• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif hamka tentang urgensi pendidikan tasawuf dalam kehidupan masyarakat modern

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Perspektif hamka tentang urgensi pendidikan tasawuf dalam kehidupan masyarakat modern"

Copied!
167
0
0

Teks penuh

(1)

PERSPEKTIF HAMKA TENTANG URGENSI PENDIDIKAN TASAWUF DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MODERN

oleh

MUH. LUQMANUL HAKIM NIM 180101155

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

MATARAM 2021

(2)

ii

PERSPEKTIF HAMKA TENTANG URGENSI PENDIDIKAN TASAWUF DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MODERN

Skripsi

diajukan kepada Universitas Islam Negeri Mataram untuk melengkapi persyaratan mencapai gelar

Sarjana Pendidikan

oleh

MUH. LUQMANUL HAKIM NIM 180101155

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

MATARAM 2021

(3)

iii

(4)

iv

(5)

v

(6)

vii

(7)

viii MOTTO

ِناَزميِملْا ىِف اموَغمطَت َّ َاَلّ ََۙناَزميِملْا َعَضَوَو اَهَعَفَر َءۤاَم َّسلاَو

َ لََو ِط مس ِق م

لاِب َنمزَوملا اوُمميِقَا َو

َناَزميِ م

لْا اوُر ِس مخُت

“Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu. Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu”.(QS ar-Rahman [55]: 7- 9)1

1 QS ar-Rahman [55]: 7-9.

(8)

ix

PERSEMBAHAN

“Kupersembahkan skripsi ini untuk Ibuku Hafsah dan (Alm) Bapakku Imran, almamaterku, semua guru dan dosenku, serta seluruh keluarga besarku”

(9)

x

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad, juga kepada keluarga, sahabat, dan semua pengikutnya. Amin.

Penulis menyadari bahwa proses penyelesaian skripsi ini tidak akan sukses tampa bantuan dan keterlibatan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis memberikan penghargaan setinggi-tingginya dan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu sebagai berikut:

1. Drs. Mustain, M.Ag. sebagai pembimbing I dan Syakban Abdul Karim, M.Ag.

sebagai pembimbing II yang memberikan bimbingan, motivasi, dan koreksi mendetail, terus-menerus, dan tampa bosan ditengah kesibukannya dalam suasana keakraban menjadikan skripsi ini lebih matang dan cepat selesai;

2. H. M. Taisir, M.Ag. dan Erwin Fadli, M.Hum. selaku ketua dan sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam yang telah membimbing, memotivasi, memberikan layanan dan fasilitas yang baik selama peneliti menempuh studi di Jurusan Pendidikan Agama Islam;

3. Dr. Jumarim, M.HI. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan;

4. Prof. Dr. H. Masnun, M.Ag. selaku Rektor UIN Mataram yang telah memberi tempat bagi penulis untuk menuntut ilmu dan memberi bimbingan dan peringatan untuk tidak berlama-lama di kampus tanpa pernah selesai.

5. Para dosen dan staf Prodi Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan ilmunya kepada penulis;

(10)

xi

6. Ibunda Hafsah, S.Pd. dan Rabiatul Adawiah, S.Pd. selaku orang tua dan kakak yang selalu memberikan motivasi dan bimbingan kepada penulis untuk segera mungkin menyelesaikan karya ilmiah ini;

7. Rekan-rekan kelas E PAI 2018, teman-teman se-Prodi PAI, dan semua teman- teman rewoisme yang selalu memberikan motivasi serta dukungan kepada peneliti.

Semoga amal kebaikan dari berbagai pihak tersebut mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. dan semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semesta alam.

Mataram, 25 Oktober 2022 Penulis,

Muh. Luqmanul Hakim

(11)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN LOGO ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

NOTA DINAS PEMBIMBING ... v

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... vi

PENGESAHAN DEWAN PENGUJI ... vii

HALAMAN MOTTO ... viii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

ABSTRAK ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat ... 9

D. Telaah Pustaka ... 9

E. Kerangka Teori ... 15

F. Metode Penelitian ... 53

G. Sistematika Pembahasan ... 58

BAB II LATAR SOSIAL HISTORIS KEHIDUPAN HAMKA ... 59

(12)

xiii

A. Biografi Hamka ... 59

B. Karya-karya Hamka ... 72

C. Karya-karya Hamka yang Menjadi Sumber Data Primer ... 77

D. Kiprah dan Peran Hamka ... 80

E. Seting Sosial dan Dimensi Pemikiran Hamka ... 87

BAB III PROBLEMATIKA MASYARAKAT MODERN ... 93

A. Problematika Masyarakat Modern ... 93

B. Dampak yang Ditimbulkan dari Problematika Masyarakat Modern ... 100

BAB IV PENDIDIKAN TASAWUF SEBAGAI SARANA DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT YANG BERBUDI LUHUR ... 107

A. Konsep Pendidikan Tasawuf Modern Perspektif Hamka ... 107

1. Hakikat Pendidikan Tasawuf ... 107

2. Tujuan Pendidikan Tasawuf ... 109

3. Objek Kajian Pendidikan Tasawuf ... 113

B. Urgensi Pendidikan Tasawuf Modern Hamka dalam Kehidupan Masyarakat Kontemporer ... 117

1. Membentuk Masyarakat Modern yang Berbudi Luhur ... 119

2. Integrasi Syari‟ah dan Tasawuf dalam Pendidikan Tasawuf Modern Hamka ... 130

3. Membantu Masyarakat Modern dalam Mencapai Kebahagiaan Hidup ... 132

BAB V PENUTUP ... 135

(13)

xiv

A. Kesimpulan ... 135

B. Saran ... 136

DAFTAR PUSTAKA ... 138

LAMPIRAN ... 144

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... 154

(14)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Foto Sampul Buku Hamka

Lampiran 2 Surat Rekomendasi Penelitian dari Akademik Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Mataram

lampiran 3 Surat Rekomendasi Penelitian dari Balitbang Kota Mataram lampiran 4 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian dari Perpustakaan

UIN Mataram

Lampiran 5 Kartu Konsultasi Pembimbing I Lampiran 6 Kartu Konsultasi Pembimbing II

Lampiran 7 Surat Keterangan Telah Melakukan Pengecekan Tingkat Similiarity

(15)

xvi

PERSPEKTIF HAMKA TENTANG URGENSI PENDIDIKAN TASAWUF DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MODERN

Oleh :

Muh. Luqmanul Hakim NIM 180101155

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh perhatian penulis terkait beragamnya nestapa yang dialami masyarakat modern, dimana masyarakat dewasa ini telah mengalami kehampaan spiritual yang diakbitkan oleh pendewaan yang berlebihan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Kondisi tersebut semakin diperparah karena adanya ekses seperti sekularisme, liberalisme, rasionalisme, dan materialisme yang hanya menekankan hidup kebendaan semata dan menegasikan aspek spiritual dalam diri manusia. Sehingga kemajuan manusia dewasa ini bukan dalam budi pekerti, melainkan hanyalah dalam dunia amuk dan merusak binasakan. Maka penulis menilai pendidikan tasawuf modern Hamka penting untuk dijadikan rujukan dalam kehidupan yang penuh dilematis dan kompeks ini.

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian library research atau penelitian kepustakaan. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi, sedangkan metode analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, analisis interpretatif, dan analisis kesinambungan historis.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa (1) konsep pemikiran tasawuf modern Hamka terdiri dari enam konsep yaitu, pemaknaan pendidikan tasawuf, tujuan pendidikan tasawuf, fungsi pendidikan tasawuf, metode pendidikan tasawuf, objek kajian pendidikan tasawuf, sumber pendidikan tasawuf. (2) urgensi pendidikan tasawuf modern Hamka dalam kehidupan masyarakat kontemporer yaitu, pendidikan tasawuf modern Hamka dapat membentuk masyarakat modern yang berbudi luhur, pendidikan tasawuf modern Hamka secara seimbang memberikan kesejukan batin dan disiplin syari‟ah sekaligus, pendidikan tasawuf modern Hamka dapat membantu masyarakat modern dalam mencapai kebahagiaan hidup.

Kata Kunci : Masyarakat Modern, Pendidikan Tasawuf, Hamka

(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Terjadinya revolusi industri dan revolusi sosial di Eropa menyebabkan munculnya kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi komunikasi dan informasi, serta menimbulkan norma-norma baru dalam hubungan antar umat manusia.2 Pada tahap inilah, kehidupan industri dan teknologi informasi menjadi suatu sistem yang kompleks, di mana rumus kehidupan hakikatnya adalah kombinasi antara otak dan mesin, kehidupan menjadi super ketat, dan jika dibiarkan berlarut-larut maka akan terjadi proses dehumanisasi.3

Sains dan teknologi menuntut biaya material, mental, kultural, dan moral, baik langsung maupun tidak. Antara lain: kolonialisme, rusaknya lingkungan akibat teknologi eksploitasi alam yang berlebihan, sakit mental seperti stres dan kekerasan, munculnya rasa alienasi diri dari lingkungannya, penyalahgunaan obat terlarang, dan dekadensi moral. Terutama dekadensi moral, penyebabnya antara lain sikap secular trend.4

Dalam bidang budaya, karena berimpitnya modernisasi dengan westernisasi (pembaratan), sebab meskipun menurut watak dan dinamikanya sendiri modernitas adalah budaya dunia, namun pada berbagai kenyataan

2 Muhammad Rusydi, “Modernitas dan Globalisasi: Tantangan Bagi Peradaban Islam”, Tajdid, Vol. 17, Nomor 1, Januari-Juni 2018, hlm. 95.

3 Fathor Rachman, Modernisasi Manajemen Pendidikan Islam, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2021), hlm. 13-14.

4 Sukron Kamil, Islam dan Sains Modern: Telaah Filsafat dan Integrasi Ilmu, Dari Ilmu Alam, Sosial, Hingga Budaya, (Depok: PT Rajawali Buana Pusaka, 2020), hlm. 2.

(17)

2

periferalnya ia banyak membawa serta sisa limpahan budaya Barat.5 Disadari atau tidak, hari demi hari umat Islam tengah bergerak mendekati Barat, baik dari segi pemikiran maupun penampilannya. Ini bisa dilihat dari setiap gaya hidup yang nampak dipermukaan, sungguh memang “pembaratan” sedang menggelora di negeri-negeri Muslim. Selain itu, problematika yang ditimbulkan oleh modernitas di lingkungan Muslim terasa lebih berat karena adanya ekses seperti liberalisme, sekulerisme, rasionalisme, positivisme, materialisme, dan lain sebagainya yang memang pada dasarnya tidak sesuai dengan kebutuhan kaum Muslim.6

Sepanjang sejarahnya, manusia telah menghadapi banyak tantangan dan kekacauan. Namun belum pernah mereka menghadapi tantangan yang lebih serius dari pada yang ditimbulkan oleh peradaban Barat. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, memandang problem terberat yang dihadapi manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuan sekuler Barat yang mengarah pada kehancuran manusia. Bagi Barat, kebenaran fundamental dari agama dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima. Konsekuensinya ialah penegasian Tuhan dan Akhirat serta menempatkan manusia sebagai satu-satunya elemen yang berhak mengatur dunia. Sehingga pada akhirnya manusia di tuhankan dan Tuhanpun dimanusiakan.7

5 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2019), hlm.

528.

6 Muhammad Rusydi, “Modernitas..., hlm. 98-99.

7 Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekuler- Liberal, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 3.

(18)

3

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memberi dampak pada kehidupan masyarakat sehari-hari.8 Dengan teknologi, tidak ada sesuatu yang tidak mungkin untuk diraih, sehingga semua manusia menyandarkan hidupnya pada teknologi. Manusia modern juga mampu menciptakan berbagai inovasi ilmu di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga pekerjaan-pekerjaan yang semua dikerjakan oleh manusia, telah tergantikan oleh mesin. Karena itu, modern diidentikkan dengan teknikalisasi.9

Menurut Seyyed Hossein Nasr, manusia modern menderita penyakit amnesis (pelupa) tentang siapa dirinya. Kehidupannya berada di pinggir lingkaran eksistensinya, ia telah memperoleh pengetahuan dunia yang secara kuantitatif bersifat dangkal tetapi secara kualitatif mengagungkan. Inilah yang menjadi sumber permasalahan yang dihadapi oleh manusia modern.10

Ketika muncul pertanyaan yang mendasar tentang eksistensinya di muka bumi untuk mendapatkan jawaban, apa sebenarnya hakikat manusia hidup di dunia?, maka seakan-akan hidup dengan berteknologi menjadi tidak berarti.

Kenapa demikian.? Karena ternyata hidup yang hanya bersandar pada teknologi menjadikan manusia dependent (terikat) terhadap rasionalisme, sehingga melahirkan kegersangan jiwa dan manusia kembali mencari jati diri dalam bentuk lain.11

8 Astrid S. Susanto Sunario, Globalisasi dan Komunikasi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), hlm. 28.

9 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1992), hlm. 451.

10 Tri Astutik Haryati, “Modernitas Dalam Perspektif Seyyed Hossein Nasr”, Jurnal Penelitian, Vol. 8, Nomor 2, November 2011, hlm. 317.

11 M. Afif Anshori, Peran Tasawuf Perkotaan (Urban Sufism) dalam Mengatasi Problema Psikoogis: Studi Kasus pada Kaum Eksekutif di Bandar Lampung, (Bandar Lampung: LP2M IAIN Raden Intan Lampung), hlm. 1.

(19)

4

Selain itu, karena merasa terpisah dari “sistem nilai” dunia modern yang lebih-kurang homogen; rasa tak aman menghadapi masa depan; kerinduan menyaksikan pengalaman keruhanian di dalam suatu lingkungan yang semakin merosot kualitasnya; disintegrasi nilai-nilai budaya Barat dan kekecewaan yang dirasakan sebagai akibat dari modernisme yang terlalu menekankan hal-hal yang bersifat material profan; dan banyak lagi faktor-faktor lain yang semuanya membantu timbulnya keinginan menyelami ajaran-ajaran keruhanian dari agama-agama Timur.12

Spiritual (tasawuf) merupakan fenomena yang menarik perhatian, sebagaimana yang diramalkan oleh Ruslani bahwa tasawuf akan menjadi trend di abad 21 ini. Ramalan ini cukup beralasan, karena sejak akhir abad ke 20 mulai banyak terjadi kebangkitan spiritual dimana-mana baik di Barat maupun di dunia Islam. Di Barat, kecendrungan untuk kembali kepada spiritualitas ditandai dengan merebaknya gerakan fundamentalisme agama dan kerohaniaan. Sementara di dunia Islam sendiri, ditandai dengan berbagai artikulasi keagamaan seperti fundamentalisme Islam yang ekstrim dan menakutkan, selain bentuk artikulasi esoterik seperti gerakan sufisme dan tarekat.13

Dalam konteks yang lebih luas, bukti kebangkitan tasawuf dan relevansinya dengan masyarakat modern adalah munculnya fenomena urban sufism. Kearifan nilai-nilai ketasawufan tidak hanya sering didiskusikan baik di

12 Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Hadi, (Yogyakarta:

IRCiSoD, 2020), hlm. 5.

13 Novi Maria Ulfah, Dwi Istiyani, “Etika dalam Kehidupan Modern: Studi Pemikiran Sufistik Hamka”, Esoterik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf, Vol. 2, Nomor 1, 2016, hlm. 96.

(20)

5

kalangan intelektual, namun sudah mewabah di kalangan grassroot seperti buruh pabrik dan masyarakat awam yang bahkan tidak memiliki riwayat pendidikan dan kultur agama yang kuat. Tasawuf tidak lagi hanya dalam tataran diperbincangkan, namun sudah menjadi life style di beberapa segmen kehidupan masyarakat modern. Lebih lanjut KH. Hamdan Rasyid mengungkapkan bahwa, fenomena menarik pada sebagian masyarakat di kota- kota besar dewasa ini, yaitu mereka mulai tertarik untuk mempelajari dan mengimplementasikan pola hidup sufistik. Hal ini dapat dilihat dari banjirnya buku-buku tasawuf di tokok-toko buku, bermunculannya kajian-kajian tasawuf serta maraknya tayangan-tayangan, baik di TV maupun radio.14

Untuk itu, kehadiran tasawuf sebagai solusi ditengah kehidupan masyarakat modern yang berusaha menjawab krisis spiritual diakibatkan oleh paham liberalisme, humanisme, rasionalisme, sekulerisme dan materialisme yang lebih mementingkan keduniawian (materialis) semata dibanding spiritual (ukhrawi). Padahal yang seharusnya dilakukan ialah mengintegrasikan antara dua aspek tersebut. Senada dengan ungkapan Nurcholish Madjid yaitu, sebagai sistem ajaran keagamaan yang lengkap dan utuh, Islam memberi tempat kepada jenis penghayatan keagamaan eksoterik (lahiri) dan esoterik (batini) sekaligus. Apabila terjadi penekanan secara berlebihan hanya pada satu aspek saja maka akan menghasilkan kepincangan yang menyalahi prinsip ekuilibrium

14 M. Afif Anshori, Peran..., hlm. 2.

(21)

6

(Tawazun) dalam Islam.15 Sebagaimana firman Allah dalam Qs. ar-Rahman ayat 7-9 yang berbunyi;

َ لََو ِط ْظ ِق ْلاِب َنْشَىْلا اىُمْيِقَاَو ِناَزْيِْلْا ىِف اْىَغْطَج َّ َاَلّ ََۙناَزْيِْلْا َعَضَوَو اَهَعَفَز َءۤاَم َّظلاَو َناَزْيِ ْ

لْا اوُس ِظ ْخُج

“Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu. Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu”.16 Kalau diperhatikan firman yang mengaitkan prinsip keseimbangan itu dengan penciptaan langit, kita pun tahu bahwa prinsip keseimbangan adalah hukum Allah untuk seluruh jagad raya, sehingga melanggar prinsip keseimbangan merupakan suatu dosa kosmis, karena melanggar hukum yang menguasai jagad raya. Dan kalaupun manusia disebut sebagai “jagad kecil”

atau “microkosmos”, maka tidak terkecuali manusiapun harus memelihara prinsip keseimbangan dalam dirinya sendiri, termasuk dalam kehidupan spiritualnya.17

Pada hakikatnya, tasawuf ialah keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk ke dalam budi perangai yang terpuji. Sehingga pada masa Nabi Muhammad semua orang menjadi sufi, baik Nabi maupun sahabat-sahabatnya semua berakhlak tinggi, berbudi mulia, sanggup menderita lapar dan haus, dan jika mereka memperoleh kekayaan, tidaklah kekayaan itu melekat dalam

15 Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2008), hlm. 77.

16 QS ar-Rahman [55]: 7-9.

17 Nurcholish Madjid, Islam..., hlm. 81.

(22)

7

hatinya, melainkan sebagai pelengkap hidup saja, sehingga ketika terpisah dengannya tidak melukai hati.18

Jadi fungsi tasawuf dalam hidup adalah membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi; menekankan segala kelobaan dan kerakusan memerangi syahwat yang lebih dari keperluan untuk mencapai kesejahteraan diri.19 Jadi tujuan terpenting dari bertasawuf ialah lahirnya akhlak yang baik dan menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.20

Dengan demikian ada beberapa cara yang bisa dihadirkan dalam mengatasi setiap problematika masyarakat modern, salah satu cara yang disarankan oleh sebagian para ahli adalah mengembangkan kehidupan dengan bertasawuf. Salah satu tokoh yang begitu sungguh-sungguh memperjuangkan tasawuf sebagai solusi dalam mengatasi problematika masyarakat modern adalah Seyyed Hossein Nasr sebagaimana dalam ungkapannya,

Tasawuf sebagai alternatif manusia modern yang telah dihinggapi kehampaan spiritual dalam jiwanya dengan melakukan amalan-amalan tasawuf. Bahkan, ia merupakan bagian integral dari cara pandangnya terhadap masalah yang ada di dunia modern saat ini.21

Di Indonesia sendiri, gagasan-gagasan tentang pentingnya tasawuf sebagai solusi atas problematika masyarakat modern juga dikemukakan oleh beberapa pemikir, diantaranya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang familiar di panggil Buya Hamka. Dalam perspektifnya, Hamka memberi

18 Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Republika Penerbit, 2021), hlm. 5-6.

19 Ibid., hlm. 8.

20 Siti Halimah, “Tasawuf Untuk Masyarakat Modern”, Jurnal Al-Makrifat, Vol. 2, Nomor 1, April 2017, hlm. 91.

21 Dedy Irawan, “Tasawuf Sebagai Solusi Krisis Manusia Modern: Analisis Pemikiran Sayyed Hossein Nasr”, Tasfiyah Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 3, No. 1, Februari 2019, hlm. 51.

(23)

8

apresiasi yang wajar kepada penghayatan esoteris (tasawuf) Islam, tetapi esoterisme (tasawuf) itu harus tetap terkendalikan oleh ajaran-ajaran syari‟ah.

Hamka menghendaki suatu penghayatan keagamaan esoteris (tasawuf) yang mendalam tetapi tidak dengan melakukan pengasingan diri atau „uzlah, melainkan tetap terlibat aktif dalam masyarakat.22 Karena semangat Islam ialah semangat berjuang, semangat berkorban, bekerja, bukan semangat malas- malasan, lemah lepuh, dan melempem.23

Oleh karena tasawuf adalah suatu ikhtiar untuk memerangi hawa nafsu, dunia dan setan, serta hendak memperbaiki budi pekerti, maka hemat peneliti, pemikiran tasawuf Hamka mampu memberikan pemahaman serta pengalaman dalam mengatasi problematika masyarakat modern yang kompleks tersebut.

Berangkat dari latar belakang di atas, dan untuk memahami lebih mendalam bagaimana gagasan Hamka, maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “Perspektif Hamka Tentang Urgensi Pendidikan Tasawuf dalam Kehidupan Masyarakat Modern”.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana konsep pemikiran tasawuf modern Hamka ?

2. Bagaimana urgensi pendidikan tasawuf modern Hamka dalam kehidupan masyarakat kontemporer ?

22 Nurcholish Madjid, Islam..., hlm. 78.

23 Hamka, Tasawuf..., hlm. 5.

(24)

9 C. Tujuan dan Manfaat

1. Tujuan

Dari uraian latar belakang di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui bagaimana konsep pemikiran tasawuf modern Hamka b. Untuk mengetahui bagaimana urgensi pendidikan tasawuf modern

Hamka dalam kehidupan masyarakat kontemporer 2. Manfaat

a. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan khazanah keilmuan Islam khususnya dalam bidang tasawuf.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam membangun kehidupan masyarakat yang berbudi baik melalui tasawuf.

D. Telaah Pustaka

Dari hasil telaah pustaka yang dilakukan, maka peneliti dapat mengelompokkan beberapa hasil penelitian yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini, diantaranya ialah sebagai berikut:

Pertama, penelitian Rini Setiani, mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah yang berjudul, “Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Buku Tasawuf Modern Buya Hamka”. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustaan atau studi literature (librari research).

(25)

10

Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis yang terdiri dari tiga rangkaian kegiatan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Penelitian ini juga menggunakan teknik analisis isi (Content Analysis).

Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) tasawuf sebagai salah satu kajian dalam Islam sangat kaya akan nilai-nilai Islam yang bisa diaplikasikan dalam khazanah pendidikan Islam, terutama dalam bidang ruhani dan akhlak. Dengan nilai-nilai yang ada dalam tasawuf, pendidikan Islam akan lebih kaya makna. (2) penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung di dalam buku tasawuf modern Buya Hamka dan adapun nilai-nilai pendidikan Islam yang dimaksud ialah pendidikan keimanan, pendidikan akhlak, dan pendidikan spiritual.24

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang ingin dilakukan ialah pada metode dan objek penelitiannya, yaitu sama-sama menggunakan metode penelitian kepustakaan dan sama-sama meneliti tentang konsep tasawuf Hamka. Sedangkan perbedaannya ialah penelitian Rini Setiani ini lebih mengarah kepada nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung di dalam buku tasawuf modern Hamka. Sementara penelitian yang ingin dilakukan lebih spesifik yaitu mengkaji pemikiran Hamka tentang urgensi pendidikan tasawuf dalam kehidupan masyarakat modern.

Kedua, penelitian Muh. Ilham, mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar yang berjudul “Konsep Zuhud Dalam

24 Rini Setiani, “Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Buku Tasawuf Modern Buya Hamka”, (Skripsi, FITK UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2011), hlm. 5.

(26)

11

Pemikiran Tasawuf Hamka”. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustaan atau studi literature (librari research).

Untuk pendekatan penelitiannya peneliti menggunakan pendekatan historis, dan sufistik. Metode analisis data yang digunakan adalah kualitatif dengan menggunakan teknik analisis isi (content analysis), yang meliputi analisis deskriptif, taksonomi, dan interpretatif.

Adapun hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa, konsep zuhud dalam pandangan Hamka bukan berarti terputusnya kehidupan duniawi, tidak juga harus berpaling secara keseluruhan dari hal-hal duniawi, sebagaimana yang diamalkan oleh golongan materialis. Ajaran zuhud seumpama sebagai bentuk perlawanan terhadap kehidupan modern. Ia adalah sikap sederhana atau tengah-tengah dalam menghadapi segala sesuatu. Zuhud tidak berarti berpaling dari kehidupan dunia dan cenderung menutup diri dari kehidupan sosial, namun zuhud ialah mereka yang sudi miskin, sudi kaya, sudi tidak memiliki harta, dan sudi menjadi milyuner, namun harta itu tidak menjadi sebab sesorang melupakan Tuhan dan lalai terhadap kewajibannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan.25

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang ingin dilakukan ialah pada metode dan objek penelitiannya, yaitu sama-sama menggunakan metode penelitian kepustakaan dan meneliti tentang konsep tasawuf Hamka.

Sedangkan perbedaannya ialah penelitian Muh. Ilham ini lebih mengarah kepada bagaimana konsep zuhud dalam pemikiran Hamka dan relevansinya

25 Muh. Ilham, “Konsep Zuhud dalam Pemikiran Tasawuf Hamka”, (Tesis, Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, Makassar, 2014), hlm. 14.

(27)

12

dalam kehidupan modern. Sementara penelitian yang ingin dilakukan lebih spesifik yaitu mengkaji pemikiran Hamka tentang urgensi pendidikan tasawuf dalam kehidupan masyarakat modern.

Ketiga, penelitian Salihin, mahasiswa Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Bengkulu yang berjudul “Pemikiran Tasawuf Hamka dan Relevansinya bagi Kehidupan Modern”. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian pustaka (librari research). Sedangkan pendekatan yang digunakan ialah hermeneutik.

Adapun hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa, hakekat tasawuf menurut Hamka adalah yang bertujuan untuk memperbaiki budi dan membersihkan batin. Tasawuf yang ditawarkan Hamka adalah tasawuf modern atau tasawuf positif berdasarkan tauhid. Jalan tasawufnya melalui sikap zuhud yang di laksanakan dalam ibadah resmi, sikap zuhud, yang tidak perlu menjauhi kehidupan normal. Maka dengan demikian, pemikiran Tasawuf Modern Hamka yang dinamis sangat relevan sekali dengan kehidupan modern saat ini untuk menyeimbangkan antara kehidupan duniawi dan ukhrowi.26

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang ingin dilakukan ialah pada metode dan objek penelitiannya, yaitu sama-sama menggunakan metode penelitian kepustakaan dan meneliti tentang konsep tasawuf Hamka.

Sedangkan perbedaannya ialah penelitian Salihin ini lebih mengarah kepada pemikiran Hamka tentang tasawuf dan relevansinya bagi kehidupan modern.

Sementara penelitian yang ingin dilakukan lebih spesifik yaitu mengkaji

26 Salihin, “Pemikiran Tasawuf Hamka dan Relevansinya bagi Kehidupan Modern”, (Tesis, Program Pascasarjana IAIN Bengkulu, Bengkulu, 2016), hlm. 9.

(28)

13

pemikiran Hamka tentang urgensi pendidikan tasawuf dalam kehidupan masyarakat modern.

Keempat, penelitian Sutoyo yang berjudul “Tasawuf Hamka dan Rekonstruksi Spiritualitas Manusia Modern”. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa menurut Hamka, agama melalui jalur tasawuf adalah pintu masuk menuju penyelesaian problematika kemodernan yang ditandai dengan kehampaan spiritual. Menurutnya, menyelesaikan problematika kemodernan dengan agama “murni” belumlah cukup, karena agama cenderung diaplikasikan secara formal-legal dengan melupakan unsur hakikatnya. Maka dari itu, mau tidak mau, problematika kemodernan perlu diselesaikan dengan aspek dalam agama yang bersifat esoteris, yang dalam Islam dinamakan tasawuf.

Menurut Hamka, esoterisasi tasawuf harus dipahami sebagai ajaran yang menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam kerja kemasyarakatan. Konsep tasawuf yang menjadi tawaran Hamka lebih mengutamakan kebersihan hati.

Bersumber dari kejernihan hati inilah ajaran-ajaran tasawuf mampu memberikan dampak positif kepada sikap dan perilaku pelakunya. Tasawuf menurutnya, harus menjadi agent of social cange dari segala macam keterpurukan hidup umat manusia yang pada akhirnya membawa pada kehidupan yang tenang, selamat, damai, dan bahagia.27

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang ingin dilakukan ialah pada objek penelitiannya, yaitu sama-sama meneliti tentang konsep tasawuf

27 Sutoyo, “Tasawuf Hamka dan Rekonstruksi Spiritualitas Manusia Modern”, Islamica:

Jurnal Studi Keislaman, Vol. 10, Nomor. 1, September 2015, hlm. 133.

(29)

14

Hamka. Sedangkan perbedaannya ialah penelitian Sutoyo ini lebih mengarah kepada tasawuf hanya sebatas pemahaman, belum menjelaskan secara spesifik bagaimana urgensi pendidikan tasawuf dalam kehidupan masyarakat modern.

Kelima, penelitian Nurhadi & Fahrul Razi yang berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Jiwa dalam Buku Tasawuf Modern Karya Buya Hamka”.

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library research) dengan pendekatan analisis isi (content analysis). Sumber data diperoleh melalui buku Buya Hamka yang berjudul Tasawuf Modern terbitan Pustaka Panjimas, Jakarta tahun 1990. Penelitian ini bertujuan untuk megungkap nilai-nilai pendidikan jiwa menurut Buya Hamka.

Adapun hasil penelitian mendapati bahwa di dalam buku tasawuf modern karya Buya Hamka terdapat nilai-nilai pendidikan jiwa, antara lain; 1) Bergaul dengan orang budiman; 2) Membiasakan pekerjaan berfikir; 3) Menjaga syahwat dan kemarahan; 4) Tadbir, menimbang sebelum mengerjakan (bekerja dengan teratur); 5) Meneyelidiki cacat-cacat (aib) diri sendiri; 6) Marah; 7) Ujub; 8) Bertengkar dan mematahkan kata kawan; 9) Senda gurau dan olok- olok; 10) Zuhud; 11) Adil; 12) Takut mati; 13) Mungkir janji dan dendam.28

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang ingin dilakukan ialah pada metode, pendekatan dan objek penelitiannya, yaitu sama-sama menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan pendekatan analisis isi (content analysis) dan sama-sama meneliti tentang konsep tasawuf Hamka.

Sedangkan perbedaannya ialah penelitian Nurhadi & Fahrul Razi ini lebih

28 Nurhadi, Fahrul Rozi, “Nilai-nilai Pendidikan Jiwa dalam Buku Tasawuf Modern Karya Buya Hamka”, Palapa: Jurnal Studi Keislaman dan Ilmu Pendidikan, Vol. 8, Nomor 1, Mei 2020, hlm. 178.

(30)

15

mengarah kepada mengarah kepada nilai-nilai pendidikan jiwa dalam buku tasawuf modern karya Buya Hamka. Sementara penelitian yang ingin dilakukan lebih spesifik yaitu mengkaji pemikiran Hamka tentang urgensi pendidikan tasawuf dalam kehidupan masyarakat modern.

Dari beberapa penelitian yang sudah peneliti sebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian yang akan peneliti angkat ini akan menjelaskan secara spesifik bagaimana urgensi pendidikan tasawuf dalam kehidupan masyarakat modern.

E. Kerangka Teori

1. Konsep Pendidikan Tasawuf

a. Pemaknaan Pendidikan Tasawuf

Pendidikan merupakan entitas yang sangat dibutuhkan oleh manusia, karena dengan pendidikan menjadikan manusia memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sifat-sifat terpuji sehingga mampu menghadapi semua problematika kehidupan yang di hadapi. Hamka menilai persoalan pendidikan sangat mempengaruhi kemajuan dan kemunduran umat Islam dewasa ini. Pendidikan adalah jalan yang paling utama bagi kemajuan bangsa. Berkat pendidikan, tercapailah cita-cita yang tinggi. Karena setiap bangsa mesti mempunyai cita-cita tinggi.29 Dengan pendidikan itulah kita dapat mengenal Tuhan dan membangun budi pekerti.30

29 Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: Republika Penerbit, 2018), hlm. 303.

30 Ibid., hlm. 283.

(31)

16

Pendidikan dalam arti luas ialah segala pengalaman belajar yang dilalui peserta didik dengan segala lingkungan dan sepanjang hayat.31 Mengingat pendidikan tasawuf merupakan bagian integral dari pendidikan Islam, maka perlu dikemukakan pengertian pendidikan Islam terlebih dahulu. Yusuf Qardhawi mengemukakan bahwa, pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, meliputi akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, serta akhlak dan keterampilannya.32

Senada dengan ungkapan Yusuf Qardhawi, Haidar Putra Daulay juga mengartikan pendidikan Islam sebagai usaha yang dilakukan untuk mengembangkan seluruh potensi manusia baik lahir maupun batin agar terbentuknya pribadi Muslim seutuhnya. Manusia adalah makhluk yang memerlukan bantuan serta pertolongan orang lain, ia tidak bisa hidup sendiri tanpa pertolongan. Pertolongan sejak awal kepadanya adalah bagian dari pendidikan. Ketika orang tuanya pertama kali memberi pertolongan kepadanya, maka itulah awal pendidikan baginya setelah ia lahir.33 Sebagaimana firman Allah dalam Qs. an-Nahl ayat 78 berikut ini:

َع ْم َّظلا ُم ُن ل َلَع َجَّو َۙا َ ًٔٔ

ـْي َش َن ْى ُمَلْعَح َ

لَ ْم ُنِخٰه َّم ُا ِنْىُطُب ًِّْْۢم ْمُنَجَسْخَا ُ هاللّٰ َو َن ْوُس ُن ْشَح ْم ُنَّلَع َ

ل َۙ َة َدِٕـ ْفَ ْاَلَّو َزاَصْبَ ْاَلَّو

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur”.34

31 Ali Mustofa, “Pendidikan Tasawuf Solusi Pembentukan Kecerdasan Spiritual dan Karakter”, Inovatif, Vol. 4. Nomor 1, Februari 2018, hlm. 120.

32 Ahmad Sodiq, “Konsep Pendidikan Tasawuf: Kajian tentang Tujuan dan Strategi Pencapaian dalam Pendidikan Tasawuf”, Ijtimaiyyah, Vol. 7, Nomor 1, Februari 2014, hlm. 156.

33 Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 11.

34 QS an-Nahl [16]: 78.

(32)

17

Menurut Zakiyah Daradjat, pendidikan Islam adalah usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh. Kemudian, menghayati tujuan yang pada akhirnya dapat mengamalkan dan menjadikan Islam sebagai pandangan hidup.35 Sedangkan Bukhari Umar memaknai pendidikan Islam sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan ruhani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah, mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.36

Adapun menurut Hamka, pendidikan ialah serangkaian ikhtiar yang dilakukan pendidik untuk mendidik membantu membentuk watak, budi pekerti, akhlak dan kepribadian peserta didik.37 Karena manusia lahir ke dunia ini tiada lain supaya menjadi orang yang berguna bagi masyarakatnya. Supaya dia tahu mana yang baik dan mana buruk.38

Hamka menyebutkan bahwa terdapat banyak sekali pendapat dari kata apa derivasi istilah tasawuf. Tasawuf berasal dari kata Shifa‟, artinya suci bersih, ibarat kilat kaca. Kata setengahnya berasal dari perkataan

“shuf” yang artinya bulu binatang. Alasannya disebabkan oleh orang- orang yang memasuki tasawuf ini memakai baju dari bulu binatang, mereka sangat membenci pakaian yang indah-indah atau pakaian orang dunia pada umumnya. Dan kata setengahnya diambil dari kaum

35 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam: Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 26-27.

36 Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2018), hlm. 28-29.

37 Nunu Burhanuddin, “Konstruksi Pendidikan Integratif Menurut Hamka”, Jurnal Educative: Jurnal Of Educational Studies, Vol. 1, Nomor 1, Januari-Juni 2016, hlm. 15.

38 Hamka, Lembaga., hlm. 303.

(33)

18

“shuffah”; segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan dirinya di suatu tempat terpencil di samping masjid Nabi. Kata setengahnya pula dari perkataan “shufanah”, ialah sebangsa kayu yang mersik tumbuh di padang pasir tanah Arab. Tetapi setengah ahli bahasa dan riwayat terutama di zaman yang akhir ini mengatakan bahwa perkataan “sufi” itu bukanlah bahasa Arab, melainkan bahasa Yunani lama yang telah di Arabkan. Asalnya “theosofie”, yang artinya ilmu ke-tuhanan, kemudian di Arabkan dan diucapkan dengan lidah orang Arab sehingga berubah menjadi “tasawuf”.39

Sebagian juga mengungkapkan bahwa tasawuf berasal dari kata shaff, yakni barisan ketika pelaksanaan sembahyang. Karena orang-orang yang kuat iman dan murni kebatinannya, biasanya memilih sembahyang pada shaff pertama. Shaff ialah barisan pertama pada saat berjuang, yaitu melawan musuh dan hawa nafsu.40 Senada dengan ungkapan Bambang Wiwoho dalam karyanya, seorang sufi akan berada di baris pertama di depan Allah SWT.41

Al-Jurairi ketika ditanya tentang tasawuf, beliau menjawab bahwa tasawuf ialah masuk ke dalam segala budi (akhlak) yang bersifat mulia, dan keluar dari budi pekerti yang rendah.42 Senada dengan ungkapan Syekh Abu Bakar Muhammad al-Kattani, tasawuf adalah akhlak, maka barang siapa yang bertambah baik akhlaknya, tentulah akan bertambah

39 Hamka, Tasawuf..., hlm. 1-2.

40 Abdul Halim Mahmud, Tasawuf di Dunia Islam, terj. Abdullah Zakiy al-Kaff, (Bandung:

CV Pustaka Setia, 2001), cet. Ke-1, hlm. 21.

41 B. Wiwoho, Bertasawuf di Zaman Edan, (Jakarta: Buku Republika, 2016), hlm. 17.

42 Rosihan Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 145.

(34)

19

mantap tasawufnya (semakin bersih hatinya).43 Sedangkan Muhammad bin Ali al-Qassab menyatakan, bahwa tasawuf adalah akhlak yang terpuji, yang tampak di masa yang mulia, dari seorang yang mulia, bersama dengan orang mulia.44

Adapun Hamka mengungkapkan, bahwa pada hakikatnya tasawuf ialah keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk ke dalam budi perangai yang terpuji. Sehingga pada masa Nabi Muhammad semua orang menjadi sufi, baik Nabi maupun sahabat-sahabatnya semua berakhlak tinggi, berbudi mulia, sanggup menderita lapar dan haus, dan jika mereka memperoleh kekayaan, tidaklah kekayaan itu melekat dalam hatinya, melainkan sebagai pelengkap hidup saja, sehingga ketika terpisah dengannya tidak melukai hati.45

Hamka mengibaratkan tasawuf seperti jiwa yang menghidupkan tubuh dan merupakan jantung dari keislaman. Beliau mengilustrasikan tasawuf dalam kehidupan manusia sebagai tempat “berpulang” bagi orang-orang yang telah mengalami kepayahan perjalanan dan menjadi tempat “berlari” bagi orang yang telah terdesak. Tasawuf menjadi penguat bagi pribadi yang lemah dan menjadi tempat berpijak bagi pribadi yang kehilangan tempat berpijak.46

Menurut Hj. Mihmidaty Ya‟cub, pendidikan tasawuf adalah bimbingan, pengajaran, dan pelatihan yang dilakukan oleh seorang

43 Abdul Halim Mahmud, Tasawuf..., hlm. 22.

44 Mihmidaty Ya‟cub, Model Pendidikan Tasawuf pada Tariqah Shadhiliyah, (Surabaya:

CV. Pustaka Media, 2018), hlm. 21.

45 Hamka, Tasawuf..., hlm. 5-6.

46 Sutoyo, “Tasawuf..., hlm. 112-113.

(35)

20

mursyid terhadap murid yang berlangsung sepanjang hayat untuk menyucikan jiwa, menjernihkan hati dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT, sehingga dapat sampai (wusul) kepadanya, agar tercapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.47 Senada dengan ungkapan Muhammad Basyrul Muvid, pendidikan tasawuf adalah proses mendidik, melatih, dan membimbing jiwa menuju kedekatan dan pengenalan terhadap dzat Allah SWT, melalui proses pembersihan diri dari segala kotoran jiwa (batin), menghiasinya dengan sifat-sifat yang mulia (akhlak al karimah) dengan melakukan serangkaian latihan-latihan ruhaniah dan perjuangan dalam melemahkan hawa nafsu, syahwat, serta maksiat sampai jiwa tersambung dengannya, sehingga hanya Allah SWT yang ada di dalamnya dan pada akhirnya hijab (penghalang) antara dirinya dengan Allah terbuka.48

Sedangkan menurut Ahmad Sodiq, pendidikan tasawuf adalah upaya secara sadar dan sistematis ke arah tujuan yang diharapkan yaitu terbentuknya suatu generasi yang berilmu dan berakhlak mulia yang tidak hanya mulia perbuatan lahiriahnya, melainkan juga sekaligus mulia pikiran dan hatinya.49 Adapun Hamka sendiri, memaknai pendidikan tasawuf sebagai serangkaian ikhtiar yang dilakukan oleh pendidik untuk

47 Mihmidaty Ya‟cub, Model., hlm. 23.

48 Muhamad Basyrul Muvid, Pendidikan Tasawuf: Sebuah Kerangka Proses Pembelajaran Sufistik Ideal di Era Milenial, (Surabaya: PusTaka iDea, 2019), hlm. 4.

49 Ahmad Sodiq, Konsep..., hlm. 157-158.

(36)

21

membantu murid-muridnya agar keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk kepada budi pekerti yang terpuji.50

b. Tujuan Pendidikan Tasawuf

Setiap sesuatu pasti mempunyai tujuan, karena dengan adanya tujuan yang telah dirumuskan, tentu akan mempermudah seseorang untuk mencapai sesuatu yang diinginkan. Begitupun sebaliknya, tampa adanya tujuan yang dirumuskan maka akan menyebabkan sesuatu tersebut tidak jelas, tidak terarah, dan tidak maksimal. Sama halnya dengan pendidikan tasawuf, dengan adanya tujuan yang dirumuskan tersebut, diharapkan menjadi pendorong animo masyarakat untuk mempelajari, memahami, dan mengimplementasikan nilai-nilai pendidikan tasawuf dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Hamka, tasawuf pada awal timbulnya adalah baik, yaitu hendak zuhud dari dunia yang fana serta memerangi hawa nafsu, dunia dan setan, namun terkadang jalan yang mereka tempuh tidak digariskan oleh agama. Terkadang mereka mengharamkan dirinya dari sesuatu yang dihalalkan oleh Allah, bahkan ada yang sampai tidak mau lagi mencari rezeki, menyumpahi harta, serta membelakangi huru-hara dunia.

Sebagian ada yang menjadi budak harta, yang lebih mementingkan harta dibanding agamanya. Ada juga yang tenggelam di dalam khalwatnya, dengan pakaian sufinya, tidak lagi peduli apa-apa, karena sudah merasa enak di dalam kesunyian khalwatnya. Akhirnya mereka termarginalisasi

50 Hamka, Tasawuf..., hlm. 8.

(37)

22

dari dunia, tidak ada lagi kemampuan untuk menangkis serangan- serangan dari luar, karena mereka sudah terpecah.51

Hamka menilai tasawuf yang demikian bukanlah dari pelajaran Islam. Zuhud yang melemahkan seperti itu bukanlah bawaan Islam, karena menurutnya semangat Islam adalah semangat berjuang, semangat berkorban, bekerja, bukan semangat malas-malasan. Agama Islam adalah agama yang menyeru umatnya untuk mencari rezeki dan mengambil sebab-sebab mencapai kemuliaan, ketinggian, dan keagungan dalam perjalanan hidup berbangsa. Bahkan agama Islam menyeru umatnya untuk menjadi contoh di dalam alam ini dengan dasar keadilan, memungut kebaikan dimanapun tempatnya, dan memperbolehkan mengambil peluang mencari kesenangan dan kebahagiaan.52

Karena maksud tasawuf pada awal munculnya adalah suci, yaitu hendak memperbaiki budi pekerti. Maka menurut Hamka, semua orang pada waktu itu bisa menjadi sufi, tidak harus memakai pakaian tertentu, bendera tertentu, berkhalwat sekian hari di gunung-gunung, atau harus mengadu kening dengan kening guru.53 Oleh karena itu, tasawuf bukanlah agama, melainkan suatu ikhtiar yang setengahnya diizinkan oleh agama dan setengahnya lagi dengan tidak sadar sudah tergelincir dari agama.54

51 Ibid., hlm. 4-5.

52 Ibid., hlm. 5.

53 Ibid.

54 Ibid., hlm. 2.

(38)

23

Menurut Hamka, tujuan pendidikan tasawuf dalam hidup adalah untuk membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi, menekankan segala keserakahan dan kerakusan, memerangi syahwat yang berlebihan untuk mencapai kesejahteraan diri.55 Senada dengan ungkapan Muhamad Basyrul Muvid, bahwa pendidikan tasawuf bertujuan sebagai niat untuk membersihkan jiwa, menjaga hawa nafsu, melepaskan diri dari berbagai bentuk ujub (kagum dengan diri sendiri), takabur (sombong), riya‟ (suka pamrih), hubb ad dunya (cinta kehidupan dunia dan lain sebagainya). Kemudian menghiasinya dengan sifat tawadu‟ (rendah diri), tawakal (bersandar hanya kepada Allah), ridha (berkenannya hati kepada setiap kejadian yang sudah digariskan oleh Allah), dan sifat-sifat terpuji lainnya.56

Selain itu, beliau mengungkapkan bahwa tujuan terakhir dari pendidikan tasawuf ialah memberi kebahagiaan kepada manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Ini bermakna bahwa pendidikan tasawuf tidak pincang, pendidikan tasawuf memberikan jalan bagi manusia untuk bisa meraih kebahagiaan, keuntungan dan keberhasilan di dunia dan di akhirat, lahir batin, tidak berat sebelah atau mengesampingkan dunia lahiriyah.57

Adapun tujuan pendidikan tasawuf menurut Abdul Qadir Isa, dalam pendidikan tasawuf terdapat upaya secara terus menerus yang tujuannya agar manusia dapat mengintegrasikan antara raga dan jiwa,

55 Ibid., hlm. 8.

56 Muhamad Basyrul Muvid, Pendidikan., hlm. 13.

57 Ibid., hlm. 12.

(39)

24

merasakan makna dari kebersihan hati, keseluruhan budi pekerti serta mencapai ma‟rifat Allah (mengenal Allah) dengan seyakin-yakinnya sehingga hati manusia dihiasi oleh cinta Allah, ketentraman batin dan merasa dekat dengan Allah SWT.58

c. Fungsi Pendidikan Tasawuf

Selain memiliki tujuan yang jelas, pendidikan tasawuf juga memiliki fungsi yang sistematis untuk dijadikan motivasi sekaligus inspirasi bagi para penempuh jalan sufistik, antara lain yaitu:

Pertama, untuk membentengi diri dari segala macam penyakit hati serta memperkuat akhlak dari pengaruh-pengaruh luar yang bersifat material dan tercela, seperti pengaruh kemewahan duniawi. Pengaruh- pengaruh duniawi tersebut dapat menyebabkan manusia terperosok ke dalam jurang kehinaan akhlak dan menyebabkannya lalai bahkan jauh dari Allah. Untuk itu, fungsi pendidikan tasawuf dalam hal ini ialah sebagai penguat pondasi akhlak, agar tetap tegak dalam diri manusia.

Namun tidak berarti manusia harus menjauhi dunia sejauh mungkin, karena agama Islam memberi kebebasan kepada setiap umattnya untuk mengambil manfaat dari kehidupan keduniaan.59 Namun sebagaimana dalam ungkapan Hamka, jangan sampai kemewahan dunia itu melekat di dalam hati atau bahkan sampai melukai hati jika terpisah dengannya.60

Kedua, pendidikan tasawuf berfungsi membangun sikap aktif dan positif dalam mempersenjatai diri manusia dengan nilai-nilai

58 Ali Mustofa, “Pendidikan..., hlm. 120.

59 Muhamad Basyrul Muvid, Pendidikan..., hlm. 17-18.

60 Hamka, Tasawuf..., hlm. 6.

(40)

25

keseimbangan. Artinya, nilai-nilai yang ditawarkan tidak hanya terbatas pada aspek ruhaniah saja, melainkan tetap memperhatikan aspek lahiriah yang juga tidak bisa dipisahkan dari diri manusia. Hal demikianlah yang akan mampu membuat manusia tetap eksis dalam menghadapi kehidupan yang penuh materialistik dan berbagai kesulitan-kesulitan hidup. Di samping itu, pendidikan tasawuf juga mengajarkan untuk selalu menjaga perkembangan masyarakat, menjaga hubungan secara individu dengan masyarakat, selalu intropeksi diri dari berbagai kesalahan, dan senantiasa mendorong wawasan hidup menjadi lebih moderat serta berusaha menjauhkan diri dari rayuan hawa nafsu yang dapat menjauhkan kita dari Allah SWT.

Ketiga, pendidikan tasawuf berfungsi sebagai pengendali hawa nafsu, menghapus keserakahan, melawan dan mengendalikan kecenderungan terhadap sesuatu yang bersifat badani (materi), melepaskan diri dari ketakutan akan hari esok (cemas akan takdir) dan secara total menyerahkan diri hanya semata-mata kepada Allah SWT.61 Senada dengan ungkapan Hamka, bahwa pendidikan tasawuf dapat membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi;

menekankan segala keserakahan dan kerakusan memerangi syahwat yang lebih dari keperluan untuk mencapai kesejahteraan diri.62

Keempat, mengatur dan menata kehidupan masyarakat modern menjadi lebih baik. Pendidikan tasawuf dalam hal ini membantu

61 Muhamad Basyrul Muvid, Pendidikan..., hlm. 18.

62 Hamka, Tasawuf..., hlm. 8.

(41)

26

seseorang agar bisa hidup kreatif, anggun, dan damai, bahkan membuatnya gembira dengan berbagai kenyataan-kenyataan hidup yang tidak mudah dijelaskan, seperti kematian, penderitaan, kesedihan, keputusasaan, serta ketidakadilan atau kekejaman hidup.63

Kelima, menurut Mihmidaty Ya‟cub, pendidikan tasawuf juga berfungsi sebagai penguatan dan penajaman terhadap upaya pencapaian tujuan akhir pendidikan agama Islam, yaitu manusia sempurna yang mampu mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.64

d. Metode Pendidikan Tasawuf

Pendidikan tasawuf juga menggunakan metode pembelajaran sebagaimana umumnya dalam dunia pendidikan, antara lain: ceramah dan tanya jawab, demontrasi, latihan dan pembiasaan, mujahadah, muhasabah, talqin,65 hikmah (kebijaksanaan), mau‟izhatul hasanah (nasihat), mujadalah (diskusi), observasi, dan munajat.66

1) Metode Ceramah dan Tanya Jawab

Penekanan dalam pendidikan tasawuf adalah praktek atau pelaksanaan ajaran-ajarannya dalam kehidupan, berupa zikir, istighatsah, shalat, puasa, dan amal-amal shaleh lainnya. Meski demikian dalam penyampaiannya, guru juga tetap menggunakan

63 Muhamad Basyrul Muvid, Pendidikan..., hlm. 20.

64 Mihmidaty Ya‟cub, Model…, hlm. 23-24.

65 Ibid., hlm. 110.

66 Muhammad Arkhanul Khamsi, Nur Asiah, “Pemikiran Pendidikan Islam Kontemporer Menurut Hamka”, Arfannur: Journal Of Islamic Education, Vol. 2, Nomor 2, April 2021, hlm.

151-152.

(42)

27

metode ceramah, baik bersifat umum maupun secara khusus pada sebagian murid. Allah SWT berfirman:

ا ِت َ

ظِعْى َ ْلْاَو ِتَمْن ِحْلاِب َوِّبَز ِليِب َط ٰىَلِإ ُعْدا ي ِت َّلاِب ْمُهْلِداَجَو ۖ ِتَى َظَحْل

ُمَل ْع َ

أ َى ُه َو ۖ ِهِليِب َط ًَْع َّل َض ًَْمِب ُمَلْعَأ َىُه َوَّبَز َّنِإ ۚ ًُ َظْحَأ َيِه ًًَ ِدَخْه ُ ْلْاِب

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk”.67

Dalam proses pembelajarannya terjadi interaksi tanya jawab antara guru dengan murid, antara murid dengan guru, dan antara murid dengan sesama murid, baik dalam kelas maupun di luar kelas.68

2) Metode Demonstrasi

Metode demonstrasi merupakan metode yang menggunakan peragaan untuk memperjelas suatu pengertian atau memperlihatkan bagaimana melakukan sesuatu kepada murid.69 Guru akan memperagakan ajaran-ajaran tertentu, seperti misalnya bagaimana cara berzikir dengan benar, shalat yang benar, dan lain sebagainya.

3) Metode Latihan dan Pembiasaan

67 QS an-Nahl [16]: 125.

68 Mihmidaty Ya‟cub, Model…, hlm. 111.

69 Al Fauzan Amin, Model & Metode Pembelajaran Agama Islam, (Bengkulu: IAIN Bengkulu Press, 2015), hlm. 55.

(43)

28

Metode latihan merupakan metode yang digunakan untuk memperoleh suatu keterampilan dari apa yang telah dipelajari.70 Dalam pendidikan tasawuf, materi-materi yang biasa diajarkan dengan metode ini ialah yang bersifat pembiasaan. Seorang guru menyuruh murid-muridnya untuk melaksanakan ibadah-ibadah tertentu, tetapi tidak dengan melakukan pengasingan diri atau „uzlah, melainkan tetap aktif melibatkan diri dalam masyarakat.71 Selain itu, metode ini adalah upaya penataan akhlak spiritual murid dengan membiasakan mereka untuk melaksanakan perilaku-perilaku yang mungkin terlihat remeh akan tetapi memiliki makna yang besar.

Adapun perilaku-perilaku yang dimaksud ialah seperti, menjaga kerapian dan kebersihan, selalu dalam keadaan bersuci, berusaha mengingat Allah dalam keadaan apapun, menebarkan manfaat dan meninggalkan kemudharatan, serta menjadi pribadi yang dermawan bagi setiap makhluk.72

4) Metode Mujahadah

Metode mujahadah ialah menahan hawa nafsu dan membawanya kepada sesuatu yang bertentangan dengan keinginan- keinginannya. Dengan bersungguh-sungguh dalam mencari kebenaran dan mencurahkan jiwa, pikiran, roh, kemulyaan dan kedudukannya semata-mata untuk mewujudkan ketaatan dan

70 Ibid., hlm. 87.

71 Nurcholish Madjid, Islam..., hlm. 78.

72 Ali Muttaqin, “Pelaksanaan Pendidikan Tasawuf di Pondok Pesantren As-Saidiyyah 2 Bahrul Ulum Tambakberas Jombang”, Eduscope, Vol. 6, Nomor 1, Juli 2020, hlm. 14.

(44)

29

melaksanakan kewajiban. Cara ini diterapkan oleh guru untuk dapat memperbaiki jiwa dan mensucikannya sehingga sampai kepada Allah SWT.73

5) Metode Muhasabah

Metode muhasabah dalam istilah psikologi disebut introspeksi, merupakan cara untuk mendalami diri agar lebih bertambah baik dalam berperilaku maupun bertindak, atau merupakan cara berfikir terhadap segala perbuatan, tingkah laku, kehidupan batin, pikiran, perasaan, keinginan, pendengaran, penglihatan, dan segenap unsur kejiwaan lainnya. Metode ini diterapkan oleh seorang guru dalam membimbing murid agar bisa mengenal diri (muhasabah). Hal ini akan berpengaruh terhadap kejiwaan, sehingga mampu mengendalikan diri, berbuat baik, jujur, adil dan semakin merasa dekat dengan Allah SWT.74

6) Metode Talqin

Dalam pendidikan tasawuf talqin dipakai sebagai istilah penyebutan cara pembelajaran zikir oleh seorang guru kepada murid.

Metode talqin digunakan oleh guru untuk mengajarkan konsentrasi dan menyamakan batiniah antara guru dengan murid dalam berzikir, dengan yang diucapkan oleh guru dengan penuh konsentrasi.75

7) Metode Hikmah (kebijaksanaan)

73 Ali Mustofa, “Pendidikan..., hlm. 124.

74 Mihmidaty Ya‟cub, Model..., hlm. 123.

75 Ali Mustofa, “Pendidikan..., hlm. 124.

(45)

30

Hikmah menurut bahasa ialah menempatkan sesuatu pada tempatnya, yaitu keutamaan yang diberikan Allah SWT kepada manusia agar ia dapat mengendalikan hawa nafsunya. Hamka mengungkapkan hubungan yang dipupuk dengan niat yang suci antara peserta didik, guru, dan masyarakat merupakan salah satu bentuk kebijaksanaan dalam bersosialisasi.76

8) Metode Mau‟izhatul Hasanah (nasihat)

Mau‟izhatul hasanah menurut bahasa ialah pengajaran yang baik. Adapun menurut istilah mau‟izhatul hasanah adalah sesuatu yang bisa masuk ke dalam qalbu dengan penuh kehalusan.

Kehalusan dalam menyampaikan nasehat dapat melembutkan hati yang keras dan melemahkan qalbu yang liar. Metode nasihat juga merupakan metode yang digunakan oleh Rasulullah dan sahabat- sahabatnya dalam berdakwah. Untuk itu, Hamka menghendaki agar setiap guru menggunakan metode ini, karena menurutnya, metode mau‟izhatul hasanah merupakan pengajaran yang baik serta disampaikan dengan nasihat yang baik pula.

9) Metode mujadalah (diskusi)

Menurut Hamka, metode mujadalah merupakan susunan usaha pertukaran ide antara pendapat pribadi dan pendapat orang lain.

Apabila ada bantahan atau sanggahan, maka bantah dan sanggahlah mereka dengan bahasa yang baik. Jika terdapat perbedaan pendapat,

76 Muhammad Arkhanul Khamsi, Nur Asiah, “Pemikiran..., hlm. 152.

(46)

31

hendaknya pendapat tersebut dihormati, walaupun misalnya kita tidak setuju dengan pendapatnya.

10) Metode observasi

Menurut Hamka, metode observasi dimaksudkan untuk menyampaikan pemahaman tauhid kepada peserta didik. Metode ini diterapkan kepada murid sebagai bentuk proses mereka dalam mengenal Tuhan yang diikhtiarkan menurut keyakinan dan kesanggupan masing-masing. Misalnya dengan mengamati alam semesta, memperbanyak ilmu, atau mengkaji sifat-sifat Tuhan. Hal ini akan memudahkan murid dalam merangsang pemikiran mereka tentang Tuhan. Sehingga pada akhirnya nanti mereka bisa mendekatkan diri kepada-Nya.77

11) Metode Munajat

Munajat bisa diartikan sebuah laporan atau ungkapan isi hati serta bentuk pengakuan segala perbuatan kepada Allah SWT.

Dengan metode ini, setiap murid akan dilatih untuk bisa dan terbiasa mengadukan setiap permasalahan dan beban yang ada di dalam dirinya hanya kepada Allah semata.78

e. Objek Kajian Pendidikan Tasawuf

Jika pada umumnya pendidikan tasawuf lebih diarahkan kepada aspek ruhani (esoteris), maka dalam perspektif pendidikan tasawuf modern Hamka diarahkan kepada integrasi antara aspek ruhaniah

77 Muhammad Arkhanul Khamsi, Nur Asiah, “Pemikiran..., hlm. 153-154.

78 Ali Muttaqin, “Pelaksanaan..., hlm. 13.

(47)

32

(esoteris) dan aspek lahiriah (eksoteris). Menurut Hamka kedua aspek tersebut haruslah tetap dibina, diperbaiki, dan diarahkan sebagaimana teladan hidup yang dicontohkan oleh Nabi lewat sunnah-sunnahnya maupun ajaran-ajaran syari‟ah.79

Diantara aspek ruhaniah yang terdapat pada diri manusia adalah ruh, akal dan hati. Kemuliaan manusia dibanding dengan makhluk lainnya adalah karena manusia memiliki unsur ruh ilahi. Ruh yang dinisbahkan kepada Allah SWT, sebagaimana dalam firmannya;

َو ٗهُخٍْ َّى َط ا َذِاَف ًًَْ ِد ِج ٰس ٗه َ

ل ا ْىُع َقَف ْي ِحْوُّز ًْ ِم ِهْيِف ُذ ْخ َفَه

“Maka apabila aku telah menyempurnakan (kejadian)nya, dan aku telah meniupkan roh (ciptaan)ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”80

Ruh ilahi inilah yang menjadikan manusia memiliki sisi kehidupan ruhani (spiritual), di mana kecondongan ini juga dimiliki oleh semua manusia dalam setiap agama. Karena perasaan itu merupakan fitrah manusia. Dengan demikian, yang menjadi objek kajian dalam pendidikan tasawuf adalah “jiwa” manusia. Pendidikan tasawuf membahas tentang sikap jiwa manusia dalam berhubungan dengan Allah SWT dan sikapnya dalam berhubungan dengan sesama makhluk. Bahkan tidak hanya itu, menurut Hamka manusia juga memiliki sikap dalam berhubungan dengan dirinya. Dalam hal ini pendidikan tasawuf bertugas membersihkan jiwa itu dari sifat-sifat buruk dalam kaitan hubungan tersebut. Bila jiwa sudah suci bersih dari kotoran-kotoran, niscaya

79 Nurcholish Madjid, Islam..., hlm. 78.

80 QS al-Hijr [15]: 29.

(48)

33

kehidupan ini akan menjadi baik dan harmoni, kehidupan akan berjalan secara stabil.81

Objek kajian pendidikan tasawuf berikutnya adalah akal. Kelebihan sekaligus yang menjadi pembeda antara manusia dengan semua jenis makhluk yang lain, ialah manusia itu apabila bergerak, maka gerak dan geriknya itu timbul dari dalam, bukan datang dari luar. Setiap usaha, pekerjaan, maupun langkahnya, semua itu muncul dari suatu maksud yang tertentu dan datang dari suatu perasaan yang paling tinggi, yang mempunyai kekuasaan penuh dalam dirinya. Berbeda dengan binatang, gerak geriknya hanya tunduk kepada gharizah (insting) semata, tidak disertai oleh pertimbangan.82

Akal itulah tempat bersandar segala perkara yang wajib dia lakukan atau wajib dia tinggalkan.83 Untuk itu, agama Islam sangat menghormati akal. Tidak akan tercapai suatu ilmu kalau tidak ada akal, oleh karena itu Islam adalah agama ilmu dan akal. Ketika Al-Qur‟an mengajak manusia kepada Islam dan mengikuti serta meninggalkan apa yang menjadi perintahnya, dia terlebih dahulu masuk dari pintu akalnya, jika ada bantahan ataupun keingkaran, maka dia disuruh terlebih dahulu untuk berfikir, menggunakan akalnya yang suci bersih. Sebagaimana dalam firmannya;84

81 Muhamad Basyrul Muvid, Pendidikan..., hlm. 6.

82 Hamka, Lembaga Budi, (Jakarta: Republika Penerbit, 2016), hlm. 1.

83 Hamka, Falsafah Hidup, (Jakarta: Republika Penerbit, 2015), hlm. 8.

84 Ibid., hlm. 43-44.

Referensi

Dokumen terkait

4.6 Distribusi Frekuensi Pengukuran Infeksi Bakteri pada Organ Reproduksi Sebelum Pemakaian Pembalut Wanita Herbal di Lokalisasi Kelurahan Sukosari Kecamatan Bawen Semarang

Untuk memperjelas masalah yang akan di bahas dan agar tidak terjadi pembahasan yang lebih meluas pada penelitian tugas akhir ini, penulis membatasi hanya pada

kaitannya dengan pendidikan yang tidak terbatas pada pembelajaran di sekolah, tetapi juga pada pendidikan yang terjadi dan berlangsung di masyarakat, Dalam pandangan

Untuk modul 9 dengan judul Penilaian, Retensi dan Penyusutan Arsip memberikan catatan secara rinci untuk membuat bahan ajar atau modul yang sesuai untuk program diploma

Kemampuan alumni diklat penguatan kompetensi pengawas madrasah/PAI berdasarkan tabel 2 di atas, maka dapat dipahami, bahwa dari keseluruhan peserta diklat sejumlah 40

Margond a Raya Konsultansi Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Tembus Jalan Proklamasi ke Jalan Bogor

Efek selain saham dan/atau instrumen pasar uang tidak memenuhi Prinsip Syariah di Pasar Modal, dengan ketentuan selisih lebih harga jual dari Nilai Pasar Wajar pada saat

Benih yang direndam dengan H2SO4 selama 20 menit tidak memberikan perbedaan yang signifikan pada daya berkecambah terhadap semua metode uji tetapi berbeda secara signifikan