• Tidak ada hasil yang ditemukan

Di dalam penelitian ini penulis mengemukakan bahwa tasawuf bisa dijadikan sebagai metode terapi dalam penanganan krisis yang terjadi. Tasawuf bisa dijadikan sebagai cara yang sistematis atau cara yang teratur dan berpikir dengan baik dalam melakukan penyembuhan. Hal ini dimaksudkan untuk

41

Ibid., h. 24

Tim Penyunting Pusat pengembangan dan Pembinaan Bahasa (ed.), “Krisis”, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1990), cet. Ke-4, h. 465

pencapaian sebuah tujuan secara efektif, dengan didasarkan pada tasawuf dari pemikiran Buya Hamka.43

Metode terapi di dalam penelitian ini menitiktekankan pada pendekatan holistik dan tidak ditujukan kepada pendekatan yang bersifat partikular dari setiap problem-problem yang dihadapi manusia modern. Maksudnya, secara teknis tidak menitiktekankan pada aspek-aspek mentalitas manusia, seperti depresi, psikopat, dan stress dll. Tetapi ditujukan kepada esensi krisis yang sesungguhnya. Tentunya ini telah disesuaikan dengan pemikiran Hamka yang akan dibahas lebih lanjut di dalam bab berikutnya.

Untuk memahami konteks ini, perlu kiranya kita melakukan penelusuran atas hubungan tasawuf dengan terapi. Terapi dalam konteks keilmuan di identikkan dengan permasalahan medis yang bersifat klinis. Tentu saja tasawuf tersisihkan di dalam klaim riset ilmiah ini. Ketidaklayakan tersebut dilihat dari sisi metodologi keilmuan tasawuf yang mengandalkan pola pengetahuan intuitif. Sebagaimana pandangan Fazlur Rahman: “Kecenderungan kaum sufi guna mengapresiasikan masalah pengobatan hanya melalui pemahaman intuitif, tanpa Kajian sistematik ilmiah berdasarkan hukum-hukum alam sebagaimana yang dikemukakan dalam ilmu ilmu kedokteran.”44

Di kalangan dunia Islam sendiri, tasawuf -dalam hal ini para sufi- dipandang tidak memiliki kontribusi terhadap perkembangan ilmu medis,

43

Ibid., “Terapi”, h. 580

44

Amsal Bahtiar, Tasawuf dan Gerakan Tarekat, (Bandung: Penerbit Angkasa, 2003), h. 125-134

khususnya sejak kemajuan pesat di paruh abad keempat Hijriyyah. Dengan ditandai oleh kemunculan Abu ‘Ali Husein ‘Abdullah Ibnu Sina.

Literatur- literatur klasik Islam dipandang telah membuktikan, bahwa ilmu tersebut bukan maju ditangan para sufi, melainkan filosof, fuqaha’, politisi (penguasa) dan para hartawan-dermawan. Pustaka-pustaka Islam menyebutkan mereka yang berjasa dalam ilmu ini seperti: Ibnu Sina yang menulis Al-Qanun fi al-Tibb san Al-Syifa’, Abu Zakariyya al-Razi yang menulis Hidayah al-Hukama’

(sejarah para dokter dan filosof), Abu ‘abdullah Muhammad Dzahabi, Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah penulis karya Al-Tib al-Nawawi (pengobatan Nabi), dua dari yang tercantum terakhir adalah muhaddits dan selebuhnya adalah filosof. Semua sarjana ini menulis seluruh tatacara pengobatan rasulullah, baik yang berkaitan dengan penyakit hati maupun lahir, baik melalui pengobatan alami, Ilahi maupun melalui kombinasi antara keduanya.45

Terapi di dalam penelitian ini merupakan usaha untuk memulihkan keadaan yang sedang sakit, sebagaimana dalam kamus besar bahasa Indonesia.46 Tetapi spesifikasinya lebih kepada pengobatan atau penyembuhan penyakit hati (spritualitas). Seperti terdapat di berbagai literature dari para sufi seperti Jalal al-Din Rumi, al-Ghazali, Ibnu al-‘Arabi dan sebagainya.

Diharapkan dari efektifitas tasawuf yang dijadikan sebagai metode terapi ini, dapat menyembuhkan manusia modern dari krisis yang dihadapinya. Pada

45 Dr. Abdurrahman Abdul Khaliq, Tasawuf dan Islam (Jakarta: Penerbit AMZAH, 2000), h. 2

46

Tim Penyunting Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (ed.), “Terapi”, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1990), cet. Ke-4

akhirnya keraguan dapat melebur di dalam pengalaman batiniah yang tidak akan tergoyahkan.

27 A. Latar Belakang Sosial dan Intelektual

Buya Hamka adalah salah satu seorang tokoh besar islam Indonesia yang sangat populer setelah zaman kemerdekaan. Hamka tidak hanya dikenal sebagai ulama dan pemuka Islam, Disisi lain beliau pun seorang budayawan, sejarawan, dan juga seorang tokoh Muhammadiyah yang sangat besar peranannya dalam mengembangkan faham dan cita-cita Muhammadiyah.

Di tepi danau Maninjau, di suatu kampung bernama Tanah sirah, termasuk daerah negeri sungai batang. Pada hari ahad petang malam senin tanggal 13 Muharram 1326 H atau tanggal 16 Februari 1908, lahirlah seorang Bayi laki-laki dalam keluarga ulama Dr. H. Abdul Karim Amrullah47. Ayahnya Dr. H. Abdul Karim Amrullah merasa sangat bahagia lantaran yang lahir dari rahim istrinya Siti Syafiyah adalah seorang bayi laki-laki yang selalu di dambakannya. Menurut nenek Hamka, ayahnya sangat ingin mempunyai anak lakilaki yang jika nanti sudah dewasa akan di kirim ke Mekkah untuk belajar agama agar nantinya menjadi ulama seperti dirinya. Hal ini dikisahkan sendiri oleh Hamka dalam bukunya Kenang-Kenangan Hidup.

Waktu kelahiran Hamka, Ayahnya bergumam tentang makna sepuluh tahun, ketika beliau ditanya apa makna sepuluh tahun itu, beliau menjawab; sepuluh tahun ia akan dikirim belajar ke Mekkah, supaya kelak ia akan menjadi

47

Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta, Bulan Bintang 1974), Jilid I, cet Ke-3, h 7-9

orang alim seperti aku pula, seperti neneknya, dan seperti neneknya yang terdahulu.48

Predikat keulamaan Hamka yang melekat pada dirinya adalah faktor keturuan, terutama dari ayah dan kakeknya. Ayahnya adalah seorang ulama terkenal di Sumatera Barat, sewaktu muda Hamka dikenal dengan nama Haji Rasul yang dikenal sebagai tokoh ulama ”kaum muda” gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau.49 Kakek Hamka adalah seorang ulama penganut tarekat Naqsyabandiyah,50 keturunan salah satu pahlawan Paderi Abdul Arif, yang bergelar Tuanku Pauh Pariaman atau Tuanku Nan Tuo yang menyiarkan Islam ke Padang Barat sampai Maninjau.51

Hamka kecil diberi nama Abdul Malik, nama itu di ambil dari Dr. Haji Abdul Karim Amrullah syekh Ahmad Khatib di Mekkah, yang bernama Abdul malik pula.52 Hamka mengawali pendidikannya dengan membaca Al-qur’an pada ayahnya. Setahun kemudian Abdul Malik telah berusia tujuh tahun, barulah ayahnya mendaftarkannya sekolah desa (sekolah dasar) pada pagi hari, kemudian di masukkan lagi sekolah diniyah (sekolah agama) yang belajar sore harinya.

Pada waktu malam hari Hamka kecil mengaji pada kakak perempuannya seperti yang di utarakannya “…bila anak telah khatam mengaji Al-Quran (juz

48

Ibid ., h. 9

Rusydi Hamka, Pribadi dan martabat Buya Hamka, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1993), cet. Ke-2, h. 1

50

Suatu ajaran tarekat dengan menghadirkan guru dalam ingatan. Cara ini harus ditempuh oleh penganutnya bila mereka sedang mengerjakan Shuluk

51

Hamka, Ayahku , (Jakarta: Uminda,1992), cet. Ke-4, h. 46

52

‘amma), diadakan upacara khataman “.53 Namun di sekolah dasar Hamka kecil hanya sampai kelas 2 SD.

Rutinitas kegiatan belajar yang begitu padat, membuat Hamka kecil merasa tertekan, ditambah lagi dengan sikap ayahnya yang otoriter sehingga menimbulkan perilaku menyimpang dalam pertumbuhan Hamka. Hampir setiap hari Hamka bergaul dengan para “Parewa” , 54 sehingga Hamka terpengaruh dengan tingkah laku kelompok itu seperti berkelahi, menyabung ayam, memanjat pohon jambu, dan mengambil ikan di tebat milik orang lain.55

Pada tahun 1918, ayah Hamka Haji Rasul mendirikan madrasah yang bernama “Thawalib School” kemudian ayahnya memasukkan Hamka kecil ke sekolah tersebut, dengan harapan jika dewasa Hamka juga menjadi ulama seperti dirinya.56

Sementara Hamka kecil mencoba terus untuk menyesuaikan hidupnya dengan prinsip sang Ayah, Sejak kecil Hamka hidup terlantar dalam kekecewaan, Ia lebih banyak bermain dari pada belajar serius, sehingga pada akhirnya“ kenakalannya” berubah menjadi semacam “pemberontakan”.57

Berbagai rintangan yang dilalui Hamka, tidak melemahkan semangatnya untuk ke tanah Jawa. Setahun kemudian ketika Hamka berusia 16 tahun, tanpa

53

Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta, Bulan Bintang 1974), Jilid I, cet Ke-3, h.11

54

Parewa adalah segolongan orang muda yang berusaha untuk tidak mengganggu kehidupan keluarga hidup mereka berjudi, menyabung ayam, berkelahi, dan lain-lain.

55

Hamka, Kenang-kenangn Hidup, (Jakarta, Bulan Bintang 1974), Jilid I, cet Ke-3, h. 43-44 & 58

56

M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta :Pustaka Panji Mas, 1990), cet. Ke-1, h. 36

57

Fachri Ali, Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia: catatan pendahuluan dan riwayat perjuangan dalam kenang-kenangan 70thn Buya Hamka (Jakarta: Pusaka Panji Mas, 1983), cet. Ke-3, h. 468

bisa dihalangi oleh ayahnya, berangkatlaah Hamka untuk yang kedua kalinya ke tanah Jawa pada tahun 1942. Dalam pencarian ilmu di tanah Jawa Hamka memulainya dari kota Jogjakarta, kota kelahiran organisasi Muhammadiyah.