptanya system pendidikan modern38
B. Penjelasan tentang Krisis Manusia Modern
Manusia modern yang dimaksudkan di dalam penelitian ini adalah
manusia dengan cara pandangnya yang didasarkan pada asumsi-asumsi filosofis,
yang di antaranya yaitu rasionalisme dan sains-sains modern, bukan cara pandang
yang sempit, mengisolasi diri, yang sejatinya adalah ajaran yang tidak melenceng
dari ajaran hakikat Islam sehingga menjadi khalifah di muka bumi ini.39
Dalam penelitian ini, cara pandang manusia terjebak di dalam berbagai
problem dan krisis, khususnya sejak manusia mulai memasuki milenium ke tiga
ini, yang sekaligus merupakan krisis kompleks dan mulitidimensional. Krisis
ekologis, kekerasan, moral, kriminalitas, kesenjangan sosial, serta ancaman
kelaparan dan penyakit yang masih menghantui dunia. Dan problem kehidupan
pada era reformasi ini pun telah merambah kehidupan personal. Terbukti makin
maraknya Kasus-kasus yang sangat memprihatinkan kita semua.40
Dengan maraknya kasus-kasus yang diakibatkan oleh krisis di dunia
modern ini berkaitan dengan bagaimana Cara kita hidup dan cara pandang kita.
38
Biografi Hamka “Ensiklopedi Islam Indonesia” disusun oleh Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ketua Prof. Dr. H. harun Nasution, (Jakarta: Penerbit Djambatan 1992) h. 294
Husein Harianto.,Paradigma Holistik, ( Jakarta: Penerbit Teraju 2003 ). h. 6-8
40
Citra yang dimiliki manusia tentang realitas, akan mempengaruhi perbuatan,
kepercayaan, tingkah laku sosial dan kehidupan pribadi manusia itu sendiri.41
Cara pandang tersebut di atas telah menciptakan kekacauan, yaitu sebuah kondisi
yang sedemikian rupa berbahaya dan menuntut sebuah keputusan untuk
penanganan secara intensif untuk menangani krisis tersebut.42
Esensi dari krisis manusia modern pada dasarnya adalah bahwa cara
pandang manusia modern yang serba mekanis dan memandang sesuatu dengan
materialistis sebagaimana di sebutkan di atas ternyata sudah tidak memadai lagi
dan tidak relevan di praktekkan dalam kehidupan nyata saat ini, karena pada
akhirnya mereka terjebak pada sebuah kondisi dimana mereka berada di dalam
keraguan akan adanya jalan lain yang bisa dijadikan pegangan hidup. Mereka
terjebak di dalam kabut kegelapan yang tidak dapat memungkinkannya untuk
memilih antara kebenaran yang benar-benar riil dan ilusi. Setelah mereka sadari
bahwa modernisme yang telah mereka jadikan pandangan hidup, ternyata tidak
selalu berkorelasi positif terhadap diri dan lingkungannya.
C. Tasawuf Sebagai Metode Terapi
Di dalam penelitian ini penulis mengemukakan bahwa tasawuf bisa
dijadikan sebagai metode terapi dalam penanganan krisis yang terjadi. Tasawuf
bisa dijadikan sebagai cara yang sistematis atau cara yang teratur dan berpikir
dengan baik dalam melakukan penyembuhan. Hal ini dimaksudkan untuk
41
Ibid., h. 24
pencapaian sebuah tujuan secara efektif, dengan didasarkan pada tasawuf dari
pemikiran Buya Hamka.43
Metode terapi di dalam penelitian ini menitiktekankan pada pendekatan
holistik dan tidak ditujukan kepada pendekatan yang bersifat partikular dari setiap
problem-problem yang dihadapi manusia modern. Maksudnya, secara teknis tidak
menitiktekankan pada aspek-aspek mentalitas manusia, seperti depresi, psikopat,
dan stress dll. Tetapi ditujukan kepada esensi krisis yang sesungguhnya. Tentunya
ini telah disesuaikan dengan pemikiran Hamka yang akan dibahas lebih lanjut di
dalam bab berikutnya.
Untuk memahami konteks ini, perlu kiranya kita melakukan penelusuran
atas hubungan tasawuf dengan terapi. Terapi dalam konteks keilmuan di
identikkan dengan permasalahan medis yang bersifat klinis. Tentu saja tasawuf
tersisihkan di dalam klaim riset ilmiah ini. Ketidaklayakan tersebut dilihat dari sisi
metodologi keilmuan tasawuf yang mengandalkan pola pengetahuan intuitif.
Sebagaimana pandangan Fazlur Rahman: “Kecenderungan kaum sufi guna
mengapresiasikan masalah pengobatan hanya melalui pemahaman intuitif, tanpa
Kajian sistematik ilmiah berdasarkan hukum-hukum alam sebagaimana yang
dikemukakan dalam ilmu ilmu kedokteran.”44
Di kalangan dunia Islam sendiri, tasawuf -dalam hal ini para sufi-
dipandang tidak memiliki kontribusi terhadap perkembangan ilmu medis,
43
Ibid., “Terapi”, h. 580
44
khususnya sejak kemajuan pesat di paruh abad keempat Hijriyyah. Dengan
ditandai oleh kemunculan Abu ‘Ali Husein ‘Abdullah Ibnu Sina.
Literatur- literatur klasik Islam dipandang telah membuktikan, bahwa ilmu
tersebut bukan maju ditangan para sufi, melainkan filosof, fuqaha’, politisi
(penguasa) dan para hartawan-dermawan. Pustaka-pustaka Islam menyebutkan
mereka yang berjasa dalam ilmu ini seperti: Ibnu Sina yang menulis Al-Qanun fi
al-Tibb san Al-Syifa’, Abu Zakariyya al-Razi yang menulis Hidayah al-Hukama’
(sejarah para dokter dan filosof), Abu ‘abdullah Muhammad Dzahabi, Ibnu
al-Qayyim al-Jauziyyah penulis karya Al-Tib al-Nawawi (pengobatan Nabi), dua dari
yang tercantum terakhir adalah muhaddits dan selebuhnya adalah filosof. Semua
sarjana ini menulis seluruh tatacara pengobatan rasulullah, baik yang berkaitan
dengan penyakit hati maupun lahir, baik melalui pengobatan alami, Ilahi maupun
melalui kombinasi antara keduanya.45
Terapi di dalam penelitian ini merupakan usaha untuk memulihkan
keadaan yang sedang sakit, sebagaimana dalam kamus besar bahasa Indonesia.46
Tetapi spesifikasinya lebih kepada pengobatan atau penyembuhan penyakit hati
(spritualitas). Seperti terdapat di berbagai literature dari para sufi seperti Jalal
al-Din Rumi, al-Ghazali, Ibnu al-‘Arabi dan sebagainya.
Diharapkan dari efektifitas tasawuf yang dijadikan sebagai metode terapi
ini, dapat menyembuhkan manusia modern dari krisis yang dihadapinya. Pada
45 Dr. Abdurrahman Abdul Khaliq, Tasawuf dan Islam (Jakarta: Penerbit AMZAH,
2000), h. 2
46
akhirnya keraguan dapat melebur di dalam pengalaman batiniah yang tidak akan
27 A. Latar Belakang Sosial dan Intelektual
Buya Hamka adalah salah satu seorang tokoh besar islam Indonesia yang
sangat populer setelah zaman kemerdekaan. Hamka tidak hanya dikenal sebagai
ulama dan pemuka Islam, Disisi lain beliau pun seorang budayawan, sejarawan,
dan juga seorang tokoh Muhammadiyah yang sangat besar peranannya dalam
mengembangkan faham dan cita-cita Muhammadiyah.
Di tepi danau Maninjau, di suatu kampung bernama Tanah sirah,
termasuk daerah negeri sungai batang. Pada hari ahad petang malam senin tanggal
13 Muharram 1326 H atau tanggal 16 Februari 1908, lahirlah seorang Bayi
laki-laki dalam keluarga ulama Dr. H. Abdul Karim Amrullah47. Ayahnya Dr. H.
Abdul Karim Amrullah merasa sangat bahagia lantaran yang lahir dari rahim
istrinya Siti Syafiyah adalah seorang bayi laki-laki yang selalu di dambakannya.
Menurut nenek Hamka, ayahnya sangat ingin mempunyai anak lakilaki yang jika
nanti sudah dewasa akan di kirim ke Mekkah untuk belajar agama agar nantinya
menjadi ulama seperti dirinya. Hal ini dikisahkan sendiri oleh Hamka dalam
bukunya Kenang-Kenangan Hidup.
Waktu kelahiran Hamka, Ayahnya bergumam tentang makna sepuluh
tahun, ketika beliau ditanya apa makna sepuluh tahun itu, beliau menjawab;
sepuluh tahun ia akan dikirim belajar ke Mekkah, supaya kelak ia akan menjadi
47
orang alim seperti aku pula, seperti neneknya, dan seperti neneknya yang
terdahulu.48
Predikat keulamaan Hamka yang melekat pada dirinya adalah faktor
keturuan, terutama dari ayah dan kakeknya. Ayahnya adalah seorang ulama
terkenal di Sumatera Barat, sewaktu muda Hamka dikenal dengan nama Haji
Rasul yang dikenal sebagai tokoh ulama ”kaum muda” gerakan pembaharuan
Islam di Minangkabau.49 Kakek Hamka adalah seorang ulama penganut tarekat
Naqsyabandiyah,50 keturunan salah satu pahlawan Paderi Abdul Arif, yang
bergelar Tuanku Pauh Pariaman atau Tuanku Nan Tuo yang menyiarkan Islam ke
Padang Barat sampai Maninjau.51
Hamka kecil diberi nama Abdul Malik, nama itu di ambil dari Dr. Haji
Abdul Karim Amrullah syekh Ahmad Khatib di Mekkah, yang bernama Abdul
malik pula.52 Hamka mengawali pendidikannya dengan membaca Al-qur’an pada
ayahnya. Setahun kemudian Abdul Malik telah berusia tujuh tahun, barulah
ayahnya mendaftarkannya sekolah desa (sekolah dasar) pada pagi hari, kemudian
di masukkan lagi sekolah diniyah (sekolah agama) yang belajar sore harinya.
Pada waktu malam hari Hamka kecil mengaji pada kakak perempuannya
Suatu ajaran tarekat dengan menghadirkan guru dalam ingatan. Cara ini harus ditempuh oleh penganutnya bila mereka sedang mengerjakan Shuluk
51
Hamka, Ayahku , (Jakarta: Uminda,1992), cet. Ke-4, h. 46
52
‘amma), diadakan upacara khataman “.53 Namun di sekolah dasar Hamka kecil
hanya sampai kelas 2 SD.
Rutinitas kegiatan belajar yang begitu padat, membuat Hamka kecil
merasa tertekan, ditambah lagi dengan sikap ayahnya yang otoriter sehingga
menimbulkan perilaku menyimpang dalam pertumbuhan Hamka. Hampir setiap
hari Hamka bergaul dengan para “Parewa” , 54 sehingga Hamka terpengaruh
dengan tingkah laku kelompok itu seperti berkelahi, menyabung ayam, memanjat
pohon jambu, dan mengambil ikan di tebat milik orang lain.55
Pada tahun 1918, ayah Hamka Haji Rasul mendirikan madrasah yang
bernama “Thawalib School” kemudian ayahnya memasukkan Hamka kecil ke
sekolah tersebut, dengan harapan jika dewasa Hamka juga menjadi ulama seperti
dirinya.56
Sementara Hamka kecil mencoba terus untuk menyesuaikan hidupnya
dengan prinsip sang Ayah, Sejak kecil Hamka hidup terlantar dalam kekecewaan,
Ia lebih banyak bermain dari pada belajar serius, sehingga pada akhirnya“
kenakalannya” berubah menjadi semacam “pemberontakan”.57
Berbagai rintangan yang dilalui Hamka, tidak melemahkan semangatnya
untuk ke tanah Jawa. Setahun kemudian ketika Hamka berusia 16 tahun, tanpa kehidupan keluarga hidup mereka berjudi, menyabung ayam, berkelahi, dan lain-lain.
55
Hamka, Kenang-kenangn Hidup, (Jakarta, Bulan Bintang 1974), Jilid I, cet Ke-3, h. 43-44 & 58
56
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta :Pustaka Panji Mas, 1990), cet. Ke-1, h. 36
57
bisa dihalangi oleh ayahnya, berangkatlaah Hamka untuk yang kedua kalinya ke
tanah Jawa pada tahun 1942. Dalam pencarian ilmu di tanah Jawa Hamka
memulainya dari kota Jogjakarta, kota kelahiran organisasi Muhammadiyah.
B. Pendidikan dan Pengalaman Hamka
Akhir tahun 1924 Hamka muda berangkat ke Yogyakarta dengan
menumpang seorang saudagar yang akan pergi ke kota itu. Tampaknya kota
Yogyakarta memberi angin segar bagi Hamka muda.
Hamka untuk bertemu dan berkenalan dan beberapa guru yang
kedudukannya sebagai tokoh penggerakan Islam modern seperti berguru kepada
Ki Bagus Hadikusuma dalam penafsiran dalam kitab suci Al-Qur’an, berguru
kepada H.O.S Cokroaminoto tentang paham “Sosialisme dan Islam“, berguru
kepada H. Fakhruddin tentang agama Islam dalam tafsiran modern dan berguru
kepada R.M. Suryapranoto tentang “Sosiologi“ 58
Setelah beberapa hari di Yogyakarta Hamka kemudian berangkat menuju
pekalongan, menetap di rumah suami kakaknya yang juga aktifis Gerakan
Syarikat Islam yang dipelopori oleh H.O.S Cokroaminoto. Dia adalah AR. Sultan
Mansur, ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan. Beliaulah yang menanamkan
bekal “jiwa perjuangan” pada diri Hamka, sekaligus seorang guru yang sangat
berpengaruh dalam pertumbuhan pribadi Hamka selanjutnya. Sejak itu Hamka
58
mulai berpidato, memberi ceramah di berbagai tempat sebagai penyiar Islam.
Usianya waktu itu masih relatif muda, yaitu masih 16 tahun.59
Pada pertengahan tahun 1925 Hamka muda pulang kembali ke Maninjau,
kampung halamannya, dengan semangat “revolusioner” dan bekal selama setahun
di tanah Jawa, Hamka mulai berani berpidato dimana-mana. Kemampuan
beretorika maupun menulis telah menjadikannya pada posisi istimewa di kalangan
teman-temannya. Hamka kemudian membuka kursus pidato di surau Jembatan
besi,60 tempatnya dulu mengaji. Kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya
sebagai orang pergerakan semakin terbukanya lebar dengan di dirikannya
organisasi Muhammadiyah di maninjau dan tabligh Muhammadiyah di Padang
Panjang, yang kedua organisasi itu didirikan oleh ayahnya, wadah ini dijadikan
Hamka sebagai motivasi dalam melatih diri sebagai Mubaligh. Dalam buku
Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka, dijelaskan:
“Sebagai orang gerakan, ia memperluaskan cakrawala pemikiran dan kemampuan komunikasi intelektualnya. Ia mulai berlangganan surat-surat kabar dari Jawa, yang terpenting pengetahuan perkembangan dunia Islam. Untuk memperluas cakrawala tentang pengetahuan perkembangan dunia Islam berlangganan ‘Seru Azhar’ yang dipimpin oleh Mukhtar Luthfi dan Ilyas Ya’kub di Mesir. Dari sini diperoleh informasi tentang perkembangan dan gerakan Islam internasional”61
Pengalaman Hamka dalam mengelola pendidikan ayahnya, ia terapkan
dengan mengadakan kursus-kursus Muhadharah (pidato) bagi anak-anak muda
lainnya. Kemudian hasil dari kumpulan-kumpulan pidato itu disusun menjadi
59
Moh. Damami, Tasawuf Positif (Yogyakarta: Fajar Pustaka baru 2000) cet ke 1, h. 42
60
Fachri Ali, Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia : catatan pendahuluan dan riwayat perjuangan dalam kenang-kenangan 70thn Buya Hamka (Jakarta : Pusaka Panji Mas, 1983), cet. Ke-3,h. 91
61
majalah yang bernama “Khatibul Ummah” Majalah ini yang pertama diasuhnya
pada tahun 1925. Setelah itu Hamka menerbitkan majalah “Tabligh
Muhammadiyah”, pada tahun yang sama dimana ia sendiri sebagai pimpinannya.
Maka pada Februari 1927, berangkat Hamka ke tanah suci. Dengan
bekal seadanya dan bahasa yang “pas-pasan”, ia bersama teman-temannya sesama
jama’ah haji lainnya mendirikan organisasi Persatuan Hindia Timur. Tujuan
utamanya memberikan pelajaran manasik haji kepada calon jama’ah haji
Indonesia.
Sepulang Hamka dari tanah suci, dengan predikat haji di depan namanya,
memperjelas “legitimasi” Hamka sebagai ulama di Minangkabau. Sedikit demi
sedikit pengukuhan sebagai ulama penganjur Islam mendapat tempat di hati
masyarakatnya. Julukan semua si “tukang pidato” dahulu berubah sekarang
menjadi orang alim, anak yang akan mengganti kedudukan ayahnya sebagai
ulama terpandang ketika itu.62
Setelah ayahnya melihat perubahan pada diri hamka, kemudian Hamka di
nikahkan dengan seorang gadis berusia 15 tahun yang bernama Siti Raham.
Ketika itu Hamka berusia 21 tahun. Hamka diserahi ayahnya mengelola sekolah
Tabligh School. Setelah itu ia mengaktifkan dirinya pada organisasi
Muhammadiyah. Menurut Fachri Ali :
“… beberapa saat setelah pernikahannya ia aktif sebagai pengurus Muhammadiyah cabang Padang Panjang, yang akan mengadapi kongres Muhammadiyah ke-19 di Munangkabau. Setahun kemudian (1930), ia mendirikan cabang Muhammadiyah di Bengkalis dan langsung menghadiri konges Muhammadiyah yang ke-20 di Yogyakarta pada tahun itu juga. Setahun kemudian (1931), ia diutus oleh pengurus besar Muhammadiyah Yogyakarya ke Makasar
62
menjadi mubaligh Muhammadiyah. Pada tahun 1933 ia menghadiri kongres Muhammadiyah di semarang dan pada tahun 1934 ia menjadi anggota tetap majlis kongres Muhammadiyah sumatera Tengah.”63
Berbagai jabatan yang telah di sandangnya dalam organisasi, membuatnya
seringkali diundang untuk tampil diberbagai forum resmi sebagai pembicara.
Hamka kemudian dipercayakan oleh pimpinan pusat Muhammadiyah untuk
ditugaskan ke Makasar sebagai mubaligh. Sepulangnya dari Makasar Hamka
mendirikan pergutuan “Kullyatul Muballighin” Muhammadiyah di Padang
Panjang.
Setelah dari Medan Hamka pulang ke Sumatera Barat (Padang Panjang)
pada tahun 1945. Kemudian ia kembali di serahi ayahnya untuk memimpin lagi
Kullyatul Muballighin, Ia mulai lagi dari sini melanjutkan misi perjuangannya,
lewat ketajaman penanya, ia mempelopori dan memberikan dorongan kepada
kawan-kawan seperjuangannya untuk maju merebut kemerdekaan Indonesia.
Adapun buku-buku hamka yang menggugah itu antara lain; Islam dan Demokrasi,
Negara Islam Revolusi Agama, Revolusi Pikiran, Dari Lembah Cita-cita, Adat
Minangkabau Menghadapi Revolusi.64
Tahun 1946 Hamka terpilih menjadi Ketua Muhammadiyah cabang
Padang Panjang, melalui konferensi Muhammadiyah yang di adakan di kota itu.
Posisi demikian membuat Hamka mempunyai banyak kesempatan untuk
mengunjungi cabang-cabang Muhammadiyah di Sumatera Barat. Peluang itu
dipergunakan untuk memotivasi kegiatan-kegiatan cabang dalam rangka
Fakhri Ali, Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia : catatan pendahuluan dan riwayat perjuangan dalam kenang-kenangan 70thn Buya Hamka (Jakarta: Pusaka Panji Mas, 1983), cet. Ke-3, h. 472
menggalang kesatuan dan persatuan bangsa, sehingga Hamka dipandang
masyarakat tidak hanya sebagai ulama akan tetapi ia juga sebagai pejuang
kemerdekaan.65
Pada tahun 1947 Hamka dipercayakan oleh masyarakat dalam perjuangan
bersenjata melawan penjajah Belanda, yang dikenal dengan nama Front
Pertahanan Nasional (FPN).66 Pada situasi yang seperti itupun Hamka masih
sempat menerbitkan sebuah majalah di padang Panjang denga nama “Menara”67
Hamka telah membuktikan ucapannya, bahwa dengan kegiatan politik praktis
ternyata tidak mengganggu akitifitas utamanya sebagai mubaligh. Kegiatan ini
diperkuat oleh Dr. M. Yunan Yusuf, dalam bukunya Corak Pemikiran Tafsir
Al-Azhar, sebagai berikut :
Pada tahun 1955 berlangsung pemilihan umum di Indonesia, dan Hamka terpilih sebagai anggota konstituante dari partai Masyumi. Hamka membuktikan bahwa dengan kegiatan politik praktis, tugas utamanya sebagai mubaligh dan pejuang Islam tidaklah terganggu. Lewat konstituante Hamka dengan gigih memperjuangkan kepentingan Islam sesuai dengan garis kebijakan partainya Masyumi.68
Kemudian Hamka diangkat pemerintah Indonesia untuk menjabat sebagai
penasehat Departemen Agama (DEPAG). Menjadi pejabat tinggi Negara
membuatnya banyak mengikuti berbagai pertemuan dan konferensi di dalam dan
luar negeri. Pada tahun 1952 Pemerintah Amerika Serikat mengundang Hamka
untuk berkunjung selama empat bulam di negaranya. Banyak hikmah yang di
65
Ibid h. 478 Ibid
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta, Bulan Bintang 1974), Jilid I, cet Ke-3, h. 292
68
dapatnya sekembalinya dari Negara tersebut, antara lain terbukanya pandangan
terhadap Negara non Islam, kemudian diterbitkanlah sebuah buku Perjalan Empat
Bulan di AS sebanyak dua jilid, Sesudah itu secara berturut-turut Hamka menjadi
anggota misi kebudayaan ke Muangtahi pada tahun 1953, mewakili DEPAG
menghadiri peringatan mangkatnya Budha yang ke 2500 di Burma (1945). 69
kemudian Hamka menghadiri undangan dari Universitas Al-Azhar di Kaio Mesir
dengan memberikan ceramah tentang pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia.
Di perguruan tinggi itulah Hamka dianugerahi gelar “Doktor Honoris Cause”.
Pergulatan politik yang terjadi di Indonesia kian hari kian tak menentu”…
Soekarno mulai memamerkan kekuasaannya, sementara PKI bangkit sebagai
kekuatan yang cukup signifikan, Hamka bersama Natsir termasuk yang
menentang ide Soekarno…70 yang dikenal dengan nama “Demokrasi Terpimpin”
Secara perlahan-lahan demokrasi terpimpin mulai diselewengkan akibat pengaruh
PKI, sehingga Pancasila dan UUD 1945 hanya dijadikan semboyan belaka,
sebagai gantinya oleh PKI diisi dengan “Nasional Agama dan Komunis
(NASAKOM).71 Setelah Soekarno membubarkan Masyumi pada tahun 1960,
otomatis peta kekuatan umat Islam mulai melemah. Hamka tidak lagi berpolitik
praktis, kemudian ia mengalihkan perhatiannya kepada dakwah Islamiyah, yang
berpusat di Mesjid Agung Kebayoran Baru. Dari sinilah terbitnya Majalah “Panji
Masyarakat” dan “Gema Islam”.72
69 Ibid
Fachri Ali Hamka dan Masyarakat Indonesia: Catatan pendahuluan dalam riwayat kenang-kenagan 70th buya Hamka (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983) cet ke-3 h. 91
71
Ali Mustapa, Strategi Politik Nasional, (Jakarta: Yayasan Proklamasi (SIS) 1974), h. 8
72
Pada tahun 1975 untuk pertama kalinya pemerintah Republik Indonesia
membentuk organisasi Ulama Indonesia, yang disebut MUI. Pada waktu itu
pemerintah mempercayakan Hamka sebagai ketua umumnya. Dari berbagai
macam kegiatan yang telah dilalui, usianya sudah mulai menua, membuat
kesehatannya terganggu secara serius, “… hamka masuk rumah sakit menjelang
peringatan hari ulang tahun yang ke-70, jatuh pada tanggal 16 february 1978”.
Setelah kesehatannya agak membaik hamka pulang ke rumah, para
sahabanyamenyerahkan buku dengan judul kenang-kenangan 70 tahun Buya
Hamka. “..Sejak itu Hamka tidak lagi banyak melakukan kegiatan ke luar negeri,
ia lebih banyak menunggu orang datang ke rumahnya untuk berkonsultasi tentang
masalah keagamaan dan persoalan kehidupan”.73
Hamka meninggal dunia pada tanggal 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun,
dengan dikelilingi oleh sanak keluarganya dan teman dekatnya. Hamka wafat
dalam suatu penyelesaian tugas yang telah ia selesaikan, “Ia meninggalkan dunia
ini denan senyum, nyaris suatu keajaiban. Dada orang yang ditinggalkannya
menyesak dan bergelimbung oleh tangis. Teapi setelah tangis reda, masa
berkabung telah lewat, yang mengental dalam dada adalah semangat hidupnya”.74
Dalam kapasitasnya sebagai mantan ketua umum MUI, Hamka memastikan
eksistensinya sebagai ulama dan menggenapi koridor hidupnya sendiri “Sekali
bakti, sudah itu mati”.75
73
Ibid , h. 53
Nasir Tamara, Hamka di Mata Hati Umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), cet. Ke-3, h. 97
75
C. Beberapa Karya Hamka dan yang mempengruhi Pemikirannya
Sebagai seorang cendekiawan dengan pengetahuan yang begitu luas,
Hamka telah mencurahkan perhatiannya kepada hampir seluruh segi-segi
kehidupan. Perhatian Hamka itu terefleksi dalam sejumlah karya intelektualnya.
Lewat karya-karya inilah Hamka terus bersama generasi yang ditinggalkannya.
Karya-karya sangat banyak dan mencakup berbagai pembahasan yang
beraneka ragam, dari pembahasan filsafat, tasawuf, theologi, akhlak dan tafsir dll,
Adapun diantara sekian banyak karya-karya yang berhubungan dengan penulisan
skripsi ini adalah :
1. Hamka, Khatibul Ummah I 2. Hamka, Khatibul Ummah II 3. Hamka, Khatibul Ummah III
4. Hamka, Ringkasan Tarikh Ummat Islam (1929) 5. Hamka, Hikmat Isra’ Mi’raj
6. Hamka, Arkanul Islam (1932)
7. Hamka, Di Bawah Lindungan Ka’bah ( 1934) 8. Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (1937) 9. Hamka, Pedoman Mubaligh Islam (1937)
10.Hamka, Di Dalam Lembah Kehidupan (1939) 11.Hamka,Keadilan Ilahi (1939)
22.Hamka, Di dalam Lembah Cita-cita (1946)
25.Hamka, Pidato Pembelaan Peristiwa 3 maret (1947) 32.Hamka, Keadilan Sosial dalam Islam (1950)
33.Hamka, Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad (1952) 34.Hamka, Urat Tunggang Pancasila
35.Hamka, Bohong di Dunia
36.Hamka, Empat Bulan di Amerika, Jilid I, II, III, & IV 37.Hamka, Lembaga Hikmat
38.Hamka, Kenang-kenanngan Hidup, Jilid I, II, III, & IV 39.Hamka, Sejarah Umat Islam, JIlid I, II, III, & IV 40.Hamka, Pelajaran Agama Islam
41.Hamka, Pengaruh Ajaran Muhammad Abduh di Indonesia 42.Hamka, Mandi cahaya di Tanah Suci
43.Hamka, Mengembara di Lembah Nyl
49.Hamka, Hak-hak Asasi Manusia di Pandang dari Segi Islam. 50.Hamka, Fakta dan Khayal Tuan Rao
51.Hamka, Cita-cita Kenegaraan Dalam Ajaran Islam 52.Hamka, Kedudukan Perempuan dalam Islam 53.Hamka, Islam dan Kebathinan
54.Hamka, Study Islam
55.Hamka, mengambil Tasawuf ke Pangkalnya.
Dari sekian banyak tokoh yang mempengaruhi pemikiran Hamka pada
setiap karya nya adalah Imam al-Ghazali yang banyak mempengaruhi pemikiran
beliau, itu karena disebabkan oleh kedua tokoh sufi ini mempunyai corak
pemikiran yang sama yaitu tasawuf akhlaki. Seorang tokoh pembaharu di Mesir
Abduh yang mempengaruhi pemikiran Hamka dalam setiap pemikiran
Khataab yang pendapat-pendapatnya sering di tulis Hamka dalam setiap buku
39 A. Krisis Manusia Modern
Penjelasan secara detail dan terperinci tentang pemikiran Hamka yang menyangkut krisis manusia modern yang terjadi saat ini memang tidak di
paparkan secara kongkrit oleh Hamka dalam artian Hamka memang tidak
berbicara khusus tentang krisis manusia mdern dalam beberapa karyanya, namun
analisa Hamka tentang pola hidup manusia sehingga mengakibatkan krisis di
zaman modern ini banyak beliau paparkan dalam hampir semua karya tulisnya
yang menyangkut dengan keislaman dan pengetahuan ilmu agama, maka dalam
penelitian ini penulis dapat meramu dan mengambil inti dari beberapa pemikiran
Hamka yang tersebar dalam beberapa karyanya yang sedikit banyak berbicara
tentang krisis manusia modern.
Sejatinya kehidupan manusia modern bukan hanya berdampak negative
dalam kehidupan kita saat ini, banyak pengaruh positif yang ditimbulkan oleh
dunia modern seperti kemajuan teknologi yang mempermudah kehidupan
masyarakat kita. Juga dampak pola piker yang rasional bisa diarahkan kea rah
yang positif pula, namun dalam penelitian ini penulis hanya mencoba
memaparkan dampak negative yang ditimbulkan oleh zaman modern ayang
berakibatkan krisis pada masyarakat kita.
Menurut Hamka krisis manusia modern yang terjadi saat ini disebabkan
mencintai dunia dan mengejar kebutuhan materi yang terlalu jauh. Yang dicari
adalah keuntungan materi, pangkat dan martabat. Manusia modern telah terjebak
dalam kemusyrikan, membela Allah tapi untuk mendewakan pangkat dan materi
kebendaan.76Manusia modern selalu menjadikan harta sebagai ukuran kesuksesan,
sehingga manusia tersebut lupa akan nilai-nilali agama, dan perintah Tuhan sudah
tidak dijalankan kembali karena terlalu sibuk dengan duniawi.
Dalam pandangan Hamka kehidupan manusia modern serba dinilai dari
ukuran rasionalitas pikiran manusia, ia lupa makna hidupnya, ia lupa akan
kekuatan Tuhan dalam dirinya, manusia modern hanya menpercayai sesuatu bila
sejalan dengan pikirannya, tapi tidak pernah menggunakan hati sebagai bahan
pertimbangan hidupnya.
Faktor Kedua penyebab mengapa manusia modern saat ini adalah sudah
hilangnya rasa malu dalam diri manusia. Karena apabila seseorang telah
menanamkan sifat malu di dalam dirinya maka ia tidak akan mudah berbuat
kejahatan karena ia akan malu bila namanya menjadi buah bibir orang lain, dan ia
tidak akan berbuat kejahatan karena ia akan merasa malu jika ia sudah tidak
menggunakan lagi kepercayaan orang lain dengan baik.77
Faktor ketiga menurut Hamka mengapa terjadi krisis manusia modern
adalah disebabkan manusia yang tidak bisa mempertahanka harga dirinya sebagai
76
Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1994), cetakan IV h. 82